| |
|
EKONOMI (2/2) AKTIVITAS EKONOMI Aktivitas antar manusia --termasuk aktivitas ekonomi-- terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu'amalah (interaksi). Pesan utama Al-Quran dalam mu'amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil... (QS Al-Baqarah [2]: 188). Kata "batil" diartikan sebagai "segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama". Bukan di sini tempatnya merinci cakupan kata batil, apalagi Al-Quran --sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan bersifat ibadah murni-- pada dasarnya tidak memberikan perincian. Ini untuk memberikan peluang kepada manusia atau masyarakat yang sifatnya selalu berubah, agar menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat sepanjang sejalan dengan nilai-nilai Islam. NILAI-NILAI ISLAM Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam terangkum dalam empat prinsip pokok: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab. Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Allah mengandung konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah Swt. Dialah Pemilik mutlak dan tunggal yang dalam genggaman-Nya segala kerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorang Muslim untuk menyatakan: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi karena Allah, Tuhan seru sekalian alam. Prinsip ini menghasilkan "kesatuan-kesatuan" yang beredar dalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planet tatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antara lain, kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat, dan 1ain-lain. Keseimbangan mengantar manusia Muslim meyakini bahwa segala sesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi, Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah mengamati! Apakah engkau melihat sedikit ketimpangan? (QS Al-Mulk [67]: 3) Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi, dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya untuk menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya, bahkan alam seluruhnya. Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar seorang Muslim meyakini bahwa Allah Swt. memiliki kebebasan mutlak namun Dia juga menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilih dua jalan yang terbentang di hadapannya --baik dan buruk. Manusia yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampu menggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid dan keseimbangan di atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islam memperkenalkan konsep fardhu 'ain dan jardhu kifayah. Yang pertama adalah kewajiban individual yang tidak dapat dibebankan kepada orang lain sedang yang kedua adalah kewajiban yang bila dikerjakan oleh orang lain sehingga terpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaskanlah semua anggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bila tidak seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh sebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya, maka berdosalah setiap anggota masyarakat. Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitas setiap Muslim, termasuk aktivitas ekonominya. Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman tangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkan oleh Pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yang membutuhkan: Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang diberikan-Nya kepada kamu (QS Al-Nur [24]: 33). Dalam pandangan agama Islam, harta kekayaan bahkan segala sesuatu adalah milik Allah. Memang jika diamati dengan saksama, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan uang atau harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Di sisi lain, keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat juga partisipasi orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang --misalnya-- membutuhkan para pembeli agar hasil produksi atau barang dagangannya terjual? Bukankah petani membutuhkan irigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah para pengusaha membutuhkan stabilitas keamanan guna lancarnya roda keuangan dan perdagangan? Dan masih banyak lagi yang lain. Kalau demikian, wajar jika Allah memerintahkan manusia untuk menyisihkan sebagian dari apa yang berada dalam genggaman tangannya ("miliknya") demi kepentingan masyarakat umum. Dari sini agama menetapkan keharusan adanya fungsi sosial bagi harta kekayaan. Tauhid, yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejar keuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal dan abadi. Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuan umat manusia mengantar seorang pengusaha Muslim untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang praktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau terselubung, bahkan sampai kepada larangan menawarkan barang pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain. Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Atas dasar ini pula Al-Quran menolak dengan amat tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar pada orang-orang atau kelompok tertentu. Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja di antara kamu... (QS Al-Hasyr [59]: 7). Dari sini juga datang larangan penimbunan dan pemborosan. Hal ini tercermin pada ayat 34 surat At-Taubah yang memberikan ancaman sedemikian keras kepada para penimbun, serta sabda Nabi Muhammad Saw. berikut: Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan tujuan menaikkan harga, maka ia telah berlepas diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya. Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakar dijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untuk mencabut hak milik perusahaan spekulatif yang melakukan penimbunan, penyelundupan, dan yang mengambil keuntungan secara berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikan harga yang tidak semestinya. Di sisi lain pemborosan pun dilarang juga: Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31). Pemborosan dan sikap konsumtif dapat menimbulkan kelangkaan barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibat kenaikan harga-harga. Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskan Pemerintah untuk mengontrol harga, bahkan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar-paling tidak bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah oleh seluruh anggota masyarakat. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa: Masyarakat berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api (HR Abu Daud). Tiga komoditi ini merupakan kebutuhan masyarakat pada masa Nabi Saw., dan tentunya setiap masyarakat dapat memiliki kebutuhan-kebutuhan lain, yang dengan demikian masing-masing dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhannya. Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkan oleh manusia demi terlaksananya keadilan baik secara individu maupun kolektif. Demikian sekilas yang dilahirkan oleh prinsip dan nilai Islam dalam bidang ekonomi. Dalam perkembangan perekonomian sesudah turunnya A1-Quran telah lahir institusi-institusi serta kondisi yang diperselisihkan keabsahannya dari segi syariat seperti halnya dengan perbankan konvensional. Sementara ulama mempersamakan praktek perbankan itu dengan riba, sementara ulama lainnya mentoleransinya dengan syarat-syarat tertentu, antara lain bahwa bank yang menyalurkan kredit haruslah bank pemerintah, karena keuntungan yang diperolehnya pada akhirnya akan kembali juga ke masyarakat. Berikut akan disoroti hal tersebut dan segi penafsiran ayat riba. RIBA Keraguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan menjadikan para sahabat Nabi, seperti ucap Umar ibn Khaththab, "Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal." Ini disebabkan karena mereka tidak memperoleh informasi yang utuh tentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad Saw. Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Kalau kita hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapat dibenarkan. Ketika itu mereka berkata --seperti yang diungkapkan Al-Quran-- bahwa "jual beli sama saja dengan riba" (QS Al-Baqarah [2]: 275), Allah menjawab mereka dengan tegas bahwa "Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atau hikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan. Dalam Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat, tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah, walaupun menggunakan kata riba (QS Al-Rum [30]: 39), ulama sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain. Upaya memahami apa yang dimaksud dengan riba adalah dengan mempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khusus lagi kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut yaitu adh'afan mudha'afah (berlipat ganda), ma baqiya minarriba (apa yang tersisa dari riba) dan falakum ru'usu amwalikum, la tazlimun wa la tuzlamun. Sementara ulama, semacam Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, memahami bahwa riba yang diharamkan Al-Quran hanya riba yang berlipat ganda. Lipat ganda yang dimaksud di sini adalah "pelipatgandaan yang berkali-kali". Memang pada zaman jahiliah dan awal Islam, apabila seorang debitur yang tidak mampu membayar hutangnya pada saat yang ditentukan, ia meminta untuk ditangguhkan dengan janji membayar berlebihan, demikian berulang-ulang. Sikap semacam ini amat dikecam oleh Al-Quran, sebagaimana firman Allah: Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan menyedekahkan (semua atau sebagian dan piutang) (lebih baik untuknya jika kamu mengetahui) (QS Al-Baqarah [2]: 280). Pendapat yang memahami riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja karena masih ada ayat lain yang turun sesudahnya, yang memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil, tetapi juga karena akhir ayat yang turun tentang riba, memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba. Dan bila mereka mengabaikan hal ini, maka Tuhan mengumumkan perang terhadap mereka sedang Bila kamu bertobat, maka bagi kamu modalmu, (dengan demikian) Kami tidak menganinya dan tidak pula dianiaya (QS Al-Baqarah [2]: 279). Hemat penulis, inilah kata kunci yang terpenting dalam persoalan riba, dan atas dasar inilah kita dapat menilai transaksi hutang piutang dewasa ini, termasuk praktek-praktek perbankan. Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang riba, demikian pula hadis Nabi dan riwayat-riwayat lainnya adalah, bahwa riba yang dipraktekkan pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang, pungutan yang mengandung penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan dan jumlah hutang. Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan praktek Nabi Saw. yang membayar hutangnya dengan berlebihan. Dalam konteks pembayaran berlebihan inilah Nabi Saw. bersabda: Sebaõk-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar hutang. (Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi A'bi Rafi', yakni antara lain "melebihkan". Hanya tentu harus digarisbawahi bahwa kelebihan pembayaran itu tidak bersyarat pada awal transaksi) Nah, bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini? Ulama sejak dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinan tidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi diri orang-orang yang bertakwa. *** Demikian sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran Al-Quran tentang ekonomi. Intinya adalah keadilan, kerja sama, serta keseimbangan dan lain-lain. Dan semua itu tercakup dalam larangan melakukan transaksi apa pun yang berbentuk batil, eksploitasi atau segala bentuk penganiayaan.[] ---------------- WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |