| |
|
IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH (2/10) Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme oleh Jalaluddin Rakhmat KARAKTERISTIK FIQH SAHABAT Seperti telah disebutkan di muka, dari segi prosedur penetapan hukum, ada dua cara yang dilakukan para sahabat. Kedua cara ini melahirkan dua mazhab besar di kalangan sahabat -- Madzhab 'Alawi dan Madzhab 'Umari yang akhirnya mewariskan kepada kita sekarang sebagai Syi'ah dan ahli Sunnah. Para sahabat -- seperti Miqdad, Abu Dzar, 'Ammar bin Yasir, Hudzaifah dan sebagian besar Bani Hasyim -- merujuk pada ahl al-Bait dalam menghadapi masalah-masalah baru. Mereka berpendapat bahwa ada dua nash yang dengan tegas menyuruh kaum Muslim berpegang teguh pada pimpinan ahl-al-Bait. Lagi pula, menurut mereka, pendapat seseorang menjadi hujjah bila orang itu ma'shum. Ah al-Bait memiliki kema'shuman berdasarkan nash al-Qur'an dan al-Sunnah. [30] Pada bagian ini, saya tak akan membicarakan kelompok sahabat ini, tapi akan memutuskan perhatian pada metode ijtihad kelompok sahabat yang tak merujuk ahl al-Bait. Menurut Muhammad al-Khudlari Bek, fiqh mereka ini hanya terbatas pada qiyas. Menurut Muhammad Salim Madkur, ijtihad mereka menggunakan tiga metode: a) menjelaskan dan menafsirkan nash; b) qiyas pada nash atau pada ijma', dan ijtihad dengan ra'yu seperti al-Mashalih al-Mursalah dan istihsan. Muhammad Ali al-Sais menyebutkan bahwa ijtihad sahabat itu meliputi qiyas, istihsan, al-baraah al-ashliyah, sadd al-dzara'i, al-mashalih al-mursalah. [21] Menurut pendapat saya, ada tiga tahap dalam ijtihad para sahabat: a) merujuk pada nash al-Qur'an dan al-Sunnah b) menggunakan metode-metode ijtihad seperti qiyas, bila nash tidak ada atau tidak diketahui; dan c) mencapai kesepakatan lewat proses perkembangan opini publik yang alamiah. Pada tahap pertama, para Khulafa al-Rasyidin selain Ali, tampaknya lebih memusatkan perhatian pada ayat-ayat al-Qur'an (atau ruh ajaran al-Qur'an) dengan agak mengabaikan (kadang-kadang menafikan hadits). Di bawah ini saya kutipkan berbagai riwayat berkenaan dengan sikap Khulafa al-Rasyidin pada Hadits (sunnah): 1) Dari Ibn Abbas: ketika Nabi menjelang wafat, di rumah Rasulullah saw., berkumpul orang-orang, di antaranya Umar bin Khathab. Nabi berkata: "Bawalah ke sini, aku tuliskan bagimu tulisan yang tidak akan menyesatkanmu selama-lamanya." Umar berkata: "Nabi sedang dikuasai penyakitnya. Padamu ada Kitab Allah. Cukuplah bagimu Kitab Allah." Terjadi ikhtilaf di antara orang-orang di rumah itu. Di antara mereka ada yang mengikuti ucapan Umar. Ketika terjadi banyak pertengkaran dan ikhtilaf, Nabi saw. berkata: "Pergilah kamu semua dari aku. Tidak layak di hadapanku bertengkar." [22] 2) 'Aisyah meriwayatkan: Ayahku telah mengumpulkan 500 hadits Rasulullah saw. Pada suatu pagi ia datang padaku dan berkata: "Bawalah hadits-hadits yang ada padamu itu. "Aku membawanya. Ia membakar dan berkata, "Aku takut jika aku mati aku masih meninggalkan hadits-hadits ini bersamamu," [23] al-Dzahabi meriwayatkan bahwa Abu Bakar mengumpulkan orang setelah Nabi wafat dan berkata; "Kalian meriwayatkan hadits Rasulullah saw. yang kalian pertengkarkan. Nanti orang-orang setelah kalian akan lebih bertikai lagi. Janganlah meriwayatkan satu Hadits pun dari Rasulullah saw. Jika ada yang bertanya kepada kalian, jawablah -- Di antara Anda dan kami ada Kitab Allah, halalkanlah apa yang dihalalkannya, dan haramkanlah apa yang diharamkannya" [24] 3) Al-Zuhri meriwayatkan, Umar ingin menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah saw. Ia memikirkannya selama satu bulan, mengharapkan bimbingan Allah dalam hal ini. Pada suatu pagi, ia memutuskan dan menyatakan: "Aku teringat orang-orang sebelum kalian. Mereka tenggelam dalam tulisan mereka dan meninggalkan Kitab Allah. [25] Umar kemudian mengumpulkan hadits-hadits itu dan membakarnya. [26] Ia juga menetapkan tahanan rumah pada tiga sahabat yang banyak meriwayatkan hadits: Ibn Mas'ud, Abu Darda, dan Abu Mas'ud al-Anshari." [27] Tradisi pelarangan hadits ini dilanjutkan para tabi'in, sehingga di kalangan ahl al-sunnah, penulisan hadits terlambat sampai abad 8 M./2 H. Menurut satu riwayat, Umar ibn Abd al-Aziz (meninggal 719/101) adalah orang yang pertama menginstruksikan penulisan hadits. [28] Karakteristik kedua dari ijtihad sahabat, bila tidak ada nash, menggunakan qiyas atau pertimbangan kepentingan umum. Dalam beberapa kasus, bahkan pertimbangan kepentingan umum (maslahat) didahulukan dari nash, walaupun ada nash sharih (tegas) yang bertentangan dengan itu. Berikut ini contoh-contohnya. 1. Khalid Muhammad Khalid menulis tentang ijtihad Umar dalam al-Dimuqrathiyyah: Umar bin Khattab telah meninggalkan nash-nash agama yang Suci dari al-Qur'an dan al-Sunnah ketika dituntut kemaslahatan untuk itu. Bila al-Qur'an menetapkan bagian muallaf dari zakat, serta Rasulullah dan Abu Bakar melakukannya, Umar datang dan berkata, "Kami tidak memberi kamu sedikit pun karena Islam." Ketika Rasul dan Abu Bakar membolehkan penjualan Ummahat al-Awlad, Umar melarangnya. Ketika talaq tiga dalam satu majelis dihitung satu menurut Sunnah dan ijma, Umar meninggalkan sunnah dan menyingkirkan ijma. Dr. al-Dawalibi menulis hal yang sama dalam 'Ilm Ushul al-Fiqh: "Di antara kreasi Umar r.a. yang menunjang kaidah hukum berubah karena perubahan zaman ialah jatuhnya thalaq tiga dengan satu kalimat; sedangkan di zaman Nabi, Abu Bakar dan permulaan Khilafah Umar, thalaq tiga pada sekali ucapan dijadikan satu seperti hadits shahih dari Ibn 'Abbas. Kata Umar: "Manusia terlalu terburu-buru di tempat yang seharusnya hati-hati..." Kata Ibn Qayyim, Amir al-Mu'minin Umar bin Khathab melihat orang telah melecehkan urusan thalaq... Umar ingin menghukum keteledoran ini, sehingga sahabat menahan dirinya untuk tidak mudah menjatuhkan thalaq. Umar melihat ini untuk kemashlahatan umat di zamannya... Ini adalah prinsip taghayyarat bihi al-fatwa litaghayyur al-zaman." [29] 2. Ketika kelompok muallaf datang menemui Abu Bakar untuk menuntut surat, mereka datang kepada Umar. Umar merobek surat itu dan berkata, "Kami tidak memerlukan kalian lagi. Allah sudah memenangkan Islam dan melepaskan dari kalian. Jika kamu Islam (baiklah itu), jika tidak pedanglah yang memutuskan antara kamu dan kami. "Mereka kembali pada Abu Bakar dan berkata, "Adakah khalifah itu atau dia? "Abu Bakar menjawab, "Ia, insya Allah. " Lalu berlalulah apa yang diputuskan Umar. [30] 3. Al-Fujaah pernah menyatakan diri ingin berjihad dan meminta perbekalan pada Abu Bakar. Abu Bakar memberinya bekal. Al-Fujaah ternyata menggunakan fasilitas Abu Bakar ini untuk merampok. Abu Bakar menyuruh Tharifah bin Hajiz untuk membawanya ke Madinah. Abu Bakar menghukumnya dengan membakarnya hidup-hidup. [31] 4. Abu Bakar dan Umar tidak memberikan hak khumus dari keluarga Rasulullah saw., tapi menyalurkan hak itu fi sabilillah. Mereka berpendapat, setelah Rasulullah saw. wafat, khalifah yang berhak mengatur pembagian khumus. [32] 5. Utsman bin Affan membolehkan "menikahi" dua orang wanita bersaudara dari antara budak belian sekaligus. Ali bin Abi Thalib mengharamkannya. [33] Utsman juga melakukan banyak "pembaharuan" dalam fiqh Islam: a) mengitmamkan shalat dalam keadaan safat di Mina; [34] b) menambahkan adzan ketiga pada hari Jum'at ; [35] c) melarang haji tamattu; [36] d) membolehkan tidak mandi bagi yang bercampur dengan isterinya tanpa mengeluarkan mani; [37] e) mengambil zakat dari kuda; [38] f) mendahulukan khotbah sebelum shalat pada shalat 'id. [39] Saya hentikan kutipan kasus-kasus ijtihad Khulafa' al-Rasyidin di sini. Marilah kita lihat proses perkembangan pemikiran para sahabat sehubungan dengan sunnah. Menurut Fazlur Rahman, [40] pada zaman para sahabat, orang secara bebas memberikan tafsiran pada sunnah Rasulullah saw. Berkembanglah berbagai penafsiran. Dalam proses free market of ideas, pendapat-pendapat tertentu kemudian berkembang menjadi opini generalis, lalu opini publik, lalu konsesnsus. Karena itu, waktu itu yang disebut sunnah ialah apa yang disebut Imam Malik sebagai al-amr al-mujtama' 'alaih. Saya hampir sependapat dengan Fazlur Rahman, kecuali dalam satu hal: Apa yang disepakati tidak selalu berkembang dari hasil persaingan pendapat yang demokratis. Seringkali yang disebut ijma' adalah konsensus yang "ditetapkan" oleh penguasa politik waktu itu. Tidak berlebih-lebihan kalau kita simpulkan bahwa fiqih al-Khulafa al-Rasyidin adalah fiqih penguasa. KESIMPULAN Fiqh para sahabat --khususnya seperti diwakili oleh al-Khulafa, al-Rasyidun-- adalah fondasi utama dari seluruh bangunan fiqh Islam sepanjang zaman. Fiqih shahabi memberikan dua macam pola pendekatan terhadap syari'ah yang kemudian melahirkan tradisi fiqh yang berbeda. Ikhtilaf di antara para sahabat, selain mewariskan kemusykilan bagi kita sekarang, juga --seperti kata 'Umar ibn Abdul Aziz-- menyumbangkan khazanah yang kaya untuk memperluas pemikiran. Tentu saja, untuk itu diperlukan penelaahan kritis terhadapnya. Sayang sekali, sikap kritis ini telah "dimatikan" dengan vonnis zindiq oleh sebagian ahli hadits. Ada dua sikap ekstrim terhadap sahabat yang harus dihindari: menghindari sikap kritis atau melakukan sikap hiperkritis. Ketika banyak orang marah karena 'Umar dikritik, 'Umar sendiri berkata, "Semoga Allah meyampaikan kepadaku kesalahan-kesalahanku sebagai suatu bingkisan." [41] 2. FIQH TABI'IN: FIQH USHUL Sejak zaman sahabat (dan ini diakui para sahabat sendiri) telah terjadi perubahan-perubahan dalam syari'at Islam. Suatu ketika seorang tabi'in, Al-Musayyab memuji Al-Barra bin 'Azib: "Beruntunglah Anda. Anda menjadi sahabat Rasulullah saw. Anda berbaiat kepadanya di bawah pohon." Al-Barra menjawab, Hai anak saudaraku, engkau tidak tahu hal-hal baru yang kami adakan sepeninggal Rasulullah. [42] Kata ma ahdatsna (apa-apa yang kami adakan) menunjukkan pada perbuatan bid'ah yang dilakukan para sahabat Nabi. Diriwayatkan bahwa pada hari kiamat ada rombongan manusia yang pernah menyertai Nabi diusir dari al-haudh (telaga). Nabi saw: "Ya Rabbi, mereka sahabatku. Dikatakan kepadanya: Engkau tak tahu apa-apa yang mereka ada-adakan sepeninggal kamu. [43] Bid'ah-bid'ah ini telah mengubah sunnah Rasulullah saw. Sebagian sahabat mulai mengeluhkan terjadinya perubahan ini. Imam Malik meriwayatkan dari pamannya Abu Suhail bin Malik, dari bapaknya (seorang sahabat). Ia berkata: Aku tidak mengenal lagi apa-apa yang aku lihat dilakukan "orang" kecuali panggilan shalat. Al-Zarqani mengomentari hadits ini: Yang dimaksud "orang" adalah sahabat. Adzan tetap seperti dulu. Tidak berubah, tidak berganti. Ada pun shalat, waktunya telah diakhirkan, dan perbuatan yang lain telah berubah. [44] Imam Syafi'i meriwayatkan dari Wahab bin Kaysan. Ia melihat Ibn Zubair memulai shalatnya sebelum khutbah, kemudian berkata: Semua sunnah Rasulullah saw sudah diubah, sampai shalat pun. [45] Kata Al-Zuhri: Aku menemui Anas bin Malik di Damaskus. Ia sedang menangis. "Mengapa Anda menangis," tanya Al-Zuhri. Anas menjawab, "Aku sudah tidak mengenal lagi apa yang aku lihat, kecuali shalat. Ini pun sudah dilalaikan orang". [46] Al-Hasan al-Bashri menegaskan: "Seandainya sahabat-sahabat Rasulullah saw lewat, mereka tidak mengenal kamu (yang kamu amalkan) kecuali kiblat kamu". [47] 'Umran bin al Husain pernah shalat di belakang Ali. Ia memegang tangan Muthrif bin Abd Allah dan berkata: Ia telah shalat seperti shalatnya Muhammad saw. Ia mengingatkan aku pada Shalat Muhammad saw. [48] Jadi pada zaman sahabat pun, sunnah Nabi sudah banyak diubah. Salah satu sebab utama perubahan adalah campur tangan penguasa. Karena pertimbangan politik, Bani Umayyah telah mengubah sunnah Nabi, khususnya yang dijalankan secara setia oleh Ali dan para pengikutnya. Ibn 'Abbas berdoa: Ya Allah, laknatlah mereka. Mereka meninggalkan sunnah karena benci kepada Ali. [49] Contohnya, menjaharkan basmalah, sebagai upaya menghapus jejak Ali. [50] Contoh yang lain adalah sujud di atas tanah, yang menjadi tradisi Rasulullah saw dan para sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Ibn Mas'ud, Ibn 'Umar, Jabir ibn Abdullah dan lain-lain. Dalam perkembangannya, sujud di atas kain menjadi syi'ar Ahl al-Sunnah; sedangkan sujud di atas tanah dianggap musyrik dan dihitung sebagai perbuatan zindiq". [51] Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana campur tangan kekuasaan politik membentuk fiqh. Karena fiqh lebih banyak didasarkan pada al-hadits, penguasa politik kemudian melakukan manipulasi hadits dengan motif politik. Fiqh Tab'in, selain mengambil hadits sebagai sumber hukum, juga mengambil ijtihad para sahabat. Sebab itu, kita juga akan mengupas kemusykilan ijtihad sahabat. Karena pendapat-pendapat para sahabat terbagi dua --yang berpusat pada al-hadits dan al-ra'y-- kita akan membicarakan juga tradisi fiqh al-atsar dan fiqh al-ra'y. Secara keseluruhan, kita lebih banyak menelaah ushul ketimbang fiqh. Hal ini disebabkan ushul adalah sandaran para tabi'in; dan karenanya secara singkat ia disebut Fiqh al-ushul. Sebelum membahas itu semua, marilah kita lihat sedikit latar belakang fiqh tabi'in. APA YANG DIMAKSUD DENGAN FIQH TABI'IN Setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia, orang-orang Islam bertanya pada sahabat dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak bertanya pada semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali memberi fatwa, mungkin karena ketidaktahuan, kehatihatian, atau lagi-lagi pertimbangan politis. Sebagian lagi banyak sekali memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka, atau karena posisinya memungkinkan untuk itu. Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para khalifah sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan al-hadits. Abu bakar meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar 537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua hadits mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah (Abu Huraiah meriwayatkan 5374 hadits). Karena itu, para tabi'in, yakni mereka yang berguru pada sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa al-Rasyidin. Dalam pada itu, ketika kekuasaan Islam meluas, hanya sedikit para sahabat yang meninggalkan Madinah. Dalam kaitan ini, Abu Zahrah menulis: [52] -------------------------------------------- (bersambung 3/10) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |