Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IV.22. TINJAUAN KRITIS ATAS SEJARAH FIQH                (5/10)
Dari Fiqh Al-Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme
 
oleh Jalaluddin Rakhmat
 
IMAM MALIK
 
Pada  zaman  kekuasaan  Ja'far  ibn Sulayman tahun 146 H Malik
dihukum cambuk. Ia --menurut satu riwayat-- mengeluarkan fatwa
yang  tidak  dikehendaki  penguasa.  Setelah  itu,  al-Manshur
merasa bersalah, di samping ingin berusaha  memanfaatkan  alim
besar  ini. Ia tidak mungkin menarik Ja'far dan tidak berhasil
mengambil hati Abu Hanifah. Al-Manshur pada musim haji 153  H,
meminta  maaf  kepada  Malik  atas  perlakukan  salah  seorang
penguasanya. Ia memberikan wewenang  besar  pada  Malik  untuk
mengangkat  dan  memberhentikan para pejabat yang dipandangnya
tidak mampu. Ia juga boleh menghukum  mati  atau  memenjarakan
yang dipandangnya bersalah.
 
Karena   wewenangnya  ini,  Malik  menjadi  sangat  berwibawa.
Orang-orang  ketakutan  berada  di  majlisnya,  karena  wibawa
Malik. Ketika seorang murid membantah Malik perihal penguburan
rambut dan kuku, Malik memukul orang itu  dan  memenjarakannya
Ketika  seorang  bertanya:  "Bagaimana  pendapat  Anda tentang
orang yang berpendapat bahwa al-Qur'an  itu  makhluk?."  Malik
memanggil  pengawalnya:  "Ia  zindiq,  bunuh  dia."  Orang itu
berkata: "Bukan aku yang berkata begitu. Aku hanya  melaporkan
ucapan   orang   lain."   Malik   menukas:   "Tapi  aku  hanya
mendengarnya dari kamu."
 
Catatan kecil di atas menunjukkan kekuasaan Malik. Ini  sangat
berpengaruh   pada   penyebaran   madzhabnya.  Madzhab  Maliki
mendasarkan fiqhnya pada 12 pokok:  a)  Al-Qur'an:  zhahirnya,
dalil-nya,    mafhum-nya    dan   illat-nya;   b)   Al-Sunnah:
al-mutawatirah  dan  al-masyhurah.   Bila   zhahirnya   sunnah
bertentangan dengan al-Qur'an, didahulukan al-sunnah; c) Ijma'
penduduk Madinah, ijma' secara naql. Ijma' sebelum terbunuhnya
Utsman,  ijma'  mutaakhir: masing-masing dengan kekuatan hukum
yang berbeda; d) Fatwa sahabat; e) Khabar Ahad dan  Qiyas;  f)
Istihsan; g) Mashalih mursalah; h) Sadd al-Dzara'i; i) Mura'at
khilaf al-mujtahidin; j) Istishhab; k) Syar'man qablana.
 
IMAM SYAFI'I
 
Pokok-pokok fiqh Syafi'i ada lima: a) Al-Qur'an dan al-Sunnah;
b)   al-Ijma';   c)  Pendapat  sahabat  yang  tidak  ada  yang
menentangnya; d) Ikhtilaf sahabat Nabi; e) Qiyas.
 
IMAM HANBALI
 
Pokok-pokok fiqh madzhab  Hanbali:  a)  Al-Nushush;  b)  Fatwa
sahabat;  c) Ikhtilaf sahabat; d) Hadits mursal dan dha'if; e)
Qiyas.
 
4. STAGNASI PEMIKIRAN FIQH: MASA KETERTUTUPAN
 
Dr.  Muhammad  al-Tijani  al-Samawi  bercerita  tentang  kisah
fanatisme  di kota Qafsah, Tunisia. Seorang alim besar di kota
itu mengecam  orang-orang  yang  menjamak  shalat  Zhuhur  dan
Ashar.  "Mereka  membawa  agama baru yang bukan agama Muhammad
saw. Mereka menyalahi al-Qur'an yang menyatakan  bahwa  shalat
itu  bagi  kaum  Mukmin  kewajiban  yang ditetapkan waktunya."
Seusai shalat, seorang pemuda menanyakan lagi  perihal  shalat
jamak.  Ia  berkata bahwa itu termasuk salah satu bid'ah orang
Syi'ah. Tetapi shalat jamak ini terdapat  dalam  kitab  hadits
shahih  Bukhari  dan  Muslim,  kata pemuda itu. "Tidak benar,"
kata sang imam. Pemuda itu  mengeluarkan  kedua  kitab  shahih
tersebut  dan  memintanya membaca hadits-hadits tentang shalat
jamak. Ketika ia membacanya, hadirin tercengang  mendengarnya.
Ia  mengembalikan  kedua kitab itu sambil berkata, "Ini khusus
untuk Rasulullah saw. Bila engkau sudah  menjadi  Rasul  Allah
bolehlah    engkau   melakukannya."   Pemuda   itu   bermaksud
menunjukkan bahwa Ibn Abbas, Anas ibn Malik dan banyak sahabat
lainnya  melakukan  shalat  jamak  (bukan  karena  bepergian),
tetapi ia mengurungkan maksudnya.
 
Di  Afghanistan  seorang  mushalli  memberi   isyarat   dengan
telunjuknya   dan   menggerak-gerakkannya.   Kawan  shalat  di
sampingnya  memukulnya  dengan  keras  sehingga  telunjuk  itu
patah.  Ketika  ditanya mengapa itu terjadi, ia menjawab bahwa
menggerakkan  telunjuk  dalam  tasyahud  adalah   haram.   Apa
dalilnya?   Dalilnya   terdapat  dalam  Kitab  fiqh  al-Syaikh
al-Kaydani.
 
Kedua peristiwa di atas terjadi dalam rentang waktu cukup lama
-menurut  sebagian  penulis  dari  abad  VI Hijrah sampai abad
XIII. Sebuah rentang  waktu  yang  oleh  para  Tarikh  Tasyri'
disebut   sebagai   zaman   stagnasi   pemikiran  fiqh  ('ashr
al-rukud).
 
Al-Ustadz al-Zarqa melukiskan situasi  umum  pada  waktu  itu:
Pada  zaman  tersebut  pemikiran  fiqh  mengalami  kemunduran,
dimulai kemandegan dan diakhiri kebekuan,  walau  selama  masa
itu  muncul juga beberapa ulama fiqh dan ushul yang cemerlang.
Pada zaman inilah pemikiran taqlid mutlak  dominan.  Pemikiran
bergeser  dari  upaya  mencari  sebab-sebab  dan maksud syara'
dalam memahami hukum, ke  upaya  menghapal  yang  sia-sia  dan
merasa  cukup  dengan  menerima  apa yang telah tertulis dalam
kitab-kitab   madzhab   tanpa   penelitian.   Dengan   begitu,
menghilanglah  kegiatan  yang  dulu merupakan gerakan takhrij,
tarjih, dan tanzhim dalam madzhab  fiqh.  Peminat  fiqh  hanya
mempelajari  kitab  yang  ditulis  seorang  faqih  tertentu di
antara tokoh-tokoh madzhabnya Ia tidak melihat kepada syari'at
dan  fiqh  kecuali  melalui  tulisan  dalam kitab itu, sesudah
sebelumnya mempelajari al-Qur'an, al-Sunnah,  pokok-pokok  dan
maksud-maksud syara'.
 
Pasal  ini  akan  memperlihatkan  karakteristik zaman ini dari
segi karya-karya ilmiah yang lahir waktu  itu  dan  dari  segi
kecenderungan  pemikiran.  Kita akan mengakhiri dengan melacak
sebab-sebab timbulnya stagnasi pemikiran ini.
 
KARAKTERISTIK ZAMAN STAGNASI: TRADISI MENSYARAH KITAB
 
Setelah keempat imam madzhab ahl  al-Sunnah  meninggal  dunia,
fiqh  memasuki  zaman tadwin (kodifikasi). Berbagai ilmu Islam
dibukukan dan tidak disampaikan secara lisan lagi.  Penafsiran
al-Qur'an,  hadits,  ilmu  ushul  al-fiqh,  dan fiqh para imam
madzhab  disusun  dalam  buku.  Dalam   penafsiran   al-Qur'an
misalnya,  para  ulama menghimpun hadits-hadits Nabi saw, baik
yang lemah maupun yang kuat, serta menghimpun penafsiran  para
sahabat,  tabi'in, dan para mujtahid. Mereka menulis buku-buku
yang  lebih  merupakan  ensiklopedia  atau  kamus  dari   pada
analisis  ilmiah.  Pada  masa  inilah  berkembang al-tafsir bi
al-ma'tsur. Hadits-hadits dibukukan dalam  bentuk  al-jawami',
al-masanid,   al-ma'ajim,   al-mustadrakat   dan   sebagainya.
Bersamaan dengan  itu,  dibukukan  pula  riwayat  para  perawi
hadits,  ilmu  jarh  wa  ta'dil dan riwayat para sahabat. Para
pengikut membukukan fatwa-fatwa dan hasil ijthad para mujtahid
tersebut.
 
Gerakan  tadwin,  di  satu  sisi  menyimpan khazanah ilmu para
ulama; tapi di sisi lain menyebabkan para ulama  merasa  cukup
dengan  apa  yang  telah  tersedia.  Mereka  tak  merasa perlu
melakukan  penelitian  ulang.   Perlahan-lahan   berkembanglah
tradisi  membuat  syarah (komentar) dan matan. Maksudnya untuk
memudahkan  pembaca  memahami  kitab-kitab   rujukan.   Mereka
menjelaskan  kata-kata  atau  kalimat-kalimat  secara sematik,
atau menambahkan penjelasan dengan mengutip ucapan para  ulama
lain.  Tidak jarang syarah suatu kitab disyarahi dan disyarahi
lagi. Untuk Shahih al-Bukhari, sepanjang saya ketahui,  paling
tidak  ada  tiga  kitab  syarah: Fath al-Bary, Irsyad al-Sary,
Umdat  al-Qary.  Ada  pula  beberapa  kitab   yang   mensyarah
al-Muwatha susunan Imam Malik.
 
Pada zaman ini, juga berkembang tradisi munaqasyah madzhabiyah
(diskusi  madzhab).  Para  ulama  madzhab  Syafi'i   menyerang
tulisan   para   ulama   madzhab   Hanbali   atau  sebaliknya.
Argumentasi dikembangkan untuk membela madzhab masing  masing.
Ulama  ahl  al-Sunnah  menulis  kitab  yang  menyerang  ajaran
Syi'ah. Ulama Syi'ah membalasnya dengan  menulis  kitab  lagi.
Atau   sebaliknya.   Sebagai  jawaban  terhadap  serangan  ahl
al-Sunnah, al-Hilly menulis Minhaj al-Karamah.  Ibn  Rouzbahan
menulis bantahan pada Minhaj al-Karamah. Bantahan ini dibantah
lagi oleh al-Mar'asyi al-Tustary. Sekarang bantahan itu  sudah
menjadi  19  jilid Ihqaq al-Haq, yang setiap jilidnya seukuran
satu  jilid  Encyclopedia  Britannica.  Ibn  Taymiyah  menulis
Minhaj  al-Sunnah  untuk  menolak  Minhaj al-Karamah. Al-Amini
menulis 11 jilid al-Ghadir hanya untuk membuktikan  keshahihan
hadits  Ghadir  Khum,  yang  didhaifkan  Ibn Taymiyah. Polemik
antar madzhab  ini  bukanlah  sesuatu  yang  jelek  dan  telah
berlangsung  sejak  zaman  para  imam  madzhab.  Imam Syafi'i,
misalnya, melakukan kritik terhadap beberapa pendapat Muhammad
ibn   al-Hasan   al-Syaybany.   Tapi  pada  zaman  kemandegan,
munaqasyah madzhabiyah telah menjadi  benih  yang  menyuburkan
fanatisme  madzhab.  Setiap  madzhab  membela  pahamnya dengan
tidak  lagi  mengindahkan  adab  diskusi  ilmiah.  Sikap   ini
ditunjukkan   jelas   oleh  al-Syaykh  Abu  al-Hasan  Abdullah
al-Karkhy ketika ia berkata, "setiap  ayat  atau  hadits  yang
bertentangan  dengan  apa  yang ditetapkan madzhab kami, harus
dita'wilkan atau dimansukhkan.
 
FANATISME MADZHAB
 
Asad  Haydar  menyebut  tahun   645   Hijrah   sebagai   tahun
ditetapkannya   empat   mazhab  sebagai  madzhab  yang  diakui
khilafah Islam waktu itu.  Para  ulama  dari  keempat  madzhab
diundang  ke  istana.  Walau  begitu, gejala fanatisme madzhab
dapat dilacak sejak abad IV Hijrah. Seperti telah  disampaikan
pada   tulisan  terdahulu,  kekuasaan  sangat  berperan  dalam
menyuburkan fanatisme madzhab.
 
Untuk mempertahankan keunggulan madzhabuya,  para  pengikutnya
meriwayatkan   mitos   di   sekitar   para   imam  madzhabnya.
Kadang-kadang   riwayat-riwayatnya   dinisbahkan   pada   Nabi
Muhammad  saw.  Konon Nabi Muhammad saw pernah berkata: "Semua
nabi bangga denganku dan aku bangga dengan Abu Hanifah.  Siapa
yang mencintai Abu Hanifah ia mencintaiku, siapa yang membenci
Abu Hanifah ia membenciku. Di antara karamah Abu Hanifah ialah
bergurunya  Nabi  Khidr kepadanya. Ia belajar pada Abu Hanifah
setiap waktu Subuh selama lima puluh tahun. Ketika Abu Hanifah
wafat,  Nabi  Hidhir  mohon  agar  ia  diizinkan tetap berguru
padanya di alam kubur, supaya ia  dapat  mengajarkan  syari'at
Islam   secara  lengkap.  Allah  mengizinkannya.  Ia  kemudian
menyelesaikan kuliah dari Abu Hanifah selama 25 tahun lagi.
 
Diriwayatkan oleh para pengikut Maliki bahwa pada  paham  Imam
Malik  sudah  tertulis  Malik Hujatullah di bumi. Tentang Imam
Syafi'i, katanya, Rasul Allah saw bersabda: "Ya Allah  berilah
petunjuk  pada  suku  Quraiysy,  karena  seorang  alimnya akan
memenuhi seluruh bumi dengan ilmunya." Orang alim  itu  adalah
Imam   Syafi'i.   Mengenai  Imam  Ahmad  bin  Hanbal  Abdullah
al-Sajastany berkata: "Aku  pernah  melihat  Rasul  Allah  saw
dalam  mimpi.  Aku  bertanya:  "Ya  Rasul Allah, siapakah yang
engkau tinggalkan, yang patut kami ikuti di zaman kami?" Rasul
Allah saw menjawab: "Aku tinggalkan bagimu Ahmad bin Hanbal."
 
Dengan    berbagai    "keutamaannya"    itulah,    pengikutnya
mensakralkan  fatwa  para  mujtahid.  Fatwa   mujtahid   lebih
didulukan  dari ayat al-Qur'an dan al-Sunnah. Al-Fakhr al-Razy
menceritakan  pengalamannya  ketika  ia   menafsirkan:   afala
yatadabbarun  al-Qur'an.  Aku  pernah  menyaksikan  sekelompok
faqih yang taklid, memandangku dengan heran bila  aku  bacakan
ayat-ayat al-Qur'an tentang beberapa masalah yang bertentangan
dengan madzhab mereka. Mereka  tidak  mau  menerimanya  bahkan
tidak   mau   menelitinya.   Mereka  heran  bagaimana  mungkin
mengamalkan  zhahirnya  ayat-ayat  itu,  padahal  ulama   dari
madzhab mereka terdahulu tidak pernah mengamalkannya.
 
Abu Sulayman al-Khaththaby mengisahkan suasana zaman itu: Saya
lihat ahli ilmu  dewasa  itu  terbagi  menjadi  dua  kelompok:
pendukung  hadits  dan  atsar dan ahli fiqh dan fikir. Padahal
keduanya sama-sama  dibutuhkan  dan  tidak  bisa  ditinggalkan
dalam  menuju  cita-cita kehidupan. Itu karena hadits bagaikan
fondasi, sedangkan fiqh bagaikan bangunannya. Setiap  bangunan
yang  fondasinya  tidak  kokoh,  maka akan cepat roboh. Setiap
fondasi tanpa bangunan, maka akan sunyi dan lekas rusak.  Saya
lihat  kedua  kelompok ini saling berdekatan tempat tinggalnya
dan sebetulnya saling membutuhkan. Namun,  karena  rasa  harga
diri  mereka  yang  sangat tajam, keduanya menjadi ikhwan yang
saling berjauhan: mereka tak menampakkan sikap saling membantu
dan menolong di jalan yang hak.
 
Kedua  kelompok  itu,  pertama, kelompok ahli hadits dan atsar
rata-rata berambisi dalam periwayatan, pengumpulan sanad,  dan
pemisahan  hadit-hadits  gharib dan syadz --hadits-hadits yang
kebanyakan  mawadhu'  dan  maqlub.  Mereka  tidak   memelihara
matannya,  tidak memahami maknanya, tidak menggali rahasianya,
dan tidak mengungkapkan kandungan fiqhnya.
 
Kadang-kadang mereka mencela para fuqaha, mencacad mereka  dan
menuduhnya  menyalahi  sunnah.  Mereka tidak sadar bahwa kadar
keilmuannya  sendiri  sangat  dangkal   dan   mereka   berdosa
melemparkan kata-kata kotor pada para fuqaha.
 
Sedangkan   kelompok   kedua,   yakni  ahli  fiqh  dan  fikir,
kebanyakan tidak memilih-milih hadits, kecuali sebagian kecil.
Mereka  hampir  tidak  bisa  membedakan hadits yang shahih dan
hadits yang dhaif, yang bagus dan  yang  buruk.  Mereka  tidak
mempedulikan  hadits-hadits  yang  dikuasai dan yang digunakan
untuk mempertahankan  argumentasinya  di  hadapan  lawan  bila
hadits-hadits tersebut telah sesuai dengan madzhab yang mereka
ikuti dan pendapat yang mereka yakini. Mereka sepakat menerima
hadits  dhaif  dan  munqathi'  bila  telah masyhur di kalangan
mereka dan telah membibir dalam percakapan mereka, walau tidak
didukung  satu  dalil pun atau tidak meyakinkan. Yang demikian
adalah suatu kesesatan dan penipuan ra'yu.
 
Apabila diriwayatkan pada  mereka  hasil  ijtihad  para  tokoh
madzhab  mereka  atau  para  ahli  dari  aliran mereka, mereka
segera mencari  kepercayaan  umat  terhadapnya,  namun  mereka
tidak ikut bertanggungjawab.
 
Saya  lihat  para  pendukung Malik tidak menerima riwayat dari
padanya kecuali  yang  melalui  Abu  al-Qasim  (Rasul  Allah),
ashhab  (para  sahabat),  dan  para  pendahulu  yang setingkat
dengan mereka. Maka pendapat yang datang dari  Al-Hakam  tidak
memiliki  keistimewaan  di  mata  mereka.  Mereka mau menerima
riwayat dari padanya kecuali yang melalui Abu Yusuf,  Muhammad
ibn  al-Hasan dan para tokoh sahabat serta murid-muridnya yang
lain. Bila pendapat itu datang dari  al-Hasan  ibn  Ziyad  dan
pendapatnya berbeda dengan riwayat yang melalui mereka, mereka
tidak akan menerima. Begitu  juga  para  pengikut  al-Syafi'i.
Mereka  hanya  menerima  riwayat  al-Muzany  dan  al-Raby  ibn
Sulayman  al-Murady.  Maka  bila  datang   riwayat   Harmalah,
al-Jiziy  dan  sebagainya,  mereka  tak  memperhatikan dan tak
menganggapnya sebagai pendapat al-Syafi'i.
 
Demikianlah keumuman sikap setiap  kelompok  terhadap  madzhab
imam dan gurunya masing-masing.
 
Fanatisme  madzhab  bukan  saja  telah  menghambat  pemikiran,
menghancurkan  otak-otak  cemerlang,  tapi  juga   menimbulkan
perpecahan  di  kalangan  kaum  Muslim.  Dalam  sejarah, telah
terjadi  beberapa  kali,  mereka  saling   mengkafirkan   yang
kemudian memuncak pada peperangan antar sesama Muslim. Sebagai
contoh adalah peristiwa yang terjadi di Baghdad, 469 Hijrah.
 
-------------------------------------------- (bersambung 6/10)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team