Riba Menurut Al-Quran
Tulisan berikut tidak akan membahas kehalalan atau
keharaman riba, karena keharamannya telah disepakati oleh
setiap Muslim berdasarkan ayat-ayat Al-Quran serta ijma'
seluruh ulama Islam, apa pun mazhab atau alirannya. Yang
dibahas adalah apa yang di maksud sesungguhnya oleh Al-Quran
dengan riba yang diharamkannya itu?
Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas
masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar
mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil
meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktek
transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah
praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan
itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.
Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada
praktek-praktek transaksi ekonomi telah berlangsung sejak
masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih
terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi.
Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu
mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa
waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai 'Umar bin
Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba
ini.164
Beliau berkata: "Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir
Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat
sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang
meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan
kamu."165
Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan
itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan 'Umar
r.a., "meninggalkan sembilan per sepuluh yang
halal".166
Sebelum membuka lembaran-lembaran Al-Quran yang
ayat-ayatnya berbicara tentang riba, terlebih dahulu akan
dikemukakan selayang pandang tentang kehidupan ekonomi
masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.
Sejarah menjelaskan bahwa Tha'if, tempat pemukiman suku
Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah,
merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat
perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim
di Makkah. Di Tha'if bermukim orang-orang Yahudi yang telah
mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di
sana menumbuhsuburkan praktek tersebut.
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan
aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang
hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal
prktek-praktek riba. Terbukti bahwa sebagian dari
tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti 'Abbas bin 'Abdul
Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan
lain-lain, mempraktekkannya sampai dengan turunnya larangan
tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik
terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama
dengan jual beli (QS 2:275). Dalam arti mereka beranggapan
bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan
tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang
diperoleh dari) hasil perdagangan.
Riba yang Dimaksud Al-Quran
Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Sehingga
bila kita hanya berhenti kepada arti "kelebihan" tersebut,
logika yang dikemukakan kaum musyrik di atas cukup
beralasan. Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan
mereka dengan menyatakan "Tuhan
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS
2:275), pengharaman dan penghalalan tersebut tentunya tidak
dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya, dan
"sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak
delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah,
Ali 'Imran, Al-Nisa', dan Al-Rum. Tiga surat pertama adalah
"Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang
surat Al-Rum adalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau
hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang
riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan
sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah
kelebihan pads harts manusia, maka riba itu tidak menambah
pads sisi Allah ...
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari,
Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat
bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah
ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan
terakhir tentang riba,167
yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah:
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika
kamu orang-orang yang beriman.
Selanjutnya Al-Zanjani,168
berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim
dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i serta
orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran
lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa'. Kalau kesimpulan
mereka diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali 'Imran yang
secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda,
merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161
Al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi
yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam
rangkaian pembicaraan Al-Quran tentang riba.
Menurut Al-Maraghi169
dan Al-Shabuni,170
tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan
tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada
tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di
dalamnya (Al-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat
tentang keharamannya (Al-Nisa': 161). Selanjutnya pada tahap
ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu
bentuknya (Ali 'Imran: 130), dan pada tahap terakhir,
diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya
(Al-Baqarah: 278).
Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas,
kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat
yang mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa
mustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan
suatu riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya satu surat
mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan
seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu
turun itu mendahului seluruh ayat dalam surat yang
dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangan tersebut,
kita cenderung untuk hanya menetapkan dan membahas ayat
pertama dan terakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan
kedua ayat yang tidak jelas kedudukan tahapan turunnya
sebagai tahapan pertengahan.
Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam memahami
pengertian atau esensi riba yang diharamkan Al-Quran, karena
sebagaimana dikemukakan di atas, ayat Al-Nisa' 161 merupakan
kecaman kepada orang-orang Yahudi yang melakukan
praktek-praktek riba. Berbeda halnya dengan ayat 130 surat
Ali 'Imran yang menggunakan redaksi larangan secara tegas
terhadap orang-orang Mukmin agar tidak melakukan praktek
riba secara adh'afan mudha'afah. Ayat Ali 'Imran ini, baik
dijadikan ayat tahapan kedua maupun tahapan ketiga, jelas
sekali mendahului turunnya ayat Al-Baqarah ayat 278, serta
dalam saat yang sama turun setelah turunnya ayat Al-Rum
39.
Di sisi lain, ayat Al-Rum 39 yang merupakan ayat pertama
yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama Tafsir
tidak berbicara tentang riba yang diharamkan.
Al-Qurthubi171
dan Ibn Al-'Arabi172
menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba
halal. Sedang Ibn Katsir menamainya riba
mubah.173
Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu
'Abbas dan beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat
tersebut sebagai "hadiah" yang dilakukan oleh orang-orang
yang mengharapkan imbalan berlebih.
Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat Al-Rum di
atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam
Al-Burhan174
menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf,
yakni kata riba pada surat Al-Rum ditulis tanpa menggunakan
huruf waw [huruf Arab], dan dalam surat-surat
lainnya menggunakannya [huruf Arab]. Dari sini,
Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba
yang diharamkan dalam Al-Quran bermula dari ayat Ali' Imran
131.175
Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang riba
yang diharamkan Al-Quran dapat dikemukakan dengan
menganalisis kandungan ayat-ayat Ali 'Imran 130 dan
Al-Baqarah 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami
kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan
mudha'afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum
ru'usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun.
Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan
dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan
Al-Quran. Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan
kelebihan tersebut haram".
Pelbagai Pandangan di Seputar Arti
Adh'afan Mudha'afah
Dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak
(plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu
bersama dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya
(ganda)". Sehingga adh'afan mudha'afah adalah pelipatgandaan
yang berkali-kali. Al-Thabraniy dalam Tafsirnya mengemukakan
sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada pengertian
adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa
turunnya Al-Quran. Riwayat-riwayat tersebut antara lain:
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa "riba pada
masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan).
Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya,
ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, "Bayarlah atau
kamu tambah untukku." Maka apabila kreditor memiliki sesuatu
(untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak
ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang
lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya). Apabila
yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun
kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian
binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun
ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun
keempat), dan seterusnya menjadi jaz'ah (yang memasuki tahun
kelima), demikian berlanjut. Sedangkan jika yang dipinjamnya
materi (uang), debitor mendatanginya untuk menagih, bila ia
tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi
100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi
terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia
mampu membayar.176
Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah
SWT adalah yang dipraktekkan pada masa jahiliyah, yaitu
bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain,
kemudian peminjam berkata kepadanya "untukmu (tambahan)
sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran", maka
ditundalah pembayaran tersebut
untuknya.177
Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba pada masa
jahiliyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain
(dengan pembayaran) sampai pada masa tertentu. Bila telah
tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak memiliki
kemampuan untuk membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan
ditangguhkan masa pembayarannya.178
Riwayat-riwayat di atas dan yang senada dengannya
dikemukakan oleh para ulama Tafsir ketika membahas ayat 130
surat Ali 'Imran. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi
menyangkut riwayat-riwayat yang dikemukakan tersebut.
Pertama, penambahan dari jumlah piutang yang digambarkan
oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi,
tetapi dikemukakan oleh kreditor (riwayat ke-2) atau debitor
(riwayat ke-3) pada saat jatuhnya masa pembayaran. Dalam hal
ini, Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1883-1951) berkomentar dalam
Tafsirnya:
"Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada
masa kita sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau
berlebih-lebihan), yakni keuntungan berganda. Tambahan yang
fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa
pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu (yang bersifat
keji atau berlebihan itu) dalam transaksi pertama, seperti
memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 ataukah
lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka itu
merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit
penambahan pada transaksi pertama). Tetapi, apabila telah
tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan
peminjam ketika itu telah berada dalam genggaman mereka,
maka mereka memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan sebagai
imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba al-nasi'ah
(riba akibat penundaan). Ibn 'Abbas berpendapat bahwa nash
Al-Quran menunjuk kepada riba al-nasi'ah yang dikenal
(ketika itu).179
Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan pada riwayat
pertama adalah perkalian dua kali, sedangkan pada riwayat
kedua dan ketiga pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan,
tetapi sekadar penambahan dari jumlah kredit. Hal ini
mengantar kepada satu dari dua kemungkinan: (1) memahami
masing-masing riwayat secara berdiri sendiri, sehingga
memahami bahwa "riba yang terlarang adalah penambahan dari
jumlah utang dalam kondisi tertentu, baik penambahan
tersebut berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda; (2)
memadukan riwayat-riwayat tersebut, sehingga memahami bahwa
penambahan yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang tidak
menyebutkan pelipatgandaan adalah penambahan berlipat ganda.
Pendapat kedua ini secara lahir didukung oleh redaksi
syah.
Dalam menguraikan riwayat-riwayat yang dikemukakan di
atas, dan riwayat-riwayat lainnya, Al-Thabari menyimpulkan
bahwa riba adh'afan mudha'afah adalah penambahan dari jumlah
kredit akibat penundaan pembayaran atau apa yang dinamai
dengan riba al-nasi'ah. Menurut Al-Thabari, seseorang yang
mempraktekkan riba dinamai murbin karena ia melipatgandakan
harta yang dimilikinya atas beban pengorbanan debitor baik
secara langsung atau penambahan akibat penangguhan waktu
pembayaran.180
Kesimpulan Al-Thabari di atas didukung oleh Muhammad
Rasyid Ridha yang menurutnya juga merupakan kesimpulan Ibn
Qayyim.181
'Abdul Mun'in Al-Namir, salah seorang anggota Dewan
Ulama-ulama terkemuka Al-Azhar dan wakil Syaikh Al-Azhar,
menyimpulkan bahwa: "Riba yang diharamkan tergambar pada
seorang debitor yang memiliki harta kekayaan yang didatangi
oleh seorang yang butuh, kemudian ia menawarkan kepadanya
tambahan pada jumlah kewajiban membayar utangnya sebagai
imbalan penundaan pembayaran setahun atau sebulan, dan pada
akhirnya yang bersangkutan (peminjam) terpaksa tunduk dan
menerima tawaran tersebut secara tidak
rela."182
Di atas telah dikemukakan bahwa kata adh'afan mudha'afah
berarti berlipat ganda. Sedangkan riwayat-riwayat yang
dikemukakan ada yang menjelaskan pelipatgandaan dan ada pula
yang sekadar penambahan. Kini kita kembali bertanya: Apakah
yang diharamkan itu hanya yang penambahan yang berlipat
ganda ataukah segala bentuk penambahan dalam kondisi
tertentu?
Yang pasti adalah bahwa teks ayat berarti "berlipat
ganda". Mereka yang berpegang pada teks tersebut menyatakan
bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya bila tidak
berlipat ganda, maka ia tidak haram. Sedangkan pihak lain
menyatakan bahwa teks tersebut bukan merupakan syarat tetapi
penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktekkan pada
masa turunnya ayat-ayat Al-Quran. Sehingga, kata mereka
lebih lanjut, penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan
adalah haram.
Hemat kami, untuk menyelesaikan hal ini perlu
diperhatikan ayat terakhir yang turun menyangkut riba,
khususnya kata-kata kunci yang terdapat di sana. Karena,
sekalipun teks adh'afan mudha'afah merupakan syarat, namun
pada akhirnya yang menentukan esensi riba yang diharamkan
adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga.
Di sini yang pertama dijadikan kunci adalah firman Allah
wa dzaru ma bagiya min al-riba.
Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah kata al-riba yang
berbentuk ma'rifah (definite) ini merujuk kepada riba
adh'afan mudha'afah ataukah tidak?
Rasyid Ridha dalam hal ini mengemukakan tiga alasan untuk
membuktikan bahwa kata al-riba pada ayat Al-Baqarah ini
merujuk kepada kata al-riba yang berbentuk adh'afan
mudha'afah itu.183
Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan
kosakata yang berbentuk ma'rifah. Yang dimaksud oleh Rasyid
Ridha adalah kaidah yang menyatakan apabila ada suatu
kosakata berbentuk ma'rifah berulang, maka pengertian
kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata pertama.
Kata al-riba pada Ali 'Imran 130 dalam bentuk ma'rifah,
demikian pula halnya pada Al-Baqarah 278. Sehingga hal ini
berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir
sama dengan riba yang dimaksud pada tahapan kedua yaitu yang
berbentuk adh'afan mudha'afah.
Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat
berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan
kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti al-riba
pada ayat Al-Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan
kata al-riba yang bersyarat adh'afan mudha'afah pada Ali
'Imran. Sehingga, yang dimaksud dengan al-riba pada ayat
tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda itu.
Ketiga, diamati oleh Rasyid Ridha bahwa pembicaraan
Al-Quran tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan
dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya
sebagai zhulm (penganiayaan atau penindasan).
Apa yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha di atas tentang
arti riba yang dimaksud oleh Al-Quran pada ayat tahapan
terakhir dalam Al-Baqarah tersebut, masih dapat ditolak oleh
sementara ulama --antara lain dengan menyatakan bahwa kaidah
kebahasaan yang diungkapkannya itu tidak dapat diterapkan
kecuali pada rangkaian satu susunan redaksi, bukan dalam
redaksi yang berjauhan sejauh Al-Baqarah dengan Ali 'Imran,
serta dengan menyatakan bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan
syarat tetapi sekadar penjelasan tentang keadaan yang lumrah
ketika itu, sehingga dengan demikian kaidah kedua pun tidak
dapat diterapkan. Walaupun demikian, menurut hemat penulis,
kesimpulan Rasyid Ridha tersebut dapat dibenarkan.
Pembenaran ini berdasarkan riwayat-riwayat yang jelas dan
banyak tentang sebab nuzul ayat Al-Baqarah tersebut.
Kesimpulan riwayat-riwayat tersebut antara lain:
(a) Al-'Abbas (paman Nabi) dan seorang dari
keluarga Bani Al-Mughirah bekerja sama memberikan utang
secara riba kepada orang-orang dari kabilah Tsaqif.
Kemudian dengan datangnya Islam (dan diharamkannya riba)
mereka masih memiliki (pada para debitor) sisa harta
benda yang banyak, maka diturunkan ayat ini (Al-Baqarah
278 untuk melarang mereka memungut sisa harta mereka yang
berupa riba yang mereka praktekkan ala jahiliyah
itu.184
(b) Ayat tersebut turun menyangkut kabilah Tsaqif yang
melakukan praktek riba, kemudian (mereka masuk Islam) dan
bersepakat dengan Nabi untuk tidak melakukan riba lagi.
Tetapi pada waktu pembukaan kota Makkah, mereka masih
ingin memungut sisa uang hasil riba yang belum sempat
mereka pungut yang mereka lakukan sebelum turunnya
larangan riba, seakan mereka beranggapan bahwa larangan
tersebut tidak berlaku surut. Maka turunlah ayat tersebut
untuk menegaskan larangan memungut sisa riba
tersebut.185
Atas dasar riwayat-riwayat tersebut dan riwayat-riwayat
lainnya, Ibn jarir menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut
berarti: "Tinggalkanlah tuntutan apa yang tersisa dari riba,
yakni yang berlebih dari modal
kamu..."186
Karena itu, sungguh tepat terjemahan yang ditemukan dalam
Al-Qur'an dan Terjemahnya, terbitan Departemen Agama, yakni
"Tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut."
Atas dasar ini, tidak tepat untuk menjadikan pengertian
riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian
riba dalam ayat Ali 'Imran yang lalu (adh'afan mudha'afah).
Karena riba yang dimaksud adalah riba yang mereka lakukan
pada masa yang lalu (jahiliyah). Sehingga pada akhirnya
dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan Al-Quran adalah
yang disebutkannya sebagai adh'afan mudha'afah atau yang
diistilahkan dengan riba al-nasiah.
Kembali kepada masalah awal. Apakah hal ini berarti bahwa
bila penambahan atau kelebihan tidak bersifat
"berlipatganda" menjadi tidak diharamkan Al-Quran?
Jawabannya,menurut hemat kami, terdapat pada kata kunci
berikutnya, yaitu fa lakum ru'usu amwalikum (bagimu
modal-modal kamu) (QS 2:279). Dalam arti bahwa yang berhak
mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. jika
demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal
tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa
yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak
dapat dibenarkan. Dan dengan demikian kata kunci ini
menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan
baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan Al-Quran
dengan turunnya ayat tersebut. Dan ini berarti bahwa kata
adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan
tentang riba yang sudah lumrah mereka praktekkan.
Kesimpulan yang diperoleh ini menjadikan persoalan kata
adh'afan mudha'afah tidak penting lagi, karena apakah ia
syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya
pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan
adalah segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi
bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama
seperti yang terjadi pada masa turunnya Al-Quran dan yang
diisyaratkan oleh penutup ayat Al-Baqarah 279 tersebut,
yaitu la tazhlimun wa la tuzhlamun (kamu tidak menganiaya
dan tidak pula dianiaya).
Kesimpulan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tentang
praktek riba pada masa turunnya Al-Quran, sebagaimana telah
dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa praktek tersebut
mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang
yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan.
Kesimpulan tersebut dikonfirmasikan oleh penutup ayat
Al-Baqarah 279 di atas, sebagaimana sebelumnya ia diperkuat
dengan diperhadapkannya uraian tentang riba dengan sedekah,
seperti dikemukakan Rasyid Ridha, yang menunjukkan bahwa
kebutuhan si peminjam sedemikian mendesaknya dan keadaannya
sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan
sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi pinjaman
tanpa menguburkan sedekah. Kemudian pada ayat 280 ditegaskan
bahwa, Dan jika orang yang berutang
itu dalam kesulitan (sehingga tidak mampu membayar pada
waktu yang ditetapkan) maka berilah tangguh sampai ia
berkelapangan, dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua
utang itu) lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahui.
Ayat-ayat di atas lebih memperkuat kesimpulan bahwa
kelebihan yang dipungut, apalagi bila berbentuk
pelipatgandaan, merupakan penganiayaan bagi si peminjam.
Kesimpulan
Kesimpulan terakhir yang dapat kita garisbawahi adalah
bahwa riba pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang
dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur
penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau
penambahan jumlah utang.
Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan paktek Nabi saw.
yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih.
Sahabat Nabi, Abu Hurairah, memberitahukan bahwa Nabi saw.
pernah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada
seseorang, kemudian orang tersebut datang kepada Nabi untuk
menagihnya. Dan ketika itu dicarikan unta yang sesuai
umurnya dengan unta yang dipinjamnya itu tetapi Nabi tidak
mendapatkan kecuali yang lebih tua. Maka beliau
memerintahkan untuk memberikan unta tersebut kepada orang
yang meminjamkannya kepadanya, sambil bersabda, "Inna
khayrakum ahsanukum qadha'an" (Sebaik-baik kamu adalah yang
sebaik-baiknya membayar utang).
Jabir, sahabat Nabi, memberitahukan pula bahwa ia pernah
mengutangi Nabi saw. Dan ketika ia mendatangi beliau,
dibayarnya utangnya dan dilebihkannya. Hadis di atas
kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim.187
Benar bahwa ada pula riwayat yang menyatakan bahwa kullu
qardin jarra manfa'atan fahuwa haram (setiap piutang yang
menarik atau menghasilkan manfaat, maka ia adalah haram).
Tetapi hadis ini dinilai oleh para ulama hadis sebagai hadis
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya,
sehingga ia tidak dapat dijadikan dasar
hukum.188
Sebagai penutup, ada baiknya dikutip apa yang telah
ditulis oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir
Al-Manar, setelah. menjelaskan arti riba yang dimaksud
Al-Quran:
"Tidak pula termasuk dalam pengertian riba, jika
seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang)
untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil
usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi ini
menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta,
sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa
satu dosa (sebab) kecuali keterpaksaannya, serta
menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecuali penganiayaan
dan kelobaan. Dengan demikian, tidak mungkin ketetapan
hukumnya menjadi sama dalam pandangan keadilan Tuhan dan
tidak pula kemudian dalam pandangan seorang yang berakal
atau berlaku adil."189
Catatan kaki
164 Dalam beberapa
riwayat dinyatakan bahwa ayat terakhir turun sembilan hari
sebelum Rasulullah saw. wafat.
165 Lihat Ibn Hazm,
Al-Muhalla, Percetakan Al-Munir, Mesir, 1350 H, Jilid VH1,
h. 477.
166 Ibid.
167 Lihat Jalaluddin
Al-Suyuthiy, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Percetakan
Al-Azhar, Mesir, 1318, H, Jilid I, h. 27.
168 Abdullah
Al-Zanjaniy, Tarikh Al-Qur'an, Al-'Alamiy, Beirut, 1969, h.
60.
169 Ahmad Mushthafa
Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Mushthafa Al-Halabiy,
Mesir, 1946, jilid III, h. 59 dst.
170 Muhammad 'Ali
Al-Shabuniy, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Dar Al-Qalam, Beirut,
1971, jilid I, h. 389.
171 Muhammad bin
Ahmad Al-Anshariy Al-Qurthubiy, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an,
Dar Al-Kitab, Kairo, 1967, jilid XIV, h. 36.
172 Abu Bakar
Muhammad bin Abdillah (Ibn Al-'Arabiy), Ahkam Al-Qur'an,
tahqiq Muhammad Ali Al-Bajawi, 'Isa Al-Halabiy, 1957, Jilid
III, h. 1479.
173 Isma'il Ibn
Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Perc. Sulaiman Mar'iy,
Singapura, t.t., jilid III, h. 434.
174 Lihat Badruddin
Al-Zarkasyiy, Al-Burhan 'Ulum Al-Qur'an, Tahqiq Muhammad Abu
Al-Fadhil, Isa Al-Halabiy, Mesir, 1957, jilid I., h.
409.
175 Muhammad Rasyid
Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, Mesir, 1376 H., jilid
III, h. 113.
176 Lihat Muhammad
Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami'Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an,
Isa Al-Halabiy, Mesir 1954, Jilid IV, h. 90.
177 Ibid, Jilid III,
h. 101.
178 Ibid.
179 Ahmad Mushthafa
Al-Maraghiy, op. cit., Jilid IV, h. 65.
180 Al-Thabariy, op.
cit., Jilid III, h. 101.
181 Rasyid Ridha, op.
cit., Jilid II, h. 113-114.
182 Abdul Mun'im
Al-Nandr, Al-Ijtihad, Dar Al-Suruq, Kairo, 1986, h. 351.
183 Rasyid Ridha,
loc. cit.
184 Al-Thabariy, op.
cit., Jilid III, h. 106-107.
185 Ibid.
186 Ibid.
187 Muhammad bin 'Ali
Al-Syawkaniy, Nayl Al-Authar, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir,
1952, Jilid V, h. 245.
188 Muhammad bin
Isma'il Al-Kahlaniy Al-Shan'aniy, Subul Alssalam, Mushthafa
Al-Halabiy, Mesir, 1950, Jilid III, h. 53.
189 Rasyid Ridha,
loc. cit.
Bahasan Riba oleh Ulama lain
Bunga
Bank, Hukum
Kerja di Bank oleh Yusuf
Qardhawi
|