| |
|
IV.29. PANDANGAN KONTEMPORER TENTANG FIQH (2/4) Telaah Problematika hukum Islam di Zaman Modern Oleh Nurcholish Madjid MASALAH PESAN DASAR ISLAM Ketika mengatakan Islam tidak mempunyai sangkut paut dengan milieu ekonomi negeri-negeri Muslim sehingga tidak dapat dipandang, apalagi dituduh, sebagai penyebab kemunduran negeri-negeri itu, Rodinson menunjuk kepada kenyataan betapa masyarakat-masyarakat Islam sepanjang sejarahnya menunjukkan gejala menganut pola ekonomi yang bermacam-macam dalam zaman yang berbeda atau tempat yang berbeda, maka jika kemajuan adalah suatu "Kapitalisme" (sebagaimana orang cenderung melihat buktinya melalui runtuhnya sistem sosialis atau komunis) maka Islam dapat saja bersatu dengan kapitalisme itu, tanpa kehilangan sifatnya yang paling mendasar. Tesis Rodinson ini terbuka untuk dipersoalkan, namun kesimpulannya yang tegas bahwa kaum Muslim tidak perlu meninggalkan hal-hal yang secara esensial bersifat Islam mendorong orang bertanya: Lalu apa wujud dari hal-hal yang secara esensial bersifat Islam itu? Jawabnya adalah, hal-hal yang secara esensial bersifat Islam itu dengan sendirinya adalah "pesan dasar" (risalah asasiyyah) Islam itu sendiri. Tapi sementara frase "pesan dasar" Islam terdengar familiar bagi setiap yang pernah membahas masalah-masalah keislaman, namun wujud nyatanya sendiri sering masih merupakan problem. Meskipun problem di sini agaknya lebih banyak berurusan dengan soal kemampuan ekspresif, bukan substantif (orang tahu atau merasa tahu substansinya, tapi gagal mengungkapkannya). Namun realita menunjukkan adanya kesulitan yang nyata. Karena suatu "pesan dasar" mengacu pada suatu nilai yang amat tinggi, karena itu ada risiko abstraksi yang tinggi pula, maka dalam suatu masyarakat yang diliputi paham serba simbol (akibat pendidikan yang rata-rata rendah dan cara berpikir yang sederhana) "pesan dasar" itu sering terkacaukan dengan hal-hal simbolik dan formal yang mewadahinya. Beragama bagi seseorang tentu tidak akan bermakna, jika ia tidak mampu menangkap pesan dasar itu, namun dalam kenyataan kita masih menemui diri kita, sering tidak begitu jelas mengenai pesan dasar itu. Tanpa berarti dukungan untuk salah satu dari Ahl al-Dhawahir dan Ahl al-Bawathin yang buah pikiran mereka sempat ikut mewarnai polemik-polemik dalam khazanah literatur Islam klasik, tidak bisa disangkal, kecenderungan banyak orang menilai kadar keimanan orang lain hanya dari segi hal-hal simbolik dan formal, merupakan indikasi kesulitan menangkap pesan dasar agama seperti sering dikuatirkan sementara Ahl al-Bawathin tentang orientasi keagamaan Ahl al-Dhawahir. Dalam Kitab Suci al-Qur'an banyak diungkapkan tentang adanya perjanjian, persetujuan dan kesepakatan antara Tuhan dan manusia, yang dinyatakan dalam kata-kata Arab sebagai abd, 'aqd dan mitsaq. Sebuah firman suci menyebutkan adanya perjanjian primordial antara Tuhan dan manusia, bahwa manusia tidak akan menyembah setan dan harus hanya menyembah Allah semata.[6]. Artinya, manusia harus menempuh hidup bermoral, demi perkenan Tuhan (ridha Allah), dan harus menjauh dari penyembahan kepada setan, dengan berbuat hal-hal tidak bermoral (fahsya', munkar). Perjanjian primordial itu juga diungkapkan dalam bahasa metaforik yang sangat ilustratif, demikian: Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengambil (menciptakan) dari anak cucu Adam, yaitu dari tulang belakang mereka, keturunan mereka dan Dia minta kesaksian mereka atau diri mereka sendiri: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka mergawab: "Benar, kami bersaksi!" (Demikian itu supaya kami tidak) berkata di hari Kiamat: "Sesungguhnya kami lupa akan hal itu." [7] Perjanjian itu pula yang terjadi antara Tuhan dan Adam, namun kemudian Adam melupakannya dan tergoda setan, yang membuatnya diusir dari surga.[8] Karena itu manusia diharapkan memenuhi perjanjiannya dengan Tuhan, agar Tuhan pun memenuhi perjanjian-Nya dengan manusia.[9] Maka kaum beriman sejati ialah mereka yang memenuhi janjinya, dengan Allah dan tidak membatalkan kesepakatan antara dia dan Allah itu.[l0] Sebaliknya orang itu kafir, jika menyalahi perjanjiannya dengan Allah setelah perjanjian itu menjadi kesepakatan.[11] Muhammad Asad, dengan mengutip Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf, menerangkan, perjanjian (Inggris: covenant) antara Allah dan manusia itu, sebagaimana telah disinggung, adalah suatu istilah umum yang mencakup kewajiban-kewajiban moral dan sosial yang timbul akibat iman itu, terhadap sesama manusia. [12]. Asad juga memperjelas makna perjanjian dengan Allah (ahd Allah), yang dalam bahasa Inggris secara konvensional diterjemahkan dengan God's covenant, sebagai merujuk pada kewajiban moral manusia untuk menggunakan karunia bawaan lahirnya --intelektual dan fisik-- dalam suatu cara yang ditetapkan Ailah untuknya, yang antara lain akan membawa manusia kepada kesadaran akan dirinya berhadapan dengan Sang Maha Pencipta.[13]. Kesadaran Ketuhanan (Rabbaniyyah) yang mendasari akhlaq mulia itulah inti pesan dasar agama lewat para Rasul,[l4] dan pokok perjanjian Tuhan dengan semua Nabi: "Ingatlah ketika Kami (Tuhan) mengambil dari para Nabi perjanjian mereka, juga dari engkau (Muhammad) dan dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan telah Kami ambil dari mereka perjanjian yang berat." [16] Pemenuhan perjanjian manusia dengan Tuhannya itu melahirkan sikap hidup bertaqwa, yaitu sikap hidup yang penuh pertimbangan moral, atas dasar keinsyafan mendalam, bahwa Allah adalah Maha Hadir, yang selamanya menyertai dan mengawasi tingkah laku setiap orang. [16] Maka al-Qur'an pun disebutkan sebagai "petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa." [l7] Dengan al-Qur'an itu, Allah membimbing siapa saja yang mengikuti keridlaan-Nya ke berbagai jalan keselamatan.[18] Dan Nabi saw pun bersabda bahwa "Tiada suatu apapun yang dalam timbangannya lebih berat daripada keluhuran budi." [l9] Dan bahwa "Yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga ialah taqwa kepada Allah dan budi pekerti luhur." [20] Pesan dasar itu, sebagai pesan Tuhan kepada semua Nabi dan Rasul --dan melalui mereka kepada seluruh ummat manusia membentuk makna "generik" agama, yaitu makna dasar dan universal sebelum suatu agama terlembagakan menjadi bentuk-bentuk formal dan parokial. Karena itu, sepanjang penjelasan al-Qur'an, agama yang benar ialah agama yang memiliki makna generik itu, yang titik tolaknya ialah sikap pasrah dan berdamai dengan Allah (dalam bahasa Arab disebut Islam).[21] Maka, misalnya, al-Qur'an menolak klaim kaum Yahudi atau Nasrani bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Yahudi atau Nasrani, sebab dalam pandangan Kitab Suci al-Qur'an keyahudian dan kenasranian adalah bentuk-bentuk pelembagaan formal dan bahkan parokial dari suatu agama generik, yang sesungguhnya tidak memerlukannya. Yang pertama (Yahudi) merupakan pelembagaan berdasarkan kebangsaan (atau malah kesukuan, yaitu suku keturunan Yehuda, anak pertama Israil atau Ya'qub), sedangkan yang kedua (Nasrani) konon berdasarkan nama tempat (Nazaret). Demikian pula bentuk-bentuk pelembagaan formal dan parokial lainnya, ditolak Kitab Suci, sebab agama yang benar secara asli haruslah tidak bernama kecuali dengan nama yang menggambarkan semangat makna generik kebenaran itu sendiri, yaitu, dalam bahasa Arab, Islam (Sikap Pasrah dan Damai kepada Allah). Karena itu al-Qur'an menegaskan, Ibrahim adalah seorang hanif; yaitu seorang yang karena bimbingan kesucian dirinya sendiri (fithrah) memelihara kecenderungan dan pemihakan yang murni kepada yang benar dan baik secara generik, asli dan sejati. Juga ditegaskan, Ibrahim adalah seorang Muslim (yang pasrah dan damai kepada Allah).[22] Demikianlah Nabi Ibrahim, dan demikian pula dengan semua Nabi, termasuk Musa dan Isa (Yesus, setelah lewat proses pengalihan nama itu dalam bahasa Yunani), semuanya adalah tokoh-tokoh yang muslim dan mengajarkan islam [23]. (sekalipun tidak berarti para Nabi itu secara harfiah menggunakan perkataan Arab yang berbunyi m-u-s-l-i-m dan i-s-l-a-m, karena justru kebanyakan para Nabi bukanlah orang-orang Arab). Mereka adalah muslim dan mengajarkan islam dalam arti, semuanya bersikap pasrah dan berdamai dengan Allah dan membawa pesan dasar yang sama, yaitu agar manusia tunduk patuh kepada-Nya melalui sikap pasrah dan berdamai, dan dengan jalan menempuh hidup bermoral. PRINSIP KEADILAN (SOSIAL) Pada pokoknya pesan dasar ini, yang meliputi perjanjian dengan Allah ('ahd, aqd, mitsaq di atas), sikap pasrah kepada-Nya (islam) dan kesadaran akan kehadiran-Nya dalam hidup (taqwa, rabbaniyyah), adalah universal, berlaku untuk semua ummat manusia, dan tidak terbatasi oleh pelembagaan formal agama-agama. Sebagai hukum dasar dari Tuhan, pesan dasar ini, bahkan meliputi seluruh alam raya ciptaan-Nya ini, di mana manusia hanyalah salah satu bagian saja. Ketika pesan dasar itu menuntut terjemahannya dalam tindakan sosial nyata, yang menyangkut masalah pengaturan tata hidup manusia dalam hubungan mereka satu sama lain dalam masyarakat, maka tidak ada manifestasinya yang lebih penting daripada nilai keadilan. Karena itu tindakan menegakkan keadilan ditegaskan sebagai nilai yang paling mendekati taqwa.[24] Dan sebagai wujud terpenting pemenuhan perjanjian dengan Allah dan pelaksanaan pesan dasar agama, maka ditegaskan, menegakkan keadilan dalam masyarakat adalah amanat Allah kepada manusia.[25] Keadilan yang dalam bahasa Kitab Suci dinyatakan dalam kata-kata 'adl, qisth, wasth (semuanya memiliki makna dasar "tengah" atau "jujur") adalah wujud lain hukum keseimbangan (mizan) yang telah ditetapkan Allah untuk seluruh jagad raya. Sesungguhnya, dari sudut pandangan kosmologi al-Qur'an, keadilan adalah hukum primer seluruh jagad raya. Maka keadilan adalah aturan kosmis (cosmic order), yang pelanggaran terhadapnya dapat dilukiskan secara metaforik sebagai mengganggu atau "mengguncangkann tatanan jagad raya. Inilah yang antara lain dapat kita ambil pengertiannya dari firman Allah: Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, dan Dia tetapkan (hukum) keseimbangan. Hendaknya kamu tidak melanggar (hukum) keseimbangan itu. Dan tegakkanlah olehmu semua akan neraca dengan jujur, dan jangan kamu bertindak merugikan (hukum) keseimbangan.[26] Beberapa tafsir dan terjemah konvensional menerangkan, yang dimaksud dengan mizan dalam firman itu ialah neraca yang dikenal. Tentu saja tidak terlalu salah. Tapi dalam kaitannya dengan penciptaan Allah akan jagad raya, yang dalam firman ini dilambangkan sebagai penciptaan langit yang "ditinggikan" oleh-Nya, maka lebih tepat memandang perkataan mizan ini, dalam makna kosmologisnya, yaitu seluruh jagad raya ini berjalan mengikuti hukum keseimbangan. Bahkan neraca yang kita kenal dan tampak bekerja secara "sederhana" itu pun adalah suatu gejala kosmis, karena keseimbangan dalam sebuah neraca adalah kelanjutan dari hukum keseimbangan yang lebih luas (yang menguasai seluruh alam), misalnya, melalui hukum gravitasi. Dari sudut pandangan inilah kita memahami mengapa banyak para 'ulama', dalam hal ini khususnya Ibn Taymiyyah, sedemikian tegas dan jauh berpegang pada prinsip keadilan itu sebagai ideatum tatanan sosial manusia yang akan menjamin kekokohan dan kelangsungannya. Sedemikian rupa jauhnya pandangan Ibn Taymiyyah, sehingga ia menguatkan pandangan bahwa "Sesungguhnya Allah akan menegakkan negeri yang adil meskipun kafir, dan tidak akan menegakkan negeri yang zalim meskipun Islam," dan "Dunia akan bertahan bersama keadilan dan kekafiran, dan tidak akan bertahan lama bersama kezaliman dan Islamn" [27] Dengan pernyataannya yang tidak biasa itu, Ibn Taymiyyah hanya bermaksud agar ummat Islam tidak taken for granted dalam hal keislaman. Keislaman yang formal saja tidak akan membawa keselamatan di dunia ini, khususnya dalam arti sosial, jika tidak disertai keadilan. Sebaliknya, meskipun suatu masyarakat adalah kafir namun menegakkan keadilan di dunia ini, maka masyarakat itu akan tegak, didukung Allah. Sebab, sama dengan yang telah dijelaskan di atas, keadilan adalah "tatanan segala sesuatu" (nidham-u kull-i syay) [28], yakni, suatu cosmic order yang menjadi hukum Tuhan, atau Sunnatullah yang tidak tergantung kepada keinginan seseorang (obyektif) dan berlaku universal, di segala tempat dan masa, sehingga tidak akan berubah (immutable). -------------------------------------------- (bersambung 3/4) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |