Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

II.7. KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGIS                         (1/2)
oleh Jalaluddin Rakhmat
 
  Al-Qur'an adalah kitab manusia. Karena al-Qur'an seluruhnya
  berbicara untuk manusia atau berbicara tentang manusia.
                                 Dr. Yusuf Qardhawi (1977: 33)
 
Masyarakat Islam dibentuk  karena  ideologinya,  yaitu  Islam,
kata  Fazlur Rahman (1980: 43). Ideologi adalah Weltanchauung,
yang menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu.  Ideologi
adalah  cara  memandang  realitas.  Di antara realitas penting
yang diulas ideologi adalah manusia. Toute  ideologie  precise
d'emblee, tacitement on explicitement, la nature de l'individu
et la place qui lui est assignee daus la groupe,  en  fonction
de    l'objektif   social   poursuiri.   Pour   une   religion
eschatologique  comme  l'Islam,   dieu   sera   la   reference
primordial et unique puisqu'll est, a la fois, I origine et le
fin de la destine e humaine, tulis Marcel  A.  Boisard  (1979:
84),  ketika mengantarkan tulisannya tentang pandangan Qur'ani
mengenai manusia dalam bab Les Fils d'Adam.
 
Agak  mengherankan,  walaupun  Boisard   mengakui   pentingnya
filsafat  antropologis  dalam  Islam,  ia kemudian menyebutkan
bahwa al-Qur'an diwahyukan untuk memperkenalkan  Tuhan  kepada
manusia;  bukan  untuk menjelaskan manusia -non pour expliquer
l'humain  (Boisard,  1979:  84).  Karena  itu  dalam   seluruh
bukunya,  Boisard  hampir  tidak pernah membahas karakteristik
manusia menurut al-Qur'an, seperti lazimnya  filsafat  manusia
(philosophic de l'homme). [1]
 
Dirk  Bakker  (1965) dalam bukunya Man in the Qur'an, mengulas
manusia dari segi  penciptaannya,  hubungannya  dengan  dunia,
sesama manusia, Tuhan, dan fungsi manusia sebagai hamba Tuhan,
tapi tidak membahas principe d'entre manusia.
 
Adalah Rahman (1980), yang secara khusus menjelaskan  principe
d'entre manusia ini. Agak terperinci, ia menjelaskan perbedaan
manusia dengan makhluk lain. Semuanya dapat disimpulkan  dalam
kalimatnya,
 
The  only different is that while every other creature follows
its nature automatically, man ought to follow his nature; this
tranformation  of  the  is  into  ought  is  both  fhe  unique
privelege and the unique risk of man (Rahman, 1980: 24)
 
Rahman mengulas manusia dengan  mengulas  pandangan  al-Qur'an
tentang   kedudukan   manusia  sebagai  individu  dan  anggota
masyarakat. Ia tidak memulai dari konsep dasar yang  digunakan
al-Qur'an   untuk   mengabsorbsikan   manusia.  Dalam  tulisan
tersebut,  juga  dalam  tulisan  lain  (Rahman,  1967)  --yang
membahas  amanah  sebagai  inti kodrat manusia-- uraian Rahman
tidak berbeda dengan pembahasan al-Ghazali yang  lebih  klasik
(Lihat  Othman, 1960). Mungkin tulisan Mutahhari (tanpa tahun)
dan beberapa tulisan lainnya (Lihat Mutahhari, 1986)  membahas
karakteristik  khas manusia yang lebih "maju" dari al-Ghazali,
juga walaupun pendek tulisan al-Faruqi (1404: 332). Sayangnya,
seperti  Fazlur  Rahman,  mereka  meneliti ayat-ayat al-Qur'an
yang  berkenaan  dengan  manusia,  lalu  menyimpulkan   secara
induktif.  Yang  kita  perlukan  di sini, sebetulnya menemukan
bagaimana al-Qur'an memberi makna tentang konsep-konsep  dasar
manusia.    Dengan   kata   lain,   kita   mengidentifikasikan
istilah-istilah al-Qur'an tentang manusia,  kemudian  mengenal
bidang  semantik  setiap  istilah  itu,  sebagaimana digunakan
dalam al-Qur'an.
 
Saya  sangat  terkesan  dengan  Izutsu   (1964,   1965)   yang
memperkenalkan   metodologi   semantik   [2]   dalam  memahami
konsep-konsep dasar al-Qur'an.  Tidak  mungkin  dalam  makalah
ini,  saya  menguraikannya  secara  terperinci. Izutsu sendiri
berkata, Unfortunately, what is called semantics today  is  so
bewilderingly  complicated.  It is extremely difficult, if not
absolutely impossible, for an outsider even to get  a  general
idea  of  what  it  is  like  (Izutsu, 1964: 10). Malangnya di
samping makalah  ini  tidak  dimaksudkan  untuk  itu,  penulis
makalah  ini juga outsider. Jadi, dengan resiko salah beberapa
langkah.
 
Pertama, kita memilih istilah-istilah kunci  (key-terms)  dari
vocabulary   al-Qur'an,   yang  kita  anggap  merupakan  unsur
konseptual dasar dari Weltanschauung Qur'ani ini. Kedua,  kita
menentukan  makna  pokok  (basic  meaning)  dan  makna  nasabi
(relational  meaning).  Makna  pokok  yang  berkenaan   dengan
constant  semantic  element which remains attached to the word
whereever it goes and however it is used (Izutsu,  1964:  19).
Makna nasabi adalah makna tambahan yang terjadi karena istilah
itu dihubungkan dengan konteks di  mana  istilah  itu  berada.
Ketiga,   kita  menyimpulkan  weltanschauung  yang  menyajikan
konsep-konsep itu dalam satu kesatuan.
 
Ketika  Izutsu  membahas  kosep  Tuhan   dan   manusia   dalam
al-Qur'an,  ia menyebut pembahasannya sebagai semantics of the
Koranic weltanschauung.  Ia  mengambil  konsep  Allah  sebagai
istilah  kunci  dan  menjelaskan  hubungan  konsep  itu dengan
manusia. Ia  menyebutkan  tiga  hubungan  ontologis,  hubungan
komunikasi  nonlinguistik, dan hubungan komunikasi linguistik.
Ia sama sekali tidak menyebut berbagai konsep  yang  digunakan
al-Qur'an  untuk  merujuk manusia. Tulisan ini mengambil jalan
lain. Pertama, akan dibahas istilah-istilah kunci manusia  dan
bidang  semantiknya. Kedua, akan dibahas implikasi dari bidang
semantik   tersebut   untuk   memperoleh   gambaran    tentang
Weltanschauung Qur'ani.
 
BASYAR, INSAN, DAN AL-NAS
 
Dalam  al-Qur'an,  ada  tiga istilah kunci yang mengacu kepada
makna  pokok  manusia:  basyar,   insan,   dan   al-Nas.   Ada
konsep-konsep  lain  yang  jarang dipergunakan dalam al-Qur'an
dan dapat dilacak pada salah satu di antara tiga istilah kunci
di  atas,  unas,  anasiy,  insiy,  ins. Unas disebut lima kali
dalam  al-Qur'an  (2:60;  7:82;  70:160;  17:71;  27:56)   dan
menunjukkan  kelompok  atau  golongan manusia. Dalam QS. 2:60,
misalnya, unas digunakan untuk menunjukkan 12  golongan  dalam
Bani  Israil.  Surat  17:21 dengan jelas menunjukkan makna ini
pada hari kami  memanggil  setiap  unas  dengan  imam  mereka.
Anasiy  hanya  disebut  satu kali (25:49). Anasiy dalam bentuk
jamak dari insan, dengan mengganti nun atau ya atau boleh juga
bentuk  jamak  dari  insiy,  seperti  kursiy,  menjadi karasiy
(Lihat al-Thabrasi, 1937), yang  merupakan  bentuk  lain  dari
insan.  Ins  disebut  18  kali  dalam  al-Qur'an,  dan  selalu
dihubungkan dengan jinn sebagai pasangan makhluk manusia  yang
mukallaf (6:112, 128, 130; 7:38, 179; 17:88; 27:17; 41:25, 29;
46:18; 51:56; 55:33, 39, 56, 74; 72:5, 6).
 
Basyar. Marilah kita kembali kepada ketiga istilah kunci tadi.
Basyar  disebut  27  kali.  [3]  Dalam  seluruh ayat tersebut,
basyar  memberikan  referensi  pada  manusia  sebagai  makhluk
biologis.   Lihatlah   bagaimana   Maryam   berkata,  Tuhanku,
bagaimana  mungkin  aku  mempunyai  anak,  padahal  aku  tidak
disentuh  basyar  (3:47); atau bagaimana kaum yang diseru para
nabi menolak ajarannya, karena nabi hanyalah basyar  --manusia
biasa   yang  "seperti  kita,"  bukan  superman.  Kata  Basyar
dihubungkan dengan mitslukum (tujuh kali) dan  mitsluna  (enam
kali)  diantara ayat-ayat tersebut di muka. Nabi Muhammad saw,
disuruh Allah menegaskan bahwa  secara  biologis,  ia  seperti
manusia  yang lain, Katakanlah, aku ini manusia biasa (basyar)
seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu  ialah
Tuhan yang satu (18:110; 41:6). Tentang para Nabi, orang-orang
kafir selalu berkata, Bukankah  ia  Basyar  seperti  kamu,  ia
makan  apa  yang  kamu makan, dan ia minum apa yang kamu minum
(33:33). Ayat ini ditegaskan dalam QS. 25: 7, Mereka  berkata,
Bukankah  Rasul  itu  memakan  makanan  dan  berjalan-jalan di
pasar; dan QS. 25: 20, Dan  tidak  Kami  utus  sebelummu  para
utusan  kecuali  mereka itu memakan makanan dan berjalan-jalan
di pasar. Ketika wanita-wanita Mesir takjub melihat ketampanan
Yusuf  as.,  mereka  berkata, Ya Allah, ini bukan basyar, tapi
ini tidak lain kecuali malaikat yang mulia (12:31).
 
Secara  singkat  konsep  basyar  selalu   dihubungkan   dengan
sifat-sifat  biologis manusia: makan, minum, seks, berjalan di
pasar. Dari segi inilah, kita tidak tepat menafsirkan basyarun
mitslukum sebagai manusia seperti kita dalam hal berbuat dosa.
Kecenderungan para Rasul  untuk  tidak  patuh  pada  dosa  dan
kesalahan   bukan   sifat-sifat   biologis,  tapi  sifat-sifat
psikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya  untuk  tidak
menafsirkan Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentuk
yang sebaik-baiknya (95: 4) dengan  menunjukkan  karakteristik
fisiologi   manusia.  Yusuf  Ali  (1977:  1759)  dengan  tepat
menafsirkan ayat ini to man God gave the purest and  the  best
nature, and man's duty is to preserve the pattern on which God
has  made  him  (QS  30:30).  Al-Syaukani   (1964,   5:   465)
menyebutkan  umumnya  para  mufasir mengartikan ayat ini untuk
menunjukkan  kelebihan  manusia  secara  fisiologis:  berjalan
tegak,  dan  makan  dengan menggunakan tangan. Tapi Ibn 'Arabi
berkata, Tak ada  makhluk  Allah  yang  lebih  bagus  daripada
manusia.   Allah   membuatnya   hidup,  mengetahui,  berkuasa,
berkehendak, berbicara, mendengar,  melihat,  dan  memutuskan,
dan ini adalah sifat-sifat rabbaniyah.
 
Insan.   Sekali  lagi,  kekeliruan  penafsiran,  umumnya  para
mufassir bermula  dari  salah  paham  tentang  semantic  field
istilah  insan,  yang  berbeda dengan basyar. Insan disebut 65
kali dalam al-Qur'an. [4] Kita  dapat  mengelompokkan  konteks
insan  dalam  tiga kategori. Pertama, Insan dihubungkan dengan
keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul  amanah.  kedua,
Insan  dihubungkan  dengan  predisposisi negatif diri manusia.
Dan ketiga Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia.
Kecuali  kategori  ketiga  yang  akan  kita jelaskan kemudian,
semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis  atau
spiritual.
 
Pada  kategori  pertama,  kita  melihat  keistimewaan  manusia
sebagai wujud yang berbeda dengan hewani.  Menurut  al-Qur'an,
manusia  adalah makhluk yang diberi ilmu, Yang mengajar dengan
pena, mengajar insan apa yang tidak diketahuinya. [5] (96:  4,
5),  "Ia  mengajarkan  (insan)  al-bayan" [6] (55: 3). Manusia
diberi kemampuan mengembangkan ilmu dan daya nalarnya.  Karena
itu  juga,  kata  insan  berkali-kali  dihubungkan dengan kata
nazhar.  Insan  disuruh  menazhar  (merenungkan,   memikirkan,
menganalisis,   mengamati)   perbuatannya   (79:  35),  proses
terbentuknya   makanan   dari   siraman   air   hujan   hingga
terbentuknya  buah-buahan  (80: 24-36), dan penciptaannya (86:
5). Dalam hubungan inilah,  setelah  Allah  menjelaskan  sifat
insan yang tidak labil, Allah berfirman, Akan Kami perlihatkan
kepada mereka (insan) tanda-tanda Kami di alam semesta ini dan
pada  diri  mereka sendiri sehingga jelas baginya bahwa ia itu
al-Haq (41: 53).
 
Kedua, manusia adalah makhluk yang memikul  amanah  (33:  72).
Menurut Fazlur Rahman (1967: 9), amanah adalah menemukan hukum
alam, menguasainya atau dalam  istilah  al-Qur'an  "mengetahui
nama-nama   semuanya"   dan  kemudian  menggunakannya,  dengan
inisiatif moral insani, untuk menciptakan tatanan  dunia  yang
baik. (Al-Thabathabai, tt, 351-352) mengutip berbagai pendapat
para mufassir tentang makna amanah dan  memilih  makna  amanah
sebagai  predisposisi  (isti'dad)  untuk  beriman dan mentaati
Allah. Di dalamnya terkandung makna khilafah, manusia  sebagai
pemikul  al  wilayah  al-ilahiyyah.  Amanah  inilah yang dalam
ayat-ayat lain disebutkan  sebagai  perjanjian  (ahd,  mitsaq,
'isr).  [7] Predisposisi untuk beriman inilah yang digambarkan
secara metaforis [8] dalam surat 7:172.
 
Ketiga,  karena  manusia  memikul  amanah,  maka  insan  dalam
al-Qur'an  juga  dihubungkan dengan konsep tanggung jawab (75:
36; 75:3; 50:16). Ia diwasiatkan  untuk  berbuat  baik  (29:8;
31:14;  46:15);  amalnya  dicatat  dengan  cermat untuk diberi
balasan sesuai dengan apa yang dikerjakannya (53: 39).  Karena
itu,   insanlah   yang   dimusuhi  setan  (17:53;  59:16)  dan
ditentukan nasibnya di hari Qiyamat  (75:10,  13,  14;  79:35;
80:17; 89:23).
 
Keempat,  dalam  menyembah  Allah,  insan  sangat  dipengaruhi
lingkungannya. Bila ia ditimpa musibah, ia cenderung menyembah
Allah  dengan  ikhlas;  bila  ia  mendapat  keberuntungan,  ia
cenderung sombong, takabur, dan bahkan musyrik  (10:12;  11:9;
17:67; 17:83; 39:8, 49; 41:49, 51; 42:48; 89:15).
 
--------------------------------------------  (bersambung 2/2)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team