Halal dan Haram dalam Islam

oleh Yusuf Qardhawi

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

3.2.5.3 Memadu Antara Dua Saudara

14) Termasuk yang diharamkan oleh Islam, sedang di zaman jahiliah dibebaskan, ialah: memadu dua saudara. Sebab hubungan cinta saudara yang selalu ditekan oleh Islam untuk dikukuhkan itu akan bisa pudar apabila salah satu dijadikan gundik terhadap yang lain.

Al-Quran telah menegaskan haramnya permaduan seperti ini, dan disusul dengan penegasan Rasulullah s.a.w. dalam salah satu sabdanya yang berbunyi sebagai berikut:

"Tidak boleh dimadu antara seorang perempuan dengan bibinya dari ayah (ammah) dan antara perempuan dengan bibinya dari ibu (khalah). " (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dan dalam riwayat lain ada tambahan (ziadah) yang berbunyi sebagai berikut:

"Dan Rasulullah sa,w. selanjutnya bersabda: Sesungguhnya kamu apabila mengerjakan yang demikian itu, maka berarti kamu telah memutuskan kekeluargaanmu." (Riwayat Ibnu Hibban)

Islam sangat menekankan masalah hubungan kekeluargaan (silaturrahmi), maka bagaimana mungkin dia akan membuat suatu peraturan yang dapat memutuskan hubungan silaturrahmi ini?

3.2.5.4 Perempuan-Perempuan yang Bersuami

15) Perempuan yang sudah kawin dan masih menjadi tanggungan suaminya, tidak boleh dikawin oleh laki-laki lain. Dan supaya perempuan dapat halal untuk laki-laki lain itu, diperlukan dua syarat sebagai berikut:

a) Perempuan tersebut sudah lepas dari kekuasaan suaminya baik karena ditinggal mati oleh suaminya ataupun karena ditalak.

b) Sudah sampai kepada iddah yang telah ditentukan Allah. Dan selama dalam iddah adalah menjadi tanggungan suami yang pertama.

Sedang masa iddah, ialah sebagai berikut:

  1. Untuk orang yang hamil: sampai melahirkan anak, baik masanya itu pendek ataupun panjang.
  2. Yang ditinggal mati oleh suaminya: masa iddahnya empat bulan sepuluh hari.
  3. Untuk yang dicerai biasa: tiga kali haidh (sampai suci).

Ditetapkannya tiga kali adalah untuk dapat memastikan terhadap kebersihan rahim, sebab dikawatirkan masih ada kaitannya dengan air si laki-laki pertama. Untuk itu maka sangat perlu berhati-hati, demi menjaga tercampurnya nasab. Ini berlaku untuk perempuan yang sudah dewasa, bukan anak-anak dan bukan yang sudah tua yang memang sudah tidak haidh. Untuk kedua perempuan ini berlaku iddah bulan, yaitu tiga bulan.

Tentang iddah ini Allah telah berfirman dalam al-Quran sebagai berikut:

"Dan perempuan-perempuan yang ditalak, hendaklah menunggu dirinya itu sampai tiga kali suci (guru'), dan tidak halal bagi mereka untuk menyembunyikan apa-apa yang Allah telah jadikan dalam rahim mereka, kalau benar-benar mereka itu beriman kepada Allah dan hari akhir." (al-Baqarah: 228)

"Dan perempuan perempuan yang sudah berhenti dari haidh jika kamu ragu-ragu, maka iddah mereka ialah tiga bulan; dan begitu juga orang-orang perempuan yang belum haidh. Sedang untuk mereka yang mengandung, masa iddahnya itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." (al-Thalaq: 4)

"Dan orang-orang yang meninggal dunia dan meninggalkan isteri, hendaklah isteri-isterinya itu menunggu diri-diri mereka empat bulan sepuluh hari." (al-Baqarah: 234)

Limabelas macam perempuan yang haram dikawin seperti tersebut di atas, telah diterangkan oleh Allah dalam tiga ayat di surah an-Nisa', yaitu sebagai berikut:

"Jangan kamu kawin dengan perempuan-perempuan yang pernah dikawin oleh ayah-ayahmu, kecuali apa-apa yang telah lalu; sebab sesungguhnya dia itu (perbuatan seperti itu) satu kejelekan dan perbuatan dosa serta cara yang tidak baik. Telah diharamkan atas kamu ibu-ibu kamu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, bibi-bibimu dari ayah, bibi-bibimu dari ibu, anak-anak perempuannya saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuannya saudaramu yang perempuan, ibu-ibu kamu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuan kamu yang sesusu, ibu-ibu isteri kamu, anak-anak tiri yang dalam pangkuanmu yang ibunya telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampuri mereka itu, maka tidaklah berdosa atas kamu (untuk mengawini anaknya itu), isterinya anak laki-lakimu sendiri dan memadu antara dua saudara perempuan, karena sesungguhnya Allah adalah pengampun dan penyayang. Dan (diharamkan juga atas kamu) perempuan perempuan yang mempunyai suami." (an-Nisa': 22- 24)

3.2.5.5 Perempuan-Perempuan Musyrik

16) Termasuk perempuan yang haram dikawin adalah: perempuan musyrik yaitu perempuan yang menyembah berhala, seperti orang-orang musyrik Arab dahulu dan sebagainya.

Firman Allah:

"Jangan kamu kawin dengan perempuan-perempuan musyrik sehingga mereka itu beriman, dan sungguh seorang hamba perempuan yang beriman adalah lebih baik daripada seorang perempuan musyrik sekalipun dia itu sangat mengagumkan kamu; dan jangan kamu kawinkan anak-anak kamu (perempuan) dengan laki-laki musyrik sehingga mereka itu beriman, dan sungguh seorang hamba laki-laki yang beriman adalah lebih baik daripada seorang laki-laki musyrik sekalipun sangat mengagumkan kamu. Sebab mereka itu mengajak kamu ke Neraka, sedang Allah mengajak ke Sorga dan pengampunan dengan izinNya juga." (al-Baqarah: 221)

Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang muslim laki-laki tidak dibolehkan kawin dengan perempuan musyrik, begitu juga perempuan mu'minah tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki musyrik karena ada perbedaan yang sangat jauh antara kedua kepercayaan tersebut. Di satu pihak mengajak ke sorga sedang di lain pihak mengajak ke neraka. Di satu pihak beriman kepada Allah dan para Nabi serta hari kiamat, sedang di lain pihak menyekutukan Allah dan ingkar kepada Nabi serta hari kiamat.

Tujuan perkawinan ialah untuk mencapai ketenteraman dan kasih-sayang. Sekarang bagaimana mungkin dua segi yang kontradiksi ini akan dapat bertemu?

3.2.6 Kawin dengan Perempuan Ahli Kitab

Adapun perempuan-perempuan ahli kitab baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani, oleh al-Quran telah diizinkan kawin dengan mereka itu, untuk mengadakan pergaulan dengan mereka. Dan mereka ini masih dinilai sebagai orang yang beragama samawi sekalipun agama itu telah diubah dan diganti.

Untuk itulah, makanannya boleh kita makan dan perempuan-perempuannya boleh kita kawin. Seperti firman Allah:

"Makanan-makanan ahli kitab adalah halal buat kamu begitu juga makananmu halal buat mereka. Perempuan-perempuan mu'minah yang baik (halal buat kamu) begitu juga perempuan-perempuan yang baik-baik dari orang-orang yang pernah diberi kitab sebelum kamu, apabila mereka itu kamu beri maskawin, sedang kamu kawini mereka (dengan cara yang baik) bukan berzina dan bukan kamu jadikan gundik." (al-Maidah: 5)

Ini adalah salah satu bentuk toleransi dalam Islam yang amat jarang sekali dijumpai taranya dalam agama-agama lain. Betapapun ahli kitab itu dinilai sebagai kufur dan sesat, namun tokh seorang muslim masih diperkenankan, bahwa isterinya, pengurus rumahtangganya, ketenteraman hatinya, menyerahkan rahasianya dan ibu anak-anaknya itu dari ahli kitab dan dia masih tetap berpegang pada agamanya juga.

Kita katakan boleh menyerahkan rahasianya kepada isterinya dari ahli kitab itu, karena Allah berfirman sendiri tentang masalah perkawinan dan rahasianya sebagai berikut:

"Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah Dia menjadikan untuk kamu dari diri-diri kamu sendiri jodoh-jodohnya supaya kamu dapat tenang dengan jodoh itu; dan Dia telah menjadikan di antara kamu cinta dan kasih-sayang." (ar-Rum: 21)

Di sini ada suatu peringatan yang harus kita ketengahkan, yaitu: Bahwa seorang muslimah yang fanatik kepada agamanya akan lebih baik daripada yang hanya menerima warisan dari nenek-moyangnya. Karena itu Rasulullah s.a.w. mengajarkan kepada kita tentang memilih jodoh dengan kata-kata sebagai berikut:

"Pilihlah perempuan yang beragama, sebab kalau tidak, celakalah dirimu." (Riwayat Bukhari)

Dengan demikian, maka setiap muslimah betapapun keadaannya adalah lebih baik bagi seorang muslim, daripada perempuan ahli kitab.

Kemudian kalau seorang muslim mengkawatirkan pengaruh kepercayaan isterinya ini akan menular kepada anak-anaknya termasuk juga pendidikannya, maka dia harus melepaskan dirinya --dari perempuan ahli kitab tersebut-- demi menjaga agama dan menjauhkan diri dari marabahaya. Dan kalau jumlah kaum muslimin di suatu negara termasuk minoritas, maka yang lebih baik dan menurut pendapat yang kuat, laki-laki muslim tidak boleh kawin dengan perempuan yang bukan muslimah. Sebab dengan dibolehkannya mengawini perempuan-perempuan lain dalam situasi seperti ini di mana perempuan-perempuan muslimah tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki lain, akan mematikan puteri-puteri Islam atau tidak sedikit dari kalangan mereka itu yang akan terlantar. Untuk itu, maka jelas bahayanya bagi masyarakat Islam. Dan bahaya ini baru mungkin dapat diatasi, yaitu dengan mempersempit dan membatasi masalah perkawinan yang mubah ini sampai kepada suatu keadaan yang mungkin.

3.2.7 Perempuan Muslimah Kawin dengan Laki-Laki Lain

Perempuan muslimah tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, baik dia itu ahli kitab ataupun lainnya dalam situasi dan keadaan apapun. Seperti firman Allah:

"Jangan kamu kawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki musyrik sehingga mereka itu masuk Islam." (al-Baqarah: 221)

Dan firman Allah tentang perempuan-perempuan mu'minah yang turut hijrah ke Madinah:

"Kalau sudah yakin mereka itu perempuan-perempuan mu'minah, maka janganlah dikembalikan kepada orang-orany kafir, sebab mereka itu tidak halal bayi kafir dan orang kafir pun tidak halal buat mereka (muslimah)." (al-Mumtahinah: 10)

Dalam ayat ini tidak ada pengecualian untuk ahli kitab. Oleh karena itu hukumnya berlaku secara umum.

Yang boleh, ialah laki-laki muslim kawin dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. Bukan sebaliknya, sebab laki-laki adalah kepala rumahtangga dan mengurus serta yang bertanggung jawab terhadap perempuan. Sedang Islam tetap memberikan kebebasan kepada perempuan ahli kitab untuk tetap berpegang pada agamanya sekalipun berada di bawah kekuasaan laki-laki muslim di mana suami muslim itu harus melmdungi hak-hak dan kehormatan isterinya menurut syariatnya (Islam). Tetapi agama lain, misalnya Yahudi dan Nasrani, tidak memberikan kebebasan terhadap isterinya yang berlainan agama dan tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak isterinya yang berbeda agama itu. Oleh karena itu bagaimana mungkin Islam menghancurkan masa depan puteri-puterinya dan melemparkan mereka ini di bawah kekuasaan orang-orang yang tidak mau mengawasi agama si isteri baik secara kekerabatan maupun secara perjanjian?

Prinsip ini adalah justru suami berkewajiban menghormati aqidah isterinya supaya dapat bergaul dengan baik antara keduanya. Sedang seorang mu'min juga beriman kepada prinsip agama Yahudi dan Nasrani sebagai agama samawi --terlepas dari persoalan perubahan-perubahan yang terdapat di dalam kedua agama tersebut-- dia juga beriman kepada Taurat dan Injil sebagai kitab yang diturunkan Allah. Dia pun beriman kepada Musa dan Isa sebagai utusan yang dikirim Allah, keduanya adalah tergolong ulul azmi (yang berkedudukan tinggi). Justru itu seorang perempuan ahli kitab yang berada di bawah kekuasaan suami muslim yang selalu menghargai prinsip agamanya, Nabinya dan kitabnya. Bahkan tidak akan sempurna iman si suami yang muslim itu melainkan dengan bersikap demikian. Tetapi sebaliknya, bahwa laki-laki Yahudi dan Nasrani tidak akan mengakui terhadap Islam, kitab Islam dan Nabinya orang Islam. Untuk itu, bagaimana mungkin seorang muslimah dapat hidup di bawah naungan laki-laki lain, di mana agama si isteri muslimah itu menuntut dia untuk menampakkan syiar-syiar, ibadah-ibadah dan kewajiban-kewajiban serta menetapkan beberapa peraturan tentang halal dan haram? Bukankah suatu hal yang mustahil, bahwa seorang muslimah akan mendapat penghormatan terhadap aqidahnya dan agamanya tetap dilindung, sedang suaminya itu amat benci terhadap aqidah si isteri?

Justru itu, logislah kalau Islam mengharamkan seorang laki-laki muslim kawin dengan perempuan animist dimana Islam itu antipati terhadap apa yang disebut syirik dan animisme. Oleh karena itu bagaimana mungkin akan dapat diwujudkan ketenteraman dan kasih-sayang dalam rumahtangga antara suami-isteri itu?

Mempertemukan antara dua insan dalam situasi seperti itu, sama dengan apa yang dikatakan oleh penyair Arab zaman dahulu, yaitu sebagai berikut:

Hai orang yang mengawinkan Tsuraya dengan Suhail
Semoga Allah panjangkan umurmu!
Bagaimana mereka akan dapat bertemu?
Tsuraya seorang Syam tidak dapat bebas
Sedang Suhail seorang Yaman yang bebas!!!

(sebelum, sesudah)


Halal dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team