| |
|
I.3. KONSEP ASBAB AL-NUZUL - Relevansinya Bagi Pandangan Historisis Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan oleh Masdar F. Mas'udi (1/3) Asbab al-Nuzul adalah konsep, teori atau berita tentang adanya "sebab-sebab turun"-nya wahyu tertentu dari al-Qur'an kepada Nabi s.a.w., baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat atau satu surat. Konsep ini muncul karena dalam kenyataan, seperti diungkapkan para ahli biografi Nabi, sejarah al-Qur'an maupun sejarah Islam, diketahui dengan cukup pasti adanya situasi atau konteks tertentu diwahyukan suatu firman. Beberapa di antaranya bahkan dapat langsung disimpulkan dari lafal teks firman bersangkutan. Seperti, misalnya, lafal permulaan ayat pertama surat al-Anfal menunjukan dengan jelas bahwa firman itu diturunkan kepada Nabi untuk memberi petunjuk kepada beliau mengenai perkara yang ditanyakan orang tentang bagaimana membagi harta rampasan perang. Atau seperti surat al-Masad (Tabbat), adalah jelas turun dalam kaitannya dengan pengalaman Nabi yang menyangkut seorang tokoh kafir Quraisy, paman nabi sendiri, yang bernama atau dipanggil Abu Lahab, beserta istrinya. Demikian juga, dari lafal dan konteksnya masing-masing dapat diketahui dengan jelas sebab-sebab turunnya surat Abasa al-Tahim, ayat tentang perubahan bentuk rembulan (al-ahillah) dalam surat al-Baqarah/2:189, dan lain sebagainya. MANFAAT PENGETAHUAN ASBAB AL-NUZUL Di antara hal-hal yang dapat dengan jelas menjadi petunjuk tentang sebab turunnya sebuah firman ialah jika dimulai dengan ungkapan dialogis, seperti "Mereka bertanya kepadamu (Nabi)", "Katakan kepada Mereka". dan lain-lain. Juga jika di situ disebutkan nama pribadi orang seperti, sudah dikemukakan di atas, nama Abu Lahab, dan juga Zayd (ibn Haritsah). Pengetahuan tentang asbab al-Nuzul akan membantu seseorang memahami konteks diturunkannya sebuah ayat suci. Konteks itu akan memberi penjelasan tentang implikasi sebuah firman, dan memberi bahan melakukan penafsiran dan pemikiran tentang bagaimana mengaplikasikan sebuah firman itu dalam situasi yang berbeda. Dengan mengutip berbagai sumber otoritas dalam bidang ini, Ahmad von Denffer memberi rincian arti penting bagi pengetahuan tentang asbab al-nuzul, khususnya mengenai ayat-ayat hukum, sebagai berikut: 1. Makna dan implikasi langsung dan segera terpahami (muhabir, immediate) dari sebuah firman, sebagaimana hal tersebut dapat dilihat dari konteks aslinya. 2. Alasan mula pertama yang mendasari suatu kepentingan hukum. 3. Maksud asal sebuah ayat. 4. Menentukan apakah makna sebuah ayat mengandung terapan yang bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau demikian dalam keadaan bagaimana itu dapat atau harus diterapkan. 5. Situasi historis pada zaman Nabi dan perkembangan komunitas muslim. Sebagai sebuah contoh ialah firman Allah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka kemanapun kamu menghadapkan wajahmu, di sanalah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Meliputi dan Maha Tahu". (QS. al-Baqarah/2:115). Firman ini turun kepada Nabi berkaitan dengan adanya peristiwa yang dialami sekelompok orang beriman yang mengadakan perjalanan di malam hari yang gelap gulita. Pagi harinya mereka baru menyadari bahwa semalam mereka bersembahyang dengan menghadap ke arah yang salah, tidak ke kiblat. Kemudian mereka bertanya kepada Nabi berkenaan dengan apa yang mereka alami itu. Maka turunlah ayat suci itu, yang menegaskan bahwa kemanapun seseorang menghadapkan wajahnya, ia sebenarnya juga menghadap Tuhan, karena Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu, sehingga Tuhanpun "ada dimana-mana, timur ataupun barat." Tetapi karena konteks turunnya firman itu bersangkutan dengan peristiwa tertentu diatas, tidaklah berarti dalam sembahyang seorang muslim dapat menghadap kemanapun ia suka. Ia harus menghadap ke kiblat yang sah, yaitu arah al-Masjid al-Haram di Makkah. Tetapi ia dibenarkan menghadap mana saja dalam shalat jika ia tidak tahu arah yang benar, atau kalau karena kondisi tertentu tidak mungkin baginya menghadap ke arah yang benar. [1] SUMBER BERITA ASBAB AL-NUZUL Sumber pengetahuan tentang asbab al-nuzul diperoleh dari penuturan para Sahabat Nabi. Nilai berita itu sendiri sama dengan nilai berita-berita lain yang menyangkut Nabi dan Kerasulan Beliau, yaitu berita-berita Hadist. Karena itu bersangkut pula persoalan kuat dan lemahnya berita itu, shahih dan dha'if; serta otentik dan palsunya. Semua ini menjadi wewenang cabang ilmu kritik hadits (ilmu tajrih dan ta'dil) para ahli. Dan seperti halnya persoalan hadits pada umumnya, penuturan atau berita tentang suatu sebab turunnya wahyu tertentu juga dapat beraneka ragam, sejalan dengan keaneka ragaman sumber berita. Maka tidak perlu lagi ditegaskan bahwa informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap kritis. Sebagai misal ialah berita tentang sebab turunnya firman yang dikutip di atas. Berdasarkan penuturan Jabil ibn 'Abd-Allah, al-Wahidi al-Nisaburi menerangkan tentang adanya beberapa versi lain tentang sebab turunnya firman terrsebut, sehingga implikasinya juga dapat menyangkut beberapa situasi yang berbeda. Pertama, berdasarkan penuturan Abd 'l-Lah ibn 'Umar, seseorang boleh melakukan shalat sunnah kemanapun di atas kendaraannya. Tapi firman itu juga menegaskan bahwa sembahyang menghadap kemanapun dalam keadaan darurat, apalagi jika sembahyang itu bukan sembahyang wajib, melainkan sunnah, tidaklah menjadi persoalan. Sebab yang penting ialah nilai shalat itu sendiri sebagai tindakan mendekatkan diri kepada Allah dan mengasah jiwa untuk lebih bertaqwa kepada-Nya. Menghadap kiblat yang telah ditentukan, yaitu al-Masjid al-Haram di Makkah, sekalipun dalam keadaan normal diwajibkan, tidaklah menyangkut sebenarnya nilai shalat itu. Kiblat itu hanya sebagai lambang orientasi hidup yang benar dan konsisten serta kesatuan orientasi itu antara seluruh umat Islam sedunia. Kita sendiri mengetahui betapa efektifnya simbolisasi kiblat ini, dengan dampak kesamaan yang menakjubkan antara seluruh kaum muslim di muka bumi ini dalam hal peribadatan. Kalangan bukan Islam biasanya merasa heran, mungkin tidak akan dapat mengerti, mengapa terdapat kesamaan yang demikian besar dan jauh diantara seluruh umat Islam di dunia dalam hal shalat dan peribadatan lain. (Dalam agama lain, perbedaan sangat terasa dari sekte ke sekte lain, juga dari bangsa atau negeri ke bangsa atau negeri lain meskipun dari satu sekte). Walaupun kiblat sebagai lambang persatuan dan kesamaan itu demikian pentingnya, namun berdasarkan firman Allah yang menegaskan bahwa kemanapun kita menghadapkan wajah kita maka di sanalah wajah Allah, tidaklah dibenarkan adanya tekanan yang serba mutlak atas kewajiban menghadapkan wajah ke Makkah, sebab tekanan serupa itu akan membawa kepada sikap lebih mementingkan lambang atau simbol daripada isi atau makna. Meskipun lambang dan makna harus ada secara serentak, namun dari ayat suci itu jelas sekali bahwa segi makna adalah lebih penting daripada segi lambang. Seterusnya, pandangan lain, berdasarkan penuturan 'Abd 'l-Lah ibn 'Abbas, ayat suci di atas itu turun berkenaan dengan adanya pertanyaan kepada Nabi, mengapa mereka diperintahkan untuk melakukan shalat jenazah bagi Raja Najasyi (Negus) dari Abessinia (Habasyah, Ethiopia), yang semasa hidupnya (sebagai seorang Kristen) bersembahyang menghadap kiblat yang berbeda dengan kiblat mereka sendiri, kaum Muslim. Najasyi adalah raja Habasyah yang besar sekali jasanya kepada Nabi, kaum muslim dan agama Islam, karena perlindungan yang diberikannya kepada para pengikut Nabi yang berhijrah ke negeri itu untuk menghindar dari penyiksaan kaum musyrik Makkah. Perlakuan yang amat simpatik kepada kaum muslim dan sikapnya yang penuh pengertian kepada ajaran Islam yang menyebabkan turunnya firman Allah yang lain, yang menegaskan bahwa sedekat-dekat umat manusia dalam rasa cintanya kepada kaum muslim ialah "mereka yang berkata, "Kami adalah orang-orang Nasrani" (Q.s. al-Maidah/6:82). Dan Nabi dalam memerintahkan sahabat beliau untuk melakukan shalat jenazah bagi Najasyah menggambarkan raja Habasyah itu sebagai "saudara" kaum beriman. Dari balik pertanyaan sementara Sahabat di atas itu dapat diketahui dengan jelas bahwa sekalipun Najasyi adalah seorang Kristen, namun Nabi memerintahkan mereka berdoa baginya, mengingat jasa-jasanya yang besar itu. Dan firman Allah yang terkait itu, menurut versi penuturan ashab al-nuzul ini, menegaskan bahwa masalah kemanapun orang menghadap dalam sembahyang bukanlah perkara penting. Yang penting ialah sikap batin yang ada dalam dada. Sebab, seperti difirmankan di tempat lain, setiap kelompok manusia mempunyai arah (wijhah) ke mana mereka menghadap atau berorientasi. Dan umat manusia dalam orientasi yang berbeda-beda itu hendaknya berlomba menuju kepada berbagai kebaikan, tanpa terlalu banyak mempersoalkan perbedaan antara mereka. Lengkapnya, firman Allah itu, terjemahnya, kurang lebih adalah demikian: Dan bagi setiap (kelompok manusia) ada arah (wijhah) yang kepadanya kelompok itu menghadap. Maka berlomba-lombalah kamu sekalian untuk berbagai kebaikan. Di (kelompok) manapun kamu berada, Allah akan mengumpulkan kamu semua. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. al-Baqarah/2:148). Jadi firman Allah tentang "timur dan barat" tersebut di atas mempunyai kemungkinan implikasi dan aplikasi yang luas. Versi ketiga tentang sebab turunnya firman itu menyangkut kaum Yahudi Madinah. Menurut penuturan ibn Abi Thalhah, ketika Nabi dengan izin Allah mengubah kiblat sembahyang dari arah Yerusalem menjadi ke arah Makkah, kaum Yahudi bertanya-tanya, mengapa ada perubahan yang mengesankan sikap tidak teguh dalam beragama serupa itu?! Maka firman Allah tersebut dimaksudkan untuk menampik ejekan kaum Yahudi dan menegaskan bahwa perkara arah menghadap dalam sembahyang bukanlah sedemikian prinsipilnya sehingga harus dikaitkan dengan permasalahan nilai keagamaan yang lebih mendalam seperti keteguhan atau konsistensi (istiqamah) sebagai ukuran kesejatian dan kepalsuan. Sebab akhirnya semua penjuru angin, seperti barat dan timur, adalah milik Allah semata, tanpa kelebihan nilai salah satu atas yang lain. [2] Berkenaan dengan masalah itu bahkan turun firman yang menegaskan bahwa kebaikan tidaklah diperoleh hanya menghadapkan muka ke arah timur ataupun barat, melainkan karena hal-hal yang lebih sejati seperti iman kepada Allah yang selalu hadir (omnipresent) dalam hidup manusia sehari-hari, percaya kepada adanya pertanggungjawaban pribadi mutlak di Hari Kemudian (Akhirat), dan berbuat kepada sesama manusia dan makhluk untuk dibawa ke Hadirat Tuhan di Akhirat nanti. Lengkapnya, firman berkenaan dengan masalah kiblat ini, terjemahnya adalah demikian: Bukanlah kebaikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah timur atau barat. Tetapi kebaikan ialah jika orang beriman kepada Allah, Hari Kemudian, para Malaikat, Kitab Suci dan para Nabi; dan jika orang mendermakan hartanya, betapapun cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, yatim piatu, orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, para peminta-minta, guna membebaskan budak; juga jika orang menegakkan sembahyang dan mengeluarkan zakat; serta mereka yang menepati janji jika mereka berjanji, dan tabah dalam menghadapi penderitaan dan kesusahan, serta dalam masa-masa sulit. Mereka itulah orang-orang yang benar (sejati dalam kebaikan), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. (QS. al-Baqarah/2:177). Para ulama telah menuangkan masalah asbab al-nuzul ini dalam berbagai karya ilmiah yang kini menjadi rujukan para ahli. IMPLIKASI ASBAB AL-NUZUL Salah satu masalah yang banyak dibahas oleh para ahli agama, khususnya segi-segi tertentu ajaran agama di bidang hukum, ialah sejauh mana nilai atau ketetapan hukum dalam Islam ditentukan oleh keadaan ruang dan waktu. Para ahli fiqih sepakat bahwa dalam hukum berubah menurut peruhahan zaman dan tempat. Kaidah mereka mengatakan, "Taghayyur al-ahkam bi thagayyur al-zaman wa al-makan" (Perubahan hukum oleh perubahan zaman dan tempat). Tetapi mereka berselisih tentang batas terjauh dibenarkannya perubahan itu. Asbab al-Nuzul menunjukkan banyaknya kasus suatu nilai ajaran atau hukum diwahyukan kepada Nabi dalam kaitannya dengan peristiwa nyata tertentu yang menyangkut. Nabi dan masyarakat Islam di zaman beliau. Telah dikemukakan bahwa adanya nama pribadi Zayd yang tersebutkan dalam al-Qur'an. Suatu peristiwa pribadi, berupa perceraian Zayd ("ibn Muhamad") dari istrinya, Zaynab, telah menjadi titik tolak ditetapkannya suatu hukum Tuhan tentang pembatalan atau, penghentian makna kehukuman (legal significance) praktek pengambilan anak angkat (tanpa memelihara atau mempertahankan adanya informasi tentang, siapa ayah-ibu biologis anak tersebut). Pembatalan ini dipertegas dengan contoh nyata. yaitu dinikahkannya Nabi oleh Allah dengan Zainab, setelah bercerai dari, Zayd, bekas anak angkatnya. Kemudian Zayd-pun tidak lagi menyandang nama "ibn Muhamad" tapi dikembalikan kepada nama aslinya, yaitu "ibn Haritsah." Firman Allah yang menyangkut tentang Zaid dan Zainab itu demikian: Dan ingatlah tatkala engkau (Nabi) berkata kepada dia (Zaid) yang Allah telah karuniakan kebahagiaan dan engkaupun telah pula memberinya kebahagiaan. "Pertahankanlah istrimu (Zainab) dan bertaqwalah kepada Allah, "namun engkau sendiri (Nabi) merahasiakan apa yang ada dalam dirimu yang Allah akan memperlihatkannya, dan engkau (Nabi) takut kepada sesama manusia padahal Allah lebih patut engkau takuti; maka setelah putus Zaid untuk bercerai dari dia (Zainab), agar tidak lagi ada halangan bagi kaum beriman untuk (kawin dengan bekas) istri anak-anak angkat mereka, jika mereka (anak-anak angkat) itu telah putus menceraikan istri-istri mereka. Dan perintah Allah haruslah terlaksana. Tidak sepatutnya bagi Nabi ada perasaan enggan mengenai apa yang diwajibkan Allah kepadanya, sesuai dengan sunnah (hukum) Allah pada mereka yang telah lewat sebelumnya. Dan perintah Allah adalah sesuatu yang sangat pasti. Mereka (yang telah lalu sebelumnya) itu adalah orang-orang yang menyampaikan risalat (pesan-pesan suci) Allah; mereka takut kepada-Nya, dan tidak takut kepada seorangpun selain Allah. Cukuplah Allah sebagai penghitung. Muhamad bukanlah ayah seseorang (tanpa keterkaitan keorangtuaan biologis) di antara kamu, melainkan dia adalah rasul Allah dan Penutup para Nabi. Allah Maha Tahu akan segala sesuatu. (Q.s. al-Ahzab/33:37-40). -------------------------------------------- (bersambung 2/3) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |