Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

IV.24. TAQLID DAN IJTIHAD                              (1/4)
Beberapa Pengertian Dasar             Oleh KH. Ibrahim Hosen
 
1. IJTIHAD
 
Tulisan ini akan mendahulukan masalah ijtihad, baru kemudian
menyoroti  masalah  taqlid.  Minimal  ada tiga alasan kenapa
lebih mendahulukan ijtihad daripada taqlid.
 
1. Sekedar mengikuti kelaziman, dimana dalam buku-buku Ushul
   Fiqh, masalah ijtihad selalu lebih dahulu dibicarakan
   sebelum masalah taqlid.
 
2. Taqlid tidak akan ada tanpa ijtihad. Dengan demikian
   seseorang hanya dibenarkan bertaqlid kepada mujtahid yang
   mu'tabar.
 
3. Persoalan taqlid akan lebih mudah dipahami jika seseorang
   telah memahami persoalan ijtihad.
 
Dalam tulisan ini saya hanya akan  bicara  tentang  beberapa
aspek  ijtihad  dan taqlid yang dipandang penting; mengingat
kedua masalah itu  amat  sering  diperbincangkan,  disamping
banyaknya  buku  yang  mengupas  masalah tersebut yang mudah
kita temukan.
 
PENGERTIAN IJTIHAD
 
Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan
untuk  mengerjakan  sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka
tidak  tepat  apabila  kata  "ijtihad"  dipergunakan   untuk
melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
 
Pengertian  ijtihad  menurut  bahasa  ini  ada  relevansinya
dengan pengertian  ijtihad  menurut  istilah,  dimana  untuk
melakukannya  diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya
tidak mungkin pekerjaan itu  (ijtihad)  dilakukan  sembarang
orang.
 
Dan  di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan
para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan  bahwa  ijtihad
adalah  "penelitian  dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu
yang terdekat pada Kitab-u 'l-Lah  dan  Sunnah  Rasul,  baik
yang  terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan
qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu  diperoleh  dari
maksud  dan  tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal
dengan "mashlahat."
 
Dalam kaitan pengertan  ijtihad  menurut  istilah,  ada  dua
kelompok  ahli  ushul  flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas
dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan  definisi.
Dalam  tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad
menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
 
Menurut   mereka,   ijtihad   adalah   pengerahan    segenap
kesanggupan  dari  seorang  ahli  fxqih  atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap  sesuatu  hukum
syara' (hukum Islam).
 
Dari  definisi  tersebut  dapat  ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
 
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam
   (faqih), bukan yang lain.
 
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i,
   yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan
   perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau
   hukum khuluqi,
 
3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah
   dhanni.
 
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi  ijtihad  diatas
maka  dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian
istilah hanyalah monopoli dunia hukum.  Dalam  hubungan  ini
komentator    Jam'u   'l-Jawami'   (Jalaluddin   al-Mahally)
menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah  bila  dimutlakkan
maka  ijtihad  itu  bidang  hukum  fiqih/hukum furu'. (Jam'u
'l-Jawami', Juz II, hal. 379).
 
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak  yang
mengatakan  bahwa  ijtihad  juga  berlaku  di bidang aqidah.
Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori  al-Jahidh,
salah seorang tokoh mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad
juga berlaku di  bidang  aqidah.  Pendapat  ini  bukan  saja
menunjukkan   inkonsistensi  terhadap  suatu  disiplin  ilmu
(ushul  fiqh),  tetapi   juga   akan   membawa   konsekuensi
pembenaran  terhadap  aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran
itulah Jumhur 'ulama' telah bersepakat bahwa  ijtihad  hanya
berlaku    di    bidang    hukum    (hukum   Islam)   dengan
ketentuan-ketentuan tertentu.
 
MEDAN IJTIHAD
 
Di atas telah ditegaskan  bahwa  ijtihad  hanya  berlaku  di
bidang  hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkin
untuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku  di  dunia  hukum
(hukum Islam) secara mutlak?
 
Ulama  telah  bersepakat  bahwa  ijtihad  dibenarkan,  serta
perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan
akan  membawa  rahmat  manakala  ijtihad dilakukan oleh yang
memenuhi persyaratan  dan  dilakukan  di  medannya  (majalul
ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan
peranannya adalah:
 
1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh
   nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.
 
2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh
   ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
 
3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang
   diperselisihkan.
 
4. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas
   hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).
 
Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi  hukum  Islam,
disinilah   seharusnya  kita  melakukan  terobosan-terobosan
baru. Apabila ini yang kita lakukan dan  kita  memang  telah
memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai
mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak.
 
Sebaliknya  ulama  telah  bersepakat  bahwa  ijtihad   tidak
berlaku atau tidak dibenarkan pada:
 
1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau
   Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang
   dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau
   "ma'ulima min al-din bi al-dlarurah."
   
   Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku
   ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan
   berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas."
   
   Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi
   sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam
   qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an.
 
2. Hukum Islam yang telah diijma'i ulama.
 
3. Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli
   'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat
   dicerna dan diketahui mujtahid).
 
Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan
pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad
akan gugur  dengan  sendirinya  apabila  hasil  ijtihad  itu
berlawanan  dengan  nash.  Hal  ini  sejalan  dengan kaidah,
"Tidak ada ijtihad dalam melawan nash."
 
PERBEDAAN YANG DITOLERIR
 
Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat  dianjurkan  oleh  Islam.
Banyak  ayat  al-Qur'an  dan  Hadits  Nabi  yang menyinggung
masalah ini. Islam bukan  saja  memberi  legalitas  ijtihad,
akan   tetapi  juga  mentolerir  adanya  perbedaan  pendapat
sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara  lain  diketahui  dari
Hadits Nabi yang artinya,
 
"Apabila  seorang  hakim  akan  memutuskan  perkara, lalu ia
melakukan  ijtihad,  kemudian  ijtihadnya  benar,  maka   ia
memperoleh   dua   pahala   (pahala   ijtihad   dan   pahala
kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan  perkara,  dan  ia
berijtihad,   kemudian   hasil  ijtihadnya  salah,  maka  ia
mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat  Bukhari
Muslim).
                                            (bersambung 2/4)
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team