| |
|
III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA (1/3) oleh Jalaluddin Rakhmat Pada waktu Nabi saw sakit keras, beliau bersabda, "Bawa kepadaku Kitab agar kalian tidak akan sesat sesudahku." Umar berkata. "Sakit keras menguasai diri. Pada kita ada kitab Allah itu cukup buat kita." Orang-orang pun bertikai dan ramailah pembicaraan. Nabi saw berkata, "Enyahlah kalian dari sini. Tidak pantas bertikai di hadapanku." Peristiwa ini konon terjadi pada hari Kamis, sehingga Ibnu Abbas yang meriwayatkan hadits di atas menyebutkannya sebagai tragedi hari Kamis. "Alangkah tragisnya kejadian yang menghalangi Nabi saw. untuk menuliskan wasiatnya," kata Ibnu Abbas. Kita tidak tahu mengapa Ibnu Abbas menyebutkan sebagai tragedi. Apakah ia menyesalkan pertikaian sahabat di hadapan Nabi saw. yang sedang udzur, sehingga Nabi saw. murka kepada mereka? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar yang menuduh perintah Nabi saw itu dilakukan tidak sadar (Dalam riwayat lain, Umar mengatakan Nabi saw. mengigau!), sehingga tidak perlu dipatuhi? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar bahwa al-Qur'an saja sudah cukup, tidak perlu lagi ada petunjuk Rasulullah saw di luar itu? Ibnu Abbas sebagai ulama salaf boleh menyesalkan peristiwa itu, tapi para ulama salaf tidak. Mereka bahkan memuji kebijakan Umar, yang mempunyai pandangan jauh ke depan. Kata al-Qurthubi, "Memang yang diperintah harus segera menjalankan perintah. Tapi Umar beserta kelompok sahabat lainnya melihat perintah itu bukan wajib; hanya pengarahan pada cara yang terbaik. Mereka tidak ingin membebani Nabi saw dengan sesuatu yang memberatkannya dalam keadaan (sakit) seperti itu. Apalagi ada firman Allah "Tidak ada yang Kami lewatkan dalam Kitab ini sedikit pun," dan al-Qur'an itu menjelaskan segala sesuatu. Karena itu Umar berkata, "Cukuplah Kitab Allah bagi kita." Kata al-Khithabi, "Sesungguhnya Umar berpendapat seperti itu, karena sekiranya Nabi saw. menetapkan sesuatu yang menghilangkan ikhtilaf (di kalangan kaum muslim), tentu tak ada gunanya lagi ulama dan ijtihad pun tidak perlu lagi." Kata Ibn al-Jawzi. "Umar kuatir sekiranya Nabi saw. menuliskan dalam keadaan sakit, kelak orang-orang munafik akan mencari jalan untuk mengecam apa yang dituliskan itu." Apapun komentar para ulama, perkataan Umar, "Kitab Allah ...," telah memulai problematika sunnah atau hadits yang berada di luar al-Qur'an. Betulkah al-Qur'an saja sudah cukup? Atau bisakah kita menyimpulkan bahwa hanya al-Qur'an sajalah karya ilahi, sedangkan sunnah atau hadits adalah produk pemikiran manusia; dan karena itu tidak mengikat? Sikap Umar terhadap hadist adalah sikap Abu Bakar juga. Al-Dzahabi, ketika menulis biografi Abu Bakar, mengisahkan satu peristiwa ketika Abu Bakar mengumpulkan orang banyak setelah Nabi saw wafat. Abu Bakar berkata: "Kamu sekalian meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah saw, sehingga kalian bertengkar. Nanti orang-orang sesudah kalian akan lebih keras lagi bertikai. Janganlah kalian meriwayatkan hadits sedikit pun dari Rasulullah saw. Bila ada orang yang meminta kalian (meriwayatkan hadits), katakan di antara kita dan Anda ada Kitab Allah, halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkan apa yang diharamkannya." Baik Abu Bakar maupun Umar, menegaskan sikap mereka dengan tindakan. Mereka melarang periwayatan hadits dengan keras. Aisyah bercerita, "Ayahku telah menghimpun 500 hadits dari Nabi. Suatu pagi beliau datang kepadaku dan berkata, "Bawa hadits-hadits itu kepadaku. Saya pun membawakan untukmu." Ia lalu membakarnya dan berkata: Aku takut setelah aku mati, meninggalkan hadits-hadits itu kepadamu." Kemenakan Aisyah, Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar, berkata, "Hadits-hadits makin bertambah banyak pada zaman Umar. Kemudian beliau memerintahkannya untuk dikumpulkan. Setelah hadits-hadits itu terkumpul, Umar meletakkannya di atas bara api, sembari berkata: Tidak boleh ada matsnat seperti matsnat Ahli Kitab." Abu Bakar dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasuk al-Khulafa' al-Rasyidun. Tidak heran bila sebagian besar sahabat, juga sebagian besar tokoh tabi'un seperti Sa'id ibn Jubair, al-Nakha'i, al-Hasan bin Abu al-Hasan, Sa'id bin Musayyab tidak mau menuliskan hadits. Situasi seperti ini berlangsung sampai paruh terakhir abad kedua Hijrah, ketika beberapa orang mulai merintis pengumpulan dan penulisan hadits. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Makkah, Malik di Madinah. Al-Awza'i di Syria, Sa'id bin Abu 'Urwah di Basrah, Mu'ammar di Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah. Selama rentang waktu yang cukup panjang itu, kepada apa Umar merujuk selain al-Qur'an? Ketika mereka ingin mengetahui cara-cara shalat yang tidak diuraikan al-Qur'an atau menghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan Islam, apa yang mereka jadikan acuan? Fazlur Rahman menjawab, mula-mula umat Islam merujuk kepada sunnah, tapi sesudah itu mereka melihat hadits. Sekarang, dalam rangka membuka pintu ijtihad, kita harus kembali lagi kepada sunnah. Saya melihat perkembangan sebaliknya: dari hadits ke sunnah. Untuk membuka pintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang kepada kedua konsep itu. DARI SUNNAH KE HADITS Beberapa orang orientalis berpendapat, sunnah adalah praktek kaum muslim pada zaman awal. Sebagian kandungan sunnah berasal dari kebiasaan Jahiliyah (pra-Islam) yang dilestarikan dalam Islam. Sebagian lagi hanyalah interpretasi para ahli hukum Islam terhadap sunnah yang ada, di tambah unsur-unsur yang berasal dari kebudayaan Yahudi, Romawi, dan Persia. Ketika gerakan hadits muncul pada Abad 3 Hijrah, seluruh sunnah yang ada, dinisbahkan kepada Nabi saw, dan disebut "Sunnah Nabi." Fazlur Rahman mengkoreksi pandangan orientalis ini dengan menegaskan: Sekarang kami akan menunjukkan (1) Bahwa sementara kisah perkembangan Sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan kandungannya, tapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya yang menyatakan sunnah Nabi tetap merupakan konsep yang memiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam hingga masa kini, (2) Bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak; (3) Bahwa konsep sunnah sesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tapi juga penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut; (4) Bahwa sunnah dalam pengertian terakhir ini, sama luasnya dengan ijma' yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus-menerus; dan yang terakhir sekali (6) Bahwa setelah gerakan pemurnian Hadits yang besar-besaran, hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma' menjadi rusak. TELADAN NABI SAW | PRAKTEK PARA SAHABAT | PENAFSIRAN INDIVIDUAL | OPINIO GENERALIS | OPINIO PUBLICA (SUNNAH) | FORMALISASI SUNNAH (HADITS) Jadi, para sahabat memperhatikan perilaku Nabi saw. sebagai teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Nabi saw. wafat, berkembanglah penafsiran individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free market of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah, Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah. Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim, berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr al-majtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain daripada opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua Abad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku. -------------------------------------------- (bersambung 2/3) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |