|
|
3.2.3 Pinangan yang DiharamkanSeorang muslim tidak halal mengajukan pinangannya kepada seorang perempuan yang ditalak atau yang ditinggal mati oleh suaminya selama masih dalam iddah. Karena perempuan yang masih dalam iddah itu dianggap masih sebagai mahram bagi suaminya yang pertama, oleh karena itu tidak boleh dilanggar. Akan tetapi untuk isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, boleh diberikan suatu pengertian --selama dia masih dalam iddah-- dengan suatu sindiran, bukan dengan terang-terangan, bahwa si laki-laki tersebut ada keinginan untuk meminangnya. Firman Allah: "Tidak berdosa atas kamu tentang apa-apa yang kamu sindirkan untuk meminang perempuan." (al-Baqarah: 235) Dan diharamkan juga seorang muslim meminang pinangan saudaranya kalau ternyata sudah mencapai tingkat persetujuan dengan pihak yang lain. Sebab laki-laki yang meminang pertama itu telah memperoleh suatu hak dan hak ini harus dipelihara dan dilindungi, demi memelihara persahabatan dan pergaulan sesama manusia serta menjauhkan seorang muslim dari sikap-sikap yang dapat merusak identitas. Sebab meminang pinangan saudaranya itu serupa dengan perampasan dan permusuhan. Tetapi jika laki-laki yang meminang pertama itu sudah memalingkan pandangannya kepada si perempuan tersebut atau memberikan izin kepada laki-laki yang kedua, maka waktu itu laki-laki kedua tersebut tidak berdosa untuk meminangnya. Karena sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w. yang mengatakan sebagai berikut: "Seorang mu'min saudara bagi mu'min yang lain. Oleh karena itu tidak halal dia membeli pembelian kawannya dan tidak pula halal meminang pinangan kawannya." (Riwayat Muslim) Dan sabdanya pula: "Seorang laki-laki tidak boleh meminang pinangan laki-laki lain, sehingga peminang pertama itu meninggalkan (membatalkan) atau mengizinkannya." (Riwayat Bukhari) 3.2.4 Perawan Harus Diminta Izin dan Jangan DipaksaSeorang gadis adalah yang lebih berhak dalam persoalan perkawinannya. Oleh karena itu ayah atau walinya tidak boleh meremehkan pendapatnya serta mengabaikan per setujuannya. Sebab Rasulullah s.a.w. telah bersabda: "Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, sedang perawan dimintai izin tentang urusan dirinya, dan izinnya itu ialah diamnya." (Riwayat Bukhari dan Muslim) Dan di riwayat lain diterangkan sebagai berikut: "Ada seorang perempuan (gadis) datang kepada Nabi memberitahukan, bahwa ayahnya telah mengawinkan dia dengan keponakannya sedang si perempuan tersebut tidak suka. Kemudian oleh Nabi persoalan itu diserahkan kepada perempuan tersebut. Tetapi kemudian perempuan itu berkata: 'Saya telah laksanakan apa yang diperbuat ayahku itu, tetapi saya ingin memberitahu kepada orang-orang perempuan, bahwa ayah-ayah (orang tua) tidak ada hak sedikitpun dalam masalah ini.'" (Riwayat Ibnu Majah dan lain-lain) Seorang ayah tidak boleh memperlambat perkawinan anak gadisnya kalau ternyata telah dipinang oleh laki-laki yang telah cocok (kufu), beragama dan berbudi. Sebab Rasulultah s.a.w. pernah bersabda: "Ada tiga perkara yang tidak boleh dilambatkan, yaitu: (1) shalat, apabila waktunya telah tiba, (2) jenazah apabila sudah datang, (3) seorang perempuan apabila sudah didapat (jodohnya) yang cocok." (Riwayat Termizi) Dan sabdanya pula: "Kalau datang kepadamu orang yang kamu telah setujui agamanya dan budi pekertinya, maka kawinkanlah anakmu dengan dia, karena kalau tidak kamu laksanakan, maka (anakmu) itu akan menyadi fitnah di permukaan bumi ini dan kerusakan yang sangat besar." (Riwayat Termizi) 3.2.5 Perempuan yang Haram DikawinSetiap muslim diharamkan kawin dengan salah seorang perempuan yang tersebut di bawah ini: 1. Isterinya ayah, baik yang ditalak biasa ataupun yang karena ditinggal mati oleh ayah Perkawinan semacam ini pada waktu zaman jahillah diperkenankan, yang kemudian oleh Islam dihapuskan. Sebab isteri ayah berkedudukan sebagai ibu. Maka diharamkannya mengawini bekas isteri ayah ini diantara hikmahnya ialah demi melindungi kehormatan ayah sendiri. Dan diharamkannya mengawini bekas isteri ayah ini untuk selamanya, adalah guna memutuskan keinginan si anak dan si ibu. Sehingga dengan demikian hubungan antara keduanya dapat berlangsung dengan langgeng atas dasar penyhormatan dan kewibawaan. 2. Ibunya sendiri, termasuk juga nenek, baik dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. 3. Anaknya sendiri, termasuk di dalamnya: cucu dan cabang-cabangnya. 4. Saudaranya sendiri, baik sekandung, seayah maupun seibu. 5. Bibinya sendiri (saudara ayah), baik dia itu sekandung, seayah atau seibu. 6. Bibi sendiri dari pihak ibu (khalah) (saudaranya ibu), baik sekandung, seayah atau seibu. 7. Anak dari saudara laki-lakinya (keponakan). 8. Anak dari saudara perempuannya (keponakan). Perempuan-perempuan tersebut diistilahkan dalam syariat Islam dengan nama mahram, sebab mereka itu diharamkan oleh Islam terhadap seorang muslim untuk selama-lamanya, dalam waktu apapun dan dalam keadaan apapun. Dan si laki-laki dalam hubungannya dengan perempuan-perempuan tersebut disebut juga mahram. Hikmah diharamkannya mengawini perempuan-perempuan tersebut sudah cukup jelas, yang antara lain ialah: a) Bahwa setiap manusia yang maju, fitrahnya (jiwa murninya) pasti tidak akan suka melepaskan nafsu seksnya kepada ibu, saudara atau anak. Bahkan binatang pun sebagiannya ada yang bersikap demikian. Sedang perasaannya kepada bibi sama dengan perasaannya terhadap ibu. Paman dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu sekedudukan dengan ayah. 3.2.5.1 Perempuan yang Haram Dikawin Karena Ada Hubungan Susuan9) Seorang laki-laki muslim diharamkah kawin dengan seorang perempuan yang menyusuinya sejak kecil. Sebab ibu yang menyusuinya itu dapat dihukumi sebagai ibu sendiri; dan air susunya yang diberikan kepada si anak tersebut dapat menumbuhkan daging dan membentuk tulang-tulang anak. Sehingga dengan demikian penyusuan itu dapat menumbuhkan perasaan keanakan dan keibuan antara kedua belah pihak. Perasaan ini kadang-kadang dapat disembunyikan, tetapi penyimpanannya dalam akal justru akan tampak ketika terjadi suatu peristiwa. Untuk dapat berpengaruhnya susunan ini kepada masalah perkawinan, maka disyaratkan harus dilakukan di waktu kecilnya si anak, yakni sebelum umur 2 tahun, di mana air susu ibu ketika itu merupakan satu-satunya makanan. Dan penyusuan dilakukan tidak kurang dari 5 kali serta mengenyangkan bagi si anak. Ukurannya, yaitu: si bayi tersebut baru meninggalkan tetek si perempuan, karena sudah merasa kenyang. Membatasi penyusuan sampai 5 kali adalah menurut pendapat yang lebih kuat dan adil berdasar riwayat-riwayat yang ada. 10) Saudara sesusuan. Kalau perempuan yang menyusui anak itu menjadi ibu bagi anak tersebut, maka begitu juga anak-anak perempuan si ibu tersebut menjadi saudara susu bagi anak yang disusui itu. Begitu juga bibi-bibi dan seluruh kerabatnya. Seperti yang diterangkan dalam Hadis Nabi yang mengatakan: "Haram karena penyusuan, seperti apa yang haram karena nasab." (Riwayat Bukhari dan Muslim) Dengan demikian, maka bibi-bibi, baik dari pihak ayah (ammah) atau dari pihak ibu (khalah) dan keponakan-keponakan, adalah haram bagi si anak tersebut. 3.2.5.2 Perempuan yang Haram Dikawin Karena Ada Hubungan Kekeluargaan Berhubungan dengan Perkawinan11) Termasuk perempuan yang haram dikawin ialah: ibu mertua. Dia ini diharamkan oleh Islam karena semata-mata 'aqad yang telah berlangsung terhadap anak perempuannya, kendati belum dukhul. Sebab si ibu tersebut dalam hubungannya dengan si laki-laki itu berkedudukan sebagai ibu. 12) Anak perempuannya isteri (rabiibah), yaitu seorang isteri mempunyai anak perempuan dan ibunya dikawin oleh seorang laki-laki dan sudah didukhul. Jika belum dukhul, maka si laki-laki tersebut tidak berdosa kawin dengan anak isterinya itu. 13) Menantu (isterinya anak laki-laki). Sedang yang disebut anak di sini, ialah anak betul, bukan anak angkat. Sebab perlembagaan anak angkat telah dihapus oleh Islam dengan segala kaitannya, karena terdapat beberapa hal yang bertentangan dengan kenyataan yang dapat membawa kepada mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Firman Allah: "Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anakmu sendiri. Yang demikian itu hanya omongan yang keluar dari mulut-mulutmu." (al-Ahzab: 4) Yakni semata-mata panggilan lisan tidak dapat merubah kenyataan dan menjadikan orang asing sebagai kerabat. Ketiga orang yang diharamkan ini, semata-mata karena suatu illat (sebab) yang mendatang, yaitu "hubungan kekeluargaan berhubung dengan perkawinan" (mushaharah). Seluruh hubungan yang kuat antara kedua suami-isteri menentukan keharaman ini. |
|
Halal dan Haram dalam Islam Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993 ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Please direct any suggestion to Media Team |