Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

III.19. PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS"       (1/3)
IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH
oleh Nurcholish Madjid
 
Dalam   masyarakat   Islam   di   beberapa   negara   terdapat
kelompok-kelompok   yang  meragukan  otoritas  hadits  sebagai
sumber kedua penetapan hukum Islam. Di negara kita, ada  suatu
golongan  yang  menanamkan  dirinya  kaum  "Inkar  al-Sunnah".
Karena sikap mereka menolak  perlunya  kaum  muslim  berpegang
pada  sunnah,  maka  golongan  ini menjadi sasaran kritik para
ulama dan tokoh Islam.
 
Pada banyak kasus mungkin  terjadi  semacam  kekacauan  akibat
kecenderungan  masyarakat  untuk menyamakan begitu saja antara
sunnah dan hadits. Sudah jelas, di  antara  keduanya  terdapat
jalinan  yang  erat, namun sesungguhnya tidaklah identik. Yang
pertama  (sunnah)  mengandung  pengertian  yang   lebih   luas
daripada  yang  kedua  (hadits).  Bahkan dapat dikatakan bahwa
sunnah mengandung makna yang lebih prinsipil daripada  hadits.
Sebab  yang disebutkan sebagai sumber kedua sesudah Kitab Suci
al-Qur'an  ialah  sunnah,  bukan  hadits,  sebagaimana  sering
dituturkan  tentang  adanya sabda Nabi saw. "Aku tinggalkan di
antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan  sesat  selama
berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah RasulNya."
 
Tapi  sekarang  ini  sunnah  memang tidak dapat dibedakan dari
hadits, demikian  pula  sebaliknya.  Jika  seseorang  menyebut
"sunnah"   maka   dengan  sendirinya  akan  terbayang  padanya
sejumlah kitab koleksi sabda Nabi.  Yang  paling  terkenal  di
antaranya  ialah  dua kitab koleksi oleh al-Bukhari dan Muslim
(disebut al-Shahihayn, "Dua Yang Sahih"), dan yang  lengkapnya
meliputi  pula  kitab-kitab koleksi oleh Ibn Majah, Abu Dawud,
al-Turmudzi dan  al-Nasa'i.  Tapi  sebelum  mereka  sudah  ada
seorang  kolektor  hadits  yang  amat kenamaan dan berpengaruh
besar yaitu sarjana dan pemikir dari Madinah, Malik  Ibn  Anas
(pendiri madzhab Maliki, wafat 179 H.) yang menghasilkan kitab
hadits al-Muwaththa'.
 
Berdasarkan sabda Nabi tentang Kitab dan sunnah di atas,  pada
prinsipnya  sikap  ingkar  pada sunnah tidak dapat dibenarkan.
Tapi  ingkar  kepada  hadits,  sekalipun  jelas  tidak   dapat
dilakukan secara umum tanpa penelitian tentang hadits tertentu
mana yang dimaksud,  telah  terjadi  dalam  kurun  waktu  yang
panjang  pada  golongan-golongan  tertentu  Islam seperti kaum
Mu'tazilah.  Oleh  karena  dampak  masalah  ini  dalam   usaha
penetapan  hukum  (tasyri')  sangat  besar  dan  penting, maka
kajian kesejarahan tentang evolusi  pengertian  sunnah  --yang
diungkapkan Nabi meski secara tersirat-- diharapkan akan dapat
membantu    memperjelas    persoalan.    Perjalanan    sejarah
perkembangan  dan  perubahan  itu  sendiri  cukup  panjang dan
rumit. Tapi jika kita berhasil melepaskan diri dari dogmatisme
yang  menerima begitu saja pengertian-pengertian mapan tentang
apa yang terjadi di masa lampau, maka dari celah-celah sejarah
itu  kita  akan  dapat  menarik "benang merah" yang memberikan
kejelasan tentang perkembangan dan perubahan itu.
 
PENGERTIAN SUNNAH
 
Sunnah  lebih  luas  daripada  hadits,  termasuk  yang  sahih.
Berarti,  sunnah  tidak  terbatas hanya pada hadits. Sekalipun
pengertian ini cukup jelas, namun masih juga sering mengundang
kekaburan.  Memang,  antara sunnah dan hadits terbentang garis
kontinuitas yang tidak terputus, namun mencampuradukkan antara
keduanya tidak dapat dibenarkan.,
 
Jika disebutkan oleh Nabi bahwa sunnah merupakan pedoman kedua
setelah Kitab Suci bagi kaum muslim dalam memahami agama, maka
sesungguhnya  Nabi  hanya  menyatakan sesuatu yang amat logis.
Yaitu, dalam memahami agama dan melaksanakannya,  orang  Islam
tentu  pertama-tama  harus  melihat  apa  yang ada dalam Kitab
Suci, kemudian, kedua, harus  mencari  contoh  bagaimana  Nabi
sendiri  memahami dan melaksanakannya. Sebab, Nabi-lah sebagai
utusan Tuhan, yang secara logis paling  paham  akan  apa  yang
dipesankan Tuhan pada manusia melalui beliau, juga yang paling
tahu bagaimana melaksanakannya. Pengertian lain yang menyalahi
hal itu mustahil dapat diterima.
 
Pemahaman  Nabi  terhadap  pesan  atau wahyu Allah itu teladan
beliau dalam melaksanakannya membentuk "tradisi" atau "sunnah"
kenabian (al-sunnah al-Nabawiyyah). Sedangkan hadits merupakan
bentuk reportase atau penuturan tentang  apa  yang  disebabkan
Nabi  atau  yang  dijalankan dalam praktek tindakan orang lain
yang "didiamkan" beliau (yang dapat  dapat  diartikan  sebagai
"pembenaran").  Itulah  makna  asal kata hadits, yang sekarang
ini definisinya makin luas batasannya dan komprehensif.  Namun
demikian,   tidak   berarti  bahwa  hadits  dengan  sendirinya
mencakup seluruh sunnah.
 
Jika sunnah merupakan keseluruhan  perilaku  Nabi,  maka  kita
dapat  mengetahui  dari  sumber-sumber  yang  selama ini tidak
dimasukkan sebagai  hadits,  seperti  kitab-kitab  sirah  atau
biografi Nabi. Sebab, dalam lingkup sunnah sebagai keseluruhan
tingkah laku Nabi,  harus  dimasukkan  pula  corak  dan  ragam
tindakan  beliau,  baik sebagai pribadi maupun pemimpin. Dalam
kedudukan beliau sebagai  pemimpin  itulah  Kitab-kitab  sirah
banyak memberi gambaran.
 
Di antara kitab-kitab sirah, termasuk yang sangat dini ditulis
ialah Sirah Ibn Ishaq yang kemudian disunting oleh Ibn  Hisyam
(berturut-turut  wafat pada tahun 151 dan 219 Hijri). Meskipun
wafat di Baghdad, Ibn Ishaq lahir di Madinah  (pada  tahun  85
H),  dan tumbuh sebagai sarjana terkemuka di kota Nabi. Dan ia
telah mengumpulkan bahan untuk kitab sirah-nya  beberapa  lama
sebelum usaha-usaha pengumpulkan hadits.
 
Sebelum  Ishaq,  telah  muncul  berbagai  karya  tulis tentang
riwayat  peperangan  Nabi  yang  lazim   disebut   kitab-kitab
al-Maghazi.   Kitab-kitab   itu,  bersama  dengan  kitab-kitab
biografi Nabi yang lain amat penting, karena  memuat  gambaran
tentang perjalanan hidup Nabi khususnya dalam kapasitas beliau
sebagai pemimpin. Maka, kitab-kitab itu juga merupakan  sumber
yang baik untuk memahami sunnah, khususnya, jika yang dimaksud
selain tindakan-tindakan Nabi atau sabda beliau yang  bersifat
terpisah dan ad hoc seperti umumnya tema catatan hadits. Dalam
sejarah terbukti bahwa pembacaan biografi Nabi, khususnya yang
berkaitan dengan riwayat peperangan beliau yang dikena sebagai
al-Maghazi   tersebut,   berhasil    membangkitkan    semangat
perjuangan  Islam,  karena  ilham  teladan  baik  dari beliau.
Inilah  "eksperimen"  Sultan  Shalah  al-Din  al-Ayyubi  dalam
menghadapi tentara Salib, yang ternyata berhasil gemilang. Dan
dengan  "eksperimen"  itu  pemimpin  Islam  dari  Mesir   yang
kemudian   terkenal   dengan   sebutan  "Sultan  Saladin"  itu
mewariskan pada Umat Islam seluruh dunia tradisi Maulid, yaitu
upacara  memperingati  kelahiran  Nabi  dengan membaca riwayat
hidup beliau.
 
