Fungsi dan Posisi Sunah Dalam
Tafsir
Wa anzalna ilayka al-dzikra litubayyina li al-nas ma
nuzzila ilayhim (Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka) (QS 16:46).
Wama anzalna 'alayka al-kitab illa litubayyina lahum
alladzina ikhtalafu fihi wa hudan wa rahmatan liqawmin
yu'minun (Dan kami tidaklah menurunkan kepadamu Al-Kitab
[Al-Quran] ini kecuali agar kamu dapat menjelaskan
kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan untuk
menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman) (QS (QS
16:64).
Uraian yang singkat ini bukan merupakan pembahasan yang
menyeluruh tentang Al-Sunnah, baik dari segi kedudukan dan
fungsinya terhadap Al-Quran, maupun dari segi sejarah
perkembangan dan metode penelitiannya. Uraian ini hanya
merupakan gambaran umum tentang beberapa masalah yang telah
menimbulkan kesalahpahaman.
Al-Quran Al-Karim telah diyakini kebenarannya oleh kaum
Muslim: surat demi surat, ayat demi ayat, kata demi kata,
bahkan huruf demi huruf. Semuanya telah disampaikan secara
utuh kepada Nabi Muhammad saw., yang kemudian memerintahkan
sahabat-sahabatnya untuk menuliskan, menghapalkan dan
mempelajarinya.
Beberapa saat setelah Nabi wafat, para sahabat
mengumpulkan naskah-naskah Al-Quran yang ditulis itu,
kemudian menyalin dan menyebarluaskannya ke seluruh penjuru
dunia Islam. Hingga kini, apa yang mereka lakukan itu
diterima dan dipelihara oleh generasi demi generasi. Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa apa yang dibaca dalam
mushaf dewasa ini tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang
pernah dibaca oleh Nabi Muhammad saw., dan para pengikutnya
lima belas abad yang lalu.
Nabi Muhammad ditugaskan untuk menjelaskan kandungan
ayat-ayatnya. Hal ini terbukti, antara lain, dalam ayat-ayat
yang dikutip di awal uraian ini. Dengan demikian,
penjelasan-penjelasan Nabi Muhammad saw. tidak dapat
dipisahkan dari pemahaman maksud ayat-ayat Al-Quran. Beliau
adalah satu-satunya manusia yang mendapat wewenang penuh
untuk menjelaskan Al-Quran (QS 4:105). Penjelasan beliau
dapat dipastikan kebenarannya. Tidak seorang Muslim pun yang
dapat menggantikan penjelasan Rasul dengan penjelasan
manusia lain, apa pun kedudukannya.
Penjelasan-penjelasan atas arti dan maksud ayat Al-Quran
yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. bermacam-macam
bentuknya. Ia dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan
ataupun taqrir (pembenaran berupa diamnya beliau terhadap
perbuatan yang dilakukan oleh orang
lain).116
Nabi Muhammad saw. telah diberi oleh Allah SWT --melalui
Al-Quran-- hak dan wewenang tersebut. Segala ketetapannya
harus diikuti. Tingkah lakunya merupakan panutan terbaik
bagi mereka yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan
di hari kiamat. (QS 33: 21).
Perintah untuk taat (athi'u) telah disebut dalam Al-Quran
sebanyak sembilan belas kali. Terkadang, perintah tersebut
digabungkan antara taat kepada Allah dengan, sekaligus,
kepada Rasul: Athi'u Allah wa al-rasul (QS 3:32, 132; 8:1,
46; dan sebagainya). Tetapi juga, terkadang antara keduanya
dipisah dengan kata "athi'u": Athi 'u Allah wa athi'u
al-rasul (QS 4:59; 24:54; 4:23; dan sebagainya).
Penggabungan dan pemisahan di atas bukanlah tidak
mempunyai arti; ia mengisyaratkan bahwa perintah-perintah
Nabi Muhammad saw., harus diikuti, baik yang bersumber
langsung dari Allah (Al-Quran) --sebagaimana ayat yang
menggambarkan ketaatan kepada Allah dan Rasul di atas--
maupun perintah-perintahnya berupa kebijaksanaan --seperti
ayat-ayat kelompok kedua di atas.
