| |
|
Berbicara mengenai wawasan Al-Qur'an tentang suatu masalah tidak akan sempurna, bahkan boleh jadi keliru, jika pandangan hanya tertuju kepada satu dua ayat yang berbicara menyangkut hal tersebut. Karena cara demikian akan melahirkan pandangan parsial yang tidak sejalan dengan tujuan pemahaman wawasan, lebih-lebih bila analisis dilakukan terlepas dari konteks (munasabah) ayat, sejarah, asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat), penjelasan Nabi (As-Sunnah), dan sebagainya, yang dihimpun oleh pakar-pakar Al-Qur'an dengan istilah pendekatan "tematis" (maudhu'i). Bahasan ini mencoba menerapkan metode tersebut, walaupun dalam bentuk yang terbatas - karena penerapannya secara sempurna membutuhkan waktu yang tidak singkat, rujukan yang memadai, serta kemampuan analisis yang dalam. Namun demikian, keterbatasan di atas, akan diusahakan untuk ditutupi dengan menyajikan pandangan beberapa pakar berkompeten dalam bidang Al-Qur'an. ISTILAH-ISTILAH AL-QUR'AN Salah satu keistimewaan Al-Qur'an adalah ketelitian redaksinya. Tidak heran, karena redaksi tersebut bersumber langsung dari Allah swt. Hal ini perlu digarisbawahi, bukan saja karena sekian banyak ulama melakukan analisis kebahasaan dalam mengemukakan dan atau menolak satu pendapat, tetapi juga karena Kitab Suci ini menggunakan beberapa istilah yang berbeda ketika menunjuk kepada orang Yahudi dan Nasrani, dua kelompok masyarakat yang minimal disepakati oleh seluruh ulama sebagai Ahl Al-Kitab. Selain istilah Ahl Al-Kitab, Al-Qur'an juga menggunakan istilah Utu Al-Kitab, Utu nashiban minal kitab, Al-Yahud, Al-Ladzina Hadu, Bani Israil, An Nashara, dan istilah lainnya. Kata Ahl Al-Kitab terulang di dalam Al-Qur'an sebanyak tiga puluh satu kali, Utu Al-Kitab delapan belas kali, Utu nashiban minal kitab tiga kali, Al-Yahud delapan kali, Al-Ladzina Hadu sepuluh kali, An-Nashara empat belas kali, dan Bani/Banu Isra'il empat puluh satu kali Kesan umum diperoleh bahwa bila Al-Qur'an menggunakan kata Al-Yahud maka isinya adalah kecaman atau gambaran negatif tentang mereka. Perhatikan misalnya firman-Nya tentang kebencian orang Yahudi terhadap kaum Muslim (QS Al-Maidah [5]: 82), atau ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslim sebelum umat Islam mengikuti mereka (QS Al-Baqarah [2]: 120), atau pengakuan mereka bahwa orang Yahudi dan Nasrani adalah putra-putra dan kinasih Allah (QS Al-Ma-idah [5]: 18), atau pernyataan orang Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS Al-Maidah [5]: 64), dan sebagainya. Bila Al-Qur'an menggunakan Al-Ladzina Hadu, maka kandungannya ada yang berupa kecaman, misalnya terhadap mereka yang mengubah arti kata-kata atau mengubah dan menguranginya (QS Al-Nisa, [41]: 46), atau bahwa mereka tekun mendengar (berita kaum Muslim) untuk menyebarluaskan kebohongan (QS Al-Maidah [5]: 41), dan ada juga yang bersifat netral, seperti janji bagi mereka yang beriman dengan benar untuk tidak akan mengalami rasa takut atau sedih (QS Al-Baqarah [2]: 62). Kata Nashara sama penggunaannya dengan Al-Ladzina Hadu, terkadang digunakan dalam konteks positif dan pujian, misalnya surat Al-Maidah [5]: 82 yang menjelaskan tentang mereka yang paling akrab persahabatannya dengan orang-orang Islam; dan di kali lain dalam konteks kecaman, seperti dalam surat Al-Baqarah [2]: 120 yang berbicara tentang ketidakrelaan mereka terhadap orang Islam sampai kaum Muslim mengikuti mereka. Dalam kesempatan lain kandungannya bersifat netral: bukan kecaman bukan pula pujian, seperti dalam surat Al-Hajj [22]; 17 yang membicarakan tentang putusan Tuhan yang adil terhadap mereka dan kelompok-kelompok lain, kelak di hari kemudian. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa bila Al-Qur'an menggunakan Al-Yahud, maka pasti ayat tersebut berupa kecaman atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika menggunakan kata Nashara, maka ia belum tentu bersikap kecaman, sama halnya dengan Al-Ladzina Hadu. Agaknya ini sebabnya sehingga surat Al-Baqarah [2]: 120 yang berbunyi "Lan tardha 'ankal-Yahud wa lan Nashara hatta tattabi'a millatahum (orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti agama/tatacara mereka," menggunakan kata "lan" terhadap orang Yahudi, dan kata "la" terhadap orang Nasrani. Menurut pakar-pakar bahasa Al-Qur'an, antara lain Az-Zarkasyi dalam bukunya Al-Burhan, kata "lan" digunakan untuk menafikan sesuatu di masa datang, dan penafian tersebut lebih kuat dari "la" yang digunakan untuk menafikan sesuatu, tanpa mengisyaratkan masa penafian itu, sehingga boleh saja ia terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang. Ayat di atas, secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang itu Yahudi (Ingat bukan Al-Ladzina Hadu atau Ahl Al-Kitab), maka ia pasti tidak akan rela terhadap umat Islam hingga umat Islam mengikuti agama/tatacara mereka. Dalam arti, menyetujui sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju. Mufasir besar Ar-Razi mengemukakan bahwa maksud ayat ini adalah menjelaskan: "Keadaan mereka dalam bersikeras berpegang pada kebatilan mereka, dan ketegaran mereka dalam kekufuran, bahwa mereka itu juga (di samping kekufuran itu) berkeinginan agar diikuti millat mereka. Mereka tidak rela dengan kitab (suci yang dibawa beliau), bahkan mereka berkeinginan (memperoleh) persetujuan beliau menyangkut keadaan mereka. Dengan demikian (Allah) menjelaskan kerasnya permusuhan mereka terhadap Rasul, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan keputusasaan tentang persetujuan mereka (menganut Islam)." Syaikh Muhammad Thahir bin Asyur dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kalimat hatta tattabi'a millatahum (sampai engkau mengikuti agama mereka) adalah: Kinayat (kalimat yang mengandung makna bukan sesuai bunyi teksnya) keputusasaan (tidak adanya kemungkinan) bagi orang Yahudi dan Nasrani untuk memeluk Islam ketika itu, karena mereka tidak rela kepada Rasul kecuali (kalau Rasul) mengikuti agama/tatacara mereka. Maka ini berarti bahwa mereka tidak mungkin akan mengikuti agama beliau; dan karena keikutan Nabi pada ajaran mereka merupakan sesuatu yang mustahil, maka kerelaan mereka terhadap beliau (Nabi) pun demikian. Ini sama dengan (firman-Nya): "hingga masuk ke lubang jarum" (QS Al-A'raf [7]: 40) dan (firman-Nya), "Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah (Tuhan) yang aku sembah" (QS Al-Kafirun [109]: 2-3). Dalam uraian Syaikh Fadhil di atas ditemukan kalimat "ketika itu" untuk menjelaskan bahwa keputusasaan tersebut hanya ditekankan oleh ayat ini pada Al-Yahud wan-Nashara tertentu ketika itu, bukan terhadap mereka semua, karena kenyataan menunjukkan bahwa setelah turunnya ayat ini ada di antara Ahl Al-Kitab yang memeluk agama Islam. Pengertian tersebut sama dengan firman-Nya dalam surat Yasin [36]: 10: "Sama saja bagi mereka: apakah kamu memberi peringatan kepada mereka, ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman." Yang dimaksud di sini adalah orang-orang kafir tertentu ketika itu (pada masa Nabi), bukan seluruh orang kafir karena kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian besar dari orang kafir pada masa Nabi, pada akhirnya memeluk Islam. Arti surat Al-Baqarah [2]: 120 di atas perlu ditegaskan, karena sering tertadi kesalahpahaman tentang maknanya. Dan juga sebagaimana diketahui, Yudaisme bukanlah agama dakwah, bahkan mereka cenderung eksklusif dalam bidang agama dan orang lain cenderung enggan menganut agamanya. Di sisi lain, seperti dikemukakan dalam riwayat-riwayat, sebab turunnya surat Al-Baqarah [2]: 120 di atas berkenaan dengan pemindahan kiblat shalat kaum Muslim ke arah Ka'bah, yang ditanggapi oleh non-Muslim dengan sinis, karena ketika itu kaum Yahudi Madinah dan kaum Nasrani Najran mengharapkan agar Nabi dan kaum Muslim mengarahkan shalat mereka ke kiblat mereka. Demikian pendapat Ibnu Abbas sebagaimana dikemukakan oleh As-Sayuthi dalam kaxyanya Ashab Al-Nuzul Penafian Al-Qur'an terhadap An-Nashara, tidak setegas penafiannya terhadap Al-Yahud, sehingga boleh jadi tidak semua mereka bersikap demikian. Boleh jadi juga kini dan di masa lalu demikian, tetapi masa datang tidak lagi. Walhasil penggunaan kata "la" buat mereka tidak setegas penggunaan kata "lan" untuk orang Yahudi. Dengan merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata Ahl Al-Kitab, ditemukan bahwa pembicaraan Al-Qur'an tentang mereka berkisar pada uraian tentang sikap dan sifat mereka - positif dan negatif serta sikap yang hendaknya diambil oleh kaum Muslim terhadap mereka. SIFAT DAN SIKAP AHL AL-KITAB Al-Qur'an banyak berbicara tentang sifat dan sikap Ahl Al-Kitab terhadap kaum Muslim, dan berbicara tentang keyakinan dan sekte mereka yang beraneka ragam. Surat An-Nisa, [4]: 171 dan Al-Ma-idah [5]: 77 mengisyaratkan bahwa mereka memiliki paham keagamaan yang ekstrem. "Wahai Ahl Al-Kitab, jangan melampaui batas dalam agamamu, dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuali yang hak" {QS Al-Nisa, [4]: 171). Mereka juga dinilai oleh Al-Qur'an sebagai telah mengkufuri ayat-ayat Allah, serta mengingkari kebenaran (kenabian Muhammad saw). "Wahai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya)? Hai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?" (QS Ali 'Imran [3]: 70-71). Nabi Muhammad saw. diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan kepada mereka: Katakanlah: "Hai Ahl Al-Kitab, apakah kamu memandang kami salah hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang banyak di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?" (QS Al-Ma-idah [5]: 59). Bahkan Allah Swt. secara langsung dan berkali-kali mengingatkan kaum Muslim untuk tidak mengangkat mereka sebagai pemimpin-pemimpin atau teman-teman akrab atau tempat menyimpan rahasia. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orany-orang yang zalim" (QS Al-Ma-idah [5]: 51). Dalam QS Ali 'Imran [3]: 118 kaum Muslim diingatkan untuk tidak menjadikan orang-orang di luar kalangan Muslim sebagai bithanah (teman-teman tempat menyimpan rahasia) dengan alasan bahwa: "... mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kerugian bagi kamu (kaum Muslim). Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka sedang apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda (siapa kawan dan siapa lawan), jika kalian memahaminya." (QS Ali 'Imran [3]: 118). Terhadap merekalah Nabi saw. bersabda, "Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan jangan pula pada Nasrani. Kalau kamu menemukan salah seorang di antara mereka di jalan, maka desaklah ia ke pinggiran" (HR Muslim melalui Abu Hurairah). Sahabat dan pembantu Nabi saw., Anas bin Malik, berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Apabila Ahl Al-Kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka katakanlah, Wa 'alaikum" (HR Bukhari dan Muslim) Dalam buku Dalil Al-Falihin dikemukakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum memulai ucapan salam kepada orang-orang kafir. Mayoritas melarangnya tetapi banyak juga yang membolehkan antara lain sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Namun apabila mereka mengucapkan salam, maka adalah wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk menjawab salam itu. Ulama sepakat dalam hal ini. (bersambung ke 2/4) |
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |