| |
|
VI.51. SKISME DALAM ISLAM (2/4) Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam oleh Nurcholish Madjid Sebagai klan dengan tradisi kekuasaan yang mapan, kaum Umawi segera melihat pada kekhalifahan Utsman suatu kesempatan untuk mengembalikan kedudukan mereka yang baru saja hilang. Mereka mengelilingi Utsman dengan penasehat-penasehat dan tenaga-tenaga ahli, seperti seorang "aktivis" Umawi, Marwan ibn al-Hakam. Sebagian dari hadirnya para penasehat dan tenaga ahli Umawi itu sebenarnya merupakan lanjutan kebijaksanaan Umar sebelumnya, karena Umar melihat pada kaum Umawi itu kecakapan pemerintahan yang bisa dimanfaatkan. Tetapi tanpa keteguhan kepribadian Umar, Utsman menjadi tidak banyak berdaya menghadapi klannya sendiri, dan ia pun terjerumus kedalam praktek-praktek nepotistik yang mengundang berbagai reaksi keras banyak kalangan. Sebenarnya Utsman melanjutkan kebijakan Umar, tapi tanpa mempunyai wibawa hebat seorang Umar. Para tentera suku Arab (al-muqatilah) yang oleh Umar ditempatkan di berbagai kota garnizun di daerah-daerah taklukan dipertahankan oleh Utsman seperti keadaan mereka semasa Umar, sementara perang sendiri, yang menjadi alasan penempatan itu, telah menjadi peristiwa sesekali saja. Para tentera ini hidup menetap di tempat-tempat tersebut, seperti Kufah, dalam suasana terpisah dari penduduk bukan-Arab sekelilingnya. Bertindak sebagai penguasa pada kota-kota perbatasan itu ialah para gubernur (bekas) pedagang kaya yang cakap memerintah dari keluarga-keluarga Quraisy dan sekutu mereka dari Taif (klan Tsaqif), yang kebanyakan mereka itu terdiri dari kaum Umawi. Mereka memegang pemerintahan menghadapi kecenderungan kesukuan dan semangat kedaerahan orang-orang Arab, dan kekuasaan mereka itu diawasi oleh semangat ajaran umum Islam yang saat itu Islam telah menjadi ciri utama sifat ke-Arab-an mereka. Sudah sejak masa Umar banyak orang Arab Quraisy yang kaya, yakni para pedagang Mekkah, yang pergi ke daerah-daerah taklukan, terutama Mesopotamia di Irak, dan meneruskan usaha perdagangan mereka di sana. Ini acapkali menimbulkan rasa keberatan dari pihak orang-orang Arab yang kurang mampu, khususnya orang-orang Arab setempat. Utsman pun tidak bisa mengatasi situasi warisan pendahulunya itu, meskipun sebenarnya ia berhasil sedikit mengubah keadaan dengan mengarahkan sebagian investasi dari Lembah Mesopotamia ke Hijaz, berbentuk proyek-proyek irigasi di berbagai oase. Kebijaksanaan Utsman itu membantu mengurangi kecenderungan emigrasi ke luar Hijaz dan memperkuat kekuasaan pusat di Madinah secara fisik (sumber daya manusia). Kebijaksanaan itu juga mengurangi ancaman bahwa budaya Arab akan terserap ke dalam budaya daerah-daerah Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent, daerah subur yang membentuk konfigurasi bulan sabit dari pantai timur Laut Tengah naik ke utara, ke daerah pegunungan Anatolia sebelah selatan membentang ke timur dan kembali ke selatan, ke Lembah Mesopotamia). Tetapi kebijaksanaan Utsman yang yang menghambat emigrasi dari Hijaz itu membuatnya tidak populer di kalangan orang-orang Makkah. Ini tumbuh menjadi faktor penunjang bagi protes-protes yang mulai dilancarkan para tentara. (Harus diingat bahwa pada saat itu semua orang muslim adalah warga negara dan sekaligus tentara). Apalagi setelah ekspedisi menaklukkan Iran telah rampung dan tuntas, ketidakpuasan di kalangan tentara terhadap kebijakan Utsman semakin keras dinyatakan orang, karena tidak lagi bisa dialih-arahkan kepada kegiatan-kegiatan ekspedisi militer. Suatu kerusuhan muncul di Kufah, sebuah kota garnizun yang didirikan Umar dan kerusuhan itu harus ditindas dengan penumpahan darah. Para gubernur yang melanjutkan tugas mereka semenjak diangkat oleh Umar banyak yang cakap dan sebagian dari mereka diterima baik oleh penduduk setempat. Maka penduduk Syria puas dengan Mu'awiyah, Basrah dengan Ibn Amir (yang di waktu damai giat berdagang untuk mengumpulkan kekayaan tapi bertindak cukup adil karena ia menganjurkan orang lain agar berbuat serupa pula). Tetapi gubernur yang ditempatkan di Mesir (di kota Fusthath, Kairo lama), tidak pernah memuaskan orang-orang setempat, karena dipandang kurang menunjukkan ukuran moral yang tinggi (konon suka minuman keras dan mabuk). Demikian pula Kufah, tidak ada kebijakannya yang dapat diterima di sana, bahkan gubernurnya pun ditolak orang. Utsman dikenal sebagai amat berjasa menyatukan ejaan penulisan al-Qur'an dengan memerintahkan untuk membakar semua versi ejaan yang lain (sehingga sampai sekarang ejaan standar Kitab Suci agama Islam itu disebut ejaan atau "rasm Utsmani"). Penyatuan ejaan al-Qur'an itu amat prinsipiil sebagai dasar penyatuan orang-orang Arab Muslim khususnya dan semua orang Muslim umumnya. Namun, sesungguhnya, usaha Utsman itu tidak berjalan tanpa tantangan. Ibn Mas'ud, salah seorang ahli membaca al-Qur'an yang amat terkenal dan disegani, berkedudukan di Kufah, sempat menunjukkan perasaan tidak sukanya kepada kebijakan Utsman. Menurut para ahli akhirnya ia patuh juga kepada keputusan Khalifah. Tetapi kejadian itu tetap meninggalkan bekas, sekalipun akhirnya dapat dinetralisasikan melalui usaha akomodasi berbagai versi bacaan Kitab Suci dalam bentuk pengakuan keabsahan "bacaan tujuh" Al-qira'at al-sab'ah. Kebijaksanaan Utsman berkenaan dengan Kitab Suci itu sungguh patut dipuji. Dan jika ummat Islam sesudah itu menikmati kesatuan penulisan dan pembukuan Kitab Suci-nya yang tidak ada bandingnya dalam sistim kepercayaan atau faham lainnya mana pun juga, maka sebagian besar keberuntungan itu adalah berkat jasa Utsman ibn Affan yang bergelar Jami' al-Qur'an. (Pengumpul al al-Qur'an). (Bahkan kaum Syi'ah yang dikenal sangat anti Utsman itupun akhirnya juga mengakui jasa khalifah ketiga ini, dengan menyesuaikan dan mengikuti cara penulisan Kitab Suci menurut ejaan Utsman, sekalipun mereka agaknya juga mempunyai jalur penuturan dari Ali ibn Abi Thalib, handalan utama mereka dalam masalah periwayatan). [10] Dan seperti hampir semua kebijaksanaan Utsman yang lain, tindakannya untuk menyatukan sistem penulisan al-Qur'an itu pun dapat dikatakan sebagai kelanjutan kebijakan Umar sebelumnya. Salah satu kebijakan lagi dari Umar yang dilanjutkan atau diwarisi oleh Utsman ialah yang berkenaan dengan sistem keuangan negara. Umar disebut sebagai "yang pertama menciptakan lembaga-lembaga" (Arab: awwal man dawwana al-dawawin), khususnya lembaga atau sistem penggajian tentera dengan besar dan kecilnya gaji (sesungguhnya lebih tepat disebut lumpsum) itu menurut tingkat kepeloporan seseorang dan jasanya dalam agama Islam. Maka untuk menunjang sistemnya inilah antara lain Umar tidak mengizinkan tentera memiliki tanah-tanah produktif (pertanian) di daerah-daerah yang telah mereka bebaskan, khususnya di kawasan Bulan Sabit Subur. Kebijakan Umar di bidang ini dan di bidang finansial pada umumnya sangat dihargai oleh para ahli sejarah Islam (khususnya, tentu saja, kalangan Sunni) dan diakui oleh para ahli bukan-Muslim sebagai suatu tindakan seorang genius dan bijak. (Juga Umarlah yang memprakarsai pendirian lembaga keuangan yang dikenal dengan bayt al-mal --harfiah berarti "rumah harta"). Tapi ketika Utsman mewarisinya, ternyata sedikit demi sedikit sistem Umar itu mulai menunjukkan segi-segi kelemahannya. Ditambah lagi, seperti telah disinggung, Utsman tidak memiliki wibawa dan kecakapan seperti pendahulunya itu. Tentera di berbagai kota garnizun mulai merasakan tidak adilnya penghasilan daerah mereka dikontrol dan dibawa ke Madinah sebagai fay' (milik negara). Mereka menginginkan untuk secara langsung mengontrol dan menguasai penghasilan daerahnya masing-masing itu. Ketidakpuasan ini masih harus ditambah, sebagaimana telah dikemukakan, dengan gejala-gejala nepotisme Umawi yang semakin terasa pada masa Utsman, khususnya dalam bidang-bidang keuangan ini. Maka, mengulangi perdebatan di masa Umar sekitar masalah tanah-tanah pertanian daerah taklukan itu, [11] para tentera menghendaki agar tanah-tanah produktif itu langsung dibagikan kepada tentera penakluk bersangkutan, dan dilepaskan dari pengawasan Madinah, sama dengan harta rampasan perang mana pun juga. Jadi berbeda dengan pandangan Umar yang tidak melihatnya demikian. Akumulasi dari semua ketidakpuasan terhadap Utsman itu yang jelas sebagian bukan karena kesalahan Utsman sendiri berakhir dengan pembunuhan Khalifah. Dan dengan begitu dimulailah perang saudara selama lima tahun, hanya selang sekitar seperempat abad sejak wafat Nabi. GOLONGAN-GOLONGAN KHAWARIJ, SYI'AH DAN SUNNAH Kejadian pembunuhan Utsman hanyalah permulaan, dan hanyalah salah satu, dari deretan fitnah yang amat besar pengaruhnya kepada terjadinya skisme dalam Islam. Segera setelah Utsman terbunuh, maka, menurut sementara ahli sejarah Islam, para bekas pembunuh itu atau simpatisan mereka mensponsori pengangkatan Ali (ibn Abi Thalib) sebagai khalifah, menggantikan Utsman. Kebetulan Ali yang adalah kemenakan dan menantu Nabi, serta pelopor mula pertama dalam Islam, telah tumbuh sejak zaman Nabi sendiri sebagai seorang pahlawan, ahli perang (warrior) yang tangkas, dengan sikap hidup yang penuh kesalihan dan hikmah (wisdom) yang luas dan mendalam. Bagi banyak pihak di Madinah, meskipun tidak disepakati oleh semua orang, ketokohan Ali membuatnya paling tepat sebagai pengganti (khalifah) Nabi, tidak hanya sekarang sesudah Utsman, tapi sejak wafat Nabi sendiri. Tentang mengapa yang terjadi ialah pengangkatan Abu Bakr, seorang Sahabat Nabi yang amat dekat dan senior, serta mertua beliau (ayahanda A'isyah, salah seorang isteri beliau yang amat dicintainya) sebagai imam (imam, artinya orang yang berdiri di depan, yakni, memimpin, khususnya dalam shalat berjama'ah) ummat Islam di Madinah itu, adalah bahan kontroversi yang serius, yang sampai sekarang masih menjadi bahan pembicaraan. Tetapi agaknya penunjukan Abu Bakr, dengan pensponsoran kuat dari Umar, lebih mirip tindakan darurat (emergency), tercermin dari penggunaan istilah Khalifah (pengganti) olehnya untuk tugasnya itu. Baru di masa Umar sifat kedaruratan itu mulai hilang, dan tumbuh kesadaran padanya akan sifat kepermanenan jabatan pemimpin ummat Islam. Maka Umar, untuk sebutan resmi jabatannya itu, memilih nama atau gelar Amir al-Mu'minin, yakni, Komandan Orang-orang Beriman, karena memang program utama masyarakat Islam waktu itu ialah melancarkan ekspedisi-ekspedisi militer ke luar Jazirah Arabia. Program itu sendiri konon sebagai kelanjutan rintisan dan pelaksanaan pesan Nabi menjelang wafat. Perkembangan pranata politik Islam pada saat pengangkatan Ali ialah bahwa sistem kekhalifahan telah berjalan dan tumbuh selama hampir seperempat abad, lengkap dengan berbagai pelembagaannya yang sebagian besar sebagaimana telah disinggung, diletakkan oleh Umar. Maka kekhalifahan sebagai saat itu telah menjadi terlalu amat penting untuk dilewatkan begitu saja, dan di hadapan berbagai kritis yang mulai mengancam ummat Islam lembaga itu menjadi rebutan dalam tema-tema "to be or not to be." Telah disebutkan bahwa Ali sebenarnya adalah tokoh yang amat tepat menghadapi situasi kritis itu. Tetapi ketokohannya itu menjadi problem karena kenyataan bahwa sejak semula ia, dibawa oleh sikapnya yang salih dan populis, menunjukkan simpati kepada para pemrotes kebijaksanaan Utsman, meskipun jelas mustahil mendukung pembunuhannya. Maka suasana curiga kepada Ali dari banyak pihak menjadi tak terhindarkan. Kecurigaan itu mewujudkan diri dalam reaksi-reaksi tidak setuju kepada pengangkatan Ali sebagai khalifah, tidak saja dari kalangan yang secara langsung mempunyai hubungan darah dengan Utsman, Khalifah terbunuh, yaitu kalangan kaum Umawi (Umawi, anak cucu Umayyah ibn 'Abd Syams, ayah dari pada kakek Mu'awiyah) tetapi juga dari tokoh-tokoh seperti A'isyah, puteri Abu Bakr dan isteri Nabi yang sangat dicintainya, juga al-Zubayr ibn al-Awwam, seorang anggota keluarga Abu Bakr. Sedangkan dari kalangan kaum Umawi, seperti dapat diduga, tuntutan untuk pengusutan pembunuhan Utsman sangat keras, dipelopori oleh politikus dan gubernur yang cakap, Mu'awiyah (anak abu Sufyan, musuh utama Nabi sampai penaklukan Mekkah), dan dibantu oleh 'Amr ibn al-'Ash, gubernur dan komandan militer yang menaklukkan Mesir. Berbagai reaksi kurang menguntungkan terhadap 'Ali itu tidak saja membuat situasi masyarakat Islam yang masih muda dilanda suasana tak menentu dan sedikit chaotik. Reaksi-reaksi itu segera menyeret masyarakat Islam ke dalam kancah peperangan sesama mereka, dengan korban jiwa yang tidak sedikit. 'Ali yang seorang ahli perang (warrior) yang cakap dan berani agaknya dengan mudah mengalahkan A'isyah dan al-Zubayr di pertempuran dekat Basrah yang kemudian dikenal sebagai "Peristiwa Onta" (karena A'isyah memimpin pasukan dengan menunggang onta, dan onta itu terbunuh dalam pertempuran). Tetapi peristiwa itu sendiri menimbulkan luka sosial-keagamaan pada ummat Islam yang sampai sekarang belum seluruhnya tersembuhkan. Yang lebih parah, dengan akibat yang amat jauh dalam bidang sosial-keagamaan, ialah permusuhan antara Ali dan Mu'awiyah. Juga disebabkan oleh kecakapan militernya, Ali agaknya akan akhirnya memenangkan pertempurannya melawan Mu'awiyah. Tetapi mungkin sebagai gabungan antara kesalihan yang lebih mementingkan perdamaian dan sikap meremehkan kepintaran, jika tidak bisa disebut kelicikan, diplomatik Mu'awiyah dan para pendukungnya, Ali secara iktikad baik dan "polos" menerima usul arbitrasi di Shiffin. Akibatnya ialah bahwa ia justru kehilangan dukungan dari para sponsornya yang gigih dan militan, yang sejak semula menginginkan penyelesaian militer terhadap Mu'awiyah. Mereka ini kemudian membentuk kelompok ketiga, dan menamakan diri mereka kaum al-Syurat, yakni, "orang-orang yang menjual diri (kepada Allah)," dengan secara total menyerahkan dan mengorbankan diri untuk agama yang benar. (Sebutan ini merujuk kepada firman Allah, "Dan di antara manusia ada yang 'menjual' dirinya demi memperoleh ridla Allah. Dan Allah itu Maha Penyantun kepada para hamba-Nya." [12] -------------------------------------------- (bersambung 3/4) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |