Penafsiran "Khalifah" dengan Metoda
Tematik
Ada dua bentuk metode penafsiran tematik:
(1) Penafsiran satu surah dalam Al-Quran dengan
menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus atau
tema sentral surah tersebut, kemudian menghubungkan
ayat-ayat yang beraneka ragam itu satu dengan lain dengan
tema sentral tersebut.
Metode ini diterapkan pertama kali oleh Al-Syathibi
dan dan dikembangkan juga antara lain oleh Mahmud
Syaltut.
(2) Menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas
masalah tertentu dari berbagai surah Al-Quran (sedapat
mungkin diurut sesuai dengan masa turunnya, apalagi jika
yang dibahas adalah masalah hukum) sambil memperhatikan
sebab nuzul, munasabah masing-masing ayat, kemudian
menjelaskan pengertian ayat-ayat tersebut yang mempunyai
kaitan dengan tema atau pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh penafsiran dalam satu kesatuan pembahasan
sampai ditemukan jawaban-jawaban Al-Quran menyangkut tema
(persoalan) yang dibahas.
Dalam hal menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan satu
tema, beberapa ulama menekankan bahwa tidak selalu
keseluruhan ayat yang berbicara tentang tema tertentu harus
dikumpulkan. Boleh saja --kata mereka-- ayat-ayat yang
diduga keras telah dapat diwakili oleh ayat-ayat lain, tidak
lagi diangkat.
Tulisan ini akan mencoba melihat beberapa aspek dari
ayat-ayat yang berbicara tentang khalifah dengan menggunakan
metode tematik dalam bentuknya yang kedua di atas. Namun,
tidak dengan mengangkat seluruh ayat-ayat yang berbicara
tentang persoalan ini dalam berbagai redaksinya, karena hal
tersebut memerlukan penelitian yang sangat rumit dan waktu
yang cukup lama.
Arti Kata Khalifah
Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dua kali
dalam Al-Quran, yaitu dalam Al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat
26.
Ada dua bentuk plural yang digunakan oleh Al-Quran,
yaitu:
(a) Khalaif yang terulang sebanyak empat kali,
yakni pada surah Al-An'am 165, Yunus 14, 73, dan Fathir
39.
(b) Khulafa' terulang sebanyak tiga kali pada
surah-surah. Al-A'raf 7:69, 74, dan Al-Naml 27:62.
Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khulafa' yang
pada mulanya berarti "di belakang". Dari sini, kata khalifah
seringkali diartikan sebagai "pengganti" (karena yang
menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah
yang digantikannya).
Al-Raghib Al-Isfahani, dalam Mufradat fi Gharib
Al-Qur'an, menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti
melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama
yang digantikannya maupun sesudahnya. Lebih lanjut,
Al-Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan tersebut dapat
terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau
ketidakmampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat
penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan.
Tidak dapat disangkal oleh para mufasir bahwa perbedaan
bentuk-bentuk kata di atas (khalifah, khalaif, khulafa')
masing-masing mempunyai konteks makna tersendiri, yang
sedikit atau banyak berbeda degan yang lain.
Kalau kita bermaksud merujuk kepada Al-Quran untuk
mengetahui kandungan makna kata khalifah (karena ayat
Al-Quran berfungsi pula sebagai penjelas terhadap ayat-ayat
lainnya), maka dari kata khalifah yang hanya terulang dua
kali itu serta konteks-konteks pembicaraannya, kita dapat
menarik beberapa kesimpulan makna --khususnya dengan
memperhatikan ayat-ayat surah Shad yang menguraikan sebagian
dari sejarah kehidupan Nabi Daud.
Nabi Daud a.s. sebagaimana diceritakan oleh Al-Quran,
berhasil membunuh jalut:
Dan Daud membunuh jalut.
Allah memberinya kekuasaan/kerajaan dan hikmah serta
mengajarkannya apa yang Dia kehendaki ...
Jika demikian, kekhalifahan yang dianugerahkan kepada
Daud a.s. bertalian dengan kekuasaan mengelola wilayah
tertentu. Hal ini diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang
mengajarkan kepadanya al-hikmah dan ilmu pengetahuan.
Makna "pengelolaan wilayah tertentu", atau katakanlah
bahwa pengelolaan tersebut berkaitan dengan kekuasaan
politik, dipahami pula pada ayat-ayat yang menggunakan
bentuk khulafa : (Perhatikan ketiga ayat yang ditunjuk di
atas). Ini, berbeda dengan kata khala'if, yang tidak
mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada
akhirnya kita dapat berkata bahwa sejumlah orang yang tidak
memiliki kekuasaan politik dinamai oleh Al-Quran khala'if;
tanpa menggunakan bentuk mufrad (tunggal). Tidak
digunakannya bentuk mufrad untuk makna tersebut agaknya
mengisyaratkan bahwa kekhalifahan yang diemban oleh setiap
orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain,
berbeda dengan khalifah yang bermakna penguasa dalam bidang
politik itu. Hal ini dapat mewujud dalam diri pribadi
seseorang atau diwujudkannya dalam bentuk otoriter atau
diktator.
Kalau kita kembali kepada ayat Al-Baqarah 30, yang
menggunakan kata khalifah untuk Adam as., maka ditemukan
persamaan-persamaan dengan ayat yang membicarakan Daud a.s.,
baik persamaan dalam redaksi maupun dalam makna dan konteks
uraian.
Adam juga dinamai khalifah. Beliau, sebagaimana Daud,
juga diberi pengetahuan --Wa 'allama
Adam al-asma' kullaha-- yang kekhalifahan keduanya
berkaitan dengan Al-Ardha:
Inni ja'il fi al-ardhi
khalifah (Adam) dan Ya Daud inna Ja'alnaka khalifatan fi
al-ardh (Daud).
Adam dan Daud keduanya digambarkan oleh Al-Quran sebagai
pernah tergelincir tetapi diampuni Tuhan. (Baca
masing-masing QS 2: 36, 37, dan QS 38:22-25).
Sampai di sini, kita dapat mengambil kesimpulan
sementara, yaitu:
(1) Kata khalifah digunakan oleh Al-Quran untuk
siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas
maupun terbatas. Dalam hal ini Daud (947-1000 S.M.)
mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara
potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi
keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan.
(2) Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara
aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat
mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik Adam maupun Daud
diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu. (Baca
QS 20:16, dan QS 38:261.
Arti Kekhalifahan di Bumi
Muhammad Baqir Al-Shadr, dalam bukunya, Al-Sunan
Al-Tarikhiyah fi Al-Qur'an, yang antara lain mengupas ayat
30 Surah Al-Baqarah dengan menggunakan metode tematik,
mengemukakan bahwa kekhalifahan mempunyai tiga unsur yang
saling kait-berkait. Kemudian, ditambahkannya unsur keempat
yang berada di luar, namun amat menentukan arti kekhalifahan
dalam pandangan Al-Quran.
Ketiga unsur pertama adalah:
- Manusia, yang dalam hal ini dinamai khalifah.
- Alam raya, yang ditunjuk oleh ayat Al-Baqarah sebagai
ardh.
- Hubungan antara manusia dengan alam dan segala
isinya, termasuk dengan manusia.
Hubungan ini, walaupun tidak disebutkan secara tersurat
dalam ayat di atas, tersirat karena penunjukan sebagai
khalifah tidak akan ada artinya jika tidak disertai dengan
penugasan atau istikhlaf.
Itulah ketiga unsur yang saling kait-berkait, sedangkan
unsur keempat yang berada di luar adalah yang digambarkan
oleh ayat tersebut dengan kata inni jail/inna ja'alnaka
khalifat yaitu yang memberi penugasan, yakni Allah SWT.
Dialah yang memberi penugasan itu dan dengan demikian yang
ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya.
Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam
sebagai khalifah dijelaskan oleh Allah dalam bentuk tunggal
inni (sesungguhnya Aku) dan dengan kata ja'il yang berarti
akan mengangkat. Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan
dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami) dan dengan
bentuk kata kerja masa lampau ja'alnaka (Kami telah
menjadikan kamu).
Kalau kita dapat menerima kaidah yang menyatakan bahwa
penggunaan bentuk plural untuk menunjuk kepada Allah
mengandung makna keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam
pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam
pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan
pihak lain selain Allah, yakni masyarakat
(pengikut-pengikutnya). Adapun Adam, maka di sini wajar
apabila pengangkatannya dilukiskan dalam bentuk tunggal,
bukan saja disebabkan karena ketika itu kekhalifahan yang
dimaksud baru berupa rencana (Aku akan mengangkat) tetapi
juga karena ketika peristiwa ini terjadi tidak ada pihak
lain bersama Allah yang terlibat dalam pengangkatan
tersebut.
Ini berarti bahwa Daud --dan semua khalifah-- yang
terlibat dengan masyarakat dalam pengangkatannya, dituntut
untuk memperhatikan kehendak masyarakat tersebut, karena
mereka ketika itu termasuk pula sebagai mustakhlif.
Tidak dikuatirkan adanya perlakuan sewenang-wenang dari
khalifah yang diangkat Tuhan itu, selama ia benar-benar
menyadari arti kekhalifahannya. Karena, Tuhan sendiri
memerintahkan kepada para khalifah-Nya untuk selalu
bermusyawarah serta berlaku adil.
Memang, dalam sejarah, terdapat khalifah-khalifah yang
berlaku sewenang-wenang dengan alasan bahwa ia adalah wakil
Tuhan di bumi. Namun, di sini ia sangat keliru dalam
memahami dan mempraktekkan kekhalifahan itu.
Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia
dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara Penakluk
dan yang ditaklukkan, atau antara Tuan dengan hamba, tetapi
hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT.
Karena, kalaupun manusia mampu mengelola (menguasai), namun
hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi
akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia.
Ini tergambar antara lain dalam firman-Nya, pada surah
Ibrahim ayat 32 dan Al-Zukhruf ayat 13.
Demikian itu, sehingga kekhalifahan menuntut adanya
interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan
alam sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera
dalam wahyu-wahyu-Nya. Semua itu harus ditemukan
kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan
dan situasi lingkungannya.
Dalam ayat 32 surah Al-Zukhruf ditegaskan bahwa,
Apakah mereka yang
membagi-bagi rahmat Tuhan? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan kami
telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain (agar mereka dapat
saling mempergunakan). Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari
apa yang mereka kumpulkan.
Adalah keliru, menurut hemat penulis, memahami arti
sukhriya sebagai menundukkan. Tetapi, hubungan satu sama
lain adalah hubungan al-taskhir, dalam arti semua dalam
kedudukan yang sama dan yang membedakan mereka hanyalah
partisipasi dan kemampuan masing-masing. Adalah logis
apabila yang "kuat" lebih mampu untuk memperoleh bagian yang
melebihi perolehan yang lemah.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa keistimewaan tidak
dimonopoli oleh suatu lapisan atau bahwa ada lapisan
masyarakat yang ditundukkan oleh lapisan yang lain. Karena,
jika demikian maknanya, maka ayat tersebut di atas tidak
akan menyatakan agar mereka dapat saling mempergunakan.
Ayat di atas menggunakan kata sukhriya bukannya sikhriya,
seperti antara lain dalam surah Al-Mu'minun yang
menggambarkan ejekan dan tekanan yang dilakukan oleh satu
kelompok kuat terhadap kelompok lain yang dinamai oleh
Al-Quran mustadh'afin. Ayat yang menjelaskan hubungan
interaksi yang diridhai Allah adalah ayat yang menggunakan
kata sukhriya.
Al-Baydhawi menafsirkan ayat Al-Zukhruf di atas dengan
menyatakan bahwa "Sebagian manusia menjadikan sebagian yang
lain secara timbal-balik sebagai sarana guna memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka."
Inilah prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi
antar sesama manusia dan keharmonisan hubungan itu pulalah
yang menjadi tujuan dari segala etika agama. Keharmonisan
hubungan inilah yang menghasilkan etika itsar, sehingga
etika agama tidak mengenal prinsip "Anda boleh melakukan apa
saja selama tidak melanggar hak orang lain", tetapi
memperkenalkan "Mereka mendahulukan pihak lain atas diri
mereka walaupun mereka sendiri dalam kebutuhan." (QS
59:9)
Di atas juga telah dikemukakan bahwa hanya kemampuan
(kekuatan) yang dapat membedakan seseorang dari yang lain,
dan dari keistimewaan inilah segala sifat terpuji dapat
lahir.
Kesabaran dan ketabahan merupakan etika atau sikap
terpuji, karena ia adalah kekuatan, yaitu kekuatan seseorang
dalam menanggung beban atau menahan gejolak keinginan
negatif. Keberanian merupakan kekuatan karena pemiliknya
mampu melawan dan menundukkan kejahatan. Dan kasih sayang
dan uluran tangan adalah juga kekuatan; bukankah ia
ditujukan kepada orang-orang yang membutuhkan dan lemah?
Demikianlah segala macam sikap terpuji atau etika
agama.
Benar bahwa semakin kokoh hubungan manusia dengan alam
raya dan semakin dalam pengenalannya terhadapnya, akan
semakin banyak yang dapat diperolehnya melalui alam itu.
Namun, bila hubungan itu sampai disitu, pastilah hasil lain
yang dicapai hanyalah penderitaan dan penindasan manusia
atas manusia. Inilah antara lain kandungan pesan Tuhan yang
diletakkan dalam rangkaian wahyu pertama.
Sebaliknya, semakin baik interaksi manusia dengan
manusia, dan interaksi manusia dengan Tuhan, serta
interaksinya dengan alam, pasti akan semakin banyak yang
dapat diman faatkan dari alam raya ini. Karena, ketika itu
mereka semua akan saling membantu dan bekerjasama dan Tuhan
di atas mereka akan merestui. Hal ini terungkap antara lain
melalui surah Al-Jin ayat 16:
Dan bahwasanya, jika
mereka tetap berjalan lurus di jalan itu (petunjuk
petunjuk Ilahi), niscaya pasti Kami akan memberi mereka
air segar (rezeki yang melimpah).
Demikian itu dua dari hukum-hukum kemasyarakatan
(kekhalifahan) dari sekian banyak hukum kemasyarakatan yang
dikemukakan Al-Quran sebagai petunjuk pelaksanaan fungsi
kekhalifahan, yang sekaligus menjadi etika pembangunan.
Keharmonisan hubungan melahirkan kemajuan dan
perkembangan masyarakat, demikian kandungan ayat di atas.
Perkembangan inilah yang merupakan arah yang dituju oleh
masyarakat religius yang Islami sebagaimana digambarkan oleh
Al-Quran pada akhir surah Al-Fath, yang mengibaratkan
masyarakat Islam yang ideal:
... sebagai tanaman yang
tumbuh berkembang sehingga mengeluarkan tunasnya dan
tunas itu menjadikan tanaman tersebut kuat lalu menjadi
besar dan tegak lurus di atas pokoknya . . . (QS
48:29)
Keharmonisan tidak mungkin tercipta kecuali jika
dilandasi oleh rasa aman. Karena itu pula, setiap aktivitas
istikhlaf (pembangunan) baru dapat dinilai sesuai dengan
etika agama apabila rasa aman dan sejahtera menghiasi setiap
anggota masyarakat. Dengan kata lain, pembangunan yang
dihiasi oleh etika agama adalah "yang mengantar manusia
menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut".
Kalau hal ini dikaitkan dengan kisah kejadian manusia,
maka dapat pula dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan
dalam pandangan agama adalah pada saat manusia berhasil
mewujudkan bayang-bayang surga di persada bumi ini.
Adam dan Hawa sebelum diperintahkan turun ke bumi, hidup
dalam ketenteraman dan kesejahteraan. Tersedia bagi mereka
sandang, pangan, dan papan; dan ketika itu mereka
diperingatkan agar jangan sampai terusir dari surga karena
akibatnya mereka akan bersusah payah memperolehnya (QS
20:117-119). Mereka juga diharapkan agar mengikuti
petunjuk-petunjuk Ilahi, karena dengan demikian mereka tidak
akan merasa takut atau merasa sedih.
Agama tidak mendefinisikan perkembangan masyarakat dan
tujuan pembangunan sebagai pertambahan barang atau kecepatan
pelayanan. Dalam hal ini Nabi saw. bersabda:
Barangsiapa yang tidak
berpendapat bahwa Tuhan memiliki anugerah untuknya selain
dari makanan, minuman dan kendaraan, maka sesungguhnya ia
telah membatasi usahanya dan mempercepat kehadiran
ajalnya.
Arah yang dituju oleh istikhlaf adalah kebebasan manusia
dari rasa takut, baik dalam kehidupan dunia ini atau yang
berkaitan dengan persoalan sandang, pangan dan papan, maupun
ketakutan-ketakutan lainnya yang berkaitan dengan masa
depannya yang dekat atau yang jauh di akhirat kelak.
Ayat-ayat yang berbicara tentang la khawf 'alayhim wa la hum
yahzanun tidak harus selalu dikaitkan dengan ketakutan dan
kesedihan di akhirat, tetapi dapat pula mencakup ketakutan
dan kesedihan dalam kehidupan dunia ini.
Untuk mencapai rasa aman tersebut, ada sekian banyak
sikap yang dituntut oleh agama dari para pemeluknya. Prof.
Mubyarto mengemukakan lima hal pokok untuk mencapai hal
tersebut:
- Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi dan
ia harus bebas dari ancaman dan bahaya pemerkosaan.
- Manusia terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus
keterlaluan menghabiskan tenaganya.
- Manusia bebas untuk memilih bagaimana mewujudkan
hidupnya sesuai dengan cita-citanya.
- Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan
kemampuannya.
- Partisipasi dalam kehidupan sosial politik, sehingga
seseorang tidak semata-mata menjadi objek penentuan orang
lain.
Di sisi lain harus pula diingat bahwa kekhalifahan
seperti telah dikemukakan di atas mengandung arti bimbingan
agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa unsur keempat yang
disebut di atas, digambarkan oleh Al-Quran dalam dua
bentuk:
(1) Penganugerahan dari Allah (Inni
jail fi al-ardh khalifah).
(2) Penawaran dari-Nya yang disambut dengan penerimaan
dari manusia, sebagaimana yang tergambar dalam surah
Al-Ahzab ayat 72:
Sesungguhnya kami
menawarkan al-amanah kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, namun mereka semua enggan dan kuatir, lalu
(Kami tawarkan kepada manusia) maka mereka pun
menerimanya, sesungguhnya mereka sangat aniaya lagi
bodoh.
Tentu yang dimaksud dengan kecaman di atas adalah
sebagian manusia, dan dengan demikian kita dapat
menyimpulkan bahwa dalam tugas kekhalifahan ada yang
berhasil dengan baik dan ada pula yang gagal. Kesimpulan ini
diperkuat pula oleh isyarat yang tersirat dari jawaban Allah
atas pertanyaan malaikat:
Apakah engkau akan
menjadikan di sana (bumi) siapa yang merusak dan
menumpahkan darah sedang kami bertasbih dan memuji
engkau? Tuhan berfirman (menjawab): "Aku tahu apa yang
kalian tidak ketahui." (QS 2:30).
Dari sini kita dapat beralih untuk melihat lebih jauh apa
saja sifat-sifat khalifah yang terpuji dan apa pula ruang
lingkup tugas-tugas mereka.
Sifat-sifat Terpuji Seorang
Khalifah
Al-Tabrasi, dalam tafsirnya, mengemukakan bahwa kata Imam
mempunyai makna yang sama dengan khalifah. Hanya saja
-katanya lebih lanjut-- kata Imam digunakan untuk
keteladanan, karena ia terambil dari kata yang mengandung
arti "depan" yang berbeda dengan khalifah yang terambil dari
kata "belakang".
Ini berarti bahwa kita dapat memperoleh informasi tentang
sifat-sifat terpuji dari seorang khalifah dengan menelusuri
ayat-ayat yang menggunakan kata Imam.
Dalam Al-Quran, kata Imam terulang sebanyak tujuh kali
dengan makna yang berbeda-beda. Namun, kesemuanya bertumpu
pada arti "sesuatu yang dituju dan atau diteladani"
Arti-arti tersebut adalah:
(a) Pemimpin dalam kebajikan, yaitu pada
Al-Baqarah ayat 124 dan Al-Furqan ayat 74.
(b) Kitab amalan manusia, yaitu pada Al-Isra' ayat
71.
(c) Al-Lawh Al-Mafhuzh, yaitu pada Yasin ayat 12.
(d) Taurat, yaitu pada Hud ayat 17 dan Al-Ahqaf ayat
12.
(e) Jalan yang jelas, yaitu pada Al-Hijr ayat 79.
Dari makna-makna di atas terlihat bahwa hanya dua ayat
yang dapat dijadikan rujukan dalam persoalan yang sedang
dicari jawabannya ini, yaitu ayat Al-Baqarah 124 yang
berbunyi: [tulisan Arab] dan ayat Al-Furqan 74, yang
berbunyi: [tulisan Arab].
Ayat yang terakhir ini, sebagaimana terlihat, hanya
mengandung permohonan untuk dijadikan Imam (teladan) bagi
orang-orang yang bertakwa sehingga tinggal ayat Al-Baqarah
yang diharapkan dapat memberikan informasi.
Pada ayat tersebut, Nabi Ibrahim a.s. dijanjikan Allah
untuk dijadikan Imam (Inni ja'iluka li
al-nas Imama), dan ketika beliau bermohon agar
kehormatan ini diperoleh pula oleh anak cucunya, Allah SWT
menggarisbawahi suatu syarat, yaitu la
yanalu 'ahdiya al-zhalimin (Janji-Ku ini tidak
diperoleh oleh orang-orang yang berlaku aniaya).
Keadilan adalah lawan dari penganiayaan. Dengan demikian,
dari ayat di atas dapat ditarik satu sifat, yaitu sifat
adil, baik terhadap diri, keluarga, manusia dan lingkungan,
maupun terhadap Allah.
Perlu sekali lagi diingatkan bahwa para khalifah yang
disebut namanya dalam Al-Quran (Adam dan Daud a.s.) keduanya
pernah melakukan penganiayaan, baik terhadap diri maupun
terhadap orang lain. Namun, mereka berdua bertobat dan
mendapat pengampunan.
Peristiwa Adam dan penyesalannya cukup populer (baca
antara lain QS 7:23), sedangkan "penganiayaan" yang
dilakukan oleh Daud dapat terlihat pada kisah dua orang yang
bertikai dan datang kepadanya meminta putusan (QS 38:22, dan
seterusnya).
Menarik untuk dianalisis bahwa kedua orang yang bertikai
itu berkata kepada Daud:
Berilah keputusan antara
kami dengan hak/adil dan janganlah menyimpang dari
kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan lurus.
Dari ucapan kedua orang yang bertikai itu (yang pada
hakikatnya tidak bertikai tetapi cara yang dilakukan Tuhan
untuk memperingatkan Daud), terlihat betapa Tuhan menekankan
pentingnya keadilan sampai-sampai permintaan untuk memberi
putusan yang hak diikuti lagi dengan peringatan agar tidak
menyimpang dari kebenaran yang pada dasarnya mengandung
makna yang sama dengan permintaan pertama --bahkan walaupun
Daud telah bertobat dan diterima tobatnya (QS 38:24-25).
Namun, perintah untuk berlaku adil yang dikaitkan dengan
tidak mengikuti hawa nafsu masih tetap ditekankan:
Wahai Daud, Kami telah
menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan
antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa
nafsu ... (QS 38:26)
Memberi keputusan yang adil saja dan tidak mengikuti hawa
nafsu, belum memadai bagi seorang khalifah. Tetapi, ia harus
mampu pula untuk merealisasikan kandungan permintaan kedua
orang yang berselisih itu, yakni Wa ihdina ila sawa'
al-shirath.
Memahami penggalan ayat ini, dalam kaitannya dengan
sifat-sifat terpuji seorang khalifah, baru akan menjadi
jelas bila dikaitkan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang
Imam/a'immah, dalam kaitannya dengan pemimpin-pemimpin yang
menjadi teladan dalam kebaikan. Untuk maksud tersebut,
terlebih dahulu, kita akan membuka lembaran-lembaran
Al-Quran untuk melihat ayat-ayat yang dimaksud.
Kata a'immah terdapat dalam lima ayat Al-Quran. Dua di
antaranya dalam konteks pembicaraan tentang
pemimpin-pemimpin yang diteladani orang-orang kafir, yakni
Al-Taubah ayat 9, dan Al-Qashash ayat 4. Sedangkan tiga
lainnya berkaitan dengan pemimpin-pemimpin yang terpuji,
yaitu Al-Anbiya' ayat 73, Al-Qashash ayat 5, dan Al-Sajdah
ayat 24.
Kalau ayat-ayat di atas diamati, nyatalah bahwa QS 28:5
tidak mengandung informasi tentang sifat-sifat pemimpin. Dan
ini berbeda dengan kedua ayat lainnya yang saling
melengkapi.
Ada lima sifat pemimpin terpuji yang diinformasikan oleh
gabungan kedua ayat tersebut, yaitu:
- Yahduna bi amrina.
- Wa awhayna dayhim fi'la al-khayrat.
- 'Abidin (termasuk Iqam Al-Shalat dan
Ita'Al-Zakat).
- Yuqinun.
- Shabaru.
Dari kelima sifat tersebut al-shabr (ketekunan dan
ketabahan), dijadikan Tuhan sebagai konsideran pengangkatan
Wa jaalnahum aimmat lamma shabaru. Seakan-akan inilah sifat
yang amat pokok bagi seorang khalifah, sedangkan sifat-sifat
lainnya menggambarkan sifat mental yang melekat pada diri
mereka dan sifat-sifat yang mereka peragakan dalam
kenyataan.
Di atas telah dijanjikan untuk membicarakan arti wa
ihdina ila sawa al-shirath (QS 38:26), yang merupakan salah
satu sikap yang dituntut dari seorang khalifah, setelah
memperhatikan kandungan ayat-ayat yang berbicara tentang
a'immat. Dalam surah Shad tersebut, redaksinya berbunyi
Wa ihdina ila ..., sedang dalam
ayat-ayat yang berbicara tentang a'immat yang dikutip di
atas, redaksinya berbunyi Yahduna bi amrina. Salah satu
perbedaan pokoknya adalah pada kata yahdi. Yang pertama
menggunakan huruf ila, sedang yang kedua tanpa ila.
Al-Raghib Al-Isfahani menjelaskan bahwa kata hidayat apabila
menggunakan ila, maka ia berarti sekadar memberi petunjuk;
sedang bila tanpa ila, maka maknanya lebih dalam lagi, yakni
"memberi petunjuk dan mengantar sekuat kemampuan menuju apa
yang dikehendaki oleh yang diberi petunjuk". Ini berarti
bahwa seorang khalifah minimal mampu menunjukkan jalan
kebahagiaan kepada umatnya dan yang lebih terpuji adalah
mereka yang dapat mengantarkan umatnya ke pintu gerbang
kebahagiaan. Atau, dengan kata lain, seorang khalifah tidak
sekadar menunjukkan tetapi mampu pula memberi contoh
sosialisasinya.
Hal ini mereka capai karena kebajikan telah mendarah
daging dalam diri mereka. Atau, dengan kata lain, mereka
memiliki akhlak luhur sebagaimana yang dapat dipahami dari
sifat kedua yang disebutkan di atas, yakni
Wa awhayna ilayhim fi'la
al-khayrat.
Jika seorang berkata, "Yu'jibuni an taqum", maka ini
berarti bahwa lawan bicaranya ketika itu belum berdiri dan
ia akan senang melihatnya berdiri. Pengertian ini dipahami
dari adanya huruf an pada susunan redaksi tersebut.
Sedangkan bila dikatakan, "Yu'jibuni qiyamuka", maka redaksi
yang tidak menggunakan an ini mengandung arti bahwa lawan
bicaranya sudah berdiri dan si pembicara menyampaikan
kepadanya kekagumannya atas berdirinya itu. Demikian uraian
Abdul-Qadir Al-Jurjani yang disederhanakan dari Dala'il
Al-Ijaz.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
seorang khalifah yang ideal haruslah memiliki sifat-sifat
luhur yang telah membudaya pada dirinya.
Yuqinun dan 'abidin merupakan dua sifat yang berbeda.
Yang pertama menggambarkan tingkat keimanan yang bersemi di
dalam dada mereka, sedangkan yang kedua menggambarkan
keadaan nyata mereka. Kedua sifat ini sedemikian jelasnya
sehingga tidak perlu untuk diuraikan lebih jauh.
Ruang Lingkup Tugas-tugas
Khalifah
Di atas telah diuraikan bahwa seorang khalifah adalah
siapa yang diberi kekuasaan mengelola suatu wilayah, baik
besar atau kecil. Cukup banyak ayat yang menggambarkan
tugas-tugas seorang khalifah. Namun, ada suatu ayat yang
bersifat umum dan dianggap dapat mewakili sebagian besar
ayat lain yang berbicara tentang hal di atas, yaitu:
Orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi ini, niscaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh
berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang
munkar ... (QS 22:41)
Mendirikan shalat merupakan gambaran dari hubungan yang
baik dengan Allah, sedangkan menunaikan zakat merupakan
gambaran dari keharmonisan hubungan dengan sesama manusia.
Ma'ruf adalah suatu istilah yang berkaitan dengan segala
sesuatu yang dianggap baik oleh agama, akal dan budaya, dan
sebaliknya dari munkar.
Dari gabungan itu semua, seseorang yang diberi kedudukan
oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban
untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan
Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama,
akal dan budayanya terpelihara.
|