|
Kebebasan dan Pembatasan dalam
Tafsir
Al-Quran yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad
saw, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana
pun, memiliki pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan
tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik
mempesonakan, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna
yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya,
walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda
akibat berbagai faktor.
Redaksi ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana setiap redaksi
yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya
secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini
kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal
Al-Quran, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum
menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta
memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti
kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan
keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman
Allah yang mereka dengar atau mereka baca
itu.24 Dari
sini kemudian para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir adalah
"penjelasan tentang arti atau maksud
firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia
(mufasir)",25
dan bahwa "kepastian arti satu
kosakata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin
dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau
ayat tersebut secara berdiri
sendiri."26
Rasulullah Muhammad saw. mendapat tugas untuk menjelaskan
maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Tugas ini memberi
petunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal
ini didukung oleh bukti-bukti, antara lain, adanya
teguran-teguran yang ditemukan dalam Al-Quran menyangkut
sikap atau ucapan beliau yang dinilai Tuhan "kurang tepat",
misalnya QS 9:42; 3:128, 80:1, dan sebagainya, yang
kesemuanya mengandung arti bahwa beliau ma'shum (terpelihara
dari melakukan suatu kesalahan atau dosa).
Dari sini mutlak perlu untuk memperhatikan
penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami
atau menafsirkan firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi
penafsiran yang bertentangan dengannya, walaupun tentunya
sebagian dari penafsiran Nabi tersebut ada yang hanya
sekadar merupakan contoh-contoh konkret yang beliau angkat
dari masyarakat beliau, sehingga dapat dikembangkan atau
dijabarkan lebih jauh oleh masyarakat-masyarakat berikutnya.
Misalnya ketika menafsirkan al-maghdhub 'alayhim (QS 1:7)
sebagai "orang-orang Yahudi",27
atau "quwwah" dalam QS 8:60 yang memerintahkan mempersiapkan
kekuatan untuk menghadapi musuh, sebagai
"panah".28
Memang, menurut para ulama, penafsiran Nabi saw.
bermacam-macam, baik dari segi cara, motif, maupun hubungan
antara penafsiran beliau dengan ayat yang ditafsirkan.
Misalnya, ketika menafsirkan shalah al-wustha dalam QS 2:238
dengan "shalat Ashar",29
penafsiran itu adalah penafsiran muthabiq dalam arti sama
dan sepadan dengan yang ditafsirkan. Sedangkan ketika
menafsirkan QS 40;60, tentang arti perintah berdoa, beliau
menafsirkannya dengan beribadah.30
Penafsiran ini adalah penafsiran yang dinamai talazum.
Artinya, setiap doa pasti ibadah, dan setiap ibadah
mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau menafsirkan QS
14:27. Di sana beliau menafsirkan kata akhirat dengan
"kubur".31
Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran tadhamun, karena
kubur adalah sebagian dari akhirat.
Harus digarisbawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi
tentang arti ayat-ayat Al-Quran tidak banyak yang kita
ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang
diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak
dan sebagiannya tidak dapat dipertanggungjawabkan
otentisitasnya, tetapi juga "karena Nabi saw. sendiri tidak
menafsirkan semua ayat Al-Quran".32
Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk
memahami ayat-ayat Al-Quran berdasarkan kaidah-kaidah
disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah
masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Kebebasan dalam Menafsirkan
Al-Quran
Jlka kita perhatikan perintah Al-Quran yang memerintahkan
kita untuk merenungkan ayat-ayatnya dan kecamannya terhadap
mereka yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama
tanpa suatu dasar, dan bila kita perhatikan pula bahwa
Al-Quran diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat
kapan dan di mana pun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
setiap manusia pada abad ke-20 serta generasi berikutnya
dituntut pula untuk memahami Al-Quran sebagaimana tuntutan
yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan
turunnya Al-Quran.
Kemudian, bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang
dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi
juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman,
penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik, dan
sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan
berbeda satu dengan lainnya.
Dari sini seseorang tidak dapat dihalangi untuk
merenungkan, memahami, dan menafsirkan Al-Quran. Karena hal
ini merupakan perintah Al-Quran sendiri, sebagaimana setiap
pendapat yang diajukan seseorang, walaupun berbeda dengan
pendapat-pendapat lain, harus ditampung. Ini adalah
konsekuensi logis dari perintah di atas, selama pemahaman
dan penafsiran tersebut dilakukan secara sadar dan penuh
tanggung jawab.
Dalam kebebasan yang bertanggung jawab inilah timbul
pembatasan-pembatasan dalam menafsirkan Al-Quran,
sebagaimana pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam
setiap disiplin ilmu. Mengabaikan pembatasan tersebut dapat
menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka dalam
kehidupan.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila setiap orang
bebas berbicara atau melakukan praktek-praktek dalam bidang
kedokteran atau melakukan analisis-analisis statistik tanpa
mempunyai pengetahuan tentang ilmu tersebut.
Pembatasan dalam Menafsirkan
Al-Quran
Telah dikemukakan di atas bahwa Al-Quran mengecam
orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya, dan bahwa
para sahabat sendiri seringkali tidak mengetahui atau
berbeda pendapat atau keliru dalam memahami maksud
firman-firman Allah, sehingga dari kalangan mereka sejak
dini telah timbul pembatasan-pembatasan dalam penafsiran
Al-Quran.
Ibn 'Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat
Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah,
menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama,
yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab
berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada
alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga,
yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang
tidak diketahui kecuali oleh Allah.33
Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan,
yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan
(b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).
Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Quran
yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul
bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini
mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada
ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya
oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim, dan
sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang
membagi ayat-ayat Al-Quran kepada muhkam (jelas) dan
mutasyabih (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui
ta'wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang
dalam 'lmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabih (QS 3:7).34
Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum
artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi
tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah-masalah
metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang
tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal
manusia.
Apa pun yang dimaksud dari ungkapan sahabat tersebut,
telah disepakati oleh para ulama bahwa tidak seorang pun
berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap
ayat-ayat yang materinya berkaitan dengan masalah-masalah
metafisika atau yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran
manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini
hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga
bersumber dari Nabi saw.35
Karena itu, seorang ahli hadis kenamaan, Al-Hakim
Al-Naisaburi, menolak penafsiran sahabat Nabi, Abu Hurairah,
tentang ayat "neraka saqar adalah pembakar kulit manusia"
(QS 74:29) untuk dinisbatkan kepada Rasul
saw.36
Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905), salah seorang ahli
Tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut prinsip
"tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak
terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang
samar atau tidak terperinci oleh Al-Quran." Ketika
menafsirkan firman Allah dalam QS 101:6-7 tentang "timbangan
amal perbuatan di Hari Kemudian", 'Abduh menulis: "Cara
Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar
diterima sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali
atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa
yang kita ketahui; maka hendaklah kita menyerahkan
permasalahannya kepada Allah SWT atas dasar
keimanan."37
Bahkan, 'Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu
kosakata yang tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak
perlu membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh oleh
sahabat 'Umar bin Khaththab ketika membaca abba dalam surat
Abasa (QS 80:32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat
Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.38
Dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran yang
mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara
umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut: (a)
pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya;
(b) pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al-Quran, sejarah
turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh; (c) pengetahuan
tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; dan (d) pengetahuan
tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Bagi
mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak
dibenarkan untuk menafsirkan Al-Quran.
Dalam hal ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi:
(1) Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah
berkaitan dengan tafsir ayat Al-Quran. Seseorang yang tidak
memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang
untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang
dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang
telah memenuhi syarat di atas.
Seorang mahasiswa yang membaca kitab tafsir semacam
Tafsir An-Nur karya Prof. Hasby As-Shiddiqie, atau Al-Azhar
karya Hamka, kemudian berdiri menyampaikan kesimpulan
tentang apa yang dibacanya, tidaklah berfungsi menafsirkan
ayat. Dengan demikian, syarat yang dimaksud di atas tidak
harus dipenuhinya. Tetapi, apabila ia berdiri untuk
mengemukakan pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir,. maka
apa yang dilakukannya tidak dapat direstui, karena besar
kemungkinan ia akan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan
yang menyesatkan.
(2) Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam
penafsiran antara lain adalah:
(a) Subjektivitas mufasir;
(b) Kekeliruan dalam menerapkan metode atau
kaidah;
(c) Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat;
(d) Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian
(pembicaraan) ayat;
(e) Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul,
hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial
masyarakat;
(f) Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap
siapa pembicaraan ditujukan.
Karena itu, dewasa ini, akibat semakin luasnya ilmu
pengetahuan, dibutuhkan kerja sama para pakar dalam berbagai
disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran.
Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, yang
mengakibatkan adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsiran
Al-Quran, masih ditemukan pula beberapa pembatasan
menyangkut perincian penafsiran, khususnya dalam tiga
bidang, yaitu perubahan sosial, perkembangan ilmu
pengetahuan, dan bahasa.
Perubahan Sosial
Ditemukan banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang hal
ini, antara lain tentang masyarakat ideal yang sifatnya
adalah masyarakat yang terus berkembang ke arah yang positif
(QS 48:29), juga bahwa setiap masyarakat mempunyai
batas-batas usia (QS 10:49; 15:5, dan lain-lain), dan bahwa
masyarakat dalam perkembangannya mengikuti satu pola yang
tetap (hukum kemasyarakatan) yang tidak berubah (QS 35:43;
48:23, dan lain-lain).
Perubahan-perubahan atau perkembangan-perkembangan yang
terjadi tersebut terutama diakibatkan oleh potensi manusia
baik yang positif maupun yang negatif. Karena adanya dua
kemungkinan ini, maka tidak setiap perubahan sosial dapat
dijadikan dasar pertimbangan dalam menarik kesimpulan
pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran. Walaupun telah
disepakati bahwa pada dasarnya dalam masalah-masalah ibadah
(yang tidak terjangkau oleh pikiran/manusia) perintah agama
harus diterima sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan
makna kandungan perintah tersebut. Sedang dalam masalah
sosial (mu'amalah), perintah agama terlebih dahulu harus
diperhatikan arti kandungannya atau
maksudnya.39
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sementara ulama berpendapat bahwa "syari'at" (Al-Quran
dan hadis) harus dipahami berdasarkan pemahaman masyarakat
pada masa turunnya.40
Ini mengakibatkan antara lain pembatasan dalam memahami
teks-teks ayat Al-Quran berdasarkan pemahaman disiplin ilmu
dan tingkat pengetahuan masyarakat pada masa turunnya
Al-Quran yang jauh terbelakang dibanding perkembangan ilmu
dewasa ini.
Pembatasan di atas tentunya tidak dapat diterima, apalagi
setelah memperhatikan prinsip bahwa Al-Quran diturunkan
untuk semua manusia pada setiap waktu dan tempat. Adalah
mustahil untuk menjadikan semua orang berpikir dengan pola
yang sama. Dan karena Al-Quran memerintahkan setiap orang
berpikir, maka tentunya setiap orang akan menggunakan
pikirannya antara lain berdasarkan perkembangan ilmu
pengetahuan. Atas dasar ini, pendapat-pendapat yang
dikemukakan di atas mengenai pembatasan dalam penafsiran
Al-Quran amat sulit diterima.
Selanjutnya perlu dibedakan antara pemikiran ilmiah
kontemporer dengan pembenaran setiap teori ilmiah. Ketika
ilmu pengetahuan membuktikan secara pasti dan mapan bahwa
bumi kita ini bulat, maka mufasir masa kini akan memahami
dan menafsirkan firman Allah "Dan Allah jadikan untuk kamu
bumi ini terhampar" (QS 71:19) bahwa keterhamparan yang
dimaksud tidak bertentangan dengan kebulatannya, karena
keterhamparan ini terlihat dan disaksikan oleh siapa pun dan
ke mana pun seseorang melangkahkan kakinya, apalagi redaksi
ayat tersebut tidak menyatakan "Allah ciptakan" tetapi
"jadikan untuk kamu". Demikian juga ketika eksperimen
membuktikan bahwa para ahli telah dapat mendeteksi jenis
janin (bayi dalam perut), maka pemahaman kita terhadap ayat
"Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan
(hamil)" (QS 13:8), pemahaman kata "apa" beralih dari yang
tadinya dipahami sebagai jenis kelamin bayi menjadi lebih
umum dari sekadar jenisnya, sehingga mencakup masa depan,
bakat, jiwa, dan segala perinciannya. Karena kata "apa"
dalam istilah Al-Quran dapat mencakup segala sesuatu. Di
sisi lain, kalimat "Allah mengetahui" bukan dalam arti
"hanya Allah yang mengetahui", bila yang dimaksud dengan
"apa"-nya adalah jenis kelamin janin.
Pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran seperti yang
dikemukakan di atas tentunya tidak dapat ditempuh bila
pembatasan yang dikemukakan oleh sementara ulama di atas
diterapkan. Namun ini tidak berarti bahwa setiap teori
ilmiah walaupun yang belum mapan dan pasti dapat dijadikan
dasar dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Quran,
apalagi bila membenarkannya atas nama Al-Quran. Karena itu,
pemakaian teori ilmiah yang belum mapan dalam penafsiran
ayat-ayat Al-Quran, harus dibatasi. Karena hal ini akan
mengakibatkan bahaya yang tidak kecil, sebagaimana yang
pernah dialami oleh bangsa Eropa terhadap penafsiran Kitab
Suci yang kemudian terbukti bertentangan dengan hasil-hasil
penemuan ilmiah yang sejati.
Bidang Bahasa
Perlu digarisbawahi bahwa walaupun Al-Quran menggunakan
kosakata yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa
turunnya, namun pengertian kosakata tersebut tidak selalu
sama dengan pengertian-pengertian yang populer di kalangan
mereka. Al-Quran dalam hal ini menggunakan kosakata
tersebut, tetapi bukan lagi dalam bidang-bidang semantik
yang mereka kenal.41
Di sisi lain, perkembangan bahasa Arab dewasa ini telah
memberikan pengertian-pengertian baru bagi kosakata-kosakata
yang juga digunakan oleh Al-Quran.
Dalam hal ini seseorang tidak bebas untuk memilih
pengertian yang dikehendakinya atas dasar pengertian satu
kosakata pada masa pra-Islam, atau yang kemudian berkembang.
Seorang mufasir, disamping harus memperhatikan struktur
serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan
ayat, juga harus memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap
setiap kosakata, dan mendahulukannya dalam memahami kosakata
tersebut daripada pengertian yang dikenal pada masa
pra-Islam. Bahkan secara umum tidak dibenarkan untuk
menggunakan pengertian pengertian baru yang berkembang
kemudian.
Apabila tidak ditemukan pengertian-pengertian khusus
Qurani bagi satu kosakata atau terdapat petunjuk bahwa
pengertian Qurani tersebut bukan itu yang dimaksud oleh
ayat, maka dalam hal ini seseorang mempunyai kebebasan
memilih arti yang dimungkinkan menurut pemikirannya dari
sekian arti yang dimungkinkan oleh penggunaan bahasa.
Kata 'alaq dalam wahyu pertama "Dia (Tuhan) menciptakan
manusia dari 'alaq" (QS 96:2) mempunyai banyak arti, antara
lain: segumpal darah, sejenis cacing (lintah), sesuatu yang
berdempet dan bergantung, kebergantungan, dan sebagainya. Di
sini seseorang mempunyai kebebasan untuk memilih salah satu
dari arti-arti tersebut, dengan mengemukakan alasannya.
Perbedaan-perbedaan pendapat akibat pemilihan arti-arti
tersebut harus dapat ditoleransi dan ditampung, selama ia
dikemukakan dalam batas-batas tanggung jawab dan kesadaran.
Bahkan agama menilai bahwa mengemukakannya pada saat itu
memperoleh pahala dari Tuhan, walaupun seandainya ia
kemudian terbukti keliru.
Catatan kaki
24 Lihat Muhammad
Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub
Al-Haditsah, Mesir, 1961, jilid 1, h. 59.
25 Ibid., h. 15.
26 Abu Ishaq
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, t.t.,
jilid II, h. 35.
27 Ismail Ibn Katsir,
Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t.
jilid I, h. 29.
28 Ibid., h. 321.
29 Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam Shahih-nya.
30 Diriwayatkan oleh
Al-Turmudzi.
31 Ibid.
32 Al-Zahabiy, op.cit.
h. 53.
33 Lihat lebih jauh
Al-Zarkasyi, Al-Burhan to 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy,
Mesir, 1957, jilid II, h. 164.
34 Lihat Al-Sayuthi,
Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Azhar, Mesir, cet. 11, h.
3.
35 Lihat Al-Zahabiy,
op.cit., h. 59.
36 Al-Hakim
Al-Naisaburi, Ma'rifat 'Ulum Al-Hadits, Dar Al-Afaq, Beirut,
1980, h. 20.
37 Syaikh Muhammad
'Abduh, Tafsir Juz 'Amma, Dar Al-Hilal, Mesir, 1962, h.
139.
38 Ibid., h. 26.
39 Abu Ishaq
Al-Syathibi, op. cit., jilid II, h. 300.
40 Ibid., hal. 82.
41 Lihat Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Penerbit
Mizan, Bandung, 1984, h. 28.
|