Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IV.29. PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG FIQH                (1/4)
Telaah Problematika hukum Islam di Zaman Modern
 
Oleh Nurcholish Madjid
 
Salah satu kesibukan para intelektual Muslim di seluruh  dunia
saat  ini ialah memikirkan bagaimana menerjemahkan nilai-nilai
Islam ke  dalam  perangkat  nyata  kehidupan  modern.  Seorang
Muslim  yang serius tentu menyadari, betapa ia dihadapkan pada
tantangan hidup dalam suatu  masyarakat  modern,  yaitu  suatu
masyarakat  yang notabene merupakan kelanjutan logis, meskipun
melalui proses transmutasi  yang  amat  besar,  dari  berbagai
unsur  tatanan  dan  nilai  hidup yang telah pernah berkembang
sebelumnya, khusus di dunia Islam.  Ilmu  pengetahuan  modern,
misalnya,  dengan  mudah dapat ditelusuri asal-usulnya sebagai
kelanjutan dunia keilmuan Islam yang pernah  berkembang  dalam
masanya  jayanya  yang  "liberal," ketika kaum Muslim terlatih
menghargai suatu temuan pikiran dan keilmuan baru, dan  ketika
wawasan  mereka terbentuk karena semangat kosmopolitanisme dan
universalisme  sejati.  Namun  pada  saat  yang  sama,  karena
tuntutan  imannya,  seorang Muslim "modern" harus tetap berada
dalam pangkuan agamanya dan dijiwai nilai-nilai asasinya.
 
Zaman modern, atau yang menurut Marshall Hodgson  lebih  tepat
dinamakan  "Zaman Teknik" (Technical Age) adalah jelas berbeda
secara mendasar dari zaman agraris sebelumnya.  Padahal  agama
Islam,  sebagaimana  halnya  dengan  agama-agama  besar  lain,
dilahirkan dalam zaman agraris. Seperti baru  saja  disebutkan
di atas, ini tidaklah berarti zaman modern terputus samasekali
dari zaman sebelumnya Justru unsur kontinuitasnya dengan  masa
lalu   sedemikian   rupa   tidak   mungkin  diingkari,  karena
dasar-dasar zaman modern ini pun diletakkan  masa  sebelumnya,
yaitu  di  zaman  agraris. Suatu teori kesejarahan dunia malah
menyebutkan,  zaman   agraris   sebenarnya   telah   mengalami
perkembangan menuju ke arah kompleksitas yang tinggi pada masa
Axial Age  ("Masa  Aksial"  atau  "Sumbu"),  yaitu  masa  yang
terbentang  selama  enam abad sejak abad kedelapan sampai abad
kedua sebelum Nabi 'Isa al-Masih as.  Pada  saat  itu  terjadi
perubahan   asasi   di  mana-mana,  akibat  lepasnya  monopoli
pengetahuan tulis baca  dari  tangan  kelas  pendeta,  menjadi
tersebar  di  antara  berbagai kelompok borjuis, dan karenanya
watak serta kecepatan perkembangan tradisi tulis-baca itu juga
berubah.  Pada  waktu yang sama, keseluruhan tatanan geografis
bagi kegiatan  bermakna  kesejarahan  manusia  juga  mengalami
transformasi,  sebab  saat itu mulai menyebar, meliputi hampir
seluruh belahan bumi. [1] Pada masa itu  dengan  nyata  budaya
manusia mulai berkembang keluar dari inti kawasan Nil-Amudarya
(Mesir-Transoxiana)  yang  menjadi  inti  kawasan  bumi   yang
berpenghuni  dan  berperadaban  (Arab: al-Da'irat al-Ma'murah;
Yunani: Oikoumene, "Daerah Berpenduduk").
 
Zaman Islam adalah zaman "Pasca-Sumbu" (Post-Axial), dan  masa
kejayaan  Islam  merupakan  puncak perkembangan "Zaman Agraria
Berkota" (Agrariante Citied Society), yaitu masyarakat agraris
dengan  ciri  kehidupan  perkotaan  (urbanity)  yang menonjol.
Adalah   dalam   urbanity   itu   --suatu    pola    kehidupan
sosial-ekonomi  yang ditandai tingginya kegiatan ekonomi urban
dan penghargaan kepadanya,  khususnya  perdagangan,  dan  etos
intelektual--  terletak  benang merah kontinuitas antara zaman
modern dengan zaman Islam. Tapi sekali pun zaman  Islam  masih
sepenuhnya  berada  dalam  rangkaian zaman agraris (jadi masih
mempunyai kesinambungan dengan  zaman  sebelumnya),  perubahan
yang  dibawanya  sedemikian  radikal  dan eksplosif, sebanding
dengan  radikal  dan  eksklusif  pembebasan   (futuhat)   yang
dilakukan kaum Muslim, pertama-tama atas kawasan Nil-Amudarya,
kemudian segera meliputi daerah yang lebih luas,  yang  kurang
lebih waktu itu merupakan daerah paling maju di muka bumi.
 
Dengan  flashback di atas, kiranya menjadi jelas, sesungguhnya
peralihan dari masa lalu  yang  agraris-urban  itu,  ke  zaman
modern  sekarang,  ini  tidaklah  terlalu unik dalam pandangan
sejarah umat manusia. Dan disebabkan faktor peranan sejarahnya
sendiri   sebagai  puncak  zaman  agraris  urban,  maka  Islam
memiliki potensi menjadi pewaris yang  paling  beruntung  dari
zaman  modern  ini,  dan  pelanjut serta pengembangnya di masa
depan, karena unsur-unsur asasi zaman modern itu  tidak  asing
bagi  pandangan  hidup  kaum Muslim. Jika kita ambil peristiwa
Inkuisisi Kristen dalam menghadapi ilmu  pengetahuan,  praktis
tidak  ada  hal serupa dalam Islam. Sejarah membuktikan betapa
problematiknya  hubungan  dogma  Kristen  dengan  unsur  pokok
modernitas,  yaitu  ilmu  pengetahuan, dan betapa dalam Islam,
situasi problematik itu dapat dikata tidak  ada  sama  sekali,
bahkan  sebaliknya  sikap  positif  terhadap  ilmu pengatahuan
adalah sui generis atau tiada taranya dalam pandangan hubungan
organiknya yang sejati dengan sistem keimanan.
 
Tapi   sudah   tentu  faktor  kontinuitas  prinsipil  bukanlah
satu-satunya  perkara  yang  membentuk  dan  menentukan  sikap
seseorang  atau  komunitas  dalam  menghadapi perubahan zaman.
Berbagai  pengalaman  historis  yang   lebih   spesifik   pada
bangsa-bangsa  Muslim  dalam interaksinya dengan bangsa-bangsa
Barat, khususnya pengalaman  permusuhan  (antara  lain  karena
titik   singgung   keagamaan  Islam-Kristen  dan  ketetanggaan
geografis Timur Tengah-Eropa)  justru  nampak  menjadi  sumber
problematik bangsa-bangsa Muslim menghadapi perubahan ke zaman
modern, karena adanya asosiasi (yang tidak  seluruhnya  benar)
antara modernisme dan westernisme. Apalagi bangsa-bangsa Barat
itu, ketika melakukan penjajahan  atas  bangsa-bangsa  Muslim,
jelas-jelas  membawa  kenangan pengalaman historis masa lampau
yang penuh permusuhan (antara lain dilambangkan dan dibuktikan
dalam:  bagaimana  para penjajah Spanyol menamakan kaum Muslim
Mindanao  sebagai  "orang-orang  Moro,"   sebagai   kelanjutan
semangat  permusuhan antara orang Spanyol Kristen dengan orang
Spanyol  Muslim  yang  mereka  sebut  "orang  Moro").   Adalah
beberapa  pengalaman  historis  permusuhan  ini,  dan bukannya
faktor  kontinuitas  kultural  di   atas,   yang   menyebabkan
kebanyakan  kaum  Muslim  mengalami kesulitan dalam menghadapi
zaman  modern.  Maka,  misalnya,  Turki  yang  Muslim   sampai
sekarang    masih   menunjukkan   ciri   dunia   ketiga   yang
non-industrial,   sementara   Jepang   yang   Buddhis   justru
memperlihatkan   tanda-tanda   Barat   dalam   beberapa   segi
industrialnya.  Kesulitan  kaum  Muslim   ini   di   antaranya
tercermin  dalam  bagaimana  menangani  masalah reinterpretasi
hukum Islam untuk zaman modern.
 
MASALAH KONTINUITAS DAN PERUBAHAN
 
Kontinuitas yang mengisyaratkan  pertahanan  unsur-unsur  masa
lalu   dan   perubahan   yang   mengandung  makna  penggantian
unsur-unsur masa lalu itu, dengan  sesuatu  yang  lain  dengan
sendirinya   selalu   menimbulkan  kesan  pertentangan:  Tapi,
sebagaimana  setiap  "kesan"  atau   "dugaan"   (dhan)   tidak
selamanya  mengandung  kebenaran,  pengamatan  lebih jauh atas
berbagai peristiwa besar menyimpulkan tidak  adanya  kemestian
pilihan  hitam  putih antara kontinuitas dan perubahan. Betapa
pun  besarnya  suatu  perubahan,  sebagaimana  sedikit  banyak
ditunjukkan  dalam  pembicaraan  di  atas tadi, tetap terdapat
unsur-unsur persambungan tertentu  dengan  masa  lalu.  Justru
tidak  jarang  esensi  nilai  baru dalam suatu masyarakat yang
berubah   itu   memperoleh   pengukuhannya    dan    penguatan
efektifitasnya  karena  mendapatkan  tempat dalam sistem nilai
lama yang lebih luas, atau dapat  diterangkan  dalam  kerangka
nilai  lama yang lebih luas itu. Inilah yang dalam jargon ilmu
sosial mutakhir disebut "modernitas tradisi".
 
Garis argumen itu lebih-lebih tepat, jika  dikenakan  terhadap
Islam  dan  kaum  Muslim  dalam menghadapi zaman modern. Yaitu
bahwa  mereka,  sementara  secara  imperatif  mesti   menerima
kehidupan   modern   (sebagaimana   telah  menjadi  kenyataan,
betapapun    ad    hoc    dan    eclectic-nya    sikap    yang
melatarbelakanginya)  tapi  dapat  bertahan dengan nilai-nilai
keislamannya, dan samasekali tidak perlu meninggalkannya. Jika
hal  ini  dengan  sendirinya menjadi keyakinan seorang Muslim,
para pengamat luar pun mengakui adanya hal yang  sama,  bahkan
sering  dengan  nada  peneguhan  dan  apresiasi. Maka sosiolog
terkenal Ernest Gellner, misalnya, memiliki pandangan  tentang
Islam  dan  kemodernan  yang  mungkin  membuat  seorang Muslim
menjadi lebih percaya diri. Ia katakan:
 
   Hanya Islam yang mampu bertahan sebagai keimanan yang
   serius, yang mengatasi baik tradisi kecil maupun
   Tradisi Besar. Tradisi Besarnya dapat dipermodern
   (modernisable); dan pelaksanaannya dapat disajikan,
   tidak sebagai inovasi ataupun konsesi kepala pihak
   luar, tapi sebaliknya sebagai kelanjutan dan
   penyempurnaan dialog lama dalam Islam... Jadi dalam
   Islam, dan hanya dalam Islam, purifikasi/modernisasi di
   satu pihak, dan penegahan apa yang dianggap suatu ciri
   lokal lama, dapat dilakukan dalam bahasa dan perangkat
   simbol yang satu dan sama. Versi kerakyatan lama
   (seperti praktek kesufian rakyat yang tidak sah atau
   mu'tabarah, misalnya-NM), yang pernah menjadi alas
   dangkal tradisi sentral sekarang menjadi kambing hitam
   yang dibuang, yang dipersalahkan menyebabkan kemunduran
   dan dominasi unsur asing. Karena itu meskipun tidak
   merupakan sumber modernitas, Islam mungkin akan
   ternyata merupakan penerima manfaat modernitas itu.
   Kenyataan bahwa varian sentral, resmi dan "murni" Islam
   bersemangat egaliter dan keilmiahan --sementara hirarki
   dan ekstase (seperti dalam banyak praktek kesufian
   rakyat-NM berkaitan dengan bentuk-bentuknya yang
   bersifat pinggiran senantiasa meluas namun akhirnya
   ditampik- sangat membantu adaptasi Islam ke dunia
   modern. Dalam zaman cita-cita melek huruf universal,
   lapisan sarjana yang terbuka (dalam Islam) dapat
   berkembang sehingga meliputi seluruh masyarakat, dan
   dengan begitu maka cita-cita "protestan" agar semua
   yang beriman mempunyai akses yang sama (kepada kitab
   Suci-NM) akan terlaksana. Egalitarianisme modern
   terpenuhi. Sementara Protestantisme Eropa hanya
   menyiapkan lahan untuk nasionalisme melalui perluasan
   melek-huruf, potensi Islam yang hangkit kembali untuk
   skripturalisme egaliter dapat secara aktual menyatu
   dengan nasionalisme, sehingga orang tidak lagi mudah
   mengatakan mana salah satu dari keduanya itu yang
   paling bermanfaat bagi yang lain.[2]
 
Karena observasi  dan  kesimpulannya  itu,  maka  tidak  heran
menurut  Ernest  Gellner, Islam adalah agama yang paling dekat
dengan modernitas dibanding agama Yahudi  dan  Kristen.  Yaitu
dipandang  dari  sudut  semangat  Islam tentang universalisme,
skripturalisme,    egalitarianisme    spiritual,     perluasan
partisipasi   dalam   masyarakat   suci  yang  meliputi  semua
anggotanya tanpa kecuali, dan sistematisasi rasional kehidupan
sosial.[3]
 
Pendapat  tentang  tidak  perlunya  kaum  Muslim  menanggalkan
nilai-nilai dasar keislaman mereka  untuk  dapat  masuk  zaman
modern  itu  juga  dikemukakan  Maxime  Rodinson, juga seorang
sosiolog  (Perancis)  kontemporer.  Dalam   pembukaan   sebuah
bukunya,  Rodinson mempertanyakan, "Sejauh mana orang (Muslim)
harus pergi dalam proses mencapai kemakmuran yang  menggiurkan
dari   negara-negara  industri?  Haruskah  seseorang  berjalan
sedemikian jauhnya sehingga mengorbankan berbagai  nilai  yang
secara  khusus  diyakini,  yaitu yang membentuk ciri tertentu,
kepribadian  dan  identitas  kelompok  orang  bersangkutan?"4.
Jawaban  terhadap pertanyaan ini diberikan pada akhir bukunya,
yang oleh Leonard Binder diringkaskan,  bahwa  tidaklah  perlu
meninggalkan  sesuatu  apapun  yang  secara  esensial bersifat
Islam, karena Islam sesungguhnya tidak  ada  kaitannya  dengan
lingkungan  ekonomi  negeri-negeri  Muslim.  Karena  itu Islam
tidak  dapat  dipandang   sebagai   bertanggung   jawab   atas
kemunduran  kaum Muslim. Dalam perkataan lain, seseorang dapat
berjalan sejauh yang ia perlukan untuk  dapat  mengejar  Barat
tanpa  mengorbankan  apapun  yang esensial bagi Islam dan yang
menjadi bagian integral dari identitas kaum Muslim. [5]
 
--------------------------------------------   (bersambung 2/4)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team