Ayat-ayat Kawniyyah dalam Al-Quran
Al-Quran Al-Karim, yang terdiri atas 6.236 ayat
itu,121
menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara
lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian-uraian
sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat
kawniyyah. Tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas
menguraikan hal-hal di atas.122
Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya
secara tersirat.
Tetapi, kendatipun terdapat sekian banyak ayat tersebut,
bukan berarti bahwa Al-Quran sama dengan Kitab Ilmu
Pengetahuan, atau bertujuan untuk menguraikan
hakikat-hakikat ilmiah. Ketika Al-Quran memperkenalkan
dirinya sebagai tibyanan likulli syay'i (QS 16:89), bukan
maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu,
tetapi bahwa dalam Al-Quran terdapat segala pokok petunjuk
menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan
ukhrawi.123
Al-Ghazali dinilai sangat berlebihan ketika berpendapat
bahwa "segala macam ilmu pengetahuan baik yang telah, sedang
dan akan ada, kesemuanya terdapat dalam Al-Quran". Dasar
pendapatnya ini antara lain adalah ayat yang berbunyi,
Pengetahuan Tuhan kami mencakup segala
sesuatu (QS 7:89). Dan bila aku
sakit Dialah Yang Menyembuhkan aku (QS 26:80). Tuhan
tidak mungkin dapat mengobati kalau Dia tidak tahu penyakit
dan obatnya. Dari ayat ini disimpulkan bahwa pasti Al-Quran,
yang merupakan Kalam/Firman Allah, juga mengandung misalnya
disiplin ilmu kedokteran. Demikian pendapat Al-Ghazali dalam
Jawahir Al-Qur'an.124
Di sini, dia mempersamakan antara ilmu dan kalam, dua hal
yang pada hakikatnya tidak selalu seiring. Bukankah tidak
semua apa yang diketahui dan diucapkan?! Bukankah ucapan
tidak selalu menggambarkan (seluruh) pengetahuan?
Al-Syathibi, yang bertolak belakang dengan Al-Ghazali,
juga melampaui batas kewajaran ketika berpendapat bahwa
"Para sahabat tentu lebih mengetahui tentang kandungan
Al-Quran" --tetapi dalam kenyataan tidak seorang pun di
antara mereka yang berpendapat seperti di atas. "Kita," kata
Al-Syathibi lebih jauh, "tidak boleh memahami Al-Quran
kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat
dengan pengetahuan mereka."125
Ulama ini seakan-akan lupa bahwa perintah Al-Quran untuk
memikirkan ayat-ayatnya tidak hanya tertuju kepada para
sahabat, tetapi juga kepada generasi-generasi sesudahnya
yang tentunya harus berpikir sesuai dengan perkembangan
pemikiran pada masanya masing-masing.
Al-Quran dan Alam Raya
Seperti dikemukakan di atas bahwa Al-Quran berbicara
tentang alam dan fenomenanya. Paling sedikit ada tiga hal
yang dapat dikemukakan menyangkut hal tersebut:
(1) Al-Quran memerintahkan atau menganjurkan
kepada manusia untuk memperhatikan dan mempelajari alam
raya dalam rangka memperoleh manfaat dan
kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk
--mengantarkannya kepada kesadaran akan Keesaan dan
Kemahakuasaan Allah SWT.
Dari perintah ini tersirat pengertian bahwa manusia
memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan
hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut. Namun,
pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan
puncak (ultimate goal).
(2) Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang
mengaturnya, diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan
Allah SWT serta diatur dengan sangat teliti.
Alam raya tidak dapat melepaskan diri dari
ketetapan-ketetapan tersebut --kecuali jika dikehendaki
oleh Tuhan. Dari sini tersirat bahwa:
(a) Alam raya atau elemen-elemennya tidak
boleh disembah, dipertuhankan atau dikultuskan.
(b) Manusia dapat menarik kesimpulan-kesimpulan
tentang adanya ketetapan-ketetapan yang bersifat umum
dan mengikat bagi alam raya dan fenomenanya
(hukum-hukum alam).
(3) Redaksi ayat-ayat kawniyyah bersifat ringkas,
teliti lagi padat, sehingga pemahaman atau penafsiran
terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat
bervariasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
pengetahuan masing-masing penafsir.
Dalam kaitan dengan butir ketiga di atas, perlu
digarisbawahi beberapa prinsip dasar yang dapat, atau bahkan
seharusnya, diperhatikan dalam usaha memahami atau
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang mengambil corak ilmiah.
Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah
(1) Setiap Muslim, bahkan setiap orang,
berkewajiban untuk mempelajari dan memahami Kitab Suci
yang dipercayainya, walaupun hal ini bukan berarti bahwa
setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan
pendapat-pendapatnya tanpa memenuhi seperangkat
syarat-syarat tertentu.
(2) Al-Quran diturunkan bukan hanya khusus ditujukan
untuk orang-orang Arab ummiyyin yang hidup pada masa
Rasul saw. dan tidak pula hanya untuk masyarakat abad
ke-20, tetapi untuk seluruh manusia hingga akhir zaman.
Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Quran serta
dituntut menggunakan akalnya dalam rangka memahami
petunjuk-petunjuk-Nya. Dan kalau disadari bahwa akal
manusia dan hasil penalarannya dapat berbeda-beda akibat
latar belakang pendidikan, kebudayaan, pengalaman,
kondisi sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek), maka adalah wajar apabila pemahaman
atau penafsiran seseorang dengan yang lainnya, baik dalam
satu generasi atau tidak, berbeda-beda pula.
(3) Berpikir secara kontemporer sesuai dengan
perkembangan zaman dan iptek dalam kaitannya dengan
pemahaman Al-Quran tidak berarti menafsirkan Al-Quran
secara spekulatif atau terlepas dari kaidah-kaidah
penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli yang
memiliki otoritas dalam bidang ini.
(4) Salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami
dan menafsirkan Al-Quran adalah keterbatasan pengetahuan
seseorang menyangkut subjek bahasan ayat-ayat Al-Quran.
Seorang mufasir mungkin sekali terjerumus kedalam
kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kawniyyah
tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang
astronomi, demikian pula dengan pokok-pokok bahasan ayat
yang lain.
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pokok di atas,
ulama-ulama tafsir memperingatkan perlunya para mufasir
--khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan
penafsiran ilmiah-- untuk menyadari sepenuhnya sifat
penemuan-penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus
bahasa dan konteks ayat-ayat Al-Quran.
Pendapat Para Ulama tentang
Penafsiran Ilmiah
Disepakati oleh semua pihak bahwa penemuan-penemuan
ilmiah, di samping ada yang telah menjadi hakikat-hakikat
ilmiah yang dapat dinilai telah memiliki kemapanan, ada pula
yang masih sangat relatif atau diperselisihkan sehingga
tidak dapat dijamin kebenarannya.
Atas dasar larangan menafsirkan Al-Quran secara
spekulatif, maka sementara ulama Al-Quran tidak membenarkan
penafsiran ayat-ayat berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah
yang sifatnya belum mapan.126
Seorang ulama berpendapat bahwa "Kita tidak ingin terulang
apa yang terjadi atas Perjanjian Lama ketika gereja
menafsirkannya dengan penafsiran yang kemudian ternyata
bertentangan dengan penemuan para
ilmuwan."127
Ada Pula yang berpendapat bahwa "Kita berkewajiban
menjelaskan Al-Quran secara ilmiah dan biarlah generasi
berikut membuka tabir kesalahan kita dan
mengumumkannya."128
Abbas Mahmud Al-Aqqad memberikan jalan tengah. Seseorang
hendaknya jangan mengatasnamakan Al-Quran dalam
pendapat-pendapatnya, apalagi dalam perincian
penemuan-penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi
ayat-ayat Al-Quran. Dalam hal ini, AlAqqad memberikan contoh
menyangkut ayat 30 Surah Al-Anbiya' yang oleh sementara
ilmuwan Muslim dipahami sebagai berbicara tentang kejadian
alam raya, yang pada satu ketika merupakan satu gumpalan
kemudian dipisahkan Tuhan.
Setiap orang bebas memahami kapan dan bagaimana
terjadinya pemisahan itu, tetapi ia tidak dibenarkan
mengatasnamakan Al-Quran menyangkut pendapatnya, karena
Al-Quran tidak menguraikannya.129
Setiap Muslim berkewajiban mempercayai segala sesuatu
yang dikandung oleh Al-Quran, sehingga bila seseorang
mengatasnamakan Al-Quran untuk membenarkan satu penemuan
atau hakikat ilmiah yang tidak dicakup oleh kandungan
redaksi ayat-ayat Al-Quran, maka hal ini dapat berarti bahwa
ia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai apa yang
dibenarkannya itu, sedangkan hal tersebut belum tentu
demikian.
Pendapat yang disimpulkan dari uraian Al-Aqqad di atas,
bukan berarti bahwa ulama dan cendekiawan Mesir terkemuka
ini menghalangi pemahaman suatu ayat berdasarkan
perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak! Sebab, menurut
Al-Aqqad lebih lanjut, "Dahulu ada ulama yang memahami arti
'tujuh langit' sebagai tujuh planet yang mengitari tata
surya --sesuai dengan perkembangan pengetahuan ketika itu.
Pemahaman semacam ini merupakan ijtihad yang baik sebagai
pemahamannya (selama) ia tidak mewajibkan atas dirinya untuk
mempercayainya sebagai akidah dan atau mewajibkan yang
demikian itu terhadap orang lain."130
Bint Al-Syathi' dalam bukunya, Al-Qur'an wa Al-Qadhaya
Al-Washirah, secara tegas membedakan antara pemahaman dan
penafsiran.131
Sedangkan Al-Thabathaba'i, mufasir besar Syi'ah kontemporer,
lebih senang menamai penjelasan makna ayat-ayat Al-Quran
secara ilmiah dengan nama tathbiq
(penerapan).132
Pendapat-pendapat di atas agaknya semata-mata bertujuan
untuk menghindari jangan sampai Al-Quran dipersalahkan bila
di kemudian hari terbukti teori atau penemuan ilmiah
tersebut keliru.
Segi Bahasa Al-Quran dan Korelasi Antar
Ayatnya
Seperti yang telah dikemukakan di atas, para mufasir
mengingatkan agar dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran --khususnya yang berkaitan dengan penafsiran
ilmiah-- seseorang dituntut untuk memperhatikan segi-segi
bahasa Al-Quran serta korelasi antar ayat.
Sebelum menetapkan bahwa ayat 88 Surah Al-Naml (yang
berbunyi, Dan kamu lihat gunung-gunung
itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan
sebagai jalannya awan), ini menginformasikan
pergerakan gunung-gunung, atau peredaran bumi, terlebih
dahulu harus dipahami kaitan ayat ini dengan ayat-ayat
sebelumnya. Apakah ia berbicara tentang keadaan gunung dalam
kehidupan duniawi kita dewasa ini atau keadaannya kelak di
hari kemudian. Karena, seperti diketahui, penyusunan
ayat-ayat Al-Quran tidak didasarkan pada kronologis masa
turunnya, tetapi pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga
kandungan ayat terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan
ayat kemudian.
Demikian pula halnya dengan segi kebahasaan. Ada
sementara orang yang berusaha memberikan legitimasi dari
ayat-ayat Al-Quran terhadap penemuan-penemuan ilmiah dengan
mengabaikan kaidah kebahasaan.
Ayat 22 Surah Al-Hijr, diterjemahkan oleh Tim Departemen
Agama dengan, "Dan Kami telah
meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami
turunkan hujan dari langit
..."133
Terjemahan ini, di samping mengabaikan arti huruf fa; juga
menambahkan kata tumbuh-tumbuhan sebagai penjelasan sehingga
terjemahan tersebut menginformasikan bahwa angin berfungsi
mengawinkan tumbuh-tumbuhan.
Hemat penulis, terjemahan dan pandangan di atas tidak
didukung oleh fa anzalna min al-sama'
ma'a yang seharusnya diterjemahkan dengan maka
kami turunkan hujan. Huruf fa'
yang berarti "maka" menunjukkan adanya kaitan sebab dan
akibat antara fungsi angin dan turunnya hujan, atau
perurutan logis antara keduanya sehingga tidak tepat huruf
tersebut diterjemahkan dengan dan sebagaimana tidak tepat
penyisipan kata tumbuh-tumbuhan dalam terjemahan tersebut.
Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa menterjemahkan
lawaqiha dengan meniupkan juga kurang tepat.
Kamus-kamus bahasa mengisyaratkan bahwa kata tersebut
digunakan antara lain untuk menggambarkan inseminasi.
Sehingga, atas dasar ini, Hanafi Ahmad menjadikan ayat
tersebut sebagai informasi tentang fungsi angin dalam
menghasilkan atau mengantarkan turunnya hujan, semakna
dengan Firman Allah dalam surah Al-Nur ayat 43:
Tidakkah kamu lihat bahwa Allah
mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara
(bagian-bagian)-nya, kemudian dijadikannya bertindih-tindih,
maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya
...134
Memang, seperti yang dikemukakan di atas, sebab-sebab
kekeliruan dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran antara lain adalah kelemahan dalam bidang bahasa
Al-Quran, serta kedangkalan pengetahuan menyangkut objek
bahasan ayat. Karena itu, walaupun sudah terlambat, kita
masih tetap menganjurkan kerja sama antardisiplin ilmu demi
mencapai pemahaman atau penafsiran yang tepat dari ayat-ayat
Al-Quran dan demi membuktikan bahwa Kitab Suci tersebut
benar-benar bersumber dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi
Mahaesa itu.
Catatan kaki
121 Jumlah ini adalah
yang populer di samping jumlah 6.666 ayat. Tetapi, masih ada
pendapat-pendapat lain. Lebih jauh dapat dilihat dalam
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Kairo
1957, jilid I, h. 249.
122 Lihat, antara
lain, Thanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur'an,
Kairo, 1350 H, jilid I, h. 3.
123 Lihat Mahmud
Syaltut, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, Dar Al-Qalam, Mesir,
Cetakan II, t.t., h. 13, dan seterusnya.
124 Al-Ghazali,
Jawahir Al-Qur'an, Percetakan Kurdistan, Mesir, Cetakan I,
t.t., h. 31.
125 Abu Ishaq
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rifah, Mesir, t.t.,
jilid 1, h. 46.
126 Muhammad Ridha
Al-Hakimi, Al-Qur'an Yasbiqu Al-'Ilm Al-Hadits, Dar
Al-Qabas, Kuwait, 1977, h. 71.
127 Abdul Muta'al
Muhammad Al-Jabri, Syathahat Mushthafa Mahmud, Dar
Al-I'thisham, Kairo, 1976, h. 12.
128 Muhammad Ridha
Al-Hakimi, loc cit.
129 Abbas Mahmud
Al-Aqqad, Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, Dar Al-Hilal, Kairo,
t.t., h. 182.
130 Ibid.
131 Bint Al-Syathi',
Al-Quran wa Al-Qadhaya Al-Mu'ashirah, Dar Al-Ilmu li
Al-Malayin, Beirut, 1982, h. 313.
132 Muhammad Husain
Al-Thabathaba'i, Tafsir Al-Mizan, Dar Al-Kutub
Al-Islamiyyah, Teheran, 1397 H., cet. III, jilid I, h.
6.
133 Proyek Pengadaan
Kitab Suci Al-Quran Depag, Al-Qur'an dan Terjemahannya,
Percetakan PT. Seraya Santra, 1989.
134 Hanafi Ahmad,
Al-Tafsir Al-'Ilmiy lil Ayat Al-Kawniyyah, Dar Al-Ma'arif
Mesir, 1960, h. 363, dan seterusnya.
|