| |
|
III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (1/2) oleh Masdar F. Mas'udi Dengan mengatakan innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat (amal ditentukan niyatnya), maka sesungguhnya Nabi Muhammad saw sedang berteori bagaimana suatu amal, harus dikritik atau, dalam bahasa manajemennya, dievaluasi. Niat, seperti diketahui, adalah kesadaran tentang tujuan suatu amal dilakukan. Dan amal berdimensi ganda, pertama yang bersifat ke dalam dan personal, dan kedua yang bersifat keluar dan sosial. Tujuan amal yang bersifat "kedalam" landasannya adalah "iman," sedang tujuan yang bersifat "ke luar" landasannya adalah "realitas kehidupan." Syahdan, kritik amal atas dasar niat yang bersifat kedalam sama sekali bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan dan pribadi yang bersangkutan, dan waktunya, menurut agama, bukan di sini, di dunia ini, tapi di sana, di alam akhirat nanti. Yang ada pada wewenang kita, sebagai makhluk sosial, adalah kritik atau evaluasi amal dari sudut niat (tujuan)nya yang bersifat "keluar," yaitu mengapa dan dalam konteks sosial yang bagaimana suatu amal telah dilakukan. Dalam hubungan ini innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat akan berarti, amal itu diikat dan ditentukan oleh konteksnya, oleh realitas kehidupan yang mendorong kehadirannya. Tak ada suatu amal yang muncul begitu saja lepas dari kaitan sebab akibat yang melingkupinya. Dan hanya dalam kaitan sebab akibat itulah suatu amal bisa dinilai, dikritik atau dievaluasi. Dengan menerima dasar penilaian atau kritik yang demikian ini, maka bisa dikemukakan beberapa acuan sebagai berikut. Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah, justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga bersifat relatif dan berubah. Kedua, bobot dan relevansi suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang diresponsnya. Ketiga, karena setiap amal adalah respons terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan relevansi pemikiran yang diresponinya. Sementara itu, realitas yang menjadi pijakan amal pemikiran, dapat kita kelompokkan dalam dua katagori, yaitu realitas teoritik dan realitas empirik. Yang pertama adalah realitas yang terdapat dalam dunia ide yang dipikirkan. Sedang yang kedua adalah realitas yang ada dalam dunia kenyataan yang dirasakan. Memang, keduanya tak harus selalu terpisah; yang satu terhadap yang lain bisa saling pengaruh mempengaruhi. Tapi yang saya maksudkan adalah, sebagian amal pemikiran benar-benar lahir dengan titik tolak keprihatinan pada realitas teoritis (baru kemudian, jika dirasa perlu, bergerak ke realitas empiris), sedang sebagian amal pemikiran yang lain, titik tolaknya adalah keprihatinan terhadap realitas empiris (baru kemudian realitas yang bersifat teoritis). Pemikiran kategori pertama, karena titik tolak keprihatinannya pada realitas abstrak dan umumnya terbatas hanya pada concern kalangan tertentu, maka dampak sosialnya pun cenderung abstrak dan terbatas pada kalangan tertentu saja. Sebaliknya, pemikiran yang lahir dari keprihatinan pada realitas riil yang dirasakan orang banyak, dengan sendirinya, juga akan cenderung pada hal-hal yang konkrit yang bisa mengena pada kepentingan orang banyak. Demikianlah, pemikiran katagori pertama, akan cenderung bercorak elitis, sedang yang kedua akan bercorak populis. PEMIKIRAN TEOLOGI MU'TAZILAH Fakta sejarah, bahwa pemikiran-pemikiran keagamaan (fiqh atau teologi) sebagai amal yang ditawarkan para pemikir Muslim sejak abad pertengahan adalah lahir dari suatu pola keprihatinan yang serupa, yaitu bagaimana ajaran agama bisa dipahami umat secara benar. (Suatu pemikiran yang jelas berangkat dari keprihatinan teoritik). Seperti selalu diulang-ulang para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abad pertama Hijriah, telah terjadi dua perkembangan yang sangat signifikan dalam sejarah umat Islam. Pertama, kenyataan bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh jadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, dimana satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain, tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini yang terjadi dua kali, dikenal dengan sebutan fitnah kubra, "cobaan besar." Perkembangan kedua adalah masuknya bangsa Parsi dan sekitarnya kedalam Islam berikut pemikiran dan keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam benak masing-masing. Dengan kedua perkembangan itulah muncul pertanyaan-pertanyaan teologis. Bagaimana hukumnya orang Islam yang melakukan dosa besar (seperti membunuh sesama Muslim tanpa hak). Siapakah yang sesungguhnya bertanggungjawab atas tindakan manusia: dirinyakah, atau kekuatan-kekuatan itu, dan dalam kontrol siapakah ia. Menurut ajaran Islam, ada dua jenis balasan sejati di akhirat nanti, yaitu balasan sorga dan balasan neraka. Berkaitan dengan tanggungjawab perbuatan manusia tadi, faktor apakah yang memastikan orang memperoleh penyelamatan Tuhan dengan masuk sorga, apakah faktor itu adalah "amal perbuatannya" ataukah "rahmat Tuhan" semata yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pertanyaan ini muncul -besar kemungkinan karena menurut doktrin Kristiani yang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkungan umat Islam- "penyelamatan Tuhan" itu tak ada sangkut pautnya dengan amal perbuatan manusia, tapi semata-mata atas dasar "rahmat" yang disediakan melalui pintu tunggalnya: Yesus. Syahdan, dari keprihatinan atas pertanyaan-pertanyaan inilah para pemikir Islam ketika itu merasa ditantang merumuskan jawabannya yang benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang shahih. Karuan saja, karena ajaran-ajaran Islam itu pun harus diolah terlebih dahulu melalui subyektifitas masing-masing pemikir, maka jawaban pun hadir dalam corak dan pendekatan yang demikian berbeda-beda. Masing-masing jawaban tumbuh sebagai aliran pemikiran yang berdiri sendiri. Tersebutlah, di kemudian hari nama-nama: Khawarij, Murjiah, Mu'tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Asy'ariyah, Maturidiya, Khasywiyah dan sebagainya. Yang menarik adalah bahwa masing-masing aliran ini, karena merasa berpedoman pada pegangan mutlak yang ada di tangan, mengaku sebagai satu-satunya yang benar, yang lainnya adalah salah. Berbicara tentang awal mula sejarah Muitazilah, orang akan selalu merujuk pada episoda diskusi Hasan al-Bashri (w. 110 H/ 728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan para muridnya diseputar tema Muslim yes, Muslim no yang baru pada taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah termasuk orang dalam (in group, minna) atau termasuk orang luar (out group, minhum). Maka terhadap pertanyaan yang terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu adalah jawaban-jawaban berikut. Pertama, dengan melakukan dosa besar, seorang Muslim telah terpental dari kelompok (komunitas) alias menjadi "kafir" dan karena itu -sesuai dengan hukum riddah- halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan Khawarij. Jawaban kedua mengatakan bahwa Muslim yang melakukan dosa besar masih tetap tergolong Muslim, dan bagaimana dengan dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di hari akhirat nanti. Jawaban inilah yang agaknya dicondongi mayoritas umat Islam yang disebut sebagai kelompok Murji'ah (artinya: menangguhkan). Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasa harus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderungan umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "di dalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benar jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya yang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasan berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!. Kata i'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yang hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada Washil bin Atha dan segenap pengikutnya. Tapi kalau pertanyaan tentang "status pendosa besar" ini banyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaan tentang "kebebasan manusia," terasa lebih bersifat murni teologis. Dan sebenarnya pada kisaran inilah Mu'tazilah benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi yang tersendiri diantara aliran-aliran teologi yang lain. Berbeda dengan aliran teologi lainnya, Mu'tazilah secara tegas mengatakan bahwa "manusia sepenuhnya memiliki kebebasannya sendiri bertindak." Baginya, hanya dengan prinsip kebebasan inilah, manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban di kemudian hari. Prinsip "janji dan ancaman" (al-wa'du wa 'l wa'id) yang akan dilaksanakan di hari kemudian tak bisa dipahami tanpa adanya prinsip "kebebasan" tadi. Dan sebaliknya, prinsip kebebasan juga hanya akan berarti kalau ada "janji dan ancaman" yang setimpal di hari kemudian. (bersambung 2/2) -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |