Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

VI.50. HAK MILIK DAN KETIMPANGAN SOSIAL                  (3/8)
       Telaah Sejarah dan Kerasulan
 
Oleh Masdar F. Mas'udi
 
Apakah kesimpulan yang demikian itu jujur, tidak akan  dibahas
di  sini.  Yang jelas, pola persekutuan antara tokoh keagamaan
di satu pihak dengan kalangan kaya dan penguasa di lain  pihak
merupakan  fenomena  sosial yang umum terjadi di kalangan umat
agama mana saja. Pada abad pertengahan di Eropa,  persekutuan,
bahkan kemanunggalan, antara Gereja dengan kalangan tuan tanah
dan elite penguasanya  merupakan  fakta  sejarah  yang  sangat
kesohor  kisahnya.  Sebagaimana di kalangan umat Kristiani dan
umat agama lain, hal itu masih berlangsung sampai sekarang. Di
kalangan  umat  Islam  pun demikian. Sampai dengan waktu belum
lama ini, para  pelajar  Islam  sebagai  calon-calon  pemimpin
agama,  baik  yang  dididik  di  perguruan  modern  maupun  di
perguruan tradisional, obsesinya yang pertama adalah bagaimana
bisa   menjalin   persekutuan  dengan  kalangan  berharta  dan
penguasa. Kalau perlu, persekutuan itu bisa  dikukuhkan  dalam
bentuk  ikatan  perkawinan,  seperti  demikian  dalihnya  Nabi
sendiri telah  mencontohkannya.  Dan  sampai  batas  tertentu,
keluarga  kaya  pun cenderung menyimpan harapan agar anak atau
keluarga dekatnya bisa dijodohkan dengan seorang  lelaki  yang
bakal tumbuh sebagai pemuka agama yang dianutnya.
 
Dari  sudut  formal  keagamaan,  persekutuan  tokoh  keagamaan
dengan kalangan hartawan, tidaklah  mengapa.  Tapi  pengalaman
menunjukkan  bahwa  persekutuan  serupa, cenderung menumpulkan
kepekaan pihak agama  sendiri  terhadap  fenomena  ketimpangan
sosial  yang  terjadi  antara  golongan kaya dan golongan yang
tidak  punya.  Yang  demikian  ini  nampak  jelas  pada  sikap
ambivalensi  masyarakat beragama, tak terkecuali Islam, bahkan
yang hidup di lingkungan tradisional  atau  semi  tradisional.
Untuk  yang  tersebut  terakhir ini, umumnya mereka menjadikan
kitab-kitab sufistik, yang cenderung mencela  kekayaan  materi
(duniawi), sebagai rujukan tingkah laku lahir maupun batinnya.
[7] Akan tetapi pada  saat  yang  sama,  mereka  tidak  merasa
risih,  bahkan berbangga, dengan tingkat kehidupan materi yang
melimpah, jauh di atas rata-rata masyarakat sekitarnya.
 
Memang,  buat  mereka  selaku  penguasa  ajaran,   tidak   ada
kesulitan  untuk  mencari  kontra  pembenaran, baik dari sudut
pandangan  syari'at  maupun  hakikat.  Dari  sudut   syari'at,
misalnya,  mereka  dapat  mengatakan  bahwa  sebaik-baik harta
adalah yang ada di tangan sabda  Rasulullah.  Misalnya  hadits
yang  mengatakan  bahwa  sebaik-baik  harta adalah yang ada di
tangan orang salih. Sementara, di mata sendiri maupun di  mata
umatnya,  orang  yang  paling  berhak  disebut dengan predikat
kesalihan, tentulah para tokoh keagamaan itu sendiri.
 
Oleh sebab  itu  tidak  mengherankan  jika  di  kalangan  umat
berkembang anggapan bahwa kekayaan materi di tangan para tokoh
keagamaan secara substansial berbeda dengan yang ada di tangan
pihak  lainnya. Jika kekayaan pada pihak tersebut terakhir ini
merupakan cobaan dan fitnah, maka  kekayaan  di  tangan  pihak
tersebut  pertama  adalah  anugrah dan rahmat. Itulah mengapa,
tidak seorang dari kalangan umat pernah  memperlihatkan  sikap
kritisnya terhadap kehidupan pemimpin keagamaan yang kaya, dan
pergaulannya pun selalu dengan  orang-orang  kaya,  pada  saat
umatnya  sendiri  hidupnya  penuh  sengsara. Sebuah ayat dalam
al-Qur'an tidak jarang dikutip sebagai pembenar atas kenyataan
itu,   "Barang  siapa  bertakwa  kepada  Allah,  niscaya  akan
diberikan kepadanya jalan keluar (dari setiap  kesulitan)  dan
dilimpahkan  kepadanya  rezeki  yang di luar perhitungan" (QS.
al-Thalaq: 3).  Dalam  konteks  ini,  kata-kata  rezeki  tidak
mereka  tafsiri  lain,  kecuali  anugrah kekayaan materi dalam
jumlah yang berlebih.
 
Sesungguhnyalah, persekutuan tokoh keagamaan  dengan  kalangan
kaya   tidak   bisa   dinilai   buruk  dalam  dirinya.  Agama,
bagaimanapun, merupakan rahmat ketuhanan untuk segenap manusia
tak peduli miskin maupun kaya. Maka pertanyaannya bukan apakah
persekutuan antara tokoh keagamaan dengan  kalangan  kaya  itu
boleh  atau tidak, melainkan untuk keuntungan siapa sebenarnya
persekutuan itu harus dibina.  Dalam  pada  itu,  yang  paling
diuntungkan  dari  persekutuan  mereka  tampaknya  bukan  yang
paling berhak menerimanya, yakni orang-orang kecil, lemah  dan
tak  berdaya.  Keuntungan  itu, sadar atau tidak, lebih banyak
diperuntukkan buat kepentingan para  tokoh  keagamaan  sendiri
dan,  tentu  saja,  sekutunya  -  orang-orang  kaya  itu tadi.
Bagaimana  dengan  kalangan  masyarakat  (umat)  yang   lemah,
agaknya tidak banyak yang dapat mereka harapkan. Sejak semula,
persekutuan  tokoh  keagamaan  dengan  kaum  hartawan  rupanya
memang  bukan  dimaksud  untuk  memecahkan derita mereka. Dan,
bisa dipastikan, sebagai umat yang menerima peta kebenaran dan
keutamaan   hidup   dari  para  tokoh  keagamaannya,  kalangan
masyarakat lemah sendiri tidak pernah  punya  harapan  seperti
itu.  Agama,  demikian  keyakinan  umat  sesuai  piwulang para
ulamanya tidak  ada  urusan  apa  pun  dengan  kemiskinan  dan
ketimpangan sosial yang diderita umatnya. [8]
 
BELAJAR DARI PENGALAMAN
 
Namun  demikian,  sejak  persoalan  kemiskinan dan ketimpangan
sosial mulai memasuki sejarah pergumulan  masyarakat  manusia,
bukan  tidak  pernah ada upaya untuk mengatasinya. Banyak cara
dan upaya telah dicoba yang  secara  garis  besarnya  berkisar
pada  tiga  pendekatan. Sebagai pengalaman sejarah, kita patut
menyimaknya dengan apresiasi dan sekaligus  kritis  agar  bisa
ditemukan  hikmat dan pelajaran daripadanya. Ketiga pendekatan
yang   dimaksud   adalah:    pendekatan    pasivisme-religius,
pendekatan sekularisme-kapitalis, dan materialisme-komunis.
 
Berangkat  dari  paradigma  fatalistis  yang  mengatakan bahwa
segala sesuatu telah ditentukan langsung oleh Tuhan,  penganut
pendekatan  pertama,  pasivisme-religius,  pada dasarnya tidak
begitu  peduli  dengan  soal  kemiskinan  ataupun  ketimpangan
sosial.  Ada  atau  tidak  adanya  kemiskinan  dan ketimpangan
sosial bukanlah urusan manusia, tapi sepenuhnya urusan  Tuhan.
Pandangan  sosial  seperti  ini  dapat ditemukan dalam tradisi
teologi umat mana saja, termasuk di dalamnya  umat  Islam.  Di
kalangan muslim, pandangan ini dicarikan pembenarannya, antara
lain, dari ayat  al-Qur'an  yang  dipahami  secara  terpotong,
seperti  berikut,  "Nahnu  qasamn-a baina-hum ma'isyata-hum fi
'l-hayat-i  'l-dunya  wa  rafa'na  ba'dla-hum  fauqa  ba'dl-in
darajat - Kamilah yang menentukan penghidupan mereka, dan Kami
tinggikan sebagian mereka atas  sebagian  yang  lain  beberapa
derajat"  (QS.  al-Zukhruf:  32).  Juga  dalam  ayat lain yang
dikatakan, "Wa  'l-Lah-u  fadldlala  ba'dlakum  'ala  ba'dl-in
firriqi  -  Tuhan  telah  melebihkan rezeki sebagian kamu atas
sebagian yang lain" (QS. al-Nahl: 71). Kaya (dengan  pemilikan
yang  banyak)  atau  miskin  (pemilikan  yang sedikit), adalah
wujud dari kehendak Tuhan. Meskipun mengacu  pada  ayat  suci,
pandangan  ini  mengandung kelemahan yang mendasar. Lahir dari
pemahaman  yang  kesalahan  karena  mengambil   pesan   secara
sepotong. Pandangan tersebut sekaligus mengandung pengingkaran
yang sewenang-wenang terhadap idealisme al-Qur'an agar manusia
selalu  aktif mengupayakan keadilan dalam kehidupan sosialnya.
Orang-orang yang bertanggung jawab  atas  berkembangnya  paham
pasivisme-keagamaan  ini  tidak  pernah  mau memahami struktur
ayat-ayat dalam al-Qur'an; mana bagian yang berbicara  tentang
das  sein  (realitas  yang  ada,  selalu  fakta) dan mana yang
berbicara  perihal  das   sollen   (realitas   ideal   sebagai
cita-cita). Bagian ayat kategori pertama berfungsi membeberkan
realitas yang menjadi tantangan ikhtiyar kekhalifatan manusia.
Sementara,   bagian   ayat   kategori  kedua  berfungsi  untuk
menegaskan tujuan, ke mana  seharusnya  ikhtiyar  manusia  itu
ditambatkan.  Pemahaman  ajaran secara doktriner, seperti yang
ditebarkan di kalangan umat selama ini,  cenderung  meletakkan
semua  ayat  sebagai  acuan  tentang  "das  sollen",  apa yang
seharusnya ada.
 
Karena  apa  yang  senyatanya  ada  (realitis  kini)  dipahami
sebagai   yang   seharusnya  ada,  maka  yang  terjadi  adalah
kemandegan sejarah. Prinsip  aktivisme  yang  ditekankan  oleh
al-Qur'an  kemudian  ditukar  balik  dengan prinsip pasivisme.
Akibatnya  ayat-ayat  al-Qur'an  yang   mendesakkan   ikhtiyar
mengubah   nasib   dan   memperbaiki   kehidupan   dilumpuhkan
fungsinya. Seperti  desakan  ikhtiyar  dalam  surat  al-Ma'un,
"Ara'ait-a   'l-ladziy   yukadzdzib-u   bi  'l-din,  fadzalika
'l-lazdiy  yadu'u  'l-yatim  wa  la  yakhudldlu  'ala  tha'ami
'l-miskin -Tahukah kamu siapakah orang yang mendustakan agama?
Dialah  orang  yang  menghardik  anak  yatim  dan  tidak   mau
mengusahakan  secara  serius persoalan makan (kebutuhan dasar)
bagi orang-orang miskin."
 
Semua orang Islam, tokoh maupun awam, mengenal baik  ayat-ayat
ini.  Dalam  setiap  waktu  hampir selalu dibaca. Akan tetapi,
sepanjang sejarahnya yang lebih dari  sepuluh  abad,  ternyata
belum  juga berhasil menggerakkan umat Islam merumuskan konsep
yang tangguh untuk mengatasi derita kemiskinan dan ketimpangan
sosial yang diprihatinkannya.
 
Seperti  diungkapkan  oleh  bagian ayat QS. al-Zukhruf: 32 dan
QS. al-Nahl: 71 tersebut di atas, dalam kehidupan nyata memang
selalu  saja  ada  perbedaan antara penghidupan seseorang satu
dengan yang lain.  Di  samping  ada  lapisan  masyarakat  yang
berpenghidupan  sebagai  petani  atau  banpol,  ada  juga yang
berpenghidupan  sebagai  direktur,  pengusaha  atau  jenderal.
Dengan  bakat serta keterampilan yang berbeda-beda penghasilan
seseorang  dan  derajat  sosialnya   cenderung   tidak   sama.
Mengemukakan  adanya  pelapisan sosial, karena perbedaan peran
sosial, adalah  fungsi  obyektivitas  al-Qur'an.  Obyektivitas
adalah  prinsip  keilmuan  untuk  melihat realitas sebagaimana
adanya. Tapi obyektivitas keilmuan bukanlah segalanya.  Merasa
puas  dan  kemudian  berhenti hanya pada obyektivitas keilmuan
adalah kedhaliman yang nyata. Obyektivitas keilmuan hanya akan
punya,  makna  jika  diikuti  dengan segera oleh subyektivitas
keagamaan (religious consciousness), yang  tidak  lain  adalah
pemihakan untuk melakukan perubahan.
 
Demikianlah,  pemaparan  al-Qur'an  atas fakta obyektif berupa
perbedaan peran dan kemudian derajat sosial  dalam  masyarakat
manusia  segera  disusuli, pada ayat yang sama, dengan desakan
agar hal itu  harus  diwaspadai  dengan  sikap  kritis  jangan
sampai  berdampak pada terbentuknya hubungan eksploitatif oleh
mereka yang di atas terhadap saudaranya  yang  ada  di  bawah.
Jika  hubungan  eksploitatif itu terjadi - dan nyatanya memang
sering terjadi hendaklah  orang  yang  membaca  QS.  al-Qur'an
berusaha   mentransformasikannya  pada  pola  hubungan  saling
melayani (sebagaimana ditegaskan oleh bagian  akhir  dari  QS.
al-Zukhruf:  32),  di mana yang kuat bisa dipaksa, kalau tidak
mau secara sukarela, mengembalikan  kelebihan  yang  diperoleh
bagi kepentingan orang lain yang kekurangan dan lemah (seperti
yang ditegaskan oleh bagian akhir dari QS. al-Nahl: 71).
 
--------------------------------------------  (bersambung 4/8)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team