Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

ILMU DAN TEKNOLOGI                                       (2/2)

TEKNOLOGI

Dalam   Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia,  teknologi  diartikan
sebagai "kemampuan teknik yang berlandaskan  pengetahuan  ilmu
eksakta  dan berdasarkan proses teknis." Teknologi adalah ilmu
tentang cara menerapkan sains  untuk  memanfaatkan  alam  bagi
kesejahteraan dan kenyamanan manusia.

Kalau  demikian,  mesin  atau  alat  canggih yang dipergunakan
manusia bukanlah teknologi,  walaupun  secara  umum  alat-alat
tersebut  sering  diasosiasikan sebagai teknologi. Mesin telah
dipergunakan oleh manusia sejak berabad yang lalu, namun  abad
tersebut belum dinamakan era teknologi.

Menelusuri  pandangan  Al-Quran  tentang teknologi, mengundang
kita menengok  sekian  banyak  ayat  Al-Quran  yang  berbicara
tentang  alam  raya.  Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar
750 ayat Al-Quran  yang  berbicara  tentang  alam  materi  dan
fenomenanya,  dan  yang memerintahkan manusia untuk mengetahui
dan memanfaatkan alam ini.  Secara  tegas  dan  berulang-ulang
Al-Quran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan
Allah untuk manusia.

     Dan dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit
     dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai anugerah)
     dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).

Penundukan tersebut --secara  potensial--  terlaksana  melalui
hukum-hukum  alam  yang  ditetapkan  Allah  dan kemampuan yang
dianugerahkan-Nya   kepada   manusia.   Al-Quran   menjelaskan
sebagian dari ciri tersebut, antara lain:

(a)  Segala  sesuatu  di  alam  raya  ini  memiliki  ciri  dan
hukum-hukumnya.

     Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran (QS
     Al-Ra'd [13]: 8)

Matahari dan bulan yang beredar dan memancarkan sinar,  hingga
rumput  yang  hijau subur atau layu dan kering, semuanya telah
ditetapkan  oleh  Allah  sesuai  ukuran  dan   hukum-hukumnya.
Demikian  antara  lain  dijelaskan  oleh Al-Quran surat Ya Sin
ayat 38 dan Sabihisma ayat 2-3

(b) Semua yang berada di alam raya ini tunduk kepada-Nya:

     Hanya kepada Allah-lah tunduk segala yang di 1angit
     dan di bumi secara sukarela atau terpaksa (QS Al-Ra'd
     [13]: 15).

(c) Benda-benda alam --apalagi  yang  tidak  bernyawa--  tidak
diberi  kemampuan  memilih,  tetapi  sepenuhnya  tunduk kepada
Allah melalui hukum-hukum-Nya.

     Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan
     langit yang ketika itu masih merupakan asap, lalu Dia
     (Allah) berkata kepada-Nya, "Datanglah (Tunduklah)
     kamu berdua (langit dan bumi) menurut perintah-Ku
     suka atau tidak suka!" Mereka berdua berkata, "Kami
     datang dengan suka hati" (QS Fushshilat: ll).

Di sisi lain, manusia diberi kemampuan untuk  mengetahui  ciri
dan  hukum-hukum  yang berkaitan dengan alam raya, sebagaõmana
diinformasikan oleh firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 31,

     Allah mengajarkan Adam nama-nama semuanya

Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri,
dan  hukum  sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui
rahasia alam raya.

Adanya potensi itu,  dan  tersedianya  lahan  yang  diciptakan
Allah,  serta  ketidakmampuan  alam  raya membangkang terhadap
perintah  dan  hukum-hukum  Tuhan,  menjadikan  ilmuwan  dapat
memperoleh  kepastian  mengenai  hukum-hukum  alam. Karenanya,
semua itu mengantarkan manusia berpotensi  untuk  memanfaatkan
alam  yang  telah  ditundukkan Tuhan. Keberhasilan memanfatkan
alam itu merupakan buah teknologi.

Al-Quran memuji sekelompok manusia yang dinamainya ulil albab.
Ciri  mereka antara lain disebutkan dalam surat Ali-'Imran (3)
190-191:

     Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan
     silih bergantinya malam dan siang terdapat
     tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu mereka yang
     berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk
     atau berbaring, dan mereka yang berpikir tentang
     kejadian langit dan bumi ...

Dalam ayat-ayat di atas tergambar dua ciri pokok  ulil  albab,
yaitu  tafakkur  dan  dzikir.  Kemudian  keduanya menghasilkan
natijah yang diuraikan pada ayat 195:

     Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka
     dengan berfirman, "Sesungguhnya Aku tidak
     menyia-nyiakan amal yang beramal di antara kamu, baik
     lelaki maupun perempuan ..."

Natijah bukanlah sekadar ide-ide yang  tersusun  dalam  benak,
melainkan    melampauinya   sampai   kepada   pengamalan   dan
pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.

Muhammad Quthb dalam bukunya Manhaj  At-Tarbiyah  Al-Islamiyah
mengomentari ayat Ali 'Imran tadi sebagai berikut:

[tulisan Arab]

Maksudnya adalah bahwa  ayat-ayat  tersebut  merupakan  metode
yang  sempurna  bagi  penalaran  dan pengamatan Islam terhadap
alam. Ayat-ayat itu mengarahkan  akal  manusia  kepada  fungsi
pertama  di  antara sekian banyak fungsinya, yakni mempelajari
ayat-ayat Tuhan yang  tersaji  di  alam  raya  ini.  Ayat-ayat
tersebut bermula dengan tafakur dan berakhir dengan ama1

Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa "Khalq As-samawat wal Ardh"
di samping berarti membuka tabir sejarah penciptaan langit dan
bumi, juga bermakna "memikirkan tentang sistem tata kerja alam
semesta". Karena kata khalq selain berarti "penciptaan",  juga
berarti  "pengaturan  dan pengukuran yang cermat". Pengetahuan
tentang  hal  terakhir   ini   mengantarkan   ilmuwan   kepada
rahasia-rahasia  alam, dan pada gilirannya mengantarkan kepada
penciptaan teknologi yang menghasilkan kemudahan  dan  manfaat
bagi umat manusia.

Jadi,  dapatkah  dikatakan  bahwa  teknologi merupakan sesuatu
yang dianjurkan oleh Al-Quran?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada dua  catatan  yang  perlu
diperhatikan.

Pertama,  ketika  Al-Quran  berbicara  tentang  alam  raya dan
fenomenanya, terlihat secara jelas bahwa pembicaraannya selalu
dikaitkan dengan kebesaran dan kekuasaan Allah Swt.

Perhatikan misalnya uraian Al-Quran tentang kejadian alam:

     Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa
     langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu yang
     padu, kemudian Kami (Allah) pisahkan keduanya, dan
     dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
     mengapa mereka tidak juga beriman? (QS Al-Anbiya'
     [21]: 30).

Ayat  ini  dipahami  oleh  banyak  ulama  kontemporer  sebagai
isyarat tentang teori Big Bang (Ledakan Besar), yang mengawali
terciptanya langit dan bumi. Para  pakar  boleh  saja  berbeda
pendapat  tentang  makna  ayat  tersebut, atau mengenai proses
terjadinya pemisahan  langit  dan  bumi.  Yang  pasti,  ketika
Al-Quran   berbicara  tentang  hal  itu,  dikaitkannya  dengan
kekuasaan  dan  kebesaran  Allah;  serta   keharusan   beriman
pada-Nya.

Pada   saat   mengisyaratkan   pergeseran  gunung-gunung  dari
posisinya,  sebagaimana  kemudian  dibuktikan   para   ilmuwan
informasi itu dikaitkan dengan Kemahahebatan Allah Swt.: ~

     Kamu lihat gunung-gunung, yang kamu sangka tetap di
     tempatnya, padahal berjalan sebagaimana halnya awan.
     Begitulah perbuatan Allah, yang membuat dengan kokoh
     tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa
     yang kamu kerjakan (QS Al-Naml [27]: 88).

Ini  berarti  bahwa  sains  dan  hasil-hasilnya  harus  selalu
mengingatkan  manusia  terhadap  Kehadiran  dan  Kemahakuasaan
Allah  Swt.,  selain   juga   harus   memberi   manfaat   bagi
kemanusiaan, sesuai dengan prinsip bismi Rabbik.

Kedua,  Al-Quran  sejak  dini memperkenalkan istilah sakhkhara
yang maknanya bermuara kepada "kemampuan meraih --dengan mudah
dan  sebanyak  yang  dibutuhkan--  segala  sesuatu  yang dapat
dimanfaatkan  dari  alam  raya  melalui  keahlian  di   bidang
teknik".

Ketika  Al-Quran  memilih  kata  sakhhara yang arti harfiahnya
menundukkan atau merendahkan, maksudnya adalah agar alam  raya
dengan  segala  manfaat yang dapat diraih darinya harus tunduk
dan dianggap sebagai sesuatu yang posisinya  berada  di  bawah
manusia.  Bukankah  manusia  diciptakcan  oleh  Allah  sebagai
khalifah?  Tidaklah  wajar   seorang   khalifah   tunduk   dan
merendahkan  diri  kepada sesuatu yang telah ditundukkan Allah
kepadanya. Jika khalifah tunduk atau  ditundukkan  oleh  alam.
maka ketundukan itu tidak sejalan dengan maksud Allah Swt.

Di atas telah dikemukakan bahwa penundukan Allah terhadap alam
raya bersama potensi yang dimiliki  manusia  --bila  digunakan
secara baik-- akan membuahkan teknologi.

Dari  kedua catatan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa  teknologi   dan   hasil-hasilnya   di   samping   harus
mengingatkan  manusia  kepada  Allah,  juga harus mengingatkan
bahwa manusia adalah khalifah  yang  kepadanya  tunduk  segala
yang berada di alam raya ini.

Kalaulah  alat  atau  mesin dijadikan sebagai gambaran konkret
teknologi,  dapat  dikatakan  bahwa  pada  mulanya   teknologi
merupakan   perpanjangan   organ   manusia.   Ketika   manusia
menciptakan pisau sebagai  alat  pemotong,  alat  ini  menjadi
perpanjangan   tangannya.  Alat  tersebut  disesuaikan  dengan
kebutuhan dan organ manusia. Alat itu sepenuhnya tunduk kepada
si   Pemakai,   melebihi   tunduknya  budak  belian.  Kemudian
teknologi berkembang,  dengan  memadukan  sekian  banyak  alat
sehingga  menjadi mesin. Kereta, mesin giling, dan sebagainya,
semuanya  berkembang,  khususnya  ketika  mesin   tidak   lagi
menggunakan  sumber  energi  manusia  atau binatang, melainkan
air, uap, api, angin, dan sebagainya. Pesawat udara, misalnya,
adalah   mesin.   Kini,   pesawat  udara  tidak  lagi  menjadi
Perpanjangan organ manusia, tetapi perluasan  atau  penciptaan
organ  dan manusia. Bukankah manusia tidak memiliki sayap yang
memungkinkannya  mampu  terbang?  Tetapi  dengan  pesawat,  ia
bagaikan  memiliki  sayap.  Alat atau mesin tidak lagi menjadi
budak, tetapi telah menjadi kawan manusia.

Dari  hari  ke  hari  tercipta  mesin-mesin  semakin  canggih.
Mesin-mesin     tersebut    melalui    daya    akal    manusia
--digabung-gabungkan dengan  yang  lainnya,  sehingga  semakin
kompleks,  serta  tidak  bisa  lagi dikendalikan oleh seorang.
Tetapi akhirnya mesin dapat mengerjakan tugas yang dulu  mesti
dilakukan  oleh  banyak  orang.  Pada  tahap  ini, mesin telah
menjadi  semacam  "seteru"  manusia,  atau  lawan  yang  harus
disiasati agar mau mengikuti kehendak manusia.

Dewasa   ini  telah  lahir  teknologi  --khususnya  di  bidang
rekayasa genetika-- yang dikhawatirkan dapat  menjadikan  alat
sebagai   majikan.   Bahkan   mampu   menciptakan  bakal-bakal
"majikan" yang akan diperbudak dan ditundukkan oleh alat. Jika
begitu,  ini  jelas  bertentangan  dengan  kedua  catatan yang
disebutkan di terdahulu.

Berdasarkan  petunjuk  kitab  sucinya,  seorang  Muslim  dapat
menerima  hasil-hasil  teknologi  yang  sumbernya  netral, dan
tidak menyebabkan maksiat, serta bermanfaat bagi manusia, baik
mengenai  hal-hal  yang  berkaitan  dengan  unsur "debu tanah"
manusia maupun unsur "ruh Ilahi" manusia.

Seandainya penggunaan satu hasil  teknologi  telah  melalaikan
seseorang dari zikir dan tafakur, serta mengantarkannya kepada
keruntuhan nilai-nilai  kemanusiaan,  maka  ketika  itu  bukan
hasil  teknologinya  yang  mesti ditolak, melainkan kita harus
memperingatkan  dan  mengarahkan  manusia   yang   menggunakan
teknologi  itu. Jika hasil teknologi sejak semula diduga dapat
mengalihkan manusia darl jati  diri  dari  tujuan  penciptaan,
sejak  dini  pula kehadirannya ditolak oleh Islam. Karena itu,
menjadi suatu persoalan besar bagi martabat  manusia  mengenai
cara  memadukan  kemampuan  mekanik demi penciptaan teknologi,
dengan   pemeliharaan   nilai-nilai    fitrahnya.    Bagaimana
mengarahkan  teknologi  yang  dapat  berjalan  seiring  dengan
nilai-nilai Rabbani, atau dengan kata lain bagaimana memadukan
pikir dan zikir, ilmu dan iman?

                              ***

Al-Quran    memerintahkan   manusia   untuk   terus   berupaya
meningkatkan kemampuan  ilmiahnya.  Jangankan  manusia  biasa,
Rasul  Allah Muhammad Saw. pun diperintahkan agar berusaha dan
berdoa agar selalu ditambah  pengetahuannya  Qul  Rabbi  zidni
'ilma  (Berdoalah  [hai  Muhammad],  "Wahai Tuhanku, tambahlah
untukmu ilmu") (QS Thaha [20]: 114),  karena  fauqa  kullu  zi
'ilm  (in)  'alim (Di atas setiap pemilik pengethuan, ada yang
amat mengetahui (QS Yusuf [12]: 72).

Manusia  memiliki  naluri  selalu   haus   akan   pengetahuan.
Rasulullah Saw. bersabda:

     Dua keinginan yang tidak pernah puas, keinginan
     menuntut ilmu dan keinginan menuntut harta.

Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus mengembangkan
teknologi  dengan memanfaatkan anugerah Allah yang dilimpahkan
kepadanya. Karena  itu,  laju  teknologi  memang  tidak  dapat
dibendung.  Hanya saja manusia dapat berusaha mengarahkan diri
agar tidak memperturutkan nafsunya  untuk  mengumpulkan  harta
dan  ilmu/teknologi  yang  dapat  membahayakan dinnya. Agar ia
tidak menjadi  seperti  kepompong  yang  membahayakan  dirinya
sendiri karena kepandaiannya.

Al-Quran menegaskan:

     Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah
     seperti (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu
     tumbuhlah dengan suburnya --karena air itu--
     tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan
     manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu
     telah sempurna keindahannya dan memakai (pula)
     perhiasannya dan penghuni-penghuninya telah menduga
     bahwa mereka mampu menguasainya (melakukan segala
     sesuatu), tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di
     waktu malam atau siang, maka kami jadikan
     (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang
     sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh
     kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda
     kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir (QS
     Yunus [10]: 24).[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team