Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA            (2/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat
 
Mungkin  banyak ulama akan tercengang membaca pandangan Fazlur
Rahman tentang hadits, seperti saya kutip di bawah ini:
 
Berulang kali telah kami katakan --mungkin sampai  membosankan
sebagian  pembaca--  bahwa  walaupun  landasannya  yang  utama
adalah  teladan  Nabi,  hadits  merupakan  hasil  karya   dari
generasi-generasi  muslim. Hadits adalah keseluruhan aphorisme
yang diformulasikan dan  dikemukakan  seolah-olah  dari  Nabi,
oleh  kaum  muslimin  sendiri;  walaupun secara historis tidak
terlepas dari Nabi. Sifatnya yang aphoristik menunjukkan bahwa
hadits  tersebut  tidak  bersifat historis. Secara lebih tepat
hadits adalah komentar yang monumental mengenai Nabi oleh umat
muslim di masa lampau.
 
Walhasil,  setelah  kaum  muslim  awal secara berangsur-angsur
sepakat menerima sunnah, mereka menisbatkan sunnah itu  kepada
Nabi  saw. Kemudian, mereka merumuskan sunnah itu dalam bentuk
verbal. Inilah yang disebut hadits. Bila sunnah adalah  proses
kreatif yang terus menerus, hadits adalah pembakuan yang kaku.
Ketika gerakan hadits unggul,  ijma'  (yang  merupakan  opinio
publica)  dan ijtihad (yang merupakan proses interpretasi umat
terhadap ajaran Islam) menjadi tersisihkan.
 
DARI HADITS KE SUNNAH
 
Sepakat dengan Fazlur  Rahman,  saya  juga  berpendapat  bahwa
perilaku  Nabi  saw,  selama  hidupnya  terus-menerus  menjadi
perhatian   para   sahabat.   Mereka   dengan    kadar    yang
bermacam-macam   berusaha  membentuk  tingkah  lakunya  sesuai
dengan Nabi  saw.  Nabi  saw.  berulangkali  menyuruh  sahabat
menirunya.  Dalam  hal  shalat,  Nabi saw. berkata, "Shalatlah
kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji,  ia
berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw.
menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti,  "Nikah
itu  sunnahku.  Siapa  yang  berpaling  dari sunnahku ia tidak
termasuk golonganku."
 
Namun, berlawanan dengan tesis Fazlur Rahman, saya berpendapat
bahwa yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslim adalah
hadits. Banyak  riwayat  menunjukkan  perhatian  para  sahabat
untuk  menghapal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang
dilakukan Nabi saw. Ada di antara mereka  yang  menuliskannya.
Misalnya  Ali,  seperti diriwayatkan Bukhari, mempunyai mushaf
di luar al-Qur'an, yang menghimpun  keputusan-keputusan  hukum
yang  pernah  dibuat  Rasulullah saw. Abdullah bin Amr bin Ash
juga dilaporkan rajin mencatat apa yang didengarnya dari Nabi.
 
Dalam peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam  pengantar  di
atas,  kita  melihat  'Aisyah  juga  menyimpan catatan-catatan
hadits  (mungkin  ditulis  Abu  Bakar).  Umar  sendiri  pernah
mengumpulkan   catatan-catatan   hadits  yang  berserakan  dan
membakarnya.
 
Kita  tidak  akan  mengupas  mengapa  dua   khalifah   pertama
mengadakan gerakan "penghilangan" hadits. Yang jelas, pengaruh
kedua sahabat besar ini terasa sampai lebih  dari  satu  abad.
Keengganan  mencatat  hadits,  menurut  Rasm  Ja'farian, telah
mengakibatkan hal-hal  yang  merugikan  umat  Islam.  Pertama,
hilangnya  sejumlah  besar  hadits.  Urwah  bin  Zubayr pernah
berkata, "Dulu aku menulis sejumlah besar hadits, kemudian aku
hapuskan  semuanya.  Sekarang  aku  berpikir, alangkah baiknya
kalau aku tidak menghancurkan hadits-hadist itu. Aku  bersedia
memberikan  seluruh  anakku  dan  hartaku  untuk memperolehnya
kembali."
 
Kedua, terbukanya peluang pada pemalsuan hadits. Abu  al-Abbas
al-Hanbaly  menulis,  "Salah satu penyebab timbulnya perbedaan
pendapat  di  antara  para  ulama  adalah  hadits-hadits   dan
teks-teks  yang  kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah
yang bertanggung jawab atas kejadian ini, karena para  sahabat
meminta  izin  untuk  menulis  hadits  tapi  Umar mencegahnya.
Seandainya  para  sahabat  menuliskan  apa-apa   yang   pernah
didengarnya  dari  Rasulullah  saw, sunnah akan tercatat tidak
lebih dari satu rantai saja (dalam  penyampaian)  antara  Nabi
saw dan umat sesudahnya."
 
Ketiga,  periwayatan dengan makna. Karena orang hanya menerima
hadits secara lisan,  ketika  menyampaian  hadits  itu  mereka
hanya  menyampaikan  maknanya.  Dalam  rangkaian  periwayatan,
redaksinya dapat berubah-ubah.  Karena  makna  adalah  masalah
persepsi,  masalah  penafsiran, maka redaksi hadits berkembang
sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.
 
Keempat,  terjadilah  perbedaan  pendapat.  Bersamaan   dengan
perbedaan  pendapat  ini,  lahirlah  akibat  yang kelima, yang
mengandalkan ra'yu. Karena sejumlah hadits hilang, orang-orang
mencari  petunjuk  dari  ra'yu-nya.  Dalam  pasar  ra'yu  yang
"bebas"  (dalam  kenyataannya,  pasar  gagasan  umumnya  tidak
bebas)  sebagian  ra'yu menjadi dominan. Ra'yu dominan inilah,
menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah.  Sebuah  ra'yu
menjadi  dominan  boleh  jadi karena proses kreatif dan adanya
demokrasi; boleh jadi juga karena dipaksakan  penguasa.  Tidak
mungkin   kita   memberi  contoh-contohnya  secara  terperinci
disini.
 
Dalam semua kejadian ini, dominasi ra'yu sangat ditopang  oleh
hilangnya catatan-catatan tertulis. Untuk memperparah keadaan,
tidak adanya rujukan tertulis menyebabkan banyak orang  secara
bebas  membuat hadits untuk kepentingan politis, ekonomi, atau
sosiologis. Abu Rayyah  menulis,  "Ketika  hadits-hadits  Nabi
saw.   tidak   dituliskan  dan  para  sahabat  tidak  berupaya
mengumpulkannya, pintu periwayatan hadits palsu  terbuka  baik
untuk  orang  taat  maupun  orang sesat, yang meriwayatkan apa
saja yang mereka inginkan tanpa takut kepada siapapun."
 
Pendeknya, hilangnya catatan-catatan hadits telah  menimbulkan
dominasi  ra'yu,  yang  kemudian  disebut  sunnah.  Panjangnya
rangkaian periwayatan hadits  telah  memungkinkan  orang-orang
menambahkan  kesimpulan  dan  pendapatnya  pada hadits-hadits.
Tidak  mengherankan,  bila   Fazlur   Rahman   sampai   kepada
kesimpulan,  hadits  adalah  produk pemikiran kaum muslim awal
untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan
sebagai   produk   para   ahli   hukum  Islam:  yang  kemudian
dinisbahkan kepada Nabi saw. Jadi,  mula-mula  muncul  hadits.
Kemudian,   orang   berusaha  menghambat  periwayatan  hadits,
terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang  lebih
merujuk   pada  tema  perilaku  yang  hidup  di  tengah-tengah
masyarakat,   daripada   pada   teks.   Ketika   hadits-hadits
dihidupkan  kembali,  melalui  kegiatan para pengumpul hadits,
kesulitan menguji hadits menjadi sangat besar.
 
Ulum al-Hadits mungkin membantu kita mengatasi  kesulitan  ini
dengan menambah kesulitan baru. Kesulitan bahkan muncul ketika
kita mendefinisikan hadits dan  sunnah.  Bila  saya  mendaftar
kesulitan  yang  disebut  terakhir,  saya hanya ingin mengajak
pembaca merekonstruksi kembali pandangannya tentang hadits dan
sunnah.
 
MENCARI DEFINISI HADITS DAN SUNNAH
 
Pada suatu hari Marwan bin Hakam berkhotbah di Masjid Madinah.
Waktu itu ia  menjadi  Gubernur  Madinah  yang  ditunjuk  oleh
Mu'awiyah.   Ia  berkata.  "Sesungguhuya  Allah  ta'ala  telah
memperlihatkan  kepada  Amir-u  'l-Mu'minin   yakni   Muawiyah
pandangan  yang baik tentang Yazid, anaknya. Ia ingin menunjuk
orang sebagai  khalifah.  Jadi  ia  ingin  melanjutkan  sunnah
Abubakar dan Umar. Abd-u 'l-Rahman ibn Abu Bakar berkata, "Ini
sunnah Heraklius dan Kaisar. Demi Allah, Abubakar tidak pernah
menunjuk  salah seorang anaknya atau salah seorang keluarganya
untuk  menjadi  khalifah.  Tidak  lain  Muawiyah  hanya  ingin
memberikan kasih-sayang dan kehormatan kepada anaknya." Marwan
marah dan  menyuruh  agar  Abd-u  'l-Rahman  ditangkap.  Abd-u
'l-Rahman  lari  ke kamar saudaranya, Aisyah Ummu 'l-Mukminin.
Marwan melanjutkan khotbahnya,  "Tentang  orang  inilah  turun
ayat  yang  berkata  pada  orang  tuanya 'cis' bagimu berdua."
Ucapan itu sampai kepada Aisyah. Ia berkata, "Marwan berdusta.
Marwan  berdusta.  Demi  Allah,  bukanlah ayat itu turun untuk
dia. Bila aku mau, aku dapat menyebutkan kepada siapa ayat ini
turun.  Tapi Rasulullah saw. telah melaknat ayahmu ketika kamu
masih berada di sulbinya.  Sesungguhnya  kamu  adalah  tetesan
dari laknat Allah."
 
Hadits  ini  diriwayatkan al-Nasa'i, Ibn Mundzir, al-Hakim dan
al-Hakim  menshahihkannya  (lihat  Mustadrak  al-Hakim  4:481;
Tafsir  al-Qurthubi  16:197;  Tafsir  Ibn Katsir 4:159; Tafsir
Al-Fakhr al-Razi  7:491,  Tafsir  al-dur  al-Mansur  6:41  dan
kitab-kitab  tafsir  lainnya). Bukhari meriwayatkan hadits ini
dengan singkat. Ia  membuang  laknat  Rasulullah  saw.  kepada
Marwan  dan menyamarkan ucapan Abd-u 'l Rahman. Inilah riwayat
Bukhari,
 
Marwan di Hijaz sebagai gubernur yang  diangkat  Muawiyah.  Ia
berkhotbah  dan  menyebut Yazid ibn Muawiyah supaya ia dibaiat
sesudah bapakuya.  Maka  Abdurrahman  mengatakan  sesuatu.  Ia
berkata, "Tangkaplah dia." Ia masuk ke rumah Aisyah dan mereka
tidak   berhasil   menangkapnya   Kemudian   Marwan   berkata,
"Sesungguhnya  dia  inilah  yang  tentang dia Allah menurunkan
ayat-ayat dan orang yang berkata  kepada  kedua  orang  tuanya
'cis'  bagimu  berdua,  apakah  kalian  menjanjikan padaku dan
seterusnya. Aisyah  berkata  dari  balik  hijab:  Allah  tidak
menurunkan  ayat  apapun tentang kami kecuali Allah menurunkan
ayat untuk membersihkanku.
 
Hadits ini adalah hadits No. 4826 dalam  hitungan  Ibnu  Hajar
al-Asqalani  (lihat  Fath  al-Bari  8:576).  Yang menarik kita
bukanlah apa yang  dibuang  Bukhari,  tetapi  "perang  hadits"
antara  dua orang sahabat --Marwan ibn Hakam dan 'Aisyah. Yang
pertama  menyebutkan,  asbab  al-nuzul   ayat   al-Ahqaf   itu
berkenaan  dengan  'Abd-u  'l-Rahman ibn Abu Bakar. Yang kedua
menegaskan bahwa yang pertama berdusta, karena ayat itu  turun
berkenaan  dengan  orang lain. 'Aisyah malah menegaskan dengan
hadits yang menyatakan bahwa Marwan adalah orang yang dilaknat
Allah dan Rasul-Nya.
 
--------------------------------------------  (bersambung 3/3)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team