Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

VI.52. SKISME DALAM ISLAM SEBUAH TELAAH ULANG            (2/3)
oleh Jalaluddin Rakhmat
 
Walhasil,  menurut  Syi'ah,  ada  nash-nash  yang  jelas  dari
Rasulullah saw. yang menunjukkan Ali sebagai penggantinya  dan
sebelas orang imam dari keturunannya. [3]
 
Karena  imam  itu  ditunjuk  oleh nash, maka tentu imam adalah
orang  yang  terbaik,  bahkan  terpelihara  dari   dosa.   Ini
melahirkan  kontroversi  al-fadhil  dan  al-mafdhul.  Al-Hilli
(dalam Al-Hasan, 1396: 27) menulis:
 
Imam mesti yang paling utama dari rakyatnya.  Mazhab  Imamiyah
sepakat  tentang  hal  itu.  Al-Jumhur  (yakni, Ahl al-Sunnah)
membolehkan mendahulukan al-mafdhul di atas al-fadhil.  Dengan
begitu   mereka   menyalahi   akal  dan  nash  al-Kitab.  Akan
menganggap tidak baik mendahulukan al-mafdhul dan  menghinakan
al-fadhil. Al-Qur'an menentang hal itu dengan berkata, "Apakah
orang yang memberi petunjuk kepada  yang  benar  lebih  berhak
diikuti  ataukah  orang  yang  tidak  dapat  memberi petunjuk,
bahkan harus  diberi  petunjuk.  Bagaimana  kalian  menetapkan
keputusan?."
 
Karena   Syi'ah   menetapkan   al-fadhil   dan  Ahl  al-Sunnah
membolehkan al-mafdhul sebagai  imam,  terjadilah  kontroversi
berikutnya.  Syi'ah  melarang  dan  Ahl al-Sunnah mengharuskan
petaatan pada penguasa yang  zalim.  Al-Nawawi  berkata  dalam
Syarh  Muslim-nya, "Berkata jumhur ahl al-Sunnah dari kalangan
fuqaha, mahaddtsin, dan mutakallimun bahwa imam tidak boleh di
dimakzulkan karena kefasikan, dan kedzaliman, atau pelanggaran
hak. Ia tidak boleh diturunkan dan tidak  boleh  orang  keluar
menentangnya.     Wajib    bagi    rakyat    menasihati    dan
memperingatkannya." Sebelum itu ia menulis (Syarh  Muslim  12:
229),  "Keluar  memerangi  mereka haram berdasarkan ijma' kaum
muslimin, walaupun mereka fasik dan zalim. Sudah jelas  sekali
hadits-hadits yang menunjukkan pengertian yang saya sebut. Ahl
al-Sunnah ijma' bahwa sulthan tidak boleh  dimakzulkan  karena
kefasikan."
 
Kontroversi   selanjutnya   adalah   tindakan  untuk  menjawab
pertanyaan manakah yang  lebih  utama,  penguasa  muslim  yang
dzalim  atau  penguasa  kafir yang adil. Ahl al-Sunnah memilih
yang pertama, dan Syi'ah mengikuti yang  kedua.  Syi'ah  Jawad
Mughnuyah  (1406:  26)  berpendapat, "Ketika Syi'ah menegaskan
bahwa khilafah adalah hak ilahi  bagi  Ali  dan  keturunannya,
mereka  telah  bersikap  ekstrem  dalam  toleransinya terhadap
penguasa yang adil. Mereka  mengutamakan  non-muslim  jika  ia
adil  daripada seorang penguasa Muslim yang dzalim. Ibn Thawus
yang masyhur menegaskan,  kafir  yang  adil  lebih  baik  dari
Muslim yang dzalim.
 
Kontroversi   lain  --yang  justru  sangat  esensial--  adalah
hubungan  antara  kepemimpinan  relegius  dengan  kepemimpinan
politis.  Bagi  orang  Syi'ah,  pada  kata imamah (yang secara
khusus berarti kepemimpinan ruhaniah)  juga  terkandung  makna
wilayah  (secara  khusus berarti kepemimpinan politis). Dengan
demikian, ahl al-bayt --di samping memegang  hak  kepemimpinan
politis--   juga   menjadi   rujukan   dalam   masalah-masalah
keagamaan. Orang  Syi'ah  sering  mendefinisikan  diri  mereka
sebagai  madzhab ahl al-bayt. Sementara itu, sejak berakhirnya
Khulafa   al-Rasyidun,   ahl   al-Sunnah   memisahkan    kedua
kepemimpinan   itu.  Pada  bidang  religius,  misalnya,  orang
mengikuti  Imam  Malik,  dan  pada  bidang   politis,   mereka
mengikuti  khalifah  al-Manshur. Secara politis, ahl al-Sunnah
berpegang pada kaidah yang diberikan Ibn Umar pada  waktu  ada
pertikaian  antara  Ali  dan  para penentangnya, Nahnu ma'aman
ghalab" (Kami bersama orang yang berkuasa).
 
Dari perbedaan pengangkatan pemimpin (ikhtiyar  atau  ta'yin),
perbedaan  kualifikasi  pemimpin  (al-fadhil atau al-mafdhul),
perbedaan preferensi penguasa (kafir  yang  adil  atau  muslim
yang dzalim), dan perbedaan dalam memandang hubungan kekuasann
politis   dengan   kekuasaan   religius   (digabungkan    atau
dipisahkan),   lahirlah   skisme   politik  besar  Islam  yang
berlangsung sampai kini.
 
Mengapa terjadi perbedaan itu, padahal kedua mazhab ini  lahir
dari  Islam  yang  sama  dan pengikut Nabi saw. yang sama? Ada
beberapa teori yang menjawab pertanyaan ini. Kita  hanya  akan
mengulas  dua  teori saja: teori sosioantropologis Bangsa Arab
dan teori pendekatan doktrinal.
 
TEORI SOSIO-ANTROPOLOGIS BANGSA ARAB.
 
Teori  ini  dikemukakan  oleh  Nicholson  (1969),   Wellhausen
(1927),  Goldziher  (1967),  dan  secara terperinci dijelaskan
kembali oleh Jafri (1967). Tidak mungkin  dalam  makalah  ini,
saya  menguraikan  teori  ini  secara lengkap. Secara singkat,
teori ini berpijak pada dua asumsi:  (1)  Bangsa  Arab  adalah
bangsa  yang terorganisasi atas dasar kesukuan; kesetiaan pada
suku dan ketergantungan kehormatan pada sukunya menjadi sangat
penting;  (2)  Bangsa Arab yang membentuk umat Islam permulaan
terdiri  dari  dua  subkultur-subkultur   Arab   Selatan   dan
subkultur Arab Tengah-Utara.
 
Asumsi  pertama  menunjukkan  bahwa  status  sosial  seseorang
sangat ditentukan oleh status marganya. Setiap  anggota  marga
bangsa   dalam  menghitung-hitung  prestasi  nenek  moyangnya.
Karena itu, kehormatan seseorang  dalam  bahasa  Arab  disebut
hasab  (dari  akar kata hasiba yang berarti menghitung). Orang
Arab percaya bahwa selain karateristik fisikal,  karakteristik
perilaku  juga  herediter.  Menarik  untuk dicatat bahwa khalq
(karakteristik fisik) dan khuluq (perilaku) ditulis sama dalam
bahasa Arab.
 
Perilaku  yang  menjadi  tradisi  suatu  kabilah,  dan menjadi
kebanggaan anggota kabilah, lazim disebut  Sunnah.  Di  antara
sunnah  yang  paling  dihargai  adalah mengurus dan memelihara
tempat-tempat suci. Bagi bangsa Arab, khususnya Arab  Selatan,
pengurusan  rumah  suci  (bayt)  dan  kehormatan (hasab) tidak
dapat dipisahkan. Karena itu, sejak zaman jahiliyah orang Arab
tidak  mengenal  pemisahan  antara  kepemimpinan  temporal dan
kepemimpinan sakral.
 
Ka'bah adalah rumah suci yang dihormati  semua  kabilah  Arab.
Kabilah  yang  mendapat  tugas secara turun temurun memelihara
Ka'bah disebut sebagai "keluarga al-bayt"  atau  ahl  al-bayt.
Sejak awal, kepemimpinan Arab dipegang oleh keturunan Qushayy.
Dalam pertentangan memperebutkan kedudukan ahl  al-bayt,  Bani
Hasyim menang dan menyisihkan lawannya dari Bani Abd al-Syams.
Karena  itu  Bani  Hasyim  dikenal  bangsa  Arab  sebagai  Ahl
al-Bayt.   Pada   masa   Abu   Thalib,   Bani   Abd   al-Syams
perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan politik dan bani Hasyim
mulai  melemah.  Ketika keturunan "Umayyah merasakan ada angin
baru  yang  menguntungkan  mereka,  muncullah   Muhammad   bin
Abdullah  bin  Abd  al-Muthalib.  Ia mengembalikan lagi wibawa
kepemimpinan Bani Hasyim sebagai Ahl al-Bayt.
 
Nabi   saw   menyadari   betul   aspek-aspek   kultural   dari
kepemimpinan  ahl  al-bayt. Tema ahl al-bayt memiliki "appeal"
yang  kuat  bagi  bangsa  Arab.   Kepemimpinan   ahl   al-bayt
menggabungkan  dimensi  temporal  dan  sakral  sekaligus. Bani
"Umayyah tentu tidak rela dengan "return. of power" dari  Bani
Hasyim.  Perlawanan  terhadap Islam, karena itu, datang paling
banyak dari Bani Umayyah.
 
Ketika Nabi hijrah ke Madinah, menemoi suku  Aws  dan  Khazraj
yang  berasal  dari Arab Selatan. Mereka adalah suku Arab yang
memiliki sensitivitas religius  yang  tinggi.  Bila  inskripsi
pada monumen di Arab Utara memuja keberanian dan kepahlawanan,
inskripsi  pada  monumen  Arab  Selatan  menunjukkan  perasaan
syukur  dan  penyerahan  diri  pada Tuhan. Pada suku-suku Arab
Utara,  pemimpin  umumnya  dipilih   berdasarkan   usia   atau
senioritas;  pada  Arab  Selatan, pemimpin dipilih berdasarkan
kesucian keturunan (hereditary sanctity).
 
Dari kedua subkultur inilah, berkembang skisme  Sunnah-Syi'ah.
Ahl  al-Sunnah,  sejak  Mu'awiyah  merebut  kekuasaan berupaya
untuk menekan konsepsi kepemimpinan ahl al-bayt. Karena secara
doktrinal,   Islam   menyuruh   menghormatiahl  al-bayt  (yang
sekarang didefinisikan lebih terbatas lagi  sebagai  keturunan
Rasulullah  saw),  penguasa-penguasa  yang  bukan  ahl al-bayt
tidak menafikan kehormatan itu.  Yang  tidak  mereka  inginkan
adalah  gabungan  antara kehormatan religius dengan kehormatan
politik. Inilah, misalnya, argumentasi yang  dikemukakan  Umar
bin   Khathab   kepada   'Abbas   ketika   bertengkar  masalah
kepemimpinan 'Ali, "Orang banyak tidak  menginginkan  nubuwwah
dan  khalifah  bergabung  pada Bani Hasyim" (Tarikh Thabari 1:
2769). Mungkin, karena itu pula, Ali  pernah  memindahkan  ibu
kota  pemerintahan  Islam  dari  Madinah --yang sudah dikuasai
Bani Ummayah-- ke Kufah. [4]
 
TEORI PENDEKATAN DOKTRINAL
 
Sayyid Baqr Shadr  (1982:73-96)  mengemukakan  apa  yang  kita
sebut   sebagai   teori   pendekatan   doktrinal.   Saya  akan
menerjemahkan sebagian argumentasi Shadr ini tanpa  memberikan
komentar sedikitpun:
 
Bila  kita  mengikuti  periode  permulaan  dari kehidupan umat
Islam di zaman Nabi saw. kita temukan dua  aliran  utama  yang
berbeda,  yang  menyertai  perkembangan  umat  dalam permulaan
eksperimen Islam, sejak dini.  Keduanya  hidup  bersama  dalam
lingkungan  umat  yang  dilahirkan  oleh  Rasul sang Pemimpin.
Perbedaan  di  antara  kedua  aliran  ini  telah   menimbulkan
perbedaan  doktrinal  sesudah wafat Rasulullah saw, memisahkan
umat dua kelompok besar. Salah satu kelompok berhasil berkuasa
dan   sanggup  berkembang  sehingga  mencakup  mayoritas  kaum
muslimin.  Kelompok  yang  lain  tidak   berhasil   memperoleh
kekuasann dan berkembang sebagai kelompok minoritas menghadapi
lingkungan Islam yang umum. Minoritas ini adalah Syi'ah.
 
Dua aliran utama yang  menyertai  pertumbuhan  umat  Islam  di
zaman Nabi sejak awal adalah:
 
(1) Aliran yang beriman sepenuhnya pada ta'abbud bi 'l-din
    berhukum dan berserah mutlak pada nash-nash agama dalam
    seluruh bidang kehidupan.
    
(2) Aliran yang hanya merasa tunduk pada agama pada
    bidang-bidang khusus seperti ibadah dan hal-hal yang ghaib.
    Aliran ini meyakini kemungkinan ijtihad; membolehkan
    memalingkan nash agama pada bidang-bidang kehidupan di luar
    bidang-bidang kehidupan di atas, sesuai dengan kemaslahatan
    masyarakat, dengan peralihan atau perubahan.
 
Sahabat adalah kelompok  Mukmin  yang  cemerlang;  benih  yang
paling  utama  pada saat pertumbuhan risalah, sehingga sejarah
manusia tidak pernah menyaksikan generasi  aqidah  yang  lebih
mulia,  lebih  suci,  dan tinggi dari generasi yang dilahirkan
Rasulullah.
 
Walaupun demikian, karena harus tunduk pada adanya aliran yang
luas   pada   bidang   kehidupan,   para   sahabat   cenderung
mendahulukan  ijtihad  untuk  memperkirakan   dan   memperoleh
maslahat  daripada  ta'abbud  secara  harfiyah  pada nash-nash
agama. Rasul telah  bertahan  berkali-kali  menghadapi  aliran
ini,   sampai  pada  saat  menjelang  kematiannya  (yang  akan
diuraikan nanti).  Di  samping  itu,  ada  juga  sahabat  yang
bertahkim  dan  bertaslim  sepenuhnya  pada nash-nash agama di
semua bidang kehidupan.
 
Aliran kedua, aliran ijtihadi,  tampaknya  lebih  menyebar  di
kalangan  kaum  muslimin  karena  kecenderungan  manusia untuk
tunduk   pada   kemaslahatan   yang   dapat    difahami    dan
diperkirakannya,  serta  meninggalkan  kecenderungan mengikuti
kemaslahatan  yang  tidak  dapat  difahami   tujuannya.   Yang
mengikuti  aliran ini terdiri dari sahabat-sahabat besar. Umar
bin Khathab pernah melawan Rasulullah saw dan berijtihad  pada
banyak   kejadian,   yang  bertentangan  dengan  nash,  dengan
meyakini bahwa apa yang dilakukannya benar.
 
Pernah kedua aliran ini bertentangan  di  hadapan  Rasul  pada
hari-hari  terakhir  kehidupannya.  Bukhari meriwayatkan dalam
shahihnya dari Ibn 'Abbas. Ia berkata:  "Menjelang  Rasulullah
saw wafat, di rumahnya ada banyak orang, di antaranya Umar bin
Khathab. Nabi berkata: Mari aku tuliskan  untuk  kamu  tulisan
sehingga  kamu  tidak sesat sesudahnya. Berkata Umar: Nabi saw
sedang dicengkram sakit.  Di  hadapan  kalian  ada  al-Qur'an.
Cukuplah  bagi  kita  Kitab  Allah.  Penghuni  rumah  itu  pun
bertikai.  Sebagian  berkata:  Dekatkan  supaya  Nabi  menulis
(wasiat)  kitab sehingga kamu tidak sesat sesudahnya. Sebagian
lagi  berkata  seperti   kata   Umar.   Ketika   sudah   ramai
perbincangan  dan  pertikaian  di  hadapan  Nabi,  ia berkata:
Pergilah kalian."
 
Peristiwa  ini  cukup  menunjukkan  dalamnya  pertikaian   dan
pertentangan di antara kedua aliran ini.
 
SKISME INTELEKTUAL
 
Dari   kedua  aliran  ini  kemudian  berkembang  aliran-aliran
lainnya,  yang  tidak  mungkin  semuanya  dibahas   di   sini.
Kebanyakan  aliran-aliran  itu  muncul  sebagai hasil refleksi
intelektual. Skisme intelektual  (mungkin  malah  tidak  tepat
disebut   skisme)  memang  bisa  menjadi  solid,  ketika  para
politisi mulai masuk. Skisme ini dapat  terjadi  pacla  bidang
ilmu  kalam  atau bidang fiqh. Abu Zuhrah (1987) menyebut yang
pertama ikhtilaf 'aqaidi dan yang kedua ikhtilaf  fiqhi.  Saya
tidak  akan  memperinci  kedua ikhtilaf ini, tetapi hanya akan
menunjukkan penyebab timbulnya ikhtilaf tersebut.
 
Sebab-sebab yang  berkaitan  dengan  pemahaman  al-Qur'an  dan
al-Sunnah.  Banyak  orang  berpikir sederhana: pertikaian akan
segera  selesai  bila  kita  kembali  kepada   al-Qur'an   dan
al-Sunnah.   Pertikaian  justru  terjadi  ketika  kaum  Muslim
berusaha memahami al-Qur'an  dan  al-Sunnah.  Di  dalam  kedua
sumber  tasyri'  ini  terdapat  kata-kata  atau  kalimat  yang
musytarak (mengandung makna ganda), lafazh yang  'am  (berlaku
umum)  dan  khash  (berlaku  khusus),  yang  muthlaq  dan yang
muqayyad (bersyarat).
 
Lihatlah perbedaan pemahaman ayat tayamum ini. "Dan jika  kamu
sakit atau sedang bepergian, atau jika salah seorang di antara
kamu datang dari jamban, atau setelah  kamu  menjamah  wanita,
atau  kamu  tak  menemukan air, maka bertayamumlah dengan debu
yang suci,  dan  sapulah  muka  kamu  dan  tangan  kamu  itu,"
(al-Qur'an  5:  6).  Kalimat  ini dipahami Abu Hanifah sebagai
berikut: Orang yang tidak bepergian, tidak sakit, dan ada air,
tidak  berlaku  tayammum baginya, dan tidak wajib shalat. Ayat
tersebut hanya mewajibkan tayammum bila tidak ada  air  khusus
pada  yang  sakit  atau musafir. Madzhab yang lain berpendapat
bahwa syarat sah tayammum adalah salah  satu  di  antara  tiga
kondisi: tidak ada air, atau sakit, atau bepergian.
 
--------------------------------------------  (bersambung 3/3)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team