Sunnah  Nabi   harus   pula   dipahami   sebagai   keseluruhan
kepribadian Nabi dan akhlak beliau, yang dalam kepribadian dan
akhlak beliau disebutkan dalam Kitab Suci sebagai teladan yang
baik   (uswah  hasanah)  bagi  kita  semua  "yang  benar-benar
berharap pada Allah pada Hari  Kemudian,  serta  banyak  ingat
kepada Allah"   (Q.S.   al-Ahzab  33:32).    Dan  beliau  juga
dilukiskan dalam Kitab Suci  sebagai  seorang  yang  berakhlak
amat  mulia  (Q.S. al-Qalam 68:4). Dengan demikian Nabi, dalam
hal ini tingkah laku dan kepribadian  beliau  sebagai  seorang
yang  berakhlak  mulia,  menjadi  pedoman  hidup kedua setelah
Kitab Suci bagi seluruh kaum beriman.
 
Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapat
lepas  dari  memahami  Kitab  Suci sendiri. Sebab sesungguhnya
akhlak Nabi yang mulia itu tidak lain  adalah  semangat  Kitab
Suci  al-Qur'an  itu  sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah,
isteri beliau. Dari Kitab Suci kita  mengetahui  lebih  banyak
perkembangan  kepribadian  Nabi  yang menggambarkan pengalaman
Nabi, baik yang menyenangkan atau tidak,  yang  keseluruhannya
menampilkan   sosok   Nabi  yang  berkeprlbadian  mulia.  Dari
pengamatan atas  gambaran  itu  kita  dapat  memperoleh  ilham
tentang  peneladanan  pada  beliau,  dan  keseluruhan  sasaran
peneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi. Sebagai  contoh,
dua  surat yang termasuk paling banyak dibaca dalam sembahyang
dapat kita renungkan maknanya di sini:
 
Demi pagi yang  cerah  dan  demi  malam  ketika  telah  kelam.
Tidaklah  Tuhanmu  meninggalkan  engkau  (Muhammad), dan tidak
pula murka. Dan  pastilah  kemudian  hari  lebih  baik  bagimu
daripada  yang  sekarang  ada.  Dan juga pastilah Tuhanmu akan
menganugerahimu, maka kamu akan lega. Bukankah Dia mendapatimu
yatim,   kemudian   Dia  melindungimu?!  Dan  Dia  mendapatimu
bingung,  kemudian  Dia  membimbingmu?!  Dan  Dia  mendapatimu
miskin,  kemudian  Dia  memperkayamu?! Maka kepada anak yatim,
janganlah  engkau  menghardik!   Dan   kepada   peminta-minta,
janganlah  kamu  membentak!  Sedangkan berkenaan dengan nikmat
karunia Tuhanmu, engkau harus nyatakan! (QS. al-Dluha 93:1-11)
 
Bukankah Kamu  telah  lapangkan  dadamu?!  Dan  Kami  bebaskan
bebanmu,  yang  memberati  punggungmu?!  Serta  Kami  muliakan
namamu?!  Sebab  sesunggahnya  bersama  kesulitan  tentu   ada
kemudahan!  Maka jika engkau bebas, kerja keraslah! Dan kepada
Tuhanmu, senantiasa berharaplah! (QS. al-Syarh 94:1-8)
 
Para ahli hampir semuanya sepakat bahwa surat  al-Dluha  turun
kepada  Nabi berkenaan dengan peristiwa terputusnya wahyu yang
relatif panjang, sehingga menimbulkan ejekan dan sinisme  kaum
musyrik  Makkah  bahwa Tuhan telah meninggalkan Nabi dan murka
kepadanya.  Dari  latar  belakang  turunnya,  surat  ini  juga
menggambarkan  tentang  suatu  dinamika  pengalaman Nabi dalam
perjuangan beliau, sehingga seperti dikatakan  Sayyid  Quthub,
Allah  menghibur  beliau  dan memberinya dorongan moril, bahwa
Allah samasekali tidak  meninggalkan  beliau  dan  tidak  pula
murka.
 
--------------------------------------------  (bersambung 2/3)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team