|
|
|
VI.50. HAK-HAK INDIVIDU DAN SOSIAL DI INDONESIA (1/4) Oleh Mochtar Pabottinggi Dalam Spheres of Justice (1983), Michael Walzer dengan tepat menyatakan bahwa semua distribusi barang atau hak adalah adil atau tidak adil menurut makna sosial yang diberikan kepada barang/hak tersebut. Yang hendak ditekankan oleh Walzer di sini ialah kenyataan bahwa rasa, prinsip dan praktek keadilan berbeda-beda menurut sejarah, kebudayaan, atau kosmologi masing-masing masyarakat. Dengan demikian rasa, prinsip, dan praktek keadilan selamanya bersifat partikular dan karena itu juga plural. Partikularitas dan pluralitas persepsi tentang keadilan telah dikemukakan lebih dahulu oleh Barrington Moore dalam dua studinya yang terkenal Social Origins of Disctatorship and Democracy (1966) dan Injustice: The Social Bases of Obedience and Revolt (1978). Menurut pandangan Moore partikularitas itulah yang membuat suatu pilihan atau tindakan individual/ sosial menyangkut keadilan berlaku atau tidak berlaku, bukan universalitasnya. Sekedar untuk contoh, bisa kita kemukakan hak-hak dan kedudukan kaum wanita Asia Tenggara paling tidak sekitar abad kelimabelas hingga abad ketujuhbelas, yakni ketika di Eropa mereka masih dipandang sebagai "porselen" atau ketika di India dan Cina mereka masih diperlakukan tak lebih dari "barang" suami. Menurut penelitian komprehensif yang dilakukan oleh Anthony Reid, wanita Asia Tenggara dalam kurun itu sudah diakui sederajat dengan kaum pria. Sama dengan kaum prianya, wanita Asia Tenggara di masa itu adalah pcmangku hak-milik, pelaku merdeka dari kegiatan-kegiatan ekonomi, dan penuntut atau pembela di pengadilan. Wanita juga tampil sebagai duta-duta niaga dan politik ke negeri-negeri asing, mediator yang disegani dengan alam roh, dan penguasa atau srikandi- srikandi tangguh di medan perang. Tak kurang pentingnya, wanita adalah pasangan yang memiliki hak setara (kalau tidak bahkan lebih) dengan suaminya dalam hal hubungan intim suami-isteri. Yang membuat kedudukan wanita Asia Tenggara lebih tinggi dibanding dengan kaum wanita sezamannya bahkan di negara-negara yang ketika itu sudah dipandang sebagai pelopor kemajuan peradaban manusia memang tidak ditentukan oleh anggapan universalitas apa pun tentang pentingnya suatu masyarakat menghargai hak-hak wanitanya. Itu ditentukan oleh evolusi suatu proses budaya yang unik yang telah berlangsung di kawasan tersebut selama beberapa abad sebelumnya. Diperkirakan juga adanya pengaruh kepercayaan- kepercayaan terdahulu yang filsafat hidupnya menyetarakan lingga dan yoni. Bahkan di Inggris pada abad kesembilanbelas, kaum majikan masih sangat kuat menganut apa yang disebut Ellen Jordan sebagai androsentrisme. Tak ada tempat bagi wanita pada sebagian besar industri baru atau yang telah ditata kembali secara radikal ... Pada industri-industri besar, yang dikelola secara terpusat dan sangat padat modal, telah dikembangkan tehnik-tehnik mutakhir yang tidak didasarkan pada tenaga kerja keluarga, sehingga kaum majikan, yang tidak terhambat oleh sistem pembagian kerja atas dasar jenis kelamin, hanya memperhitungkan kaum pria tatkala merinci tugas pekerjaan serta menambah angkatan kerjanya. Khusus mengenai negeri kita, partikularitas dan keragaman itu tergambar juga dalam urusan penguasaan atas harta benda. Orang Minang mengutamakan kaum wanitanya dalam soal pemilikan harta-pusaka dan satria-satria Bugis-Makasar mengadakan perjanjian terhormat dengan rajanya untuk saling menghormati hak masing-masiing dalam pemilikan harta benda. Bandingkan dengan apa yang disebut "konsep kekuasaan Jawa" (suatu penamaan yang keliru mengasumsikan Jawa sebagai tunggal) yang cenderung menghimpun segala kemegahan dan kekayaan di tangan raja, dari mana lahirlah ungkapan rakyat tentang harta bendanya sebagai "Nek awan duweke sang nata, nek wengi duweke dursila." Memang cukup berdasar jika dikatakan bahwa besarnya efektivitas suatu rasa atau prinsip keadilan ditentukan oleh partikularitas mengandaikan adanya suatu resiprokalitas budaya yang tinggi di kalangan bangsa/masyarakat pendukungnya. Sebagaimana ditekankan oleh Walzer, "People who do share a common life have much stronger duties". Tapi seperti keniscayaan yang sudah dialami oleh pusat-pusat pemerintahan pantai di Asia Tenggara pada masa kurun niaga dalam hal aturan perkawinan antar-bangsa, kini kita semakin gencar berhadapan dengan tuntutan akan perlunya rasa, prinsip, dan praktek keadilan yang makin lama makin bersifat inklusif. Maka, anggapan bahwa kekuatan suatu rasa atau prinsip keadilan terletak pada partikularitasnya sesungguhnya sudah puluhan tahun mendapat tandingan. Mungkin itu bermula dengan The Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Wilson tentang hak setiap bangsa untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Mungkin juga ini bermula dengan ditanggalkannya hak-hak feodal raja dan bangkitnya kiprah demokrasi parlementer di Inggris pada dekade-dekade awal abad kesembilanbelas. Mungkin juga yang paling berperan justru adalah agama-agama dunia yang mencanangkan universalitas kebenaran dan karena itu juga universalitas keadilan. Dengan perkembangan ini semakin banyak orang, terutama pada dekade keempat dan kelima abad ini, yang menyanggah pentingnya peranan partikularitas suatu sistem nilai tentang keadilan. Bangsa-bangsa terjajah semuanya meneriakkan keharusan dikuburkannya kaidah ganda yang didukung oleh dalih-dalih etnografis/orientalis dan menuntut hak serta perlakuan yang sama dengan bangsa-bangsa penjajah. Anggapan lama seolah-olah dibalikkan sama sekali. Yang benar ialah semakin universal suatu sistem nilai, semakin kuat ia. Maka kemudian mencullah teori-teori atau gagasan-gagasan tentang keadilan yang dipandang dapat berlaku secara lintas bangsa dan lintas budaya. Untuk itulah John Rawls, misalnya, menulis A Theory of Justice (1971) yang banyak dirujuk tapi juga dikritik orang. Tapi bangkitnya lusinan negara baru sekitar pertengahan abad keduapuluh itu di mana panji-panji universalitas keadilan dijunjung tinggi segera disusul oleh dekade-dekade kekecewaan (disillusionment) dan pengkhianatan terhadap citra universalitas keadilan itu. Ternyata besar sekali kesenjangan antara nilai-nilai universal dengan praktek-praktek partikular yang berlaku di negara-negara yang baru merdeka tersebut. Maka penghargaan atas nilai-nilai universal pun kembali surut. Studi-studi etnografis kembali memperoleh apresiasi yang tinggi. Di dalam telaah ilmu politik mengenai Indonesia, misalnya, kita dapati Harry Benda menyerang asumsi dasar Herbert Feith ketika yang terakhir ini bicara tentang demokrasi konstitusional di Indonesia. Pada hakikatnya Benda menyatakan bahwa demokrasi konsitusional bukanlah "barang" milik bersama, dan bahwa Indonesia punya ideal dan sistem politik partikularnya sendiri. Juga kita alami buku klasik George Kahin Nationalism and Revolution in Indoensia secara telak diatasi pamornya oleh rangkaian karya-karya Clifford Geertz dan Benedict Anderson yang semuanya menekankan partikularitas kebudayaan dan politik. Kembali universalitas menjadi pecundang dan partikularitas menjadi pedoman. Sekali lagi faktor-faktor kebudayaan mengambil tempat sentral dalam telaah-telaah politik dan ekonomi di mana juga terkandung telaah-telaah, implisit maupun eksplisit, mengenai keadilan. Dalam perspektif inilah kita harus menempatkan penilaian sementara kalangan intelektual bangsa kita terhadap Pancasila. Falsafah negara kita ini dipandang tak lebih dari penjajaran (juxtapositio) dari segenap nilai-nilai yang secara universal baik. Untuk mengutip ucapan seseorang bekas tokoh mahasiswa, "Ideal Pancasila sama dengan perlunya memiliki satu kepala, dua tangan dan dua kaki". Tapi ini adalah suatu pemahaman yang sangat keliru tentang falsafah negara kita itu. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila bukanlah semata-mata kumpulan nilai-nilai universal. Lebih dari universalitasnya justru tumbuh dari suatu pengalaman yang sangat partikular, yang mau tak mau menggiring bangsa kita kepada pengakuan akan luhur dan esensialnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kerinduan akan nilai-nilai yang terkandung didalamnya memang adalah suatu kerinduan universal. Tapi pengalaman eksploitasi dalam skala seperti yang dialami oleh bangsa Indonesia, terutama di pulau Jawa, adalah sesuatu yang sangat partikular. Professor Gonggrip memberi kita suatu ilustrasi yang sangat hidup dari pengalaman eksploitasi yang amat partikular itu: "Tak ada tanaman yang begitu banyak menimbulkan kesengsaraan dibanding dengan indigo. Ketika itu secara gegabah ditanam di Priangan tahun 1830, hanya malapetakalah yang terjadi. Rakyat dari sejumlah desa di kecamatan Simpur dipaksa bekerja di ladang-ladang indigo yang jauh dari rumah mereka selama tujuh bulan terus menerus, dengan keharusan menyediakan makanan mereka sendiri. Tatkala mereka pulang dijumpainya sawah-sawah mereka sudah dalam keadaan hancur sama sekali. Lima ribu orang dan tiga ribu ekor kerbau dipaksa mengolah tanah untuk memasok sebuah pabrik yang baru saja didirikan. Ketika kerja paksa itu rampung, bibit indigo (yang sedianya ditanam di situ) belum juga tiba. Dua bulan kemudian, ketika rerumputan dan ilalang kembali menutupi pesawahan mereka, barulah kapal-kapal tiba dari Batavõa. Lelaki, perempuan, dan anak-anak kembali dikerahkan buat menyiapkan tanah pesawahan itu lagi. Tidaklah aneh jika seseorang perempuan hamil melahirkan di situ selagi membanting tulang ..." Ini barulah satu contoh. Tapi di situ sudah tergambar suatu apropriasi tujuh kali lipat atas hak-hak kaum tani di Jawa - suatu eksplotasi yang bahkan jauh melampaui eksploitasi pada kapitalisme primitif di Barat sendiri. Yang diapropriaskan adalah hak kaum tani atas lahan pertaniannya, hak kaum tani akan biaya reproduksi tenaganya, hak kaum tani akan produk tenaga dan tanahnya, hak kaum tani untuk memasarkan produknya secara yang lebih menguntungkan mereka, hak kaum tani atas penghasilan sah mereka sendiri yang ditelan begitu oleh berbagai cuke dan diensten yang tiada putus-putusnya diminta baik oleh Belanda maupun oleh kalangan penguasa Pribumi, serta hak kaum tani atas integritas kebudayaan mereka, yang didistorsikan guna memperlancar proses eksploitasi Belanda. -------------------------------------------- (bersambung 2/4) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |