|
|
|
|
|
KEBANGSAAN (3/3)
Pengertian lain dari hadis tersebut adalah Al-Quran
menggunakan kosa kata dari tujuh (baca: banyak) bahasa,
seperti bahasa Romawi, Persia, dan Ibrani, misalnya kata-kata:
zamharir, sijjil, qirthas, kafur, dan lain-lain.
Untuk menghargai perbedaan bahasa dan dialek, Nabi Saw. tidak
jarang menggunakan dialek mitra bicaranya. Semua itu
menunjukkan betapa Al-Quran dan Nabi Saw. sangat menghargai
keragaman bahasa dan dialek. Bukankah seperti yang dikemukakan
tadi, Allah menjadikan keragaman itu bukti keesaan dan
kemahakuasaan-Nya?
Nah, bagaimana kaitan bahