Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

IV.23. TRADISI SYARAH DAN HASYIYAH DALAM FIQH
       DAN MASALAH STAGNASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM        (1/2)
       oleh Nurcholish Madjid
 
Kita telah membicarakan garis  perkembangan  pemikiran  sistem
hukum Islam --yang kemudian dikenal dengan (ilmu) fiqh-- sejak
dari  pertumbuhannya  di  masa  para  Sahabat,  kemudian  para
Tabi'in  dan  pengikut  mereka, dan akhirnya pertumbuhannya di
masa para imam madzhab. Sampai  dengan  masa  itu,  yang  kita
saksikan  dalam  sejarah  perkembangan fiqh ialah dinamika dan
kreativitas, yang senantiasa disertai dengan kegaduhan polemik
dan  kontroversi,  namun  dalam  suasana saling menghargai dan
tenggang rasa yang besar. Keadaan demikian itu dilukiskan K.H.
Muhammad Hasyim Asy'ari dari Tebuireng:
 
Telah  diketahui  bahwa  sesungguhnya  telah terjadi perbedaan
dalam furu' (makalah rincian) antara para  Sahabat  Rasulullah
saw  (semoga Allah meridlai mereka semua), namun tidak seorang
pun dari mereka memusuhi yang lain,  juga  tidak  seorang  pun
dari  mereka  yang  menyakiti  yang  lain,  dan  tidak  saling
menisbatkan lainnya kepada kesalahan ataupun  cacat.  Demikian
pula  telah  terjadi  perbedaan  dalam  furu'  antara Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik (semoga Allah meridlai keduanya)  dalam
banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar empatbelas ribu
dalam  bab-bab  ibadat  dan  mu'amalah,  serta   antara   Imam
al-Syafi'i  dan  gurunya,  Imam  Malik, (semoga Allah meridlai
keduanya) dalam banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar
enam  ribu,  demikian  pula  antara  Imam Ahmad ibn Hanbal dan
gurunya, Imam al-Syafi'i, dalam banyak  masalah,  namun  tidak
seorang  pun  dari  mereka  yang  menyakiti  yang  lain, tidak
seorang pun dari mereka mencerca yang lain, tidak seorang  pun
dari  mereka  mendengki  yang lain, dan tidak seorang pun dari
mereka menisbatkan  yang  lain  kepada  kesalahan  dan  cacat.
Sebaliknya  mereka  tetap  saling  mencintai, saling mendukung
sesama saudara mereka, dan masing-masing berdoa  untuk  segala
kebaikan mereka itu.[1]
 
K.H.  Hasyim  Asy'ari  juga menyebut, terjadi banyak perbedaan
pendapat  antara  para  tokoh  intern  madzhab  sendiri   pada
saat-saat   permulaan  perkembangannya,  seperti  antara  Imam
al-Rafi'i dan Imam al-Nawawi, juga antara Imam Ahmad ibn Hajar
dan  Imam  al-Ramli  dan  para  pengikut  mereka, namun "tidak
seorang pun dari mereka memusuhi yang lain, tidak seorang  pun
dari  mereka  menyakiti  yang lain, dan tidak seorang pun dari
mereka menisbatkan  yang  lain  kepada  kesalahan  dan  cacat,
bahkan    sebaliknya    mereka    selalu   saling   mencintai,
berpersaudaraan, dan saling menolong." [2]
 
Setelah masa-masa para imam madzhab lewat, yaitu mulai sekitar
abad  keempat  Hijri,  maka yang terjadi ialah pertumbuhan dan
perkembangan madzhab itu sendiri. Jalan pikiran para imam  itu
menjadi  titik  tolak,  tapi kemudian dikembangkan begitu rupa
sehingga yang terwujud ialah sebuah  aliran  yang  meluas  dan
mendalam  dan  cukup  pada  dirinya sendiri (self-sufficient).
Maka dari titik tolak  pemikiran  Imam  al-Syafi'i,  misalnya,
tumbuh   dan   berkembang  pemikiran  yang  lebih  meluas  dan
mendalam,  yang  serba  berkecukupan.  Karena  itu  yang   ada
bukanlah  pemikiran  Imam  al-Syafi'i  itu  an sich, melainkan
pemikiran yang meskipun  tetap  berwatak  "kesyafi'ian"  namun
dalam  banyak  hal  Imam al-Syafi'i sendiri mungkin tidak lagi
tersangkut  paut.  Inilah  yang  dimaksudkan  dengan   istilah
"madzhab,"  yaitu  suatu  kesatuan  pemikiran  yang tumbuh dan
berkembang, bertitik tolak dari produk intelektual satu orang,
namun  belum  tentu  orang tersebut sepenuhnya dapat dipandang
sebagai  ikut  bertanggungjawab.  Penilaian  ini   lebih-lebih
beralasan,  karena  para  tokoh  pemikir  yang menjadi pangkal
pengembangan madzhab tersebut semasa hidupnya  sendiri  sering
mengisyaratkan   keengganan  menjadi  pusat  pengikutan.  Jadi
sesungguhnya seorang pemikir seperti al-Syafi'i  menjadi  imam
madzhab   adalah  secara  post  factum,  yaitu  setelah  fakta
perkembangan pemikiran  yang  bertitik  tolak  dari  dia  itu,
menjadi kenyataan, setelah dia sendiri lama tiada.
 
Pertumbuhan madzhab itu dengan sendirinya terjadi melalui para
pengikut tokoh yang kelak  disebut  "imam  madzhab"  tersebut.
Mula-mula  masih terdapat sisa-sisa kreativitas dan keberanian
intelektual yang menghasilkan  karya-karya  tersendiri  dengan
tingkat   orisinalitas   yang  memadai,  seperti  yang  banyak
dilakukan oleh misalnya, al-Za'farani, al-Karabisi,  al-Rabi',
al-Buwaythi,   al-Muzni,  dan  lain-lain  dari  kalangan  para
penganut  madzhab  Syafi'i.  Demikian  pula  tokoh-tokoh  dari
madzhab-madzhab yang lain.
 
Tetapi  masa  itu  segera  diikuti  oleh  masa  dengan tingkat
kreativitas dan orisinalitas intelektual  yang  lebih  rendah.
Inilah  masa syarah (penjabaran) dan hasyiyah (penjabaran atas
syarah). Ciri umum masyarakat Muslim saat  itu  ialah  suasana
traumatis  terhadap perpecahan dan perselisihan, sehingga yang
muncul sebagai dambaan atau  obsesi  utama  masyarakat,  ialah
ketenangan  dan ketenteraman. Agaknya dambaan mereka tercapai,
tapi dengan  ongkos  yang  amat  mahal,  yaitu  stagnasi  atau
kemandekan.  Sebab  ketenangan  dan  ketenteraman  itu  mereka
"beli" dengan menutup dan  mengekang  kreativitas  intelektual
dan  penjelasan,  atas  nama  doktrin  taqlid  dan tertutupnya
ijtihad.  Ketidakberanian   mengambil   risiko   salah   dalam
penelitian  dan  penjelajahan  itu kemudian dirasionalisasikan
dengan argumen: Apa yang telah dihasilkan  para  imam  madzhab
dan  pendukung-pendukung mereka itu seolah-olah sudah "final,"
dan apapun produk  pemikiran  mereka  harus  diterima  sebagai
berlaku  "sekali  dan  untuk  selamanya". Ditambah lagi dengan
keadaan  politik  negeri-negeri  Muslim   yang   telah   mulai
kehilangan  "elan  vital"-nya  antara  lain  karena  banyaknya
serbuan-serbuan militer dari Asia Tengah seperti dari kalangan
bangsa-bangsa Turki dan Mongol, maka dambaan kepada ketenangan
dan ketenteraman  menjadi  semakin  beralasan,  yang  kemudian
lambat  laun  berkembang menjadi semacam etos di kalangan kaum
Muslim di seluruh dunia. Karena orisinalitas  pemikiran  tidak
berkembang  lagi,  maka  yang  terjadi  ialah  pengulangan dan
penghafalan yang sudah ada. Dan karena pemikiran  kritis  juga
terkekang,  maka  tercipta suasana bagi tumbuhnya mitos-mitos.
Jadi tidak berlebihan jika masa itu  sering  ditunjuk  sebagai
permulaan  kemunduran  peradaban  Islam,  yang kemudian kelak,
berakhir  dengan  kekalahan  mereka  oleh  ummat-ummat   lain,
khususnya bangsa-bangsa Eropa.
 
SYARAH DAN HASYIYAH
 
Mulai  saat  itulah  kurang lebih muncul ide tentang keharusan
seorang Muslim memilih salah satu  dari  madzhab-madzhab  yang
ada  sebagai  anutan.  Logika  keharusan ini ialah ide tentang
taqlid,  yang  taqlid  itu,  sebagaimana   telah   disinggung,
merupakan  dinamik  dambaan kepada ketenteraman. Dari beberapa
sudut pandang tertentu, seperti dari sudut keprihatinan karena
situasi  politik  yang  tidak  mantap, keharusan memilih suatu
madzhab seperti itu dapat  dibenarkan.  Begitu  pula  larangan
mencampuradukkan   lebih  dari  satu  madzhab,  yang  kemudian
dikenal sebagai  talfiq,  juga  sangat  dicela,  karena  dalam
praktek  serupa itu mudah sekali masuk unsur oportunisme dalam
paham  (seperti,  misalnya,  mengenai  suatu  hukum   tertentu
seseorang   cenderung  mencari  yang  mudah  dan  ringan  dari
berbagai madzhab, tanpa kesungguhan meneliti bagaimana pangkal
sebenarnya hukum itu).
 
Keharusan   memilih  salah  satu  madzhab  sekaligus  larangan
mencampur lebih dari satu madzhab --betapapun tulusnya hal itu
dilakukan--  secara  tersirat  mengandung  doktrin bahwa suatu
pemikiran madzhab adalah suatu  kesatuan  organik  yang  tidak
boleh   dipisah-pisah.   Pemisahan   itu   akan   menghasilkan
inkonsistensi, dan yang terakhir ini  tentu  berakibat  kepada
masalah   istiqamah   atau   keteguhan  dan  keikhlasan  dalam
beragama. Tapi konsekuensi yang lebih jauh ialah --sebagaimana
telah  disinggung  tadi-- hilangnya kreativitas dan orisinalis
intelektual, dan bersamaan dengan itu  hilang  pula  kemampuan
memberi responsi pada keadaan masyarakat nyata (historis) yang
senantiasa berkembang dan berubah.
 
Pada saat itulah sejauh  mengenai  kegiatan  intelektual  yang
muncul,  ialah  karya-karya  syarah,  yaitu karya tulis berupa
kitab yang mengelaborasi karya lain yang lebih orisinal,  yang
dipandang  sebagai  matan  (teks inti). Kegiatan pseudo-ilmiah
serupa ini paling banyak  terjadi  dalam  pemikiran  judisial,
tetapi  sesungguhnya  juga  merambah  ke  berbagai cabang ilmu
keislaman yang lain, seperti, dan terutama, Ilmu Kalam.
 
Tapi syarah bukanlah akhir  perjalanan  tradisi  pseudo-ilmiah
dalam  masa  kemandekan  intelektual  ini. Sebuah karya sparah
membuka peluang kepada bentuk elaborasi lebih lanjut, sehingga
merupakan  "elaborasi  atas  elaborasi," yang biasanya disebut
hasyiyah.
                                              (bersambung 2/2)
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team