Artikel Yayasan Paramadina

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

V.36. ISLAM, IMAN DAN IHSAN SEBAGAI TRILOGI AJARAN ILAHI
oleh Nurcholish Madjid                                   (2/4)
 
Selanjutnya,  penjelasan  yang  sangat  penting  tentang makna
"al-Islam" ini juga diberikan oleh Ibn Taimiyah. Ia mengatakan
bahwa  "al-Islam"  mengandung dua makna adalah: pertama, ialah
sikap tunduk dan patuh, jadi tidak sombong;  kedua,  ketulusan
dalam  sikap tunduk kepada satu pemilik atau penguasa, seperti
difirmankan Allah, "wa rajul-an  salam-an  li  rajul-in"  (Dan
seorang  lelaki  yang  tulus  tunduk kepada satu orang lelaki)
(QS. al-Zumar 39:29). Jadi orang yang tulus itu tidak musyrik,
dan  ia  adalah  seorang hamba yang berserah diri hanya kepada
Allah, Pangeran sekalian alam, sebagaimana Allah firmankan:
 
Dan siapalah yang tidak  suka  kepada  agama  Ibrahim  kecuali
orang  yang  membodohi  dirinya  sendiri. Padahal sungguh Kami
telah memilihnya di dunia, dan ia di akhirat pastilah termasuk
orang-orang  yang  salih.  Ketika Tuhannya bersabda kepadanya,
"Berserah dirilah engkau!', lalu ia  menjawab,  "Aku  berserah
diri  (aslam-tu)  kepada Tuhan seru sekalian alam." Dan dengan
ajaran itu Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya, demikian pula
Ya'qub.   "Wahai   anak-anakku,   sesungguhnya   Allah   telah
memilihkan agama untuk kamu sekalian,  maka  janganlah  sampai
kamu   mati   kecuali  kamu  adalah  orang-orang  yang  pasrah
-muslimun- (kepada-Nya) (Q.S. al-Baqarah 2:130-132).
 
Katakanlah (hai hluhammad), ",Sesungguhnya  aku  telah  diberi
petunjuk  oleh  Tuhanku  ke arah jalan yang lurus. Yaitu agama
yang tegak, ajaran  Ibrahim,  yang  hanif,  dan  tidaklah  dia
termasuk  orang-orang  musyrik."  Katakan juga (hai Muhammad),
"Sesungguhnya sembahyangku, darmabaktiku, hidupku  dan  matiku
adalah untuk Allah seru sekalian alam, tiada serikat bagi-Nya.
Begitulah aku diperintahkan, dan aku adalah yang pertama  dari
kalangan orang-orang yang pasrah." (QS. al-An'am 6:161-163).
 
Dan  kembalilah  kamu  semua  kepada  Tuhanmu,  serta berserah
dirilah kamu semua (aslimu)  kepada-Nya  sebelum  tiba  kepada
kamu  azab,  lalu  kamu  tidak  tertolong  lagi. (QS. al-Zumar
39:54).
 
Demikian itu  sebagian  dari  penjelasan  yang  diberikan  Ibn
Taimiyah  tentang  makna al-Islam [lihat, Ibn Taimiyah, al-Amr
bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar  (Beirut:  Dar  al-Kitab
al-Jadid,  1976, hal. 72-3). Berdasarkan pengertian-pengertian
itu juga harus dipahami penegasan dalam al-Qur'an bahwa  semua
agama  para  Nabi  dan  Rasul adalah agama Islam. Yakni, agama
yang mengajarkan sikap tunduk dan patuh, pasrah  dan  berserah
diri  secara  tulus  kepada  Tuhan  dengan  segala  qudrat dan
iradat-Nya. Maka sebagai  misal,  mengenai  Nabi  Ibrahim  as.
ditegaskan  bahwa  dia bukanlah seorang penganut agama komunal
seperti Yahudi atau Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang
tulus  mencari dan mengikuti kebenaran (hanif) dan yang pasrah
kepada Tuhan (muslim) (QS. 'Ali 'Imran 3:67).  Demikian  agama
seluruh  Nabi  keturunan  Ibrahim,  khususnya anak-cucu Ya'qub
atau Bani Israil, sebagaimana dilukiskan dalam penuturan Kitab
Suci, demikian:
 
Adakah kamu menyaksikan tatkala maut datang kepada Ya'qub, dan
ketika ia bertanya kepada anak-anakuya, "Apakah yang akan kamu
sekalian   sembah   sepeninggalku?"   Mereka  menjawab,  "Kami
menyembah Tuhanmu dan Tuhan leluhurmu,  Ibrahim,  Isma'il  dan
Ishaq,  yaitu  Tuhan  Yang Maha Esa, dan kepada-Nya kamu semua
pasrah (muslim) (QS al-Baqarah 2:133).
 
Kemudian tentang Nabi  Musa  as.  digambarkan  melalui  ucapan
pertobatan  Fir'aun  bahwa dia, Nabi Musa, membawa ajaran agar
manusia pasrah (muslim) kepada Tuhan. Dengan begitu,  agamanya
pun  sebuah  agama Islam. Kata Fir'aun! yang berusaha bertobat
setelah melihat kebenaran,  "Aku  percaya  bahwa  tiada  Tuhan
kecuali  yang  dipercayai  oleh  Bani Israil, dan aku termasuk
orang-orang yang pasrah  -muslimun-  (kepadaNya)"  (QS.  Yunus
90:10).  Demikian pula, sebuah ilustrasi tentang Nabi 'Isa dan
para pengikutnya, menunjukkan bahwa  agama  yang  diajarkannya
pun   adalah   sebuah  agama  Islam,  dalam  arti  agama  yang
mengajarkan sikap pasrah kepada-Nya:
 
Maka ketika 'Isa merasakan adanya  sikap  ingkar  dari  mereka
(kaumnya),  ia  berkata,  "Siapa yang akan menjadi pendukungku
kepada Allah?" Para pengikut setianya (al-Hawariyyun) berkata,
"Kamilah  para  pendukung  (menuju) Allah, kami beriman kepada
Allah, dan saksikanlah  bahwa  kami  adalah  orang-orang  yang
pasrah -muslimun- (kepada-Nya). (QS. 'Ali 'Imran 3:52).
 
Karena  semua  agama  yang benar adalah agama yang mengajarkan
sikap pasrah kepada Tuhan, maka tidak  ada  agama  atau  sikap
keagamaan yang bakal diterima Tuhan selain sikap pasrah kepada
Tuhan atau Islam itu. Dan karena Islam pada dasarnya  bukanlah
suatu  proper  name  untuk  sebuah  agama tertentu (para Nabi,
Rasul dan umat terdahulu yang  digambarkan  dalam  Kitab  Suci
sebagai  orang-orang  yang  pasrah  kepada Tuhan itu pun tidak
menggunakan lafal harfiah  "Islam"  atau  pun  "muslim")  maka
orang  pemeluk  Islam sekarang ini, juga seorang muslim, masih
tetap dituntut untuk mengembangkan dalam dirinya kemampuan dan
kemauan  untuk  tunduk  patuh  serta  pasrah dan terserah diri
kepada Tuhan dengan setulus-tulusnya. Hanya dengan  itu  agama
dan keagamaan bakal diterima Allah, dan di akhirat tidak bakal
termasuk mereka yang merugi. Inilah yang  sebenarnya  dimaksud
oleh  firman  Allah,  "Sesungguhnya  agama  bagi  Allah  ialah
al-Islam (yaitu sikap pasrah yang tulus kepada-Nya) (QS.  'Ali
'Imran  3:19),  serta  firman Allah: "Dan barangsiapa menganut
selain al-Islam (sikap pasrah kepada Allah) sebagai agama maka
ia tidak akan diterima, dan di akhirat ia akan termasuk mereka
yang menyesal"- (QS. 'Ali 'Imran  3:85).  Sudah  terang  bahwa
Islam  dalam  pengertian  ini  mustahil  tanpa iman, karena ia
dapat tumbuh  hanya  kalau  seseorang  memiliki  rasa  percaya
kepada Allah yang tulus dan penuh.
 
PENGERTIAN DASAR IMAN
 
Kita telah mengetahui pengertian iman secara umum, yaitu sikap
percaya, dalam hal ini khususnya  percaya  pada  masing-masing
rukun  iman  yang  enam (menurut akidah Sunni). Karena percaya
pada masing-masing rukun iman itu  memang  mendasari  tindakan
seorang maka sudah tentu pengertian iman yang umum dikenal itu
adalah wajar dan benar.
 
Namun, dalam dimensinya yang lebih mendalam, iman tidak  cukup
hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu
belaka,    tapi    menuntut    perwujudan    lahiriah     atau
eksternalisasinya  dalam  tindakan-tindakan.  Dalam pengertian
inilah kita memahami sabda Nabi  bahwa  iman  mempunyai  lebih
dari  tujuh  puluh  tingkat,  yang  paling tinggi ialah ucapan
Tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah  menyingkirkan
bahaya di jalanan:
 
[Tulisan Arab]
 
Juga  dalam  pengertian  ini  kita  memahami sabda Nabi, "Demi
Allah, ia tidak beriman! Demi Allah, ia tidak  beriman!"  Lalu
orang  bertanya,  "Siapa, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab,
"Orang  yang  tetangganya  tidak  merasa  aman  dari  kelakuan
buruknya."  Lalu  orang  bertanya lagi, "Tingkah laku buruknya
apa?" Beliau Jawab, "Kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan."
 
[Tulisan Arab]
 
Juga sabda Nabi, "Demi Dia yang diriku ada di Tangan-Nya, kamu
tidak  akan  masuk  surga sebelum kamu beriman, dan kamu tidak
beriman sebelum  kamu  saling  mencintai.  Belumkah  aku  beri
petunjuk  kamu  tentang  sesuatu  yang jika kamu kerjakan kamu
akan saling mencintai? Sebarkanlah perdamaian di antara sesama
kamu!"
 
[Tulisan Arab]
 
Keterpaduan   antara   iman   dan  perbuatan  yang  baik  juga
dicerminkan dengan jelas dalam sabda  Nabi  bahwa  orang  yang
berzina,  tidaklah  beriman  ketika ia berzina, dan orang yang
meminum arak tidaklah beriman  ketika  ia  meminum  arak,  dan
orang  yang  mencuri  tidaklah  beriman ketika ia mencuri, dan
seseorang  tidak  akan  membuat   teriakan   menakutkan   yang
mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman."
 
[Tulisan Arab]
 
Tiadanya  iman  dari orang yang sedang melakukan kejahatan itu
ialah   karena   iman   itu   terangkat   dari   jiwanya   dan
"melayang-layang di atas kepalanya seperti bayangan." Demikian
itu keterangan tentang iman yang  dikaitkan  dengan  perbuatan
baik  atau  budi pekerti luhur. (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman,
hal.l2-13).
 
Berdasarkan itu, maka sesunggahnya makna  iman  dapat  berarti
sejajar  dengan  kebaikan  atau  perbuatan baik. Ini dikuatkan
oleh adanya riwayat tentang orang yang  bertanya  kepada  Nabi
tentang  iman,  namun  turun  wahyu  jawaban tentang kebajikan
(al-birr), yaitu:
 
Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah
Timur  atau  pun  Barat.  Tetapi  kebajikan  ialah  jika orang
beriman kepada Allah, hari Kemudian, para malaikat, Kitab Suci
dan para Nabi. Dan jika orang mendermakan hartanya, betapa pun
cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim
orang-orang  miskin,  orang terlantar di perjalanan, dan untuk
orang yang terbelenggu perbudakan.  Kemudian  jika  orang  itu
menegakkan  shalat  dan  mengeluarkan  zakat. Juga mereka yang
menepati janji jika  membuat  perjanjian,  serta  tabah  dalam
kesusahan,  penderitaan  dan  masa-masa  sulit.  Mereka itulah
orang-orang yang tulus, dan  mereka  itulah  orang-orang  yang
bertaqwa." (QS. 2:177).
 
Oleh karena itu perkataan iman yang digunakan dalam Kitab Suci
dan  sunnah  Nabi  sering  memiliki  makna  yang  sama  dengan
perkataan  kebajikan  (al-birr), taqwa, dan kepatuhan (al-din)
pada  Tuhan  (al-din)  (Lihat  Ibn  Taimiyah,  al-Iman,   hal.
162-153).
 
PENGERTIAN DASAR IHSAN
 
Dalam hadits yang disinggung di atas, Nabi menjelaskan, "Ihsan
ialah  bahwa  engkau  menyembah   Allah   seakan-akan   engkau
melihat-Nya,   dan   kalau   engkau  tidak  melihat-Nya,  maka
sesungguhnya Dia melihat engkau."  Maka  ihsan  adalah  ajaran
tentang  penghayatan  pekat  akan  hadirnya Tuhan dalam hidup,
melalui penghayatan diri sebagai sedang menghadap  dan  berada
di depan hadirat-Nya ketika beribadat. Ihsan adalah pendidikan
atau latihan untuk mencapai dalam  arti  sesungguhnya.  Karena
itu,  seperti  dikatakan  Ibn  Taimiyah di atas, ihsan menjadi
puncak tertinggi keagamaan manusia. Ia  tegaskan  bahwa  makna
ihsan  lebih meliputi daripada iman, dan karena itu, pelakunya
adalah lebih khusus daripada  pelaku  iman,  sebagaimana  iman
lebih  meliputi  daripada  Islam,  sehingga  pelaku iman lebih
khusus  daripada  pelaku  Islam.  Sebab  dalam   Ihsan   sudah
terkandung  iman  dan  Islam,  sebagaimana  dalam  iman  sudah
terkandung Islam (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman, hal. 11).
 
Kemudian, kata-kata ihsan itu sendiri secara  harfiah  berarti
"berbuat baik." Seorang yang ber-ihsan disebut muhsin, sebagai
seorang  yang  ber-iman  disebut  mu'min  dan  yang  ber-Islam
disebut muslim. Karena itu, sebagai bentuk jenjang penghayatan
keagamaan, ihsan terkait erat sekali dengan pendidikan berbudi
pekerti luhur atau berakhlaq mulia. Disabdakan oleh Nabi bahwa
yang paling utama di kalangan kaum beriman ialah  yang  paling
baik  ahlaqnya,  sebagaimana  disebutkan  dalam  sebuah hadits
[tulisan Arab]. Dirangkaikan dengan sikap pasrah kepada  Allah
atau  Islam,  orang yang ber-ihsan disebutkan dalam Kitab Suci
sebagai orang yang paling baik keagamaannya:
 
--------------------------------------------  (bersambung 3/4)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team