Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

SEPUTAR MASALAH PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH               (3/3)
Dr. Yusuf Qardhawi
 
BOLEHKAH  WALI  DAN  AHLI  WARIS  MENDONORKAN SEBAGIAN ORGAN
TUBUH MAYIT?
 
Apabila seseorang sebelum meninggal diperkenankan  berwasiat
untuk  mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka jika ia (si
mayit) tidak berwasiat sebelumnya bolehkah bagi  ahli  waris
dan walinya mendonorkan sebagian organ tubuhnya?
 
Ada  yang  mengatakan  bahwa  tubuh si mayit adalah milik si
mayit itu sendiri, sehingga wali atau  ahli  warisnya  tidak
diperbolehkan mempergunakan atau mendonorkannya.
 
Namun  begitu,  sebenarnya seseorang apabila telah meninggal
dunia  maka  dia  tidak  dianggap  layak  memiliki  sesuatu.
Sebagaimana  kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada
ahli warisnya, maka mungkin dapat dikatakan bahwa  tubuh  si
mayit  menjadi  hak  wali atau ahli warisnya. Dan boleh jadi
syara'  melarang  mematahkan  tulang  mayit   atau   merusak
tubuhnya  itu  karena hendak memelihara hak orang yang hidup
melebihi hak orang yang telah mati.
 
Disamping itu, Pembuat Syariat telah memberikan  hak  kepada
wali untuk menuntut hukum qishash atau memaafkan si pembunuh
ketika  terjadi  pembunuhan  dengan   sengaja,   sebagaimana
difirmankan oleh Allah:
 
     "... Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka
     sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada
     ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
     melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia
     adalah orang yang mendapat pertolongan."
     (al-Isra': 33)
 
Sebagaimana halnya ahli waris mempunyai hak melakukan  hukum
qishash  jika  mereka menghendaki, atau melakukan perdamaian
dengan menuntut pembayaran diat, sedikit atau  banyak.  Atau
memaafkannya  secara  mutlak  karena  Allah,  pemaafan  yang
bersifat menyeluruh atau sebagian, seperti  yang  disinyalir
oleh Allah dalam firmanNya:
 
     "... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan
     dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
     mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
     (yang dlben maaf) membayar (diat) kepada yang
     memben maaf dengan cara yang baik (pula) ..."
     (al-Baqarah: 178)
 
Maka tidak menutup kemungkinan bahwa  mereka  mempunyai  hak
mempergunakan  sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya dapat
memberi manfaat kepada orang lain dan tidak memberi  mudarat
kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala darinya,
sesuai  kadar  manfaat  yang  diperoleh  orang  sakit   yang
membutuhkannya  meskipun si mayit tidak berniat, sebagaimana
seseorang yang hidup itu mendapat pahala  karena  tanamannya
dimakan  oleh  orang  lain, burung, atau binatang lain, atau
karena ditimpa musibah, kesedihan,  atau  terkena  gangguan,
hingga  terkena  duri  sekalipun  ... Seperti juga halnya ia
memperoleh manfaat  --setelah  meninggal  dunia--  dari  doa
anaknya  khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta dengan
sedekah mereka  untuknya.  Dan  telah  saya  sebutkan  bahwa
sedekah  dengan  sebagian  anggota  tubuh  itu  lebih  besar
pahalanya daripada sedekah dengan harta.
 
Oleh karena itu, saya berpendapat tidak terlarang bagi  ahli
waris mendonorkan sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan
oleh  orang-orang  sakit  untuk  mengobati  mereka,  seperti
ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan niat sebagai sedekah
dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan pahalanya
selama  si  sakit  masih  memanfaatkan organ yang didonorkan
itu.
 
Sebagian saudara di Qatar  menanyakan  kepada  saya  tentang
mendermakan  sebagian  organ  tubuh  anak-anak  mereka  yang
dilahirkan dengan menyandang suatu penyakit sehingga  mereka
tidak  dapat  bertahan  hidup. Proses itu terjadi pada waktu
mereka di rumah sakit, ketika anak-anak itu meninggal dunia.
Sedangkan  beberapa  anak  lain  membutuhkan  sebagian organ
tubuh  mereka   yang   sehat   --misalnya   ginjal--   untuk
melanjutkan kehidupan mereka.
 
Saya  jawab  bahwa  yang  demikian itu diperbolehkan, bahkan
mustahab, dan mereka akan mendapatkan pahala,  insya  Allah.
Karena  yang  demikian  itu  menjadi  sebab terselamatkannya
kehidupan beberapa orang anak dalam beberapa hari disebabkan
kemauan  para  orang  tua untuk melakukan kebaikan yang akan
mendapatkan pahala  dari  Allah.  Mudah-mudahan  Allah  akan
mengganti  untuk mereka -- karena musibah yang menimpa itu--
melalui anak-anak mereka.
 
Hanya saja, para ahli waris tidak  boleh  mendonorkan  organ
tubuh  si mayit jika si mayit sewaktu hidupnya berpesan agar
organ tubuhnya tidak didonorkan, karena  yang  demikian  itu
merupakan   haknya,  dan  wasiat  atau  pesannya  itu  wajib
dilaksanakan selama bukan berisi maksiat.
 
BATAS HAK NEGARA MENGENAI PENGAMBILAN ORGAN TUBUH
 
Apabila kita memperbolehkan ahli waris dan para  wali  untuk
mendonorkan  sebagian organ tubuh si mayit untuk kepentingan
dan pengobatan orang yang masih hidup, maka bolehkah  negara
membuat undang-undang yang memperbolehkan mengambil sebagian
organ tubuh orang mati yang  tidak  diketahui  identitasnya,
dan   tidak   diketahui   ahli   waris  dan  walinya,  untuk
dimanfaatkan guna menyelamatkan orang lain, yang  sakit  dan
yang terkena musibah?
 
Tidak   jauh   kemungkinannya,   bahwa   yang  demikian  itu
diperbolehkan dalam batas-batas darurat, atau  karena  suatu
kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat, berdasarkan
dugaan kuat bahwa si mayit tidak mempunyai wali. Apabila dia
mempunyai wali, maka wajib meminta izin kepadanya. Disamping
itu, juga tidak didapati  indikasi  bahwa  sewaktu  hidupnya
dulu   si   mayit   berwasiat   agar  organ  tubuhnya  tidak
didonorkan.
 
MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM
 
Adapun mencangkokkan  organ  tubuh  orang  nonmuslim  kepada
orang  muslim  tidak  terlarang,  karena organ tubuh manusia
tidak diidentifikasi sebagai  Islam  atau  kafir,  ia  hanya
merupakan  alat  bagi  manusia  yang  dipergunakannya sesuai
dengan akidah dan pandangan hidupnya.  Apabila  suatu  organ
tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka
ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi  alat
baginya  untuk  menjalankan  misi hidupnya, sebagaimana yang
diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim
yang  mengambil  senjata  orang  kafir  dan mempergunakannya
untuk berperang fi sabilillah.
 
Bahkan kami katakan bahwa organ-organ di dalam  tubuh  orang
kafir  itu adalah muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah),
selalu bertasbih  dan  bersujud  kepada  Allah  SWT,  sesuai
dengan  pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala
sesuatu  yang  ada  di  langit  dan  di  bumi  itu  bersujud
menyucikan Allah Ta'ala, hanya saja kita tidak mengerti cara
mereka bertasbih.
 
Kalau begitu, maka yang benar adalah  bahwa  kekafiran  atau
keislaman   seseorang   tidak   berpengaruh  terhadap  organ
tubuhnya termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri,  yang
oleh  Al-Qur'an  ada  yang diklasifikasikan sehat dan sakit,
iman dan ragu, mati dan hidup. Padahal yang dimaksud  disini
bukanlah  organ  yang  dapat diraba (ditangkap dengan indra)
yang  termasuk  bidang  garap  dokter  spesialis  dan   ahli
anatomi,  sebab  yang demikian itu tidak berbeda antara yang
beriman dan yang kafir, serta  antara  yang  taat  dan  yang
bermaksiat.  Tetapi  yang  dimaksud  dengannya  adalah makna
ruhiyahnya yang dengannyalah manusia merasa,  berpikir,  dan
memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:
 
     "... lalu mereka mempunysi hati yang dengan itu
     mereka dapat memahami ..." (al-Hajj: 46)
     
     "... mereka mempunyai hati, tetapi tidak
     dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)
     ..." (al-A'raf: 179)
 
Dan firman Allah:
 
     "... sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis
     ..." (at-Taubah: 28)
 
Kata najis dalam ayat tersebut  bukanlah  dimaksudkan  untuk
najis indrawi yang berhubungan dengan badan, melainkan najis
maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran).
 
Karena itu tidak terdapat larangan syara' bagi orang  muslim
untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim.
 
PENCANGKOKAN ORGAN BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG MUSLIM
 
Adapun  pencangkokan  organ  binatang  yang  dihukumi  najis
seperti babi misalnya, ke dalam  tubuh  orang  muslim,  maka
pada  dasarnya  hal  itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam
kondisi  darurat.  Sedangkan  darurat   itu   bermacam-macam
kondisi  dan  hukumnya  dengan  harus  mematuhi kaidah bahwa
"segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu  harus
diukur  menurut  kadar  kedaruratannya,"  dan pemanfaatannya
harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim yang tepercaya.
 
Mungkin  juga  ada  yang  mengatakan   disini   bahwa   yang
diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana
disebutkan   Al-Qur'an   dalam   empat    ayat,    sedangkan
mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan
berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya.  Selain
itu,  Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai
--yaitu   kulitnya--   padahal   bangkai   itu    diharamkan
bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur'an.
Maka apabila syara' memperkenankan memanfaatkan bangkai asal
tidak    dimakan,    maka   arah   pembicaraan   ini   ialah
diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.
 
Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah saw.  pernah
melewati  bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata,
"Sesungguhnya  itu  bangkai  kambing   milik   bekas   budak
Maimunah." Lalu beliau bersabda:
 
     "Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu
     samak, lantas kamu manfaatkan?" Mereka menjawab,
     "Sesungguhnya itu adalah bangkai." Beliau
     bersabda, "Sesungguhnya yang diharamkan itu
     hanyalah memakannya."2
 
Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis,  maka
bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam
tubuh orang muslim?
 
Dalam hal ini saya akan menjawab: bahwa yang dilarang syara'
ialah  mengenakan benda najis dari tubuh bagian luar, adapun
yang  didalam  tubuh  maka   tidak   terdapat   dalil   yang
melarangnya.  Sebab  bagian  dalam  tubuh manusia itu justru
merupakan tempat benda-benda najis, seperti darah,  kencing,
tinja,  dan  semua  kotoran;  dan  manusia  tetap  melakukan
shalat, membaca Al-Qur'an, thawaf di Baitul Haram,  meskipun
benda-benda  najis  itu  ada  di  dalam  perutnya  dan tidak
membatalkannya sedikit pun, sebab tidak ada hubungan  antara
hukum najis dengan apa yang ada didalam tubuh.
 
TIDAK BOLEH MENDONORKAN BUAH PELIR
 
Akhirnya  pembahasan ini merembet kepada pembicaraan seputar
masalah pencangkokan buah pelir seseorang kepada orang lain.
Apakah  hal itu diperbolehkan, dengan mengqiyaskannya kepada
organ tubuh yang lain? Ataukah khusus untuk buah  pelir  ini
tidak  diperkenankan  memindahkannya  dari  seseorang kepada
orang lain?
 
Menurut  pendapat  saya,  memindahkan   buah   pelir   tidak
diperbolehkan.  Para  ahli telah menetapkan bahwa buah pelir
merupakan perbendaharaan yang  memindahkan  karakter  khusus
seseorang  kepada  keturunannya,  dan  pencangkokan pelir ke
dalam  tubuh  seseorang,  yakni   anak   keturunan   --lewat
reproduksi--   akan   mewariskan   sifat-sifat   orang  yang
mempunyai  buah  pelir  itu,  baik  warna  kulitnya,  postur
tubuhnya,  tingkat  inteligensinya,  atau  sifat  jasmaniah,
pemikiran, dan mental yang lain.
 
Hal ini dianggap semacam  percampuran  nasab  yang  dilarang
oleh  syara'  dengan jalan apa pun. Karena itu diharamkannya
perzinaan, adopsi dan pengakuan kepada  orang  lain  sebagai
bapaknya,   dan   lainnya,   yang   menyebabkan   terjadinya
percampuran keluarga atau kaum yang  tidak  termasuk  bagian
dari  mereka.  Maka  tidaklah  dapat  diterima pendapat yang
mengatakan bahwa buah pelir bila  dipindahkan  kepada  orang
lain  berarti telah menjadi bagian dari badan orang tersebut
dan mempunyai hukum seperti hukumnya dalam segala hal.
 
Demikian pula jika otak seseorang dapat  dipindahkan  kepada
orang  lain,  maka  hal itu tidak diperbolehkan, karena akan
menimbulkan percampuran dan kerusakan yang besar.
 
Wa billahit taufiq.
 
Catatan kaki:
1 HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Aisyah
  sebagaimana disebutkan dalam al-Jami' ash-Shaghir.
  Dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu Salamah
  dengan lafal: "Seperti memecahkan tulang orang
  yang hidup tentang dosanya."
2 Muttafaq 'alaih, sebagaimana disebutkan dalam
  al-Lu'lu' wal-Marjan, nomor 205.
 
 
                                      (Bagian 1/3, 2/3, 3/3)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team