Konsep Qath'iy dan Zhanniy
Istilah qath'iy dan zhanniy --sebagaimana lazim
diketahui-- masing-masing terdiri atas dua bagian, yaitu
yang menyangkut al-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah
(kandungan makna). Tidak terdapat perbedaan pendapat di
kalangan umat Islam menyangkut kebenaran sumber Al-Quran.
Semua bersepakat untuk meyakini bahwa redaksi ayat-ayat
Al-Quran yang terhimpun dalam mushaf dan dibaca oleh kaum
Muslim di seluruh penjuru dunia dewasa ini adalah sama tanpa
sedikit perbedaan pun dengan yang diterima oleh Nabi
Muhammad saw. dari Allah SWT melalui malaikat Jibril
a.s.
Al-Quran jelas qath'iy al-tsubut. Hakikatnya merupakan
salah satu dari apa yang dikenal dengan istilah
ma'lum min al-din bi
al-dharurah.135
Karena itu, di sini tidak akan dibicarakan masalah qathi'y
dari segi al-tsubut atau kebenaran sumber tersebut. Yang
menjadi persoalan adalah bagian kedua, yakni yang menyangkut
kandungan makna redaksi ayat-ayat Al-Quran.
Sebelum menguraikan masalah di atas, terlebih dahulu
perlu digarisbawahi bahwa masalah ini tidak menjadi salah
satu pokok bahasan ulama-ulama tafsir. Secara mudah hal
tersebut dapat dibuktikan dengan membuka lembaran
kitab-kitab 'Ulum Al-Qur'an. Lihat misalnya Al-Burhan
karangan Al-Zarkasyi, atau Al-Itqan oleh Al-Sayuthi.
Keduanya tidak membahas persoalan tersebut. Ini, antara
lain, disebabkan ulama-ulama tafsir menekankan bahwa
Al-Quran hammalat li al-wujuh.136
Sehingga, dari segi penggalian makna, mereka mengenal
ungkapan: "Seorang tidak dinamai mufasir kecuali jika ia
mampu memberi interpretasi beragam terhadap ayat-ayat
Al-Quran."
Sikap ini tentunya tidak sejalan dengan konsep qath'iy
at-dalalah yang hakikatnya, menurut 'Abdul Wahhab Khallaf,
adalah: "Yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus
dipahami darinya (teks); tidak mengandung kemungkinan ta'wil
serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna
selain makna tersebut darinya (teks
tersebut)."137
Mohammad Arkoun, seorang pemikir kontemporer kelahiran
Aljazair, menulis tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai
berikut: "Kitab Suci itu mengandung kemungkinan makna yang
tak terbatas. Ia menghadirkan berbagai pemikiran dan
penjelasan pada tingkat yang dasariah, eksistensi yang
absolut. Ia, dengan demikian, selalu terbuka, tak pernah
tetap dan tertutup hanya pada satu penafsir.an
makna."138
Pendapat di atas sejalan dengan tulisan 'Abdullah Darraz,
salah seorang ulama besar Al-Azhar yang antara lain
mengedit, menjelaskan dan mengkritik kitab Al-Muwafaqat
karya Abu Ishaq Al-Syathibi. Syaikh Darraz menulis: "Apabila
Anda membaca Al-Quran, maknanya akan jelas di hadapan Anda.
Tetapi bila Anda membaca sekali lagi, maka Anda akan
menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna
terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda (dapat)
menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti
bermacam-macam. Semuanya benar atau mungkin benar ...
(Ayat-ayat Al-Quran) bagaikan intan. Setiap sudutnya
memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar
dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika Anda
mempersilakan orang lain memandangnya, maka dia akan melihat
lebih banyak dari apa yang Anda
lihat."139
Di sisi lain, kita dapat berkata bahwa setiap nash atau
redaksi mengandung dua dalalah (kemungkinan arti). Bagi
pengucapnya, redaksi tersebut hanya mengandung satu arti
saja, yakni arti yang dimaksudkan olehnya. Inilah yang
disebut dalalah haqiqiyyah. Tetapi, bagi para pendengar atau
pembaca, dalalah-nya bersifat relatif. Mereka tidak dapat
memastikan maksud pembicara. Pemahaman mereka terhadap nash
atau redaksi tersebut dipengaruhi oleh banyak hal. Mereka
dapat berbeda pendapat. Yang kedua ini dinamai dalalah
nishbiyyah.
Atas dasar titik pandang yang demikian inilah agaknya
mengapa pembahasan mengenai qath'iy al-dalalah tidak
diuraikan secara khusus dalam kitab-kitab 'Ulum Al-Qur'an.
Persoalan ini dibahas oleh ulama-ulama ushul al-fiqh. Para
pakar disiplin ilmu ini pada umumnya menjadikan
masalah-masalah ushul al-fiqh sebagai masalah yang pasti
atau qath'iy.140
Perlu juga dicatat bahwa walaupun masalah yang dibicarakan
di atas tidak menjadi pokok bahasan ulama tafsir, namun
mereka menekankan perlunya seorang mufasir untuk mengetahui
ushul al-fiqh, khususnya dalam rangka menggali ayat-ayat
hukum.
Hakikat Qath'iy dan Zhanniy
Tetapi, apakah yang dinamai qath'iy dan apa atau
bagaimana proses yang dilaluinya sehingga suatu ayat dinilai
qath'iy al-dalalah? Di atas telah dinukil pendapat 'Abdul
Wahhab Khallaf yang kelihatannya merupakan pendapat yang
populer tentang difinisi qath'iy al-dalalah.
Definisi serupa dikemukakan juga oleh Syaikh Abu
Al-'Ainain Badran Abu Al-'Ainain: "Sesuatu yang menunjuk
kepada hukum dan tidak mengandung kemungkinan (makna)
selainnya."141
Sementara itu, Al-Syathibi, dalam Al-Muwafaqat, menulis
demikian: "Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti
dalam dalil-dalil syara' yang sesuai dengan penggunaan
(istilah) yang populer."142
Yang dimaksudkan adalah istilah yang dinukil di atas, atau
yang semakna dengannya seperti dijelaskan oleh 'Ali 'Abdul
Wahhab. Mereka merumuskan "definisi populer" tersebut dengan
"tidak adanya kemungkinan untuk memahami dari suatu lafal
kecuali maknanya yang dasar itu."143
"Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti dalam
dalil-dalil syara'", (jika berdiri sendiri) ini, menurut
Al-Syathibi, karena apabila dalil-dalil syara' tersebut
bersifat ahad, maka jelas ia tidak dapat memberi kepastian.
Bukankah ahad sifatnya zhanniy? Sedangkan bila dalil
tersebut bersifat mutawatir lafalnya, maka untuk menarik
makna yang pasti dibutuhkan premis-premis (muqaddimat) yang
tentunya harus bersifat pasti (qath'iy) pula. Dalam hal ini,
premis-premis tersebut harus bersifat mutawatir. Ini tidak
mudah ditemukan, karena kenyataan membuktikan bahwa
premis-premis tersebut kesemuanya atau sebagian besarnya
bersifat ahad dalam arti zhanniy (tidak pasti). Sesuatu yang
bersandar kepada zhanniy, tentu tidak menghasilkan sesuatu
kecuali yang zhanniy pula.
Muqaddimat yang dimaksud Al-Syathibi di atas adalah apa
yang dikenal dengan al-ihtimalat
al-'asyrah,144
yakni: (1) riwayat-riwayat kebahasaan; (2) riwayat-riwayat
yang berkaitan dengan gramatika (nahw); (3) riwayat-riwayat
yang berkaitan dengan perubahan kata (sharaf); (4) redaksi
yang dimaksud bukan kata bertimbal (ambigu, musytarak); atau
(5) redaksi yang dimaksud bukan kata metaforis (majaz); (6)
tidak mengandung peralihan makna; atau (7) sisipan (idhmar);
atau (8) "pendahuluan dan pengakhiran" (taqdim wa ta'khir);
atau (9) pembatalan hukum (naskh); dan (10) tidak mengandung
penolakan yang logis (adam al-mu'aridh al-'aqliy).
Tiga yang pertama kesemuanya bersifat zhanniy, karena
riwayat-riwayat yang menyangkut hal-hal tersebut kesemuanya
ahad. Tujuh sisanya hanya dapat diketahui melalui
al-istiqra' al-tam (metode induktif yang sempurna), dan hal
ini mustahil. Yang dapat dilakukan hanyalah al-istiqra'
al-naqish (metode induktif yang tidak sempurna), dan ini
tidak menghasilkan kepastian. Dengan kata lain, yang
dihasilkan adalah sesuatu yang bersifat zhanniy.
Yang Qath'iy dalam Al-Quran
Apakah pendapat Al-Syathibi di atas mengantarkan kita
untuk berkesimpulan bahwa tidak ada yang qath'iy dalam
Al-Quran? Memang demikian jika ditinjau dari sudut ayat-ayat
tersebut secara berdiri sendiri. Tetapi lebih jauh ia
menjelaskan bagaimana proses yang dilalui oleh suatu hukum
yang diangkat dari nash sehingga ia pada akhirnya dinamai
qath'iy.
Menurut Al-Syathibi lebih jauh, "kepastian makna"
(qath'iyyah al-dalalah) suatu nash muncul dari sekumpulan
dalil zhanniy yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna
yang sama. Terhimpunnya makna yang sama dari dalil-dalil
yang beraneka ragam itu memberi "kekuatan" tersendiri. Ini
pada akhirnya berbeda dari keadaan masing-masing dalil
tersebut ketika berdiri sendiri. Kekuatan dari himpunan
tersebut menjadikannya tidak bersifat zhanniy lagi. Ia telah
meningkat menjadi semacam mutawatir ma'nawiy, dan dengan
demikian dinamailah ia sebagai qath'iy
al-dalalah.145
Jika perhatian hanya ditujukan kepada nash Al-Quran yang
berbunyi aqimu al-shalah misalnya, maka nash ini tidak pasti
menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya
berbentuk perintah, sebab, banyak ayat Al-Quran yang
menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan sebagai
perintah wajib. Kepastian tersebut datang dari pemahaman
terhadap nash-nash lain yang, walaupun dengan redaksi atau
konteks berbeda-beda, disepakati bahwa kesemuanya mengandung
makna yang sama. Dalam contoh di atas, ditemukan sekian
banyak ayat atau hadis yang menjelaskan antara lain hal-hal
berikut:
(a) Pujian kepada orang-orang yang shalat;
(b) Celaan dan ancaman bagi yang meremehkan atau
meninggalkannya;
(c) Perintah kepada mukallaf untuk melaksanakannya
dalam keadaan sehat atau sakit, damai atau perang, dalam
keadaan berdiri atau --bila uzur-- duduk atau berbaring
atau bahkan dengan isyarat sekalipun;
(d) Pengalaman-pengalaman yang diketahui secara
turun-temurun dari Nabi saw., sahabat beliau, dan
generasi sesudahnya, yang tidak pernah
meninggalkannya.
Kumpulan nash yang memberikan makna-makna tersebut, yang
kemudian disepakati oleh umat, melahirkan pendapat bahwa
penggalan ayat aqimu al-shalah secara pasti atau qath'iy
mengandung makna wajibnya shalat. Juga disepakati bahwa
tidak ada kemungkinan arti lain yang dapat ditarik darinya.
Di sini, kewajiban shalat yang ditarik dari aqimu al-shalat,
menjadi aksioma. Di sini berlaku ma'lum min al-din bi
al-dharurah.
Biasanya, ulama-ulama ushul al-fiqh menunjuk kepada ijma'
untuk menetapkan sesuatu yang bersifat qath'iy. Sebab, jika
mereka menunjuk kepada nash (dalil naqli) secara berdiri
sendiri, maka akan dapat terbuka peluang --bagi mereka yang
tidak mengetahui ijma' itu-- untuk mengalihkan makna yang
dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang lain. Nah,
guna menghindari hal inilah mereka langsung menunjuk kepada
ijma'.
Perlu ditambahkan bahwa suatu ayat atau hadis mutawatir
dapat menjadi qath'iy dan zhanniy pada saat yang sama.
Firman Allah yang berbunyi Wa imsahu bi ru'usikum adalah
qath'iy al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam
ber-wudhu : Tetapi ia zhanniy al-dalalah dalam hal batas
atau kadar kepala yang harus dibasuh. Keqath'iy-an dan
ke-zhanniy-an tersebut disebabkan karena seluruh ulama
ber-ijma' (sepakat) menyatakan kewajiban membasuh kepala
dalam berwudhu' berdasarkan berbagai argumentasi. Namun,
mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan ba' pada
lafal bi ru'usikum. Dengan demikian, kedudukan ayat tersebut
menjadi qath'iy bi i'tibar wa zhanniy bi i'tibar
akhar.146 Di
satu sisi ia menunjuk kepada makna yang pasti, dan di sisi
lain ia memberi berbagai alternatif makna.
Catatan Akhir
Dari sini jelas bahwa masalah qath'iy dan zhanniy
bermuara kepada sejumlah argumentasi yang maknanya
disepakati oleh ulama (mujma' 'alayh), sehingga tidak
mungkin lagi timbul makna yang lain darinya kecuali makna
yang telah disepakati itu. Bukankah ia telah disepakati
bersama?
Dalam hal kesepakatan tersebut, kita perlu mencatat
beberapa butir masalah:
a. Walaupun para ulama berbeda pendapat tentang
kedudukan ijma' sebagai dalil, namun agaknya tidak
diragukan bahwa para pendahulu (salaf) yang hidup pada
abad-abad pertama tentu mempunyai banyak alasan untuk
sepakat menetapkan arti suatu ayat sehingga pada akhirnya
ia menjadi qath'iy al-dalalah. "Mengabaikan persepakatan
mereka dapat menimbulkan kebingunan dan kesimpangsiuran
di kalangan umat," tulis Yusuf
Qardhawi.147
b. Harus disadari bahwa di dalam banyak kitab
seringkali ditemukan pernyataan-pernyataan ijma'
menyangkut berbagai masalah --aqidah atau syari ah.
Namun, pada hakikatnya, masalah tersebut tidak memiliki
ciri ijma'. Mahmud Syaltut, mengutip tulisan Imam Syafi'i
dalam Al-Risalah, menulis demikian: "Saya tidak berkata,
dan tidak pula seseorang dari kalangan yang berilmu,
bahwa 'Ini mujma' 'alayh' (disepakati), sampai suatu saat
Anda tidak bertemu dengan seorang alim pun kecuali
semuanya berpendapat sedemikian, yang disampaikan
(sumbernya) adalah orang-orang sebelumnya --seperti bahwa
shalat zhuhur adalah empat rakaat, bahwa khamr haram, dan
yang semacamnya."148
c. Tidak semua alim atau pakar dapat dijadikan rujukan
dalam menetapkan kesepakatan (ijma') tersebut. Ibrahim
bin 'Umar Al-Biqa'iy (809-885 H)
misalnya,149
tidak mengakui Fakhruddin Al-Raziy sebagai salah seorang
yang dapat diterima otoritasnya dalam menetapkan
"kesepakatan". Ia menulis demikian: "Tidak dirujuk untuk
mengetahui ijma' kecuali para pakar yang mendalami
riwayat-riwayat."150
d. Umat Islam, termasuk sebagian ulamanya, kerap kali
beranggapan bahwa suatu masalah telah menjadi kesepakatan
para ulama. Padahal sesungguhnya hal tersebut baru
merupakan kesepakatan antar ulama mazhabnya. Hal ini
sekali lagi berarti bahwa yang disepakati
ke-qath'iy-annya haruslah diteliti dengan cermat.
Demikianlah beberapa pokok pikiran menyangkut masalah
qath'iy. Adapun persoalan zhanniy, agaknya sudah menjadi
jelas dengan memahami istilah qath'iy yang diuraikan di
atas.
Catatan kaki
135 Sesuatu yang
sudah sangat jelas, aksiomatik, dalam ajaran agama.
136 Al-Quran (mampu)
mengandung banyak interpretasi.
137 'Abdul Wahhab
Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh, Al-Dar Al-Kuwaitiyyah, Kuwait,
1968, cetakan Vlll, h. 35.
138 Lihat makalah
Martin van Bruinessen, "Mohammad Arkoun tentang Al-Qur'an,"
disampaikan dalam diskusi Yayasan EMPATI. Pada h. 2, ia
mengutip Mohammad Arkoun, "Algeria," dalam Shireen T. Hunter
(ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington:
Indiana University Press 1988, h. 182-183.
139 'Abdullah Darraz,
Annaba' Al-Azhim, Dar Al-'Urubah, Mesir, 1966, h. 111.
140 Abu Ishaq
Al-Syathibiy, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari'ah, disunting
oleh Syaikh'Abdullah Darraz, Al-Maktabah Al-Tijariyyah
Al-Kubra, Mesir, tanpa tahun, Jilid 1, h. 29.
141 Abu Al-'Ainain
Badran Abu Al-'Ainain, Ushul Al-Fiqh Al-Islamiy, tanpa
tahun, h. 63.
142 Al-Syathibi, op
cit., h. 35.
143 Ali 'Abduttawab
dan Thaha 'Abdullah Addasuqy, Mabahits fi Tarikh Al-Fiqh
Al-Islamiy, Lajnah Al-Bayan Al-'Arabiy, Mesir, 1962, h.
50.
144 Sepuluh
kemungkinan.
145 Lebih jauh lihat
Al-Syathibi, op cit., h. 96-37
146 Dari satu sisi
qath'iy dan sisi lain zhanniy.
147 Yusuf
Al-Qardhawiy, Fiqh Al-Zakah, Muassasat Al-Risalah, Beirut,
Cet. IV, jilid I, h. 25.
148 Mahmud Syaltut,
Al-Islam 'Aqidah wa Syari'ah, Dar Al-Qalam, Mesir, 1966,
Cet. III, h. 72.
149 Ibrahim bin Umar
Al-Biqa'iy adalah salah seorang pakar tafsir yang karyanya,
Nazhm Al-Dhurar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar, dinilai
sebagai ensiklopedi dalam bidang sistematika runtutan
ayat-ayat Al-Quran.
150 Lihat Ibrahim bin
Umar Al-Biqa'iy, Nazhm Al-Dhurar, manuskrip di Perpustakaan
Al-Azhar, Kairo, Mesir, no. 590-Tafsir, Jilid II, h.
197.
|