Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

VI.51. SKISME DALAM ISLAM                                (3/4)
Tinjauan Singkat Secara Kritis-Historis Proses Dini
Perpecahan Sosial-Keagamaan Islam
 
oleh Nurcholish Madjid
 
Maka sebutan al-Syurat itu sekaligus memberi gambaran  tentang
hakikat   dan  sifat  gerakan  mereka,  yaitu  gerakan  dengan
semangat sendirinya mereka berkembang menjadi kelompok  dengan
tingkat ekstremisme yang amat tinggi, yang kemudian secara tak
terhindarkan  membawa  mereka  kepada  situasi  mudah   sekali
terpecah-belah   dan   saling   bermusuhan,   untuk   akhirnya
melenyapkan  diri  mereka  sendiri.  Egalitarianisme   radikal
kelompok ini membawa mereka kepada konsep-konsep sosialpolitik
yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita  Islam  seperti
diletakkan   oleh  Nabi  dan  merupakan  kelanjutan  cita-cita
universal  dalam  tradisi  bangsa-bangsa  Irano-Semitik  sejak
ratusan   tahun,   dan   yang   dengan  kuat  sekali  mewarnai
pandangan-pandangan hidup di daerah Bulan Sabit Subur.  Tetapi
karena    dibawakan   dengan   militansi   yang   hampir   tak
terkendalikan,  maka  konsep-konsep  itu  yang   antara   lain
melahirkan  doktrin hijrah, yaitu semua orang harus menyingkir
dari tatanan mapan dan bergabung dengan mereka demi iman  yang
benar  telah  menjerumuskan  masyarakat  Islam  kepada suasana
"semua  lawan  semua,"  tanpa  ada  pihak   yang   benar-benar
diuntungkan. Korban yang paling tragis dari ekstremisme mereka
ialah Ali sendiri, seorang tokoh yang pernah mereka  unggulkan
dengan  penuh  antusiasme,  namun akhirnya mereka habisi dalam
suatu pembunuhan politik.
 
Karena kegiatan mereka yang selalu merongrong  tatanan  mapan,
mereka   kemudian   lebih   dikenal   sebagai   kaum  Khawarij
(pemberontak).  (Mereka  juga  dinamakan  kaum  al-Haruriyyun,
nisbat  kepada  oase  al-Harura  dekat  Kufah,  tempat  mereka
berpangkalan).  Seperti  telah  dikatakan  tadi,  mereka   ini
kemudian    mengalami    penghancuran   diri   sendiri   (self
annihilation) justru karena watak mereka yang sangat  akstrem.
Akibatnya  ialah  bahwa  mereka  hampir-hampir  praktis  tidak
tertahan untuk menyaksikan zaman modern sekarang ini.
 
Tetapi sebenarnya  hanya  secara  fisik  mereka  boleh  dikata
terhapus  dari  sejarah.  Sedangkan  secara  doktrinal, justru
banyak sekali faham-faham keagamaan yang kini  berkembang  dan
mapan  di  kalangan  kaum  Muslimin  dapat  ditelusuri kembali
sebagai asal  dari  problematika  kaum  Khawarij.  Bahkan  ada
tanda-tanda  bahwa problematika kaum Khawarij itu, sebagaimana
dahulu  muncul  dalam  sistem  kalam  kaum  Mu'tazilah,   kini
menunjukkan  daya  tarik dan vitalitasnya di kalangan sebagian
kaum Muslim "liberal" (dalam  arti  lebih  banyak  menunjukkan
sikap  kritis  dan  mungkin  ingin lepas dari kukungan tatanan
mapan sosial-keagamaan yang ada).
 
Perkembangan lebih lanjut masyarakat Islam setelah terbunuhuya
Ali  oleh  kaum  Khawarij  ialah pengakuan dan dukungan hampir
universal masyarakat kepada kekuasaan Mu'awiyah  di  Damaskus,
sekurang-kurangnya  secara  de  facto.  Terutama pada tahun 41
Hijri, ummat Islam di bawah Mu'awiyah dapat dikatakan  kembali
kepada keutuhannya yang semula, dan orang dengan penuh harapan
menyebut tahun itu sebagai "Tahun  Persatuan"  (Amal-Jama'ah).
[13]
 
Dengan   modal   persatuan  itu  Mu'awiyah  dapat  melanjutkan
program-program  ekspansi  militer  dan  politik  yang  sempat
tertunda beberapa lama oleh adanya fitnah. (Mu'awiyah ternyata
menunjukkan kecakapan memerintah  yang  mengesankan,  sehingga
para  ahli  sejarah ada yang mengatakan sebagai Khalifah Islam
yang kedua terbesar, yakni,  sesudah  Umar  ibn  al-Khaththab.
Bahkan  cukup  menarik  bahwa  ibn Taymiyyah, dalam polemiknya
dengan kaum Syi'ah, masih  sempat  menunjuk  kepada  kenyataan
bahwa  sementara  Ali  mendapat  dukungan bagi kekhalifahannya
hanya dari sebagian umat Islam,  Mu'awiyah  mendapat  dukungan
yang   boleh   dikata  universal.  Ini,  dalam  pandangan  Ibn
Taymiyyah, menunjukkan segi tertentu kelebihan Mu'awiyah  atas
Ali,  meskipun  ia  tetap secara keseluruhan mengunggulkan Ali
atas lawannya itu). [14]
 
Tetapi setelah Mu'awiyah  meninggal,  keadaan  kembali  kepada
kekacauannya  yang semula. Dengan maksud untuk tidak mengambil
risiko yang dapat mengganggu  "keseimbangan  rawan"  (delicate
balance)  susunan masyarakat Islam yang ada dan yang diperoleh
dengan  banyak  pengorbanan  itu,  sudah  sejak  semula  dalam
kekhalifahannya  Mu'awiyah  meminta agar masyarakat menyetujui
untuk mengangkat Yazid, anak  sendiri,  sebagai  penggantinya.
Sebagian  besar masyarakat Islam menyetujui ide itu, dan Yazid
pun dinyatakan sebagai  Khalifah.  Tetapi  kekhalifahan  Yazid
yang  memang  tidak  banyak  memenuhi  gambaran  ideal seorang
penguasa  Muslim  itu  segera  mengundang  munculnya   kembali
pertentangan-pertentangan laten.
 
Tantangan  terhadap Yazid mula-mula datang dari para pendukung
Ali  yang  memang  nampak  selalu  siap   menggunakan   setiap
kesempatan.  (Sesungguhnya  mereka  berharap, sepeninggal Ali,
agar  Hasan,  anaknya,  mempertahankan   klaim   kekhalifahan,
menghadapi  Mu'awiyah  di  Damaskus. Tetapi Hasan mengecewakan
mereka dengan sikapnya yang lebih senang turun dari klaim  itu
dan  hidup  hampir  menyendiri  secara  damai di Madinah. Maka
harapan para  pendukung  Ali  kini  ditujukan  kepada  Husayn,
saudara  Hasan, yang mereka undang untuk memberontak di Kufah,
Irak. Tetapi, sebelum tentera Syria  datang  menyerbu,  banyak
kalangan  penduduk  Kufah  sendiri  yang  menarik  dukungannya
kepada Husayn, setelah berhasil dibujuk oleh  gubernur  Syria.
Husayn  dengan  kekuatan  tenteranya  yang kecil menolak untuk
menyerah, dan mereka ini terkucilkan di padang pasir  Karbala,
dekat  Kufah.  Tentera Yazid menghancurkan mereka, dan Husayn,
putera Ali dan Fathimah, cucu Nabi, terbunuh secara amat kejam
dan tragis.
 
Terbunuhnya  Husayn,  seperti  terbunuhnya  Utsman sebelumnya,
merupakan  peristiwa  terpenting  dalam  fitnah  kedua,   yang
mempunyai   dampak   amat   luas   dan  mendalam  pada  sistem
sosial-keagamaan Islam sampai sekarang. Adalah sejak peristiwa
Karabala itu para pendukung setia Ali dan keturunannya dikenal
dengan sebutan kaum Syi'ah (yang sebetulnya  lengkapnya  ialah
syi'ah  Ali.  "Partai  Ali"). Dengan menggunakan sentimen umum
terhadap kematian tragis Husayn,  kaum  Syi'ah  perlahan-lahan
mengkonsolidasikan  diri dan mengembangkan pandangan-pandangan
sosial-politik  keagamaan  yang  kelak  menjadi  dasar  sistem
doktrinal Syi'isme.
 
Tetapi  Yazid  tidak  hanya  menghadapi  tantangan  dari  kaum
Syi'ah.  Di  Makkah  bangkit  Abdullah  ibn   al-Zubayr   (ibn
al-Awwam)  yang  ayahnya  dahulu  pernah menentang Ali bersama
A'isyah dan kalah kini bangkit menentang  Yazid  dengan  cukup
efektif.  Yazid  tidak bisa mengatasinya, dan setelah penguasa
Damaskus  ini  meninggal  sesudah  menjabat  sebagai  khalifah
selama  sekitar  tiga tahun saja, Abdullah oleh sebagian besar
umat diakui sebagai khalifah yang sah, dengan  Makkah  sebagai
ibukota.
 
Tetapi Abdullah tidak menikmati kekuasaan yang mantap. Di luar
kota Makkah sendiri, meliputi sebagian besar pedalaman Jazirah
Arabia,  khususnya  di daerah pedesaan atau badawah, kekuasaan
berada  di  tangan  kaum  Khawarij  yang  seperti  selama  ini
melancarkan   perang  "hit  and  run"  terhadap  Abdullah  ibn
al-Zubayr.
 
Sebenarnya kaum  Khawarij  ini  hampir  berhasil  menghidupkan
beberapa  nilai  yang  diajarkan  oleh  Nabi,  khususnya faham
persamaan umat manusia. Egalitarianisme mereka  telah  membuat
mereka  termasuk  yang  pertama dalam sejarah Islam yang tidak
membeda bedakan antara Muslim Arab dan Muslim bukan-Arab.  Dan
politik  mereka yang menerapkan prinsip nonintervensi terhadap
kelompok-kelompok bukan-Muslim, dengan membiarkan mereka dalam
otonomi  penuh  mengurus  kepentingan  mereka  sendiri,  telah
membuat kaum Khawarij cukup favorable di mata kaum non-muslim.
 
Tetapi kaum Khawarij gagal memperoleh dukungan  dari  kalangan
Muslim  yang lebih terorganisir di kota-kota. Kebiasaan mereka
untuk melakukan gerilya dalam kelompok-kelompok penyerang yang
disusun  seperti sistem kabilah sebelum Islam (masa Jahiliyah)
telah  mengundang  antipati  orang-orang  kota.  Ini   membuat
kekuasaan  kaum  Khawarij,  meskipun  selama  fitnah kedua ini
menguasai teritorial yang paling luas, tidak  pernah  efektif.
Apalagi,  setelah  secaara  singkat menjadi pendukung Abdullah
ibn al-Zubayr pada saat permulaan penampilan  khalifah  Makkah
itu,  kaum  Khawarij  terpecah  menjadi  dua, yang berbasiskan
Iran, yang dikenal sehagai  kaum  Azariqah,  menganggap  siapa
saja yang tidak bergabung dengan mereka sebagai murtad, dengan
akibat hukum bunuh yang mereka  laksanakan  secara  konsekuen.
Mereka ini akhirnya dikalahkan oleh tentara Ibn al-Zubayr yang
berpangkalan di Basrah, Irak.
 
Selain menghadapi kaum Khawarij,  Ibn  al-Zubayr  masih  harus
menyelesaikan masalah Syi'ah. Setelah mengalami kekalahan yang
tragis oleh Yazid di padang Karbala, kaum Syi'ah  sekali  lagi
mencoba  memobilisasi  diri dan menemukan figur sentral mereka
pada  putera  Ali  yang   lain,   yaitu   Ibn   al-Hanafiyyah.
Pemberontakan  kaum  Syi'ah  ini dipimpin oleh Mukhtar ibn Abi
Ubayd. Kaum Syi'ah, sama halnya  dengan  kaum  Khawarij,  juga
ingin  menegakkan  prinsip  persamaan  manusia,  namun  dengan
cara-cara yang lebih moderat. Mereka  dengan  tegas  mengambil
sikap   yang   menyamakan  status  antara  orang-orang  Muslim
bukan-Arab dengan Muslim Arab. Tetapi  egalitarianisme  mereka
ini  justru  membuat marah orang-orang Muslim Arab Kufah, yang
kemudian berpaling melawan mereka. Tantangan orang  Kufah  ini
mempermudah  pemberontakan  kaum  Syi'ah untuk dipatahkan oleh
Ibn al-Zubayr dengan menggunakan kekuatan tentara dari  Basrah
yang saat itu telah bebas dari tugas menghadapi kaum Khawarij.
 
Keberhasilan Ibn al-Zubayr mematahkan kaum Khawarij dan Syi'ah
tidak berarti bahwa mereka  benar-benar  bebas  dari  oposisi.
Kaum  Khawarij  dan  Syi'ah  itu  tetap merupakan ancaman yang
laten. Sementara itu, di utara,  di  Syria,  kekuatan-kekuatan
oposisi  kelanjutan  kaum Umawi berhasil mengkonsolidasi diri.
Kaum Umawi yang berkoalisi dengan  kaum  Banu  Kalb  (sandaran
utama   kekuatan   Arab  Syria  bagi  kaum  Umawi  sejak  masa
Mu'awiyah) mengangkat Marwan ibn al-Hakam,  sepupu  Mu'awiyah,
sebagai  Khalifah.  (Adalah  Marwan  ini yang dahulu bertindak
sebagai penasehat utama Khalifah Utsman ibn Affan dan  didakwa
sebagai  dalang pembunuhan pemimpin delegasi Mesir yang datang
ke Madinah untuk mengadukan perkara mereka, dan yang  kemudian
membangkitkan   amarah   mereka   dengan   akibat   pembunuhan
khalifah). Dengan cepat kekuatan kaum Umawi di  Syria  sebagai
salah satu kontestan untuk kekhalifahan tumbuh dan berkembang,
sehingga Mesir pun tidak  lama  jatuh  ke  tangan  Marwan  dan
anaknya,  Abd al-Malik. Setelah menyusul Irak, Irak juga jatuh
ke tangan kaum Umawi, yang berarti  hilangnya  basis  dukungan
bagi  Ibn  al-Zubayr  di  Mekkah.  Kota-kota garnizun di bawah
kepemimpinan kaum Umawi yang tegar kini  lebih  efektif  dalam
melawan gerilya kaum Khawarij dari pedalaman dibanding keadaan
mereka dibawah kepemimpinan Ibn al-Zubayr yang  lunak.  Hingga
akhirnya  kaum  Umawi  berhasil merebut Makkah sendiri (Ka'bah
sempat hancur dan harus dibangun  kembali  karena  pertempuran
memperebutkan  kota  suci  itu), dan di situ Khalifah Abdullah
ibn al-Zubayr (ibn al-Awwam) terbunuh.
 
Kini kekhalifahan sepenuhnya pindah ke tangan anak Marwan, Abd
al-Malik (692-705), yang oleh Hodgson disebut sebagai khalifah
Islam  terbesar  ketiga  setelah  Umar  dan  Mu'awiyah.   Segi
kebenaran  Abd  al-Malik  ialah  bahwa  ia berhasil mengakhiri
fitnah (kedua), dengan melakukan  berbagai  akomodasi.  Dengan
tegas  Abd  al-Malik  mendasarkan  sistemnya  di  atas  konsep
kekuatan (force). Maka negara menjadi negara  kekuasan  (macht
staat), dan faham keagamaan diperhitungkan hanya setelah jelas
siapa yang  unggul  melalui  kekuatan  itu.  Juga  penggantian
kekhalifahan  dengan  tegas didasarkan kepada pewarisan, dalam
bentuk  suksesi  melalui   penunjukan   oleh   khalifah   yang
terdahulu.
 
Kebesaran  Abd  al-Malik  ibn  Marwan yang lain terletak dalam
kegairahannya untuk menegaskan supremasi Islam  terhadap  yang
lain.  Di  sisi  lain tindakannya bisa disebut sebagai sejenis
nasionalisme Arab. Tetapi ketika Abd al-Malik  mengganti  mata
uang  logam  Yunani  yang  bergambar kepala raja mereka dengan
mata uang logam khas Arab  dan  Islam  dengan  simbol  kalimah
syahadat, maka efeknya ialah penegasan kedaulatan Islam.
 
Berbeda  dengan  pandangan  keagamaan kaum Khawarij dan Syi'ah
pandangan keagamaan kaum Umawi memang  sangat  berat  berwarna
ke-Arab-an.  Bagi  mereka  Islam  adalah lambang Arabisme yang
dipersatukan, dan berfungsi terutama  sebagai  kode  etik  dan
ajaran  disiplin  bagi  kekuatan  elite penakluk dan penguasa.
Berdasarkan pandangannya itu Abd al-Malik  melihat  pentingnya
usaha  lebih  lanjut  mempersatukan  orang-orang Arab di bawah
bendera Islam melawan kecenderungan kesukuan yang sampai  saat
itu  masih  menunjukkan  potensi  latennya.  Solidaritas  Arab
berdasarkan  Islam   melawan   kecenderungan   kesukuan   lama
(Jahiliyah)  ini  kemudian  menjadi dasar ide tentang Jama'ah,
suatu  konsep  atau  idiologi  yang   meletakkan   nilai-nilai
persatuan dan kesatuan di atas semangat kesukuan dan bahkan di
atas faham-faham keagamaan faksional.
 
Sebagai dukungan asasi bagi  konsep  Jama'ah-Nya  itu,  dengan
dibantu  oleh  keahlian  dan  kesarjanaan al-Hajjaj ibn Yusuf,
bekas guru madrasah di Thaif, pada kalangan Banu Tsaqif  (yang
sebelumnya  telah  membantu  menaklukkan  Mekkah, membunuh Ibn
al-Zubayr,  dan  menghancurkan   Ka'bah   serta   membangunnya
kembali),  Abd  al-Malik  meneruskan usaha mempersatukan ummat
Islam berkenaan dengan Kitab Suci mereka,  dengan  memperbaiki
cara  penulisannya  dan  memastikan  harakat bacaannya melalui
penambahan beberapa diakritik dan vokalisasi  (harakat).  [15]
Dampak  amat  penting  tindakan ini ialah penyatuan yang lebih
meyakinkan seluruh kekuatan Islam  (dan  Arab),  yang  menjadi
dasar   kebesaran   kekuasaan  Umawi  (lebih  tepat,  Marwani,
sebagaimana sebutan pilihan  sementara  ahli  sejarah  Islam).
Melalui   kebijaksanaan  Abd  al-Malik  ibn  Marwan  ini  maka
al-Qur'an  mempunyai  fungsi  lain,  yaitu   sebagai   lambang
persatuan  dan  kesatuan (Jama'ah) yang tak tergugat. Kemudian
dorongan untuk memahami lebih baik dan melaksanakan  ajarannya
secara lebih tepat tumbuh dengan pesat di kalangan umum.
 
Maka  dalam  usaha  memahami  lebih  baik  Kitab  Suci itu dan
melaksanakannya dalam kehidupan nyata, kaum Muslimin, terlebih
lagi  para  penguasa  Umawi, semakin banyak merasakan perlunya
bahan rujukan dari kebiasaan mapan (sunnah) masa  lalu  Islam,
yang  sebenarnya belum lama berselang itu. Nampaknya masa lalu
Islam itu yang paling otoritatif, sudah tentu, ialah masa Nabi
sendiri.  Tetapi,  sepanjang mengenai pelaksanaan pemerintahan
sehari-hari, masa Umar ibn  al-Khathab  nampak  paling  banyak
dijadikan  rujukan.  Maka  kaum  Umawi  di Damaskus itu, dalam
masalah pemerintahan menurut pengertian  seluas-luasnya,  jika
pemerintahan   itu   harus   dijalankan   dengan   norma-norma
keislaman, banyak melanjutkan rintisan  dan  percontohan  Umar
ibn  al-Khathab,  dengan  berbagai modifikasi dan penyesuaian.
Karena  itu  ketika  para  qadli  sebagai   pemegang   semacam
kekuasaan  yudikatif  di  daerah-daerah  (Abd  al-Malik adalah
orang  pertama  melembagakan  jabatan   qadli   itu),   banyak
referensi  dilakukan  kepada  preseden  yang ada dalam sejarah
Islam.  Maka  dengan   begitu   secara   berangsur   tumbuhlah
yurisprudensi  Islam,  yang kelak melahirkan disiplin terpisah
dalam ilmu-ilmu keagamaan Islam, yaitu ilmu fiqh. [16]
 
--------------------------------------------  (bersambung 4/4)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team