| |
|
IV.25. TAQLID DAN IJTIHAD (2/4) MASALAH KONTINUITAS DAN KREATIVITAS DALAM MEMAHAMI PESAN AGAMA oleh Nurcholish Madjid Kedua, dengan menghadapkan sosok pemikiran itu pada kenyataan-kenyataan disini sekarang. Penghadapan ini diperlukan untuk melihat relevansi suatu sosok pemikiran historis, karena ia akan berguna untuk kita, disini dan kini. Seperti tubuh manusia yang memiliki mekanisme penolakan terhadap benda-benda asing yang tidak cocok dengan dirinya lewat gejala alergi, ruang dan waktu pun, yang mengejawantah dalam sistem sosial, memiliki mekanisme penolakan terhadap sesuatu yang tidak sesuai tanpa membiarkan diri secara pasif menjadi tawanan ruang dan waktu, kita tidak bisa dihadapkan pada kebutuhankebutuhan nyata yang didiktekan dan ditentukan oleh lingkungan kita. HIKMAH AGAMA Tujuan seorang Rasul diutus kepada umat manusia antara lain untuk mengajarkan Kitab Suci dan hikmah kepada mereka. Karena cakupan maknanya yang demikian luas, "hikmah" diterangkan kedalam berbagai pengertian dan konsep, diantaranya wisdom atau kewicaksanaan (dari bahasa Jawa, untuk membedakannya dari kata "kebijaksanaan"), ilmu pengetahuan, filsafat, malahan "blessing in disguise" (untuk menekankan segi kerahasiaan hikmah). [6] Mendasari konsep itu ialah kesadaran bahwa suatu "hikmah" selalu mengandung kemurahan dan rahmat Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang tidak seluruhnya kita mampu menangkapnya. Maka disebutkan bahwa siapa dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan kebajikan yang berlimpah-ruah. [6] Jika "hikmah" itu kita hubungkan kembali pada istilah "muhkam" (kedua kata itu terambil dari akar kata yang sama, yaitu h-k-m), maka dalam menumbuhkan tradisi intelektual yang integral dan kreatif berdasarkan kaidah taqlid dan ijtihad itu memerlukan kemampuan menangkap hikmah pesan Ilahi seperti yang terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama. Berkenaan dengan ini, dan dikaitkan pada keterangan dalam Kitab Suci tentang adanya ayat-ayat mahkam dan mutasyabih tersebut, menarik sekali kita mengangkat penafsiran A. Yusuf Ali atas makna muhkam itu: [7] ... The Commentators usually understand the verses "of established meaning" (muhkam) to refer to the categorical orders of the Shari'at (or the Law), which are plain to everyone's understanding. But perhaps the meaning is wider: "the mother of the Book" must include the very foundation on which all Law rests, the essence of God's Message, as distinguished from the various illustrative parables, allegories, and ordinances. If we refer to xi. 1 and xxxix. 23, [8] we shall find that in a sense the whole of the Qur'an has both "established meaning" and allegorical meaning. The division is not between the verses, but between the meanings to be attached to them. Each is but a Sign or Symbol: what it represents is something immediately applicable, and something eternal and independent of time and space, - the "Forms of Ideas" in Plato's Philosophy. The wise man will understand that there is an "essence" and an illustrative clothing given to the essence, throught the Book. We must try to understand it as best we can, but not waste our energies in disputing about matters beyond our depth.[9] Sesuatu dari ajaran Kitab Suci yang abadi dan tak terikat oleh waktu dan ruang (eternal and independent of time and space) dalam pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah makna, semangat, atau tujuan universal yang harus ditarik dari suatu materi ajaran agama yang bersifat spesifik, atau malah mungkin ad-hoc. Kadang-kadang makna dan tujuan universal dibalik suatu ketentuan spesifik itu sekaligus diterangkan langsung dalam rangkaian firman itu sendiri. Tapi, kadang-kadang makna itu harus ditarik melalui proses konseptualisasi atau ideasi (ideation). Contoh yang pertama ialah firman Ilahi yang mengurus perceraian Zaid (seorang bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak oleh Nabi) dari istrinya, Zainab (seorang wanita bangsawan Quraisy dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu kemudian diteruskan dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan seseorang -dalam hal ini Nabi menikahi bekas isteri anak angkatnya. Namun kejadian yang bagi orang-orang tertentu terdengar sebagai skandal ini justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan untuk suatu maksud yang mendukung nilai universal yang sejak semula menjadi klaim ajaran Islam, yaitu nilai sekitar konsep kealamian (naturalness) yang suci, yakni konsep fithrah. Dalam hal ini, anak angkat bukanlah anak alami seperti anak (biologis) sendiri, sehingga juga tidaklah alami dan tidak pula wajar jika hubungannya dengan ayah angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan anak alami, termasuk dalam urusan nikah. Maka, kejadian ad-hoc yang menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi itu langsung diterangkan tujuan universalnya, yaitu "agar tidak ada halangan bagi kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak angkat mereka." [10] Tujuan ini jelas langsung terkait dengan segi universal yang lebih menyeluruh, yaitu konsep atau ajaran fithrah, yang mengimplikasikan bahwa segala sesuatu dalam tatanan hidup manusia ini hendaknya diatur dengan ketentuan yang sealami mungkin sesuai dengan hukum alam (Qadar) [11] dan hukum sejarah (Sunnat-u 'l-Lah) yang pasti dan tak berubah-ubah. [12] Pandangan bahwa segala sesuatu harus sealami mungkin adalah benar-benar sentral namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama ftthrah yang hanif. Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan secara global. Dalam arti yang lebih terinci, konsep hikmah agama dinyatakan dalam berbagai ungkapan, seperti telah menjadi tema dan judul sebuah buku yang cukup terkenal, Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu. [13] Hikmah pesan agama ini juga dikenal dengan istilah lain sebagai maqashid al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah). Berkaitan dengan ini berbagai konsep yang telah mapan dalam pembahasan agama Islam, khususnya pembahasan bidang hukum (syari'ah -par excellence), seperti konsep sekitar 'illat al-hukm (Latin: ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm (sumbu perputaran hukum). Konsep-konsep ini dibuat berkenaan dengan perlunya menemukan suatu rationale yang mendasari penetapan suatu hukum. Contoh nyata penerapan konsep ini ialah yang dikenakan pada hukum khamr. Bahwa rationale diharamkannya minuman keras (alkoholik, seperti khamar) ialah sifatnya yang memabukkan. Kemudian sifat memabukkan itu sendiri dihukumnya sebagai tidak baik, karena ia mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental. Dan selanjutnya, kerusakan mental itu -betapa pun jelas negatif- masih bisa dilihat rationalenya sehingga ia negatif, yaitu bahwa ia berarti hilangnya akal sehat yang menjadi bagian dari fithrah manusia. Padahal memelihara fithrah itulah, justru merupakan salah satu ajaran sentral agama Islam. [14] IJTIHAD Uraian di atas dibuat dengan tujuan memberi gambaran bahwa masalah taqlid dan ijtihad, lebih dari pada yang dipahami umum, menyangkut hal-hal yang cukup rumit, mendalam, dan meluas serta kompleks. Karena itu di kalangan ulama klasik ada pendapat hampir merata bahwa ijtihad adalah suatu tugas yang penuh gengsi, tapi justru karena itu menuntut persyaratan banyak dan berat. Maka ijtihad bisa dilakukan hanya oleh orang-orang tertentu yang benar-benar telah memenuhi syarat itu. Syarat-syarat itu sekarang boleh kedengaran kuno, namun ia dibuat dengan tujuan menjamin adanya kewenangan dan tanggung jawab. Hanya saja, pelukisan tentang kegiatan ijtihad sebagai sesuatu yang amat eksklusif telah melahirkan persepsi salah. Dalam sejarah masyarakat Muslim sempat tumbuh pandangan yang hampir menabukan ijtihad. Sikap penabuan dengan sendirinya tidak dapat dibenarkan meskipun sesungguhnya ia muncul dari obsesi para ulama pada ketertiban dan ketenangan atau keamanan, yaitu tema-tema teori politik Sunni, khususnya di masa-masa penuh kekacauan menjelang keruntuhan Baghdad. Tapi, dalam perkembangan selanjutnya penabuan itu juga dapat dilihat sebagai kelanjutan masa kegelapan (obskurantisme) dalam pemikiran Islam. Kini, ijtihad itu diajukan orang sebagai salah satu tema pokok usaha reformasi atau penyegaran kembali pemahaman terhadap agama. Melalui tokoh-tokoh pembaharu seperti Muhammad Abduh dan Sayid Ahmad Khan, ijtihad dikemukakan kembali sebagai metode terpenting menghilangkan situasi anomalous dunia Islam yang kalah dan dijajah oleh dunia Kristen Barat. (Disebut anomalous, karena selama paling kurang tujuh atau delapan abad, orang-orang muslim terbiasa berpikir bahwa dunia ini milik mereka, dan hak mengatur dunia hanya ada pada mereka, sebagai salah satu akibat penguasaan mereka atas daerah-daerah sentral peradaban manusia, terutama daerah Nil sampai Ozus, jantung kawan (Oikoumene). Para pembaharu mendapati bahwa praktek taqlid yang umum menguasai orang-orang muslim, baik awam maupun ulama, telah berkembang menjadi suatu sikap mental, jika bukan malah pandangan teologis, yang meliputi penolakan secara sadar terhadap segala sesuatu yang baru, khususnya jika berbentuk unsur dari budaya asing. [15] Ini dengan mudah dilihat gejala xenophobia. Xenophobia itu sendiri merupakan gejala, paling untung chauvinisme, paling celaka kecemasan dan rendah diri. Gejala ini pula yang hari-hari ini dilihat al-Makki, seorang pemikir Makkah dari madzhab Maliki. Ia melukiskan semangat kosmopolit zaman klasik Islam, khususnya zaman 'Umar. Sebab, sepanjang penuturannya, 'Umar adalah seorang yang "berpikiran luas, yang tidak segan-segan mengambil apa saja yang baik dari umat-umat lain, meskipun umat itu kafir. [16] Bahkan 'Umar "tidak memandang semua perkara bersifat ta'abbudi (bernilai 'ubudiyyah, devotional), dan tidak memandang baik terhadap sikap jumud dalam hukum, tetapi mengikuti berbagai pertimbangan kemaslahatan dan melihat makna-makna yang merupakan poros penetapan hukum (manath al-tasyri') yang diridlai Allah s.w.t." [17] Pandangan 'Umar ini sejalan dengan, dan merupakan konsekwensi dari, penegasannya bahwa "tidaklah ada gunanya berbicara tentang kebenaran namun tidak dapat dilaksanakan." [18] (bersambung 3/4) -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |