Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

AGAMA
 
Tidak mudah mendefinisikan agama, apalagi di  dunia  ini  kita
menemukan   kenyataan  bahwa  agama  amat  beragam.  Pandangan
seseorang  terhadap  agama,   ditentukan   oleh   pemahamannya
terhadap  ajaran  agama itu sendiri. Ketika pengaruh gereja di
Eropa  menindas  para  ilmuwan  akibat  penemuan  mereka  yang
dianggap  bertentangan  dengan  kitab  suci, para ilmuwan pada
akhirnya menjauh dari agama bahkan meninggalkannya.
 
Persoalan yang menjadi topik  pembicaraan  kita  mau  tak  mau
harus  muncul,  "Apakah  agama  masih relevan dengan kehidupan
masa kini  yang  cerminannya  seperti  digambarkan  di  atas?"
Sebelum   menjawab,  perlu  terlebih  dahulu  dijawab:  Apakah
manusia dapat  melepaskan  diri  dari  agama?"  Atau,  "Adakah
alternatif lain yang dapat menggantikannya?"
 
Dalam  pandangan  Islam,  keberagamaan adalah fithrah (sesuatu
yang   melekat   pada   diri   manusia   dan   terbawa   sejak
kelahirannya):
 
     Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah itu
     (QS Ad-Rum [30]: 30)
 
Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan  diri  dari  agama.
Tuhan  menciptakan  demikian, karena agama merupakan kebutuhan
hidupnya. Memang manusia  dapat  menangguhkannya  sekian  lama
--boleh  jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada
akhirnya, sebelum ruh rmeninggalkan jasad, ia  akan  merasakan
kebutuhan    itu.    Memang,   desakan   pemenuhan   kebutuhan
bertingkat-tingkat.  Kebutuhan  manusia  terhadap  air   dapat
ditangguhkan  lebih  lama dibandingkan kebutuhan udara. Begitu
juga   kebutuhan   manusia   makanan,   jauh   lebih   singkat
dibandingkan dengan kebutuhan manusia untuk menyalurkan naluri
seksual. Demikian juga kebutuhan manusia terhadap agama  dapat
ditangguhkan, tetapi tidak untuk selamanya.
 
Ketika  terjadi  konfrontasi  antara  ilmuwan  di Eropa dengan
Gereja, ilmuwan meninggalkan agama, tetapi tidak lama kemudian
mereka  sadar  akan  kebutuhan kepada pegangan yang pasti, dan
ketika itu, mereka menjadikan "hati nurani" sebagai alternatif
pengganti  agama.  Namun  tidak lama kemudian mereka menyadari
bahwa  alternatif  ini,  sangat  labil,  karena  yang  dinamai
"nurani"   terbentuk   oleh   lingkungan  dan  latar  belakang
pendidikan, sehingga nurani Si A dapat berbeda  dengan  Si  B,
dan  dengan  demikian  tolok  ukur  yang  pasti menjadi sangat
rancu.
 
Setelah   itu   lahir    filsafat    eksistensialisme,    yang
mempersilakan  manusia  melakukan  apa  saja  yang dianggapnya
baik, atau menyenangkan tanpa mempedulikan nilai-nilai.
 
Namun, itu semua tidak dapat menjadikan agama tergusur, karena
seperti  dikemukakan  di atas ia tetap ada dalam diri manusia,
walaupun keberadaannya kemudian tidak diakui  oleh  kebanyakan
manusia itu sendiri.
 
William James menegaskan bahwa, "Selama manusia masih memiliki
naluri cemas  dan  mengharap,  selama  itu  pula  ia  beragama
(berhubungan  dengan Tuhan)." Itulah sebabnya mengapa perasaan
takut  merupakan  salah  satu  dorongan  yang  terbesar  untuk
beragama.
 
     I1mu mempercepat Anda sampai ke tujuan, agama
     menentukan arah yang dituju.
     
     I1mu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan
     agama menyesuaikan dengan jati dirinya.
     
     I1mu hiasan 1ahir, dan agama hiasan batin.
     
     I1mu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama
     memberi harapan dan dorongan bagi jiwa.
     
     I1mu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan
     "bagaimana", dan agama menjawab yang dimulai dengan
     "mengapa."
     
     Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya,
     sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang
     tulus.
 
Demikian Murtadha Muthahhari menjelaskan sebagian  fungsi  dan
peranan agama dalam kehidupan ini, yang tidak mampu diperankan
oleh ilmu dan teknologi. Bukankah kenyataan  hidup  masyarakat
Barat membuktikan hal tersebut?
 
Manusia  terdiri dari akal, jiwa, dan jasmani. Akal atau rasio
ada wilayahnya. Tidak semua persoalan bisa  diselesaikan  atau
bahkan  dihadapi  oleh  akal.  Karya  seni tidak dapat dinilai
semata-mata oleh akal, karena  yang  lebih  berperan  di  sini
adalah  kalbu.  Kalau demikian, keliru apabila seseorang hanya
mengandalkan akal semata-mata.
 
Akal bagaikan kemampuan berenang. Akal berguna  saat  berenang
di  sungai  atau  di  laut  yang tenang, tetapi bila ombak dan
gelombang telah membahana, maka yang pandai berenang dan  yang
tidak bisa berenang sama-sama membutuhkan pelampung.
 
Dalam  hubungannya  dengan  pengembangan  ilmu pengetahuan dan
teknologi, agama sesungguhnya sangat berperan,  terutama  jika
manusia  tetap  ingin  jadi  manusia.  Ambillah sebagai contoh
bidang bio-teknologi. Ilmu manusia sudah sampai  kepada  batas
yang menjadikannya dapat berhasil melakukan rekayasa genetika.
Apakah keberhasilan ini akan dilanjutkan sehingga menghasilkan
makhluk-makhluk hidup yang dapat menjadi tuan bagi penciptanya
sendiri? Apakah ini baik atau buruk?  Yang  dapat  menjawabnya
adalah nilai-nilai agama, dan bukan seni, bukan pula filsafat.
 
Jika  demikian,  maka  tidak  ada  alternatif  lain yang dapat
menggantikan  agama.  Mereka  yang  mengabaikannya,   terpaksa
menciptakan "agama baru" demi memuaskan jiwanya.
 
Dalam  pandangan  sementara pakar Islam, agama yang diwahyukan
Tuhan, benihnya muncul dari pengenalan dan pengalaman  manusia
pertama  di pentas bumi. Di sini ia memerlukan tiga hal, yaitu
keindahan, kebenaran, dan kebaikan. Gabungan ketiganya dinamai
suci.  Manusia  ingin mengetahui siapa atau apa Yang Mahasuci,
dan ketika itulah dia menemukan Tuhan, dan sejak itu  pula  ia
berusaha   berhubungan   dengan-Nya   bahkan   berusaha  untuk
meneladani  sifat-sifat-Nya.   Usaha   itulah   yang   dinamai
beragama,   atau   dengan   kata   lain,  keberagamaan  adalah
terpatrinya rasa kesucian dalam  jiwa  beseorang.  Karena  itu
seorang  yang  beragama akan selalu berusaha untuk mencari dan
mendapatkan yang benar, yang baik, lagi yang indah.
 
Mencari  yang  benar  menghasilkan  ilmu,  mencari  yang  baik
menghasi1kan akhlak, dan mencari yang indah menghasilkan seni.
 
Jika  demikian,  agama bukan saja merupakan kebutuhan manusia,
tetapi juga selalu relevan dengan kehidupannya. Adakah manusia
yang tidak mendambakan kebenaran, keindahan dan kebaikan?
 
IDE DASAR PERDAMAIAN
 
Agaknya,  cukup  dengan  memahami  makna  nama agama ini yakni
Islam, seseorang telah dapat mengetahui bahwa ia adalah  agama
yang  mendambakan  perdamaian.  Cukup juga dengan mendengarkan
ucapan  yang  dianjurkan   untuk   disampaikan   pada   setiap
pertemuan.  "Assalamu  'Alaikum" (Damai untuk Anda), seseorang
dapat menghayati bahwa kedamaian yang didambakan  bukan  hanya
untuk  diri  sendiri,  tetapi  juga  untuk  pihak  lain. Kalau
demikian, tidak heran jika salah  satu  ciri  seorang  Muslim,
adalah seperti sabda Nabi Muhammad Saw.
 
     Siapa yang menyelamatkan orang lain (yang mendambakan
     kedamaian) dari gangguan lidahnya dan tangannya.
 
Perdamaian merupakan salah satu ciri  utama  agama  Islam.  Ia
lahir  dari  pandangan  ajarannya  tentang  Allah,  Tuhan Yang
Mahakuasa, alam, dan manusia.
 
Allah,  Tuhan  Yang  Maha  Esa,  adalah  Maha  Esa,  Dia  yang
menciptakan  segala  sesuatu  berdasarkan kehendak-Nya semata.
Semua ciptaan-Nya  adalah  baik  dan  serasi,  sehingga  tidak
mungkin kebaikan dan keserasian itu mengantar kepada kekacauan
dan pertentangan. Dari sini bermula kedamaian  antara  seluruh
ciptaan-Nya.
 
Makhluk  hidup  diciptakan dari satu sumber: "Kami menciptakan
semua yang hidup dan air" (QS Al-Anbiya' [21]:  22).  Manusia,
yang  merupakan  salah  satu  unsur  yang  hidup  itu, juga di
ciptakan dari satu sumber yakni  thin  (tanah  yang  bercampur
air)  melalui  seorang ayah dan seorang ibu, sehingga manusia,
bukan saja  harus  hidup  berdampingan  dan  harmonis  bersama
manusia  lain,  tetapi  juga dengan makhluk hidup lain, bahkan
dengan alam raya, apalagi yang berada di  bumi  ini.  Bukankah
eksistensinya  lahir dari tanah, bumi tempat dia berpijak, dan
kelak ia akan kembali ke sana?
 
Demikian ide dasar ajaran  Islam,  yang  melahirkan  keharusan
adanya kedamaian bagi seluruh makhluk.
 
Benar   bahwa  agama  ini  memerintahkan  untuk  mempersiapkan
kekuatan guna menghadapi musuh. Namun persiapan itu tidak lain
kecuali    --menurut    istilah    Al-Quran--   adalah   untuk
menakut-nakuti mereka (yang bermaksud melahirkan kekacauan dan
disintegrasi)   (QS  Al-Anfal  [8]:  60).  Peperangan  --kalau
terjadi--  tidak  dibenarkan   kecuali   untuk   menyingkirkan
penganiayaan,  itu  pun dalam batas-batas tertentu. Anak-anak,
orang tua, kaum lemah, bahkan pepohonan harus dilindungi,  dan
atas dasar ini, datang petunjuk Tuhan yang menyatakan:
 
     Kalau mereka cenderung kepada perdamaian, maka
     sambutlah kecenderungan itu, dan berserah dirilah
     kepada Allah (QS Al-Anfal [8]: 61).
 
KERUKUNAN DAN DEMOKRASI
 
Biasanya yang paling  berharga  bagi  sesuatu  adalah  dirinya
sendiri.  Ini  berarti  yang paling berharga buat agama adalah
agama itu sendiri. Karenanya setiap agama menuntut pengorbanan
apa  pun  dari  pemeluknya demi mempertahankan kelestariannya.
Namun   demikian,   Islam   datang   tidak   hanya   bertujuan
mempertahankan   eksistensinya   sebagai  agama,  tetapi  juga
mengakui eksistensi agama-agama lain, dan memberinya hak untuk
hidup  berdampingan  sambil  menghormati pemeluk-pemeluk agama
lain.
 
     Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah (penganut
     agama lain) ... (QS Al-An'am [6): 108).
     
     Tiada paksaan untuk menganut agama (Islam) (QS
     Al-Baqarah [2]: 256).
     
     Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun [109]:
     6)
 
Surat Al-Hajj (22): 40 menyatakan:
 
     "Seandainya Allah tidak meno1ak keganasan sebagian
     orang atas sebagian yang lain (tidak mendorong kerja
     sama antara manusia), niscaya rubuhlah biara-biara,
     gereja~gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan
     masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama
     Allah."
 
Ayat ini dijadikan oleh sebagian  ulama,  seperti  Al-Qurthubi
(w.   671   H),   sebagai  argumentasi  keharusan  umat  Islam
memelihara  tempat-tempat  ibadah  umat  non-Muslim.   Memang,
A1-Quran sendiri amat tegas menyatakan bahwa,
 
     Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan
     seluruh manusia menjadi satu umat saja (QS Al-Nahl
     [16]: 93).
 
Tetapi  Allah  tidak menghendaki yang demikian, karena itu Dia
memberikan kebebasan  kepada  manusia  untuk  memilih  sendiri
jalan  yang  dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara
jelas dan bertanggung jawab. Di sini dapat ditarik  kesimpulan
bahwa kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama,
adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap insan.
 
Yang dikemukakan ayat Al-Quran tersebut merupakan  salah  satu
benih  dari  ajaran  demokrasi,  hal mana kemudian akan nampak
dengan jelas dalam petunjuk-petunjuk Kitab  Suci.  Salah  satu
yang  dapat  dikemukakan  di  sini adalah pengalaman Nabi Saw.
dalam  peperangan  Uhud  serta  kaitannya  dengan  ayat   yang
memerintahkan   musyawarah.   Sejarah  menginformasikan  bahwa
ketika terdengar berita rencana serangan musuh-musuh Nabi Saw.
dari Makkah ke Madinah, Nabi Saw. berpendapat bahwa lebih baik
menunggu mereka hingga sampai ke kota Madinah. Namun mayoritas
sahabat-sahabatnya  dengan penuh semangat mendesak beliau agar
menghadapi mereka di luar kota, yakni di Uhud. Karena  desakan
itu,  akhirnya  Nabi  menyetujui.  Tetapi,  ternyata,  puluhan
sahabat  Nab~  gugur  dalam   peperangan   tersebut   sehingga
menimbulkan  penyesalan.  Setelah  pengalaman  pahit mengikuti
pendapat mayoritas ini, justu Al-Quran turun memberi  petunjuk
kepada Nabi Muhammad Saw., agar tetap melakukan musyawarah dan
selalu bertukar pikiran dengan sahabat-sahabatnya (baca QS Ali
'Imran [3]: 159).
 
Demikian  terlihat  kebebasan beragama, mengemukakan pendapat,
dan demokrasi, merupakan prinsip-prinsip ajaran Islam.
 
Atas dasar itu pula, kitab suci umat Islam mengakui  kenyataan
tentang  banyaknya  jalan  yang  dapat  ditempuh umat manusia.
Mereka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam  kebaikan  (QS
Al-Baqarah [2]: 148), kesemuanya demi kedamaian dan kerukunan:
 
     Allah memberi petunjuk melalui wahyu-Nya siapa yang
     mengikuti keridhaan-Nya dengan menelusuri jalan-jalan
     kedamaian (QS Al-Maidah [5]: 16).
 
Sekali lagi ditemukan bahwa kebhinekaan diakui atau  ditampung
selama  bercirikan  kedamaian.  Bahkan dalam rangka mewujudkan
kedamaian dengan pihak lain, Islam  menganjurkan  dialog  yang
baik  (QS  Al-Nahl  [16]:  125). Dan dalam dialog itu, seorang
Muslim tidak dianjurkan untuk mengklaim kepada mitra dialognya
bahwa kebenaran hanya menjadi miliknya.
 
     Katakanlah, Kami atau Anda yang berada dalam kebenaran
     atau kesesatan yang nyata (QS Saba' [34]: 24).
 
Bahkan lebih jauh dari itu Kitab Suci umat  Islam  mengajarkan
kata  atau  kalimat-kalimat  dialog  yang  pada lahirnya dapat
dinilai "merugikan". Perhatikan terjemahan ayat berikut:
 
     Kamu sekalian tidak akan diminta untuk
     mempertanggungjawabkan dosa-dosa kami. Kami pun tidak
     akan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kalian.
     (QS Saba' [34]: 25) .
 
Kita  menamai  perbuatan  kita  dosa,  dan   tidak   menamakan
perbuatan   mitra   dialog  non-Muslim  sebagai  dosa,  tetapi
menyebutnya sebagai "perbuatan".
 
Perdamaian dan kerukunan yang didambakan Islam, bukankah  yang
bersifat  semu, tetapi yang memberi rasa aman pada jiwa setiap
insan. Karena itu, langkah pertama  yang  dilakukannya  adalah
mewujudkannya  dalam  jiwa  setiap  pribadi.  Setelah  itu  ia
melangkah  kepada  unit  terkecil   dalam   masyarakat   yakni
keluarga.  Dari sini ia beralih ke masyarakat luas, seterusnya
kepada seluruh  bangsa  di  permukaan  bumi  ini,  dan  dengan
demikian  dapat  tercipta perdamaian dunia, dan dapat terwujud
hubungan harmonis serta toleransi dengan semua pihak.
 
Demikian, sekelumit ajaran Islam.  Kalau  kenyataan  di  dunia
Islam  berbeda  dengan  apa yang tersurat dalam petunjuk agama
ini, maka yang keliru adalah pelaku ajaran dan bukan ajarannya
itu  sendiri.  Sungguh tepat pernyataan Syaikh Muhammad Abduh,
"Al-Islam  mahjub  bil  muslimin"  (Keindahan   ajaran   Islam
ditutupi oleh kelakuan sementara umat Islam).
 
AGAMA ISLAM DALAM KEHIDUPAN MODERN
 
Berbicara tentang agama Islam dalam kehidupan modern, terlebih
dahulu  perlu  digarisbawahi  keharusan pemisahan antara agama
dan pemeluk agama seperti  ucapan  Syaikh  Muhammad  Abduh  di
atas.
 
     Ajaran Islam tertutup oleh perilaku kaum Muslim.
 
Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus mewarnai sikap
dan  aktivitas  pemeluknya.  Puncak  dari  prinsip  itu adalah
tauhid.   Di   sekelilingnya   beredar   unit-unit    bagaikan
planet-planet  tata surya yang beredar di sekeliling matahari,
yang tidak dapat  melepaskan  diri  dari  orbitnya.  Unit-unit
tersebut antara lain:
 
  a. Kesatuan alam semesta. Dalam arti, Allah
     menciptakannya dalam keadaan amat serasi, seimbang, dan
     berada di bawah pengaturan dan pengendalian Allah Swt.
     melalui hukum-hukum yang ditetapkan-Nya.
     
  b. Kesatuan kehidupan. Bagi manusia ini berarti bahwa
     kehidupan duniawinya menyatu dengan kehidupan akhirnya.
     Sukses atau kegagalan ukhrawi, ditentukan oleh amal
     duniawinya.
     
  c. Kesatuan ilmu. Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu
     agama dan ilmu umum, karena semuanya bersumber dari
     satu sumber yaitu Allah Swt.
     
  d. Kesatuan iman dan rasio. Karena masing-masing
     dibutuhkan dan masing-masing mempunyai wilayahnya
     sehingga harus saling melengkapi.
     
  e. Kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para Nabi
     kesemuanya bersumber dari Allah Swt., prinsip-prinsip
     pokoknya menyangkut akidah, syariah, dan akhlak tetap
     sama dari zaman dahulu sampai sekarang.
     
  f. Kesatuan kepribadian manusia. Mereka semua
     diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi.
     
  g. Kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing
     harus saling menunjang.
 
Islam --dalam hal urusan hidup duniawi-- tidak memberi rincian
petunjuk, karena
 
     Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu (ketimbang
     aku).
 
Demikian sabda Nabi  Muhammad  Saw.  sebagaimana  diriwayatkan
oleh Imam Muslim.
 
Dari  prinsip-prinsip  semacam  di  atas, seorang Muslim dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan  positif  masyarakatnya,
dan  karena  itu  pula  Islam  memperkenalkan  dirinya sebagai
"Agama yang selalu sesuai dengan setiap waktu dan tempat."
 
Kitab   suci   Al-Quran   mempersilakan   umat   Islam   untuk
mengembangkan  ilmu,  menggunakan  akalnya  menyangkut  segala
sesuatu yang berada dalam wilayah  nalar,  yaitu  alam  fisika
ini.  Namun  harus disadari oleh manusia, bahwa jangankan alam
raya yang sedemikian luas,  dirinya  sendiri  sebagai  manusia
belum sepenuhnya ia kenal.
 
Islam  tidak  menghalangi  umatnya  untuk  memperoleh kekayaan
sebanyak mungkin. Bahkan harta yang  banyak  dinamainya  khair
(baik)  dalam  arti  perolehan  dan penggunaannya harus dengan
baik. Islam juga tidak melarang  umatnya  bersenang-senang  di
dunia,   hanya   digarisbawahinya   bahwa  kesenangan  duniawi
bersifat  sementara,  dan  karena   itu   jangan   sampai   ia
melengahkan   dari  kesenangan  abadi,  atau  melengahan  dari
kewajiban kepada Allah dan masyarakat.
 
Umat  Islam  diperkenalkan  oleh  Al-Quran  sebagai   ummattan
wasathan   (umat   pertengahan)   yang   tidak   larut   dalam
spiritualme, tetapi tidak juga hanyut dalam alam materialisme.
 
Seorang Muslim,  adalah  memenuhi  kebutuhannya  dan  mewarnai
kehidupannya   bukan  ala  malaikat,  tetapi  tidak  juga  ala
binatang.
 
Hubungan seks  dibenarkannya,  tetapi  karena  manusia  adalah
makhluk  terhormat,  yang terdiri dari ruhani dan jasmani maka
hubungan tersebut harus terjadi hubungan lahir dan batin,  dan
karena  itu  ia  harus  dikukuhkan  atas  nama  Tuhan, melalui
perkawinan  yang  sah  menurut  agama.  Nabi   Muhammad   saw.
bersabda:
 
     Kamu mengawini mereka (istri-istrimu) berdasarkan
     amanat Allah dan berhak menggaulinya karena kalimat
     (izin) Allah.
 
Manusia diakui sebagai makhluk yang amat mulia, dan jagat raya
ditundukkan  Tuhan  kepadanya. Ia diberi kelebihan atas banyak
makhluk-makhluk  yang  lain,  tetapi  sebagian  kelebihan  dan
keistimewaannya  --material  dan  material-- diperoleh melalui
bantuan masyarakat.
 
Bahasa dan istiadat adalah  produk  masyarakatnya.  Keuntungan
material,  tidak  dapat diraihnya tanpa partisipasi masyarakat
dalam  membeli  bagi  pedagang,  dan  adanya   irigasi   walau
sederhana  bagi  petani,  serta stabilitas keamanan bagi semua
pihak, yang tidak diwujudkan oleh seorang saja.
 
Kalau demikian, wajar jika hak asasinya harus dikaitkan dengan
kepentingan   masyarakatnya  serta  ketenangan  orang  banvak.
Pandangan Barat yang menyatakan:  "Anda  boleh  melakukan  apa
saja  selama  tidak  melanggar  hak orang lain", tidak sejalan
dengan tuntutan moral  Al-Quran  yang  menyatakan:  "Hendaklah
Anda  mengorbankan sebagian kepentingan Anda guna kepentingcan
orang lain."
 
     Mereka (kelompok Anshar) mengutamakan (orang-orang
     Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka
     dalam kesusahan. Siapa yang dipelihara dari kekikiran
     dirinya, mereka dalam kekikiran dunianya, mereka itulah
     orang-orang beruntung (QS Al-Hasyr [59]: 9).
 
Demikian sekelumit pembahasan tentang agama.[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team