|
Hubungan Hadis dan Al-Quran
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama --seperti
definisi Al-Sunnah-- sebagai "Segala sesuatu yang
dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan
taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik
sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya." Ulama ushul
fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-ucapan
Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan
bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang
berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai
Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh
ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari
wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban
menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber
dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat
kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran
dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah
Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa
athi'u al-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat
kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah
Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali
saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup
kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang
tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam
Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin
harus dilakukan terlebih dahulu --dalam kondisi tertentu--
walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT,
sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang
ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya
dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali,
dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr
tidak dibarengi dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap
mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan
sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan
Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima
ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan
tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada
saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan
syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah
dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat
perbedaan yang menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi
redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi
redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh
Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada
Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya
kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi.
Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak
mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia
ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian
disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang
--menurut adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar
ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini,
berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh
orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang
sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw.
Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun
pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis,
namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan
hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para
sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari
segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan
terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik
pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi
sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga
mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin
akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Fungsi Hadis terhadap Al-Quran
Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi
menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44).
Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak
ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.
'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam
bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis
bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan
Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum
syara'. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam
Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya
dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak
diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara
ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama
sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang
terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua
memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir
dari ayat-ayat Al-Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau
Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum
ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui
mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi
dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat)
apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang
kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang
menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn
al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada
Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan
hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang
dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak
terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran
didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang
maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan
penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan,
kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw.
melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari
pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya
berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada
hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa
yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan
persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat
qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang
berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang
bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar
sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah
Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan
bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad
yang luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu.
Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat
(hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya,
tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena
Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh
ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam
Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka,
jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan
sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis.
Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh
Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat
bahwa al-hadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan
dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan
hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah
yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya
ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam
pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita
dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan
dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah
(Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu
Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam
Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam
berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik
dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap
kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan
umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang
sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan
sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik
segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka
tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima
secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak
meyakinkan (hadis).
Pemahaman atas Makna Hadis
Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam arti
ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw.,
pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna,
dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama
dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw. Walaupun diakui
bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan oleh
para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan
dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks sebuah
hadis masih dapat saja muncul. Apakah pemahaman makna sebuah
hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah
konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja,
atau mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika
diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian persoalan yang
dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna
hadis.
Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya
dengan pribadi Muhammad saw. Dalam hal ini, manusia teladan
tersebut suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali lain
sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap
hukum) atau pemimpin satu masyarakat atau bahkan sebagai
pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan manusiawi atau
kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap
hadis dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks
tersebut.
Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat,
tentang perintah dan larangan pada masalah ketujuh,
menguraikan tentang perintah dan larangan syara'.
Menurutnya, perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang
tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi
yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual
dan ada pula yang secara kontekstual.
Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam
perjalanan menuju masjid, mendengar Nabi saw. bersabda,
"Ijlisu (duduklah kalian)," dan seketika itu juga Ubay duduk
di jalan. Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu
bersabda kepadanya, "Zadaka Allah tha'atan." Di sini, Ubay
memahami hadis tersebut secara tekstual.
Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, "Jangan ada
yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah."
Sebagian memahami teks hadis tersebut secara tekstual,
sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu
--kecuali di tempat itu. Sebagian lainnya memahaminya secara
kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar,
sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus
terakhir ini, tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat
yang menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami teks
hadis.
Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks
hadis, tidak terkecuali dalam bidang muamalat. Dalam hal
ini, Al-Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat
Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw., harus dipertahankan
bunyi teksnya, walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk
hukum dan bunyi teks-teksnya adalah ta'abbudiy, sehingga
tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai maslahat harus
dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada
petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.
Kajian 'illat, dalam pandangan Al-Syafi'i, dikembangkan
bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan
hukum. Karena itu, kaidah al-hukm yaduru ma'a illatih wujud
wa 'adam,115
hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas, bukan
terhadap bunyi teks Al-Quran dan hadis. Itu sebabnya
Al-Syafi'i berpendapat bahwa lafal yang mengesahkan hubungan
dua jenis kelamin, hanya lafal nikah dan zawaj, karena bunyi
hadis Nabi saw. menyatakan, "Istahlaltum furujahunna bi
kalimat Allah (Kalian memperoleh kehalalan melakukan
hubungan seksual dengan wanita-wanita karena menggunakan
kalimat Allah)", sedangkan kalimat (lafal) yang digunakan
oleh Allah dalam Al-Quran untuk keabsahan hubungan tersebut
hanya lafal zawaj dan nikah.
Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat
dengan ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks
keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi
dalam bidang muamalat, tidak demikian. Bidang ini menurutnya
adalah ma'qul al-ma'na, dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali
apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan
dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy
juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan
saja karena akal tidak dapat memastikan mengapa teks
tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut
diterima atas dasar qath'iy al-wurud. Dengan alasan terakhir
ini, sikapnya terhadap teks-teks hadis menjadi longgar.
Karena, seperti dikemukakan di atas, periwayatan lafalnya
dengan makna dan penerimaannya bersifat zhanniy.
Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah
tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam
teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang
membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai, atau
membenarkan keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah
atau jual beli, adalah penjabaran dari pandangan di atas.
Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran dam
tamattu' dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena
kedua hal tersebut bernilai ta'abudiy, yakni pada
penyembelihannya.
Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat
dikemukakan tentang hadis.
Catatan kaki
115 Ketetapan hukum
selalu berkaitan dengan 'illat (motifnya). Bila motifnya
ada, hukumnya bertahan; dan bila motif nya gugur, hukumnya
pun gugur.
|