| |
|
KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN (1/3) Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Judul bahasan ini mendahulukan kata keadilan daripada kesejahteraan. Memang, terjadi silang pendapat mengenai apa yang harus didahulukan, apakah kesejahteraan atau keadilan? Dari sekian ayat ditemukan isyarat perlunya mendahulukan keadilan. Perhatikan misalnya surat Al-Ma-idah (5): 8, Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Lalu hubungkanlah dengan firman-Nya: Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (Tetapi) mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS Al-A'raf [7]: 96) Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat kepadamu, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai (QS Nuh [71]: 10-12). Dari rangkaian ayat di atas terlihat bahwa keadilan akan mengantarkan kepada ketakwaan, dan ketakwaan menghasilkan kesejahteraan. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pembahasan pertama tulisan ini adalah tentang keadilan. MAKNA KEADILAN Keadilan adalah kata jadian dari kata "adil" yang terambil dari bahasa Arab " 'adl". Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti "sama". Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "adil" diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang. "Persamaan" yang merupakan makna asal kata "adil" itulah yang menjadikan pelakunya "tidak berpihak", dan pada dasarnya pula seorang yang adil "berpihak kepada yang benar" karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu "yang patut" lagi "tidak sewenang-wenang". Keadilan diungkapkan oleh Al-Quran antara lain dengan kata-kata al-'adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. 'Adl, yang berarti "sama", memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi "persamaan". Qisth arti asalnya adalah "bagian" (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya "persamaan". Bukankah bagian dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth lebih umum daripada kata 'adl, dan karena itu pula ketika Al-Quran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya. Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Nisa' (4): 135, Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri... Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan. Oleh karena itu, mizan, adalah "alat untuk menimbang". Namun dapat pula berarti "keadilan", karena bahasa seringkali menyebut "alat" untuk makna "hasil penggunaan alat itu". KEADILAN DALAM AL-QURAN Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih, melainkan Al-Quran juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis, atau bersikap batin. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat...! (QS Al-An'am [6]: 152). Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang menulis dengan adil (QS Al-Baqarah [2]: 282). Kehadiran para Rasul ditegaskan Al-Quran bertujuan untuk menegakkan sistem kemanusiaan yang adil. Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid [57]: 25). Al-Quran memandang kepemimpinan sebagai "perjanjian Ilahi" yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan menegakkan keadilan. Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia." Dia (Ibrahim) berkata, (Saya bermohon agar) termasuk juga keturunan-keturunanku "Allah berfirman, "Perjanjian-Ku ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim" (QS Al-Baqarah [2]: 124). Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat di atas bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan. Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan: Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan) (QS Al-Rahman [55]: 7) Walhasil, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang keadilan, dari tauhid sampai keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi. RAGAM MAKNA KEADILAN Ketiga kata -qisth, 'adl, dan mizan- pada berbagai bentuknya digunakan oleh Al-Quran dalam konteks perintah kepada manusia untuk berlaku adil. Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan al-qisth (keadilan)" (QS Al-A'raf [7]: 29) Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan) (QS Al-Nahl [16]: 90) Dan langit ditinggikan-Nya dan Dia meletakkan neraca (keadilan) agar kamu tidak melampaui batas tentang neraca itu (QS Al-Rahman [55]: 7-8). Ketika Al-Quran menunjuk Zat Allah yang memiliki sifat adil, kata yang digunakanNya hanya Al-qisth (QS Ali 'Imran [31: 18). Kata 'adl yang dalam berbagai bentuk terulang dua puluh delapan kali dalam Al-Quran, tidak satu pun yang dinisbatkan kepada Allah menjadi sifat-Nya. Di sisi lain, seperti dikemukakan di atas, beragam aspek dan objek keadilan telah dibicarakan oleh Al-Quran; pelakunya pun demikian. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para pakar agama. Pertama, adil dalam arti "sama" Anda dapat berkata bahwa si A adil, karena yang Anda maksud adalah bahwa dia memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam surat Al-Nisa' (4): 58 dinyatakan bahwa, Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil... Kata "adil" dalam ayat ini -bila diartikan "sama"- hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya ihwal tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya yang termasuk dalam proses pengambilan keputusan. Apabila persamaan dimaksud mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka terima dari keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud nyata kezaliman. Al-Quran mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada Nabi Daud a.s. untuk mencari keadilan. Orang pertama memiliki sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan orang kedua hanya memiliki seekor. Pemilik kambing yang banyak mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap seratus. Nabi Daud tidak memutuskan perkara ini dengan membagi kambing-kambing itu dengan jumlah yang sama, melainkan menyatakan bahwa pemilik sembilan puluh sembilan kambing itu telah berlaku aniaya atas permintaannya itu (QS Shad [38]: 23). Kedua, adil dalam arti "seimbang" Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang) (QS Al-Infithar [82]: 6-7). Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi kesetimbangan (keadilan). Contoh lain tentang keseimbangan adalah alam raya bersama ekosistemnya. Al-Quran menyatakan bahwa, (Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang. Amatilah berulang-ulang! Adakah kamu melihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS Al-Mulk [67]: 3) Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian (keproporsionalan), bukan lawan kata "kezaliman". Perlu dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Petunjuk-petunjuk Al-Quran yang membedakan satu dengan yang lain, seperti pembedaan lelaki dan perempuan pada beberapa hak waris dan persaksian -apabila ditinjau dari sudut pandang keadilan- harus dipahami dalam arti keseimbangan, bukan persamaan. Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan dan mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya mengantarkan kepada pengertian Keadilan Ilahi. Matahari dan bulan beredar dengan perhitungan yang amat teliti (QS Al-Rahman [55]: 5). Sesungguhuga Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya (QS Al-Qamar [54]: 49) Ketiga, adil adalah "perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya" Pengertian inilah yang didefinisikan dengan "menempatkan sesuatu pada tempatnya" atau "memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat". Lawannya adalah "kezaliman", dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri adalah lawannya. Sungguh merusak permainan (catur), jika menempatkan gajah di tempat raja, demikian ungkapan seorang sastrawan yang arif. Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi Adil di sini berarti "memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu." Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. KeadilanNya mengandung konsekuensi bahwa rahmat A h Swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Sering dinyatakan bahwa ketika A mengambil hak dari B, maka pada saat itu juga B mengambil hak dari A. Kaidah ini tidak berlaku untuk Allah Swt., karena Dia memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. Dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan firman-Nya yang menunjukkan Allah Swt. sebagai qaiman bilqisth (yang menegakkan keadilan) (QS Ali 'Imram [3]: 18), atau ayat lain yang mengandung arti keadilan-Nya seperti: Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hambaNya (QS Fushshilat [41]: 46). KEADILAN MENCAKUP SEMUA HAL Seperti dikemukakan di atas, Allah menciptakan dan mengelola alam raya ini dengan keadilan, dan menuntut agar keadilan mencakup semua aspek kehidupan. Akidah, syariat atau hukum, akhlak, bahkan cinta dan benci. Dan Kamu pasti tidak akan dapat berlaku adil di antara wanita-wanita (istri-istrimu dalam hal cinta), walaupun kamu berusaha keras ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), dan membiarkan yang lain terkatung-katung (QS Al-Nisa' [4]: 129). Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu. Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (QS Al-Nisa' [14]: 135) Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil (QS Al-Ma-idah [5]: 8) Kebencian tidak pernah dapat dijadikan alasan untuk mengorbankan keadilan, walaupun kebencian itu tertuju kepada kaum non-Muslim, atau didorong oleh upaya memperoleh ridhaNya. Itu sebabnya Rasul Saw. mewanti-wanti agar, Berhati-hatilah terhadap doa (orang) yang teraninya, walaupun dia kafir, karena tidak ada pemisah antara doanya dengan Tuhan. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan "tuqsithu" (berlaku adil) terhadap orang-orang (kafir) yang tidak menerangimu karena agama, dan tidak mengusirmu dari negerimu atau membantu orang lain untuk mengusir kamu... (QS Al-Mumtahanah [60]: 8). ---------------- (bersambung 2/3) WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |