|
Makna Isra' dan Mi'raj
Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt
Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan
melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat
singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran
disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini
membuktikan bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan
menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas)
dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau
ruang.
Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari
bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin
kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan
yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum
empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin
lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak
mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh
beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan
diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena
ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat
dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan
oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka
yang menolak peristiwa ini.
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya
adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu
Bakar AlShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila
Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh
sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa
tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya
berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh
Al-Quran.
Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran
adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan
keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra' dan Mi'raj
merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut.
Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap
sistematika dan kandungan Al-Quran, baik dalam
bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya
yang terinci.
Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa
manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif
membentuk umat.
Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran
menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan
masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas
mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah
mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni
al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan
Mi'raj merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga
bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan
dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan
ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut
sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang
hubungan perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat
secara timbal-balik.
Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka
ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan
pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu
memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya.
Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian
dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat
sebelumnya.204
Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat
tersebut, seperti dikatakan oleh
Al-Biqai'i.205
Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra'
adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang
berarti lebah.
Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak
keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada
jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga jenis yang
bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya
terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk
lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh
selaput yang sangat halus menghalangi udara atau bakteri
menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada khasiat
madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi
sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua,
dan mencakup pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin
dan dedikasi di bawah pimpinan seekor "ratu". Lebah yang
berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan.
Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu" yang
dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk
mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota
masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga
puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak
pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam
hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang
ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.
Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban
ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya
dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj. Lebah juga dipilih sebagai
pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya.
Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul,
adalah "bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan
indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan
sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang
dihasilkan lebah itu."
Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan
pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di
sini Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari
Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu
meminta agar disegerakan datangnya.
Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah
datang? Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan Allah,"
mengapa dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan
datangnya"? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar
bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu.
Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia,
perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat
kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya
Dia tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan
hal ini ditegaskan-Nya dalam surat pengantar ini dengan
kalimat: Maka perkataan Kami kepada
sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan
kepadanya "kun" (jadilah), maka jadilah ia (QS
16:40).
Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi.
Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem
gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem
gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu
lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan
para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan
bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan
waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya.
Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang
Mahaesa.
Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut
Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab
tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan,
tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui
oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului
atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan
bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu,
muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.
Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun
kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah
yang mewujudkannya. "Cahaya yang terlihat sebelum terdengar
suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan
bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata David Hume.
"Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah
penyebab terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum
David Hume lahir. "Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian
dari B ke C, dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar
untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah
akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac
Newton, sang penemu gaya gravitasi.
Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada
lain kecuali "a summary o f statistical averages" (ikhtisar
dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan
oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan
"kebetulan" dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu
proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan
Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang
terjadi diwujudkan oleh "superior reasoning power" (kekuatan
nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran,
"Al-'Aziz Al-'Alim", Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha
Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat
pengantar peristiwa Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya:
Kepada Allah saja tunduk segala apa
yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang
melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan
diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas
mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan
(kepada mereka) (QS 16:49-50).
Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah:
Janganlah meminta untuk
tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat
tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan
peristiwa Isra' ini, Adalah manusia
bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan
inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan
antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil
menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan
yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang
rasional dan irasional dengan yang suprarasional.
Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang
mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan
Mi'raj ini, dalam surat Isra' sendiri, berulang kali
ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta
sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan
tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut:
Dia (Allah) menciptakan apa-apa
(makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8);
Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan
Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya.
Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya:
Dan janganlah kamu mengambil satu
sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena
sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu
kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS
17:36).
Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan
pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad
ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis,
menyatakan: "Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan
kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan
sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini
yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya,
walaupun yang disebut materi sekalipun." Sementara itu,
teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia
tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97%
selebihnya di luar kemampuan manusia."
Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya,
pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman
secara ilmiah atas peristiwa Isra' dan Mi'raj ini; kalau
betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga
demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk
membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi.
Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis
dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni
observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam
yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja.
Padahal, peristiwa Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali
saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan
dilakukan eksperimentasi.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh
eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan
karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula
sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa
menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi
hatiku untuk percaya." Dan itu pulalah sebabnya mengapa
"oleh-oleh" yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra' dan
Mi'raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan
sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara
ruhani.
Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena tiada
perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa
yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta
berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang
Mahaesa.
Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang
peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini,
digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak
mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus
diambilnya. Allah berfirman:
Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah
kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah
kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula
kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka
tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan
orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128).
Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum
diceritakannya peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya
bagaimana Isra' dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra'
dan Mi 'raj.
Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian,
Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas,
menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya.
Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat
ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang
di-isra'-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai
yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu,
dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam
surat Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk
membina diri dan membangun masyarakat.
Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan
shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah
yang merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini,
karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak
untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran
dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk
mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia
seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia,
karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan
Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang
tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu
kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia
semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan
oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui,
Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru
bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang
tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan
khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.
Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak
seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah
mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar
atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada
Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan
akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang
menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya
didesak oleh kebutuhannya.
Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena
shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar
pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian
dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan
para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu,
Alexis Carrel menyatakan: "Apabila pengabdian, shalat, dan
doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari
tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita
telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat
tersebut." Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah
seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia
adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah
Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung
gereja serta pencangkokannya. Dan, menurut Larouse
Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi
yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh
pada penghujung abad XX ini.
Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan
Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang
peristiwa Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ
digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap
petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah
menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu
atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah
siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS
16:26).
Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam
rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan
Mi'raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan
masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah:
Jika kami hendak membinasakan suatu
negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup
dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah
sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan
Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS
17:16).
Ditekankan dalam surat ini bahwa
"Sesungguhnya orang yang hidup
berlebihan adalah saudara-saudara setan" (QS
17:27).
Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam
kesederhanaan dan keseimbangan: Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu
dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya,
agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS
17:29).
Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam
bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah.
Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya
tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima
puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam
petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra' ini juga, yakni
yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan shalat:
Janganlah engkau mengeraskan suaramu
dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi
carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17:
110).
Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat
mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di
saat yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan "jalan
tengah" itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang
gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama
Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar,
berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang
sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena, dalam
kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan
menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya.
Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan
tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya,
tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang
lain. Ini sesuai dengan firman Allah:
Katakanlah wahai Muhammad,
"Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan
kemampuannya masing-masing." Tuhan lebih mengetahui siapa
yang lebih benar jalannya (QS 17:84).
Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya
dibacakan ayat terakhir dalam surat yang menceritakan
peristiwa Isra' dan Mi'raj ini: Katakanlah wahai Muhammad:
"Percayalah kamu atau tidak usah
percaya (keduanya sama bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya
mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila
disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka
mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).
Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat
kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian
peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra'
sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra' dan
Mi'raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan
menyuarakan keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas
Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta ini,
serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk
memujaNya sekaligus mengabdi kepada-Nya.
Catatan kaki
204 Lihat bukunya,
Asrar Tartib Al-Qur'an.
205 Lihat dalam
pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat
wa Al-Suwar.
Silakan kunjungi: penjelasan Isra' Mi'raj melalui
cerita
sufi.
|