Perkembangan Metodologi Tafsir
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab Suci itu,
menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan
pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan
inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam
sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat
ini.42
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap
ayat-ayat Al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya,
mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya
umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat
mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Berikut ini, akan dikemukakan selayang pandang tentang
perkembangan metode penafsiran, keistimewaan dan
kelemahannya, menurut tinjauan kacamata kita yang hidup pada
abad ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta era
globalisasi dan informasi.
Corak dan Metodologi Tafsir
1. Corak Ma'tsur (Riwayat)
Bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah
diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Al-Quran.
Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi
saw., ditemukan bahwa pada dasarnya --setelah gagal
menemukan penjelasan Nabi saw.-- mereka merujuk kepada
penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh
yang dapat dikemukakan tentang hal ini. Misalnya, Umar ibn
Al-Khaththab, pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam
firman Allah: Auw ya'khuzahum 'ala takhawwuf (QS 16:47).
Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya
adalah "pengurangan". Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa
yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas
dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut
dalam rangka memahami Al-Quran.43
Setelah masa sahabat pun, para tabi'in dan atba'
at-tabi'in, masih mengandalkan metode periwayatan dan
kebahasaan seperti sebelumnya.
Kalaulah kita berpendapat bahwa Al-Farra' (w. 207 H)
merupakan orang pertama yang mendiktekan tafsirnya Ma'aniy
Al-Qur'an,44
maka dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor
kebahasaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula
Al-Thabari (w. 310 H) yang memadukan antara riwayat dan
bahasa.
Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan,
namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan.
Keistimewaannya, antara lain, adalah:
(a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami
Al-Quran.
(b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika
menyampaikan pesan-pesannya.
(c) Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat,
sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas
berlebihan.
Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab
tafsir yang mengandalkan metode ini adalah:
(a) Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian
kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga
pesan-pokok Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu.
(b) Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab
al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum
yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat
dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat
tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada
di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
Bahwa mereka mengandalkan bahasa, serta menguraikan
ketelitiannya adalah wajar. Karena, di samping penguasaan
dan rasa bahasa mereka masih baik, juga karena mereka ingin
membuktikan kemukjizatan Al-Quran dari segi bahasanya.
Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemukjizatan
itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena --jangankan
kita di Indonesia ini-- orang-orang Arab sendiri sudah
kehilangan kemampuan dan rasa bahasa itu.
Metode periwayatan yang mereka terapkan juga cukup
beralasan dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya.
Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi
kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam
menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara mereka
yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan
penyeleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir
yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat
tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak
mempunyai dasar (yang kokoh).45
Karena itu, agaknya para pakar riwayat menekankan bahwa
"Kami hanya menyampaikan dan silakan meneliti
kebenarannya".46
Pegangan ini, secara umum, melemahkan metode riwayat,
walaupun diakui bahwa sanad dari suatu riwayat seringkali
dapat ditemukan. Namun, sebagian lainnya tanpa sanad. Yang
ditemui sanadnya pun membutuhkan penelitian yang cukup
panjang untuk menetapkan kelemahan dan kesahihannya.
Kelemahan lainnya adalah bahwa mufasir seringkali disibukkan
dengan pendapat si A dan si B, yang tidak jarang berbeda
bahkan bertentangan satu dengan lainnya sehingga pesan-pesan
ayat terlupakan.
Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan
riwayat dalam penafsiran Al-Quran. Karena, ketika itu, masa
antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan
tabi'in masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan
perkembangan ilmu belum sepesat masa kini, sehingga tidak
terlalu jauh jurang antara mereka. Di samping itu,
penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai
murid-murid Nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula
terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khair
al-qurun (sebaik-baik generasi),47
masih sangat berkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain,
pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi
berikut masih cukup mantap.
Kesemua itu sedikit atau banyak berbeda dengan keadaan
masa sesudahnya apalagi masa kini, sehingga menggunakan
metode riwayat membutuhkan pengembangan, di samping seleksi
yang cukup ketat.
Pengembangan ini tentunya dengan menggunakan nalar dan
dari penalaran lahir metode tafsir bi al-ra'y.
2. Metode Penalaran: Pendekatan dan Corak-coraknya
a. Metode Tahliliy
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan
nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita
bermaksud menelusurinya satu demi satu. Untuk itu, agaknya
akan lebih mudah dan efisien, bila bertitik tolak dari
pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir menjadi
empat macam metode, yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran dan
mawdhu'iy.48
Terlepas dari catatan-catatan yang dikemukakan menyangkut
istilah dan kategorisasinya.
Yang paling populer dari keempat metode yang disebutkan
itu, adalah metode tahliliy, dan metode mawdhu'iy. Metode
tahliliy, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai
metode tajzi'iy,49
adalah satu metode tafsir yang "Mufasirnya berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai
seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran
sebagaimana tercantum di dalam mushaf."
Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir
tajzi'iy/tahliliy diuraikan, bermula dari arti kosakata,
asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan
dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun
dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok
bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan
sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain.
Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai
bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Quran dengan metode
tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka
meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan
kemukjizatan Al-Quran.50
Terlepas dari benar tidaknya pendapat Malik di atas,
namun yang jelas, kemukjizatan Al-Quran tidak ditujukan
kecuali kepada mereka yang tidak percaya. Ia tidak ditujukan
kepada umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan
memperhatikan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di
dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedangkan seorang
Muslim tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia
telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks
ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran yang
selalu dimulai dengan kalimat "Inkuntum fi raib" atau
"Inkuntum shadiqin".
Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang
diungkapkan Malik di atas, maka terlepas dari keberhasilan
atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat Muslim
dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi
merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa
kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat
dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir
Al-Shadr --ulama Syi'ah Irak itu-- yang menilai bahwa metode
tersebut telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial
serta kontradiktif dalam kehidupan umat
Islam.51 Dapat
ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode itu
tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat
dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran.
Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu
memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang
dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar
metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas
mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang
menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari
penyebabnya --apakah pada diri kita atau metode mereka--
adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai "mengikat"
generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya
amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran
persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam
masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoretis
dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Quran
untuk setiap waktu dan tempat.
b. Metode Mawdhu'iy
"Istanthiq Al-Quran" ("Ajaklah Al-Quran berbicara" atau
"Biarkan ia menguraikan maksudnya") -- konon itu pesan Ali
ibn Abi Thalib.
Pesan ini, antara lain mengharuskan penafsir untuk
merujuk kepada Al-Quran dalam rangka memahami kandungannya.
Dari sini lahir metode mawdhu'iy di mana mufasirnya berupaya
menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang
berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan
sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis
kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan
yang utuh.
Tafsir dalam Era Globalisasi
Dr. Abdul Aziz Kamil, mantan Menteri Waqaf dan Urusan
Al-Azhar Mesir, dalam bukunya Al-Islam wa Al-Mustaqbal
menyinggung tentang hal-hal yang menjadi penekanan sementara
penulis Islam baik Muslim maupun non-Muslim tentang apa yang
dinamai "Al-Islam Al-Iqlimiy". Hal itu berarti bahwa setiap
wilayah (kawasan atau lokasi) mengambil corak dan bentuk
yang berbeda dengan lainnya, akibat perbedaan agama dan
peradaban yang pernah hidup dan dianut oleh penduduk kawasan
tersebut, sehingga pemahamannya terhadap Islam dipengaruhi
sedikit atau banyak dengan budaya setempat.
Kalau pendapat di atas dapat diterima, itu berarti bahwa
Islam Indonesia dapat berbeda dengan Islam di negara-negara
lain, akibat perbedaan budaya dan peradaban.
Dari satu sisi, apa yang ditekankan di atas ada benarnya
dan dapat diperkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan
Al-Quran yang diyakini sebagai berdialog dengan seluruh
manusia sepanjang masa. Dan tentunya, pemahaman manusia
--termasuk terhadap Al-Quran-- akan banyak dipengaruhi oleh
budaya dan perkembangan masyarakatnya. Bahkan lebih jauh
dari itu, dalam Al-Quran sendiri terdapat
perbedaan-perbedaan, akibat perbedaan masyarakat yang
ditemuinya. Hal ini dapat dirasakan dari adanya apa yang
dinamai Al-Ahruf Al-Sab'ah yang oleh sementara ulama
dipahami sebagai adanya perbedaan bahasa atau dialek yang
dibenarkan Allah akibat kesulitan-kesulitan masyarakat
(suku) tertentu dalam membacanya bila hanya terbatas dalam
satu bahasa (dialek) saja. Demikian juga halnya dengan
perbedaan qira'at yang dikenal luas dewasa ini.
Namun demikian, hemat penulis, tidaklah wajar untuk
menonjolkan segi-segi perbedaan tersebut, yang pada akhirnya
menciptakan tafsir Al-Quran ala Indonesia, Mesir, atau
kawasan lain. Ketidakwajaran ini bukan saja disebabkan oleh
adanya sekian banyak persamaan dalam bidang pandangan hidup
umat Islam --akidah, syari'ah, dan akhlak-- yang tentunya
harus mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka sehingga dapat
melahirkan persamaan pandangan dalam banyak bidang. Tetapi
juga, dan yang tidak kurang pentingnya, adalah karena kita
semua hidup dalam era informasi dan globalisasi yang
menjadikan dunia kita semakin menyempit dan penduduknya
saling mempengaruhi.
Diakui bahwa setiap masyarakat mempunyai
kekhususan-kekhususan. Nah, apakah ciri masyarakat
Indonesia, yang membedakannya dari masyarakat-masyarakat
lain dan yang mungkin akan menjadi bahan pertimbangan untuk
meletakkan dasar-dasar penafsiran itu?
Ada yang berpendapat bahwa kekhususan tersebut adalah
keberadaannya sebagai masyarakat plural. Tetapi, walaupun
hal tersebut benar, hal ini bukan merupakan sesuatu yang
khas Indonesia. Masyarakat Mesir, Syria, dan India,
misalnya, juga merupakan masyarakat plural di mana berbagai
etnis dan agama hidup berdampingan dengan segala
suka-dukanya.
Menjadi kewajiban semua umat Islam untuk membumikan
Al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan. Kita
semua berkewajiban memelihara Al-Quran dan salah satu bentuk
pemeliharaannya adalah memfungsikannya dalam kehidupan
kontemporer yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai
tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan
kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif
masyarakat.
Dalam kesempatan yang sangat terbatas ini, penulis ingin
menggarisbawahi dua persoalan pokok, yang berkaitan dengan
dasar penafsiran, tanpa menutup mata terhadap dasar-dasar
lain.
1. Asbab Al-Nuzul
Al-Quran tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa
budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama dinyatakan sebagai
harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini
berarti bahwa arti "sebab" dalam rumusan di atas --walaupun
tidak dipahami dalam arti kausalitas, sebagaimana yang
diinginkan oleh mereka yang berpaham bahwa "Al-Qur'an
qadim"-- tetapi paling tidak ia menggambarkan bahwa ayat
yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan
dengan demikian dapat dikatakan bahwa "kenyataan" tersebut
mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan
ayat yang turun di pentas bumi itu.
Dalam kaitannya dengan asbab al-nuzul, mayoritas ulama
mengemukakan kaidah al-'ibrah bi 'umum al-lafzh la bi
khushush al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah
redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap
(pelaku) kasus yang menjadi sebab turunnya); sedangkan
sebagian kecil dari mereka mengemukakan kaidah sebaliknya,
al-'ibrah bi khushush al-sabab la bi 'umum al-lafzh (patokan
dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab
turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum).
Di sini perlu kiranya dipertanyakan: "Bukankah akan lebih
mendukung pengembangan tafsir jika pandangan minoritas di
atas yang ditekankan?" Tentunya, jika demikian, maka perlu
diberikan beberapa catatan penjelasan sebagai berikut:
Seperti diketahui setiap asbab al-nuzul pasti mencakup:
(a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tidak mungkin
benak akan mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang
tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa
pelaku.
Sayang, selama ini pandangan menyangkut asbab al-nuzul
dan pemahaman ayat seringkali hanya menekankan kepada
peristiwanya dan mengabaikan "waktu" terjadinya --setelah
terlebih dahulu mengabaikan pelakunya-- berdasarkan kaidah
yang dianut oleh mayoritas tersebut.
Para penganut paham al-'ibrah bi khushush al-sabab,
menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari
ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbab al-nuzul itu,
tetapi dengan catatan apabila qiyas tersebut memenuhi
syarat-syaratnya.52
Pandangan mereka ini, hendaknya dapat diterapkan tetapi
dengan memperhatikan faktor waktu, karena kalau tidak, ia
menjadi tidak relevan untuk dianalogikan. Bukankah, seperti
dikemukakan di atas, ayat Al-Quran tidak turun dalam
masyarakat hampa budaya dan bahwa "kenyataan mendahului/
bersamaan dengan turunnya ayat"?
Analogi yang dilakukan hendaknya tidak terbatas oleh
analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-manthiq,
al-shuriy) yang selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha'
kita. Tetapi, analogi Yang lebih luas dari itu, yang
meletakkan di pelupuk mata al-mashalih al-mursalah dan yang
mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana
halnya pada masa Rasul dan para
sahabat."53
Qiyas yang selama ini dilakukan menurut Ridwan Al-Sayyid
adalah berdasarkan rumusan Imam Al-Syafi'i, yaitu "Ilhaq
far'i bi ashl li ittihad al-'illah", yang pada hakikatnya
tidak merupakan upaya untuk mengantisipasi masa depan,
tetapi sekadar membahas fakta yang ada untuk diberi jawaban
agama terhadapnya dengan membandingkan fakta itu dengan apa
yang pernah ada.54
Pengertian asbab al-nuzul dengan demikian dapat diperluas
sehingga mencakup kondisi sosial pada masa turunnya Al-Quran
dan pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui kaidah yang
pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu, dengan mengembangkan
pengertian qiyas.
2. Ta'wil
Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak
jarang menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam
pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan
dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan.
Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan
bahwa "Allahu a'lam bi muradihi" (Allah yang mengetahui
maksud-Nya). Tetapi, ini tentunya tidak memuaskan banyak
pihak, apalagi dewasa ini. Karena itu, sedikit demi sedikit
sikap seperti itu berubah dan para mufasir akhirnya beralih
pandangan dengan jalan menggunakan ta'wil, tamsil, atau
metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna,
berbeda dengan pen-ta'wil-an yang memperluas makna sekaligus
tidak menyimpang darinya.
Al-Jahiz (w. 225 H/868 M), seorang ulama beraliran
rasional dalam bidang teologi, dinilai sebagai tokoh pertama
dalam bidang penafsiran metaforis. Ia tampil dengan gigih
memperkenalkan makna-makna metaforis pada ayat-ayat
Al-Quran. Dan, dalam hal ini, harus diakui bahwa dia telah
menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan,
sehingga mampu menyelesaikan sekian banyak problem pemahaman
keagamaan atau ganjalan-ganjalan yang sebelumnya dihadapi
itu.
Tokoh lain dalam bidang ini adalah murid Al-Jahiz, yakni
Ibnu Qutaibah (w. 276 H/889 M). Tokoh ini bukanlah penganut
aliran rasional (Mu'tazilah) dan bahkan dinilai sebagai
"juru bicara Ahl Al-Sunnah".55
Namun, dia menempuh cara-cara gurunya dan mengembangkannya
dalam rangka memahami teks-teks keagamaan.
Tentunya kita tidak dapat menggunakan ta'wil tanpa
didukung oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syathibi
mengemukakan dua syarat pokok bagi pen-ta'wil-an ayat-ayat
Al-Quran:
Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat
kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki
otoritas.
Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab
klasik.
Syarat yang dikemukakan ini, lebih longgar dari syarat
kelompok Al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang
dipilih tersebut harus telah dikenal secara populer oleh
masyarakat Arab pada masa awal.
Dalam syarat Al-Syathibi di atas, terbaca bahwa
popularitas arti kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan
lebih jauh Al-Syathibi menegaskan bahwa kata-kata yang
bersifat ambigus/musytarak (mempunyai lebih dari satu makna)
yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks
tersebut selama tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Aliran tafsir Muhammad 'Abduh mengembangkan lagi syarat
pen-ta'wil-an, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal,
sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan
makna penta'wil-an dengan kata yang di-ta'wil-kan. Karena
itu, kata Jin yang berarti "sesuatu yang tertutup",
diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha sebagai kuman yang
tertutup (tidak terlihat oleh pandangan
mata).56
Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-Syathi' yang
secara tegas menyatakan bahwa "Pengertian kata Jin tidak
harus dipahami terbatas pada apa yang biasa dipahami tentang
makhluk-makhluk halus yang 'tampak' pada saat ketakutan
seseorang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi,
pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang bukan manusia
yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak
terjangkau, dan yang berada di luar alam manusia di mana
kita berada."57
Ta'wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat
membantu dalam memahami dan membumikan Al-Quran di tengah
kehidupan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan
datang.
Sebelum menutup persoalan ini, perlu kita garisbawahi
bahwa tidaklah tepat men-ta'wil-kan suatu ayat, semata-mata
berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan faktor
kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila
bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan.
Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri.
Catatan kaki
42 Prof. Dr. Hasan
Hanafi, Al-Yamin wa Al Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy,
Mesir, 1989, h. 77.
43 Lihat Al-Syathibiy,
Al-Muwafaqat, Dar Al-Marifah, Beirut, tp. th., Jilid II, h.
18.
44 Muhammad Husain
Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub
Al-Haditsah, Kairo, 1961, Jilid 1, h. 142.
45 Lihat Muhammad
Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Percetakan Al-Manar, 1367 H,
Jilid 1, h. 8.
46 Mahmud Al-Syarif,
Al-Thabariy Manhajuhu fi Al-Tafsir, Dar Ukaz, Jeddah, 1984,
h. 62.
47 Dalam sebuah hadis
dinyatakan bahwa: "Sebaik-baik generasi adalah generasiku,
kemudian disusul oleh sesudahnya (tabi'in), lalu disusul
lagi oleh sesudahnya, dan sesudah mereka tidak lagi dinamai
generasi terbaik."
48 Dr. Abdul Hay
Al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu'iy,
Al-Hadharah AlArabiyah, Kairo, Cetakan II, 1977, h. 23.
49 Muhammad Baqir
Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu'iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi'iy fi
Al-Qur'an Al-Karim, Dar Al-Tatuf lil Mathbu'at, Beirut,
1980, h. 10.
50 Malik bin Nabi, Le
Phenomena Quranique, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh
Prof. Dr. Abdussabur Syahin dengan judul Al-Zahirah
Al-Qur'aniyah, Dar Al-Fikr, Lebanon, t.t., h. 58.
51 Muhammad Baqir
Al-Shadr, op.cit., h. 12.
52 Muhammad Abdul Azhim
Al-Zarqaniy, Manahil Al-'Irfan, Al-Halabiy, Mesir, Cet. III,
1980 Jilid I h. 125.
53 Yusuf Kamil,
Al-'Ashriyun Mu'tazilat Al-Yawm, Al-Wafa' Al-Mansurah,
Mesir, 1985, h. 22.
54 Ridhwan Al-Sayyid,
Al-Islam Al-Mu'ashir, Naz'at fi Al-Hadhir wa Al-Mustaqbal,
Dar .Al-'Ulum Al-Arabiyah, Beirut, 1986, h. 90.
55 Prof. Dr. Muhammad
Rajab Al-Bayyumi, Khathawat Al-Tafsir Al-Bayaiy, Majma'
Al-Buhuts, Kairo, 1971, h. 92.
56 Muhammad Rasyid
Ridha, op.cit., Jilid III, h. 95.
57 Aisyah Abdurrahman
(Bint Al-Syathi') Al-Qur'an wa Qadhaya Al-Insan, Dar Al-'Ilm
li Al-Malayin, Beirut, 1982, h. 887.
|