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran menegaskan bahwa
hendaknya dilaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasul dan
meninggalkan apa yang dilarangnya (QS 59:7). Dan bahwa
barangsiapa taat kepada Rasul maka ia telah taat kepada
Allah (QS 4:80), sebagaimana telah dijelaskan pula bahwa
Muhammad saw. tiada lain adalah seorang Rasul (QS
3:144).
Al-Quran juga mengancam orang-orang yang menentang
perintahnya (QS 24:62). Bahkan, ia menyatakan bahwa mereka
(pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima sepenuhnya (QS 4:65).
Dari beberapa ayat di atas, jelaslah bahwa mereka yang
menduga bahwa Nabi Muhammad saw. tidak mempunyai wewenang
dalam urusan agama, adalah keliru. Ayat laysa laka min
al-amri syai'un (QS 3:128), diterjemahkan oleh sementara
orang dengan tidak ada wewenang bagimu tentang urusan
(agama) sedikit pun. Ini tidaklah benar, karena yang
dimaksud dengan "urusan" dalam ayat ini adalah urusan
diterima atau ditolaknya tobat orang-orang tertentu,
sebagaimana bunyi lanjutan ayat
tersebut.117
Sementara orang ada yang meragukan otentisitas
penjelasan-penjelasan Nabi yang merupakan bagian dari Sunnah
(hadits). Hal ini disebabkan, antara lain, karena mereka
menduga bahwa hadis-hadis baru ditulis pada masa
pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99-101 H). Dugaan yang
sangat keliru ini timbul karena mereka tidak dapat
membedakan antara penulisan hadis yang, secara resmi,
diperintahkan langsung oleh penguasa untuk disebarluaskan ke
seluruh pelosok, dengan penulisan hadis yang dilakukan atas
prakarsa perorangan yang telah dimulai sejak masa Rasulullah
saw.
Penulisan bentuk kedua ini sedemikian banyaknya, sehingga
banyak pula dikenal naskah-naskah hadis, antara lain:
1. Al-Shahifah Al-Shahihah (Shahifah Humam), yang
berisikan hadis-hadis Abu Hurairah yang ditulis langsung
oleh muridnya, Humam bin Munabbih. Naskah ini telah
ditemukan oleh Prof. Dr. Hamidullah dalam bentuk manuskrip,
masing-masing di Berlin (Jerman) dan Damaskus (Syria).
2. Al-Shahifah Al-Shadziqah, yang ditulis langsung oleh
sahabat 'Abdullah bin Amir bin 'Ash --seorang sahabat yang,
oleh Abu Hurairah, dinilai banyak mengetahui hadis-- dan
sahabat yang mendapat izin langsung untuk menulis apa saja
yang didengar dari Rasul, baik di saat Nabi ridha maupun
marah.
3. Shahifah Sumarah Ibn Jundub, yang beredar di kalangan
ulama yang --oleh Ibn Sirin-- dinilai banyak mengandung ilmu
pengetahuan.
4. Shafifah Jabir bin 'Abdullah, seorang sahabat yang,
antara lain, mencatat masalah-masalah ibadah haji dan
khutbah Rasul yang disampaikan pada Haji Wada', dan
lain-lain.118
Naskah-naskah tersebut membuktikan bahwa hadis-hadis
Rasulullah saw., telah ditulis atas prakarsa para sahabat
dan tabi'in jauh sebelum penulisannya yang secara resmi
diperintahkan oleh 'Umar bin 'Abdul 'Aziz.
Selanjutnya, ada pula yang meragukan penulisan hadis
(pada masa Rasul) yang disebabkan kekeliruan mereka dalam
memahami riwayat (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis)
yang menyatakan bahwa para ulama menghapal sekian ratus ribu
hadis. Mereka menduga bahwa jumlah yang ratusan ribu itu
adalah jumlah matan (teks redaksi hadis), sehingga --dengan
demikian-- mereka menganggap mustahil penulisannya secara
keseluruhan sejak awal sejarah Islam. Mereka tidak menyadari
bahwa jumlah hadis, yang dinyatakan ratusan ribu tersebut,
bukanlah matan-nya, tetapi jalur-jalur (thuruq) hadis.
Karena satu matan hadis dapat memiliki puluhan
jalur.119
Ada pula yang menduga bahwa hadis-hadis Nabi yang
terdapat dalam kitab-kitab hadis telah dinukilkan oleh para
pengarangnya melalui "penghapal-penghapal hadis", yang hanya
mampu menghapal tetapi tidak memiliki kemampuan ilmiah.
Dugaan ini timbul karena kedangkalan pengetahuan mereka
tentang ilmu hadis. Jika mereka mengetahui dan menyadari
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang penghapal
hadis (antara lain, seperti tepercaya, kuat ingatan,
identitasnya dikenal sebagai orang yang berkecimpung dalam
bidang ilmiah, dan sebagainya), maka mereka pasti menolak
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dinilai
majhul al-hal aw al-'ayn (tidak dikenal kemampuan ilmiahnya
atau juga identitas pribadinya).
Ada pula yang menduga bahwa para ahli hadis hanya sekadar
melakukan kritik sanad (kritik ekstern), bukan kritik matan
(kritik intern). Dugaan ini juga keliru, karena dua dari
lima syarat penilaian hadis shahih (yaitu tidak syadz dan
tidak mengandung 'illah) justru menyangkut teks (matan)
hadis-hadis tersebut. Sedang tiga syarat lainnya, walaupun
sepintas lalu berkaitan dengan sanad hadis, bertujuan untuk
memberikan keyakinan akan kebenaran hadis-hadis
tersebut.120
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa di satu pihak,
kekeliruan pemahaman tentang kedudukan, fungsi dan sejarah
perkembangan hadis timbul akibat dangkalnya pengetahuan
(agama). Dan di pihak lain, ia terjadi akibat pendangkalan
agama yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam (khususnya para
orientalis yang tidak bertanggung jawab) yang
mengatasnamakan penelitian ilmiah untuk tujuan-tujuan
tertentu.
Catatan kaki
116 Lihat lebih
lanjut Muhammad Idris Al-Syafi'iy, Al-Risalah, Al-Halabiy,
Kairo, 1969, h. 18, dan seterusnya; Al-Baghdadi, Al-'Uddah
fi Ushul Al-Din, Jilid I, Mesir, Al-Risalah, 1980, h.
112-13.
117 Hal yang sama
juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari mengenai asbab al-nuzul
ayat tersebut. Lihat Al-Bukhari, Al-Syaib, Jilid V, Kairo,
tt., h. 247.
118 Lihat lebih
lanjut Subhi Al-Shalih, 'Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu,
Beirut, Dar Al-'Ilm li Al-Malayin, 1977, cet. IX, h. 23, dan
seterusnya; Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah qabla
Al-Tadwin Wahdah, Kairo, 1963, cet. I, h. 346, dan
seterusnya.
119 Apabila dihimpun
seluruh matan hadis dari seluruh kitab-kitab hadis yang
mu'tabar, maka jumlahnya tidak lebih dari 50.000 matan
hadis, termasuk di dalamnya hadis-hadis shahih, hasan dan
dhaif. Dalam hal ini, ahli hadis, Al-Hakim, dinilai
berlebihan ketika menyatakan bahwa jumlah hadis shahih tidak
lebih dari 10.000 hadis. Lihat 'Abdul Halim Mahmud,
Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha, Kairo, Al-Maktabah
Al-Tsaqafiyah, 1967, h. 59. Walaupun demikian, harus diakui
bahwa sebagian besar hadis Nabi direkam bukan dalam bentuk
tulisan, tetapi hapalan.
120 Tiga syarat
lainnya adalah: Pertama, perawi hadis tersebut tepercaya
dari segi pandangan agama, tidak berbohong. Kedua, kuat
hapalannya. Dan ketiga, bersambung sanadnya dalam pengertian
bahwa rentetan para perawinya pernah saling bertemu atau
diduga pernah bertemu.
|