Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

EKONOMI                                                  (2/2)

AKTIVITAS EKONOMI

Aktivitas antar manusia --termasuk aktivitas ekonomi-- terjadi
melalui  apa  yang  diistilahkan  oleh  ulama dengan mu'amalah
(interaksi). Pesan utama  Al-Quran  dalam  mu'amalah  keuangan
atau aktivitas ekonomi adalah:

     Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
     atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara
     batil... (QS Al-Baqarah [2]: 188).

Kata  "batil"   diartikan   sebagai   "segala   sesuatu   yang
bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama".

Bukan  di  sini  tempatnya merinci cakupan kata batil, apalagi
Al-Quran --sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan
bersifat   ibadah   murni--  pada  dasarnya  tidak  memberikan
perincian. Ini untuk memberikan peluang  kepada  manusia  atau
masyarakat  yang  sifatnya  selalu  berubah, agar menyesuaikan
diri dengan  perubahan  masyarakat  sepanjang  sejalan  dengan
nilai-nilai Islam.

NILAI-NILAI ISLAM

Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam  terangkum
dalam  empat  prinsip  pokok:  tauhid,  keseimbangan, kehendak
bebas, dan tanggung jawab.

Tauhid  mengantar  manusia  mengakui   bahwa   keesaan   Allah
mengandung   konsekuensi   keyakinan   bahwa   segala  sesuatu
bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah  Swt.  Dialah
Pemilik  mutlak  dan  tunggal  yang dalam genggaman-Nya segala
kerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorang
Muslim untuk menyatakan:

     Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
     adalah semata-mata demi karena Allah, Tuhan seru
     sekalian alam.

Prinsip  ini  menghasilkan  "kesatuan-kesatuan"  yang  beredar
dalam   orbit  tauhid,  sebagaimana  beredarnya  planet-planet
tatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antara
lain, kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia
dan akhirat, dan 1ain-lain.

Keseimbangan mengantar manusia Muslim  meyakini  bahwa  segala
sesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi,

     Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan
     dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah
     mengamati! Apakah engkau melihat sedikit ketimpangan?
     (QS Al-Mulk [67]: 3)

Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi,
dan  selaras  dengan  dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya
untuk menciptakan ketiga  hal  tersebut  dalam  masyarakatnya,
bahkan alam seluruhnya.

Kehendak  bebas  adalah  prinsip yang mengantar seorang Muslim
meyakini bahwa Allah Swt. memiliki kebebasan mutlak namun  Dia
juga  menganugerahkan  kepada  manusia kebebasan untuk memilih
dua jalan yang terbentang  di  hadapannya  --baik  dan  buruk.
Manusia  yang  baik  di  sisi-Nya  adalah  manusia  yang mampu
menggunakan kebebasan itu dalam rangka  penerapan  tauhid  dan
keseimbangan  di  atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab
baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islam
memperkenalkan  konsep  fardhu  'ain  dan jardhu kifayah. Yang
pertama  adalah  kewajiban   individual   yang   tidak   dapat
dibebankan   kepada   orang  lain  sedang  yang  kedua  adalah
kewajiban  yang  bila  dikerjakan  oleh  orang  lain  sehingga
terpenuhi  kebutuhan  yang dituntut, maka terbebaskanlah semua
anggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bila
tidak  seorang  pun  yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh
sebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya,  maka
berdosalah setiap anggota masyarakat.

Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitas
setiap Muslim, termasuk aktivitas ekonominya.

Prinsip tauhid mengantarkan  manusia  dalam  kegiatan  ekonomi
untuk  menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman
tangannya adalah milik Allah, yang antara  lain  diperintahkan
oleh   Pemiliknya   agar   diberikan  (sebagian)  kepada  yang
membutuhkan:

     Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang
     diberikan-Nya kepada kamu (QS Al-Nur [24]: 33).

Dalam pandangan agama  Islam,  harta  kekayaan  bahkan  segala
sesuatu   adalah  milik  Allah.  Memang  jika  diamati  dengan
saksama, hasil-hasil produksi  yang  dapat  menghasilkan  uang
atau harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia
dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh  Tuhan  Yang  Maha
Esa.

Di   sisi   lain,  keberhasilan  para  pengusaha  bukan  hanya
disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi  terdapat  juga
partisipasi orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang
--misalnya-- membutuhkan para pembeli agar hasil produksi atau
barang   dagangannya   terjual?  Bukankah  petani  membutuhkan
irigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah  para  pengusaha
membutuhkan  stabilitas  keamanan guna lancarnya roda keuangan
dan perdagangan?  Dan  masih  banyak  lagi  yang  lain.  Kalau
demikian,   wajar   jika  Allah  memerintahkan  manusia  untuk
menyisihkan sebagian dari  apa  yang  berada  dalam  genggaman
tangannya  ("miliknya") demi kepentingan masyarakat umum. Dari
sini agama menetapkan  keharusan  adanya  fungsi  sosial  bagi
harta kekayaan.

Tauhid,   yang   menghasilkan  keyakinan  kesatuan  dunia  dan
akhirat, mengantar  seorang  pengusaha  untuk  tidak  mengejar
keuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal
dan abadi.

Prinsip tauhid yang menghasilkan  pandangan  tentang  kesatuan
umat   manusia   mengantar   seorang  pengusaha  Muslim  untuk
menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia.
Dari  sini  dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang
praktek  riba  dan  pencurian,  tetapi  juga  penipuan   walau
terselubung,  bahkan  sampai kepada larangan menawarkan barang
pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain.

Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk
monopoli  dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau
satu kelompok. Atas dasar ini  pula  Al-Quran  menolak  dengan
amat tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar
pada orang-orang atau kelompok tertentu.

     Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang
     kaya saja di antara kamu... (QS Al-Hasyr [59]: 7).

Dari sini juga datang larangan penimbunan dan pemborosan.  Hal
ini  tercermin  pada  ayat  34 surat At-Taubah yang memberikan
ancaman sedemikian keras kepada  para  penimbun,  serta  sabda
Nabi Muhammad Saw. berikut:

     Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari,
     dengan tujuan menaikkan harga, maka ia telah berlepas
     diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya.

Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakar
dijadikan  dasar  pemberian  wewenang  kepada  penguasa  untuk
mencabut  hak  milik  perusahaan  spekulatif  yang   melakukan
penimbunan,   penyelundupan,  dan  yang  mengambil  keuntungan
secara berlebihan, karena  penimbunan  mengakibatkan  kenaikan
harga yang tidak semestinya.

Di sisi lain pemborosan pun dilarang juga:

     Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan;
     sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
     berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).

Pemborosan dan sikap konsumtif  dapat  menimbulkan  kelangkaan
barang-barang  yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibat
kenaikan harga-harga.

Dalam rangka memelihara  keseimbangan  itu,  Islam  menugaskan
Pemerintah    untuk   mengontrol   harga,   bahkan   melakukan
langkah-langkah yang  diperlukan  untuk  menjamin  agar-paling
tidak bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah
oleh seluruh anggota masyarakat.

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa:

     Masyarakat berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan
     api (HR Abu Daud).

Tiga komoditi ini merupakan  kebutuhan  masyarakat  pada  masa
Nabi  Saw.,  dan  tentunya  setiap  masyarakat  dapat memiliki
kebutuhan-kebutuhan lain, yang dengan  demikian  masing-masing
dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhannya.

Semua  hal  yang  disebut  di atas harus dipertanggungjawabkan
oleh manusia demi terlaksananya keadilan baik secara  individu
maupun kolektif.

Demikian  sekilas yang dilahirkan oleh prinsip dan nilai Islam
dalam bidang ekonomi.

Dalam  perkembangan  perekonomian  sesudah  turunnya  A1-Quran
telah    lahir    institusi-institusi   serta   kondisi   yang
diperselisihkan keabsahannya dari segi syariat seperti  halnya
dengan  perbankan  konvensional. Sementara ulama mempersamakan
praktek perbankan itu dengan  riba,  sementara  ulama  lainnya
mentoleransinya  dengan  syarat-syarat  tertentu,  antara lain
bahwa bank yang menyalurkan kredit haruslah  bank  pemerintah,
karena keuntungan yang diperolehnya pada akhirnya akan kembali
juga ke masyarakat. Berikut akan  disoroti  hal  tersebut  dan
segi penafsiran ayat riba.

RIBA

Keraguan  terjerumus  ke dalam riba yang diharamkan menjadikan
para  sahabat  Nabi,  seperti   ucap   Umar   ibn   Khaththab,
"Meninggalkan  sembilan  per  sepuluh  dari  yang  halal." Ini
disebabkan karena mereka tidak memperoleh informasi yang  utuh
tentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad Saw.

Kata  riba  dari  segi  bahasa berarti "kelebihan". Kalau kita
hanya berhenti pada makna kebahasaan  ini,  maka  logika  yang
dikemukakan   para   penentang   riba  pada  masa  Nabi  dapat
dibenarkan.  Ketika  itu   mereka   berkata   --seperti   yang
diungkapkan Al-Quran-- bahwa "jual beli sama saja dengan riba"
(QS Al-Baqarah [2]: 275), Allah menjawab mereka  dengan  tegas
bahwa  "Allah  menghalalkan  jual beli dan mengharamkan riba."
Penegasan ini dikemukakan-Nya  tanpa  menyebut  alasan  secara
eksplisit,  namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atau
hikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan.

Dalam Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam
empat  surat,  tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan
satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di  Makkah,
walaupun  menggunakan  kata  riba  (QS Al-Rum [30]: 39), ulama
sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram
karena  ia  diartikan  sebagai pemberian hadiah, yang bermotif
memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain.

Upaya memahami apa yang dimaksud  dengan  riba  adalah  dengan
mempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khusus
lagi kata-kata kunci pada ayat-ayat  tersebut  yaitu  adh'afan
mudha'afah  (berlipat  ganda),  ma  baqiya minarriba (apa yang
tersisa dari riba) dan falakum ru'usu amwalikum,  la  tazlimun
wa la tuzlamun.

Sementara   ulama,   semacam  Sayyid  Muhammad  Rasyid  Ridha,
memahami bahwa riba yang diharamkan Al-Quran hanya  riba  yang
berlipat  ganda.  Lipat  ganda  yang  dimaksud  di sini adalah
"pelipatgandaan yang berkali-kali".

Memang pada zaman jahiliah dan  awal  Islam,  apabila  seorang
debitur  yang  tidak  mampu  membayar hutangnya pada saat yang
ditentukan,  ia  meminta  untuk  ditangguhkan   dengan   janji
membayar berlebihan, demikian berulang-ulang.

Sikap  semacam  ini  amat  dikecam  oleh Al-Quran, sebagaimana
firman Allah:

     Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah
     diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan
     menyedekahkan (semua atau sebagian dan piutang) (lebih
     baik untuknya jika kamu mengetahui) (QS Al-Baqarah [2]:
     280).

Pendapat  yang  memahami  riba  yang  diharamkan  hanya   yang
berlipat  ganda,  tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja
karena  masih  ada  ayat  lain  yang  turun  sesudahnya,  yang
memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil,
tetapi  juga  karena  akhir  ayat  yang  turun  tentang  riba,
memerintahkan  untuk  meninggalkan  sisa riba. Dan bila mereka
mengabaikan hal ini, maka Tuhan  mengumumkan  perang  terhadap
mereka sedang

     Bila kamu bertobat, maka bagi kamu modalmu, (dengan
     demikian) Kami tidak menganinya dan tidak pula dianiaya
     (QS Al-Baqarah [2]: 279).

Hemat  penulis,  inilah  kata  kunci  yang  terpenting   dalam
persoalan  riba,  dan  atas  dasar  inilah  kita dapat menilai
transaksi hutang piutang dewasa ini, termasuk  praktek-praktek
perbankan.

Kesimpulan  yang  dapat  kita  peroleh dari ayat-ayat Al-Quran
yang berbicara tentang riba,  demikian  pula  hadis  Nabi  dan
riwayat-riwayat  lainnya  adalah, bahwa riba yang dipraktekkan
pada masa turunnya Al-Quran  adalah  kelebihan  yang  dipungut
bersama  jumlah  hutang, pungutan yang mengandung penganiayaan
dan penindasan, bukan sekadar kelebihan  atau  penambahan  dan
jumlah hutang.

Kesimpulan  di  atas  diperkuat  pula dengan praktek Nabi Saw.
yang  membayar  hutangnya  dengan  berlebihan.  Dalam  konteks
pembayaran berlebihan inilah Nabi Saw. bersabda:

Sebaõk-baik  manusia  adalah yang sebaik-baik membayar hutang.
(Diriwayatkan oleh Muslim melalui  sahabat  Nabi  A'bi  Rafi',
yakni    antara   lain   "melebihkan".   Hanya   tentu   harus
digarisbawahi bahwa kelebihan pembayaran itu  tidak  bersyarat
pada awal transaksi)

Nah, bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini?

Ulama  sejak  dahulu  hingga  kini belum dan besar kemungkinan
tidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi
diri orang-orang yang bertakwa.

                              ***

Demikian sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran Al-Quran tentang
ekonomi.  Intinya   adalah   keadilan,   kerja   sama,   serta
keseimbangan  dan  lain-lain.  Dan  semua  itu  tercakup dalam
larangan melakukan transaksi apa  pun  yang  berbentuk  batil,
eksploitasi atau segala bentuk penganiayaan.[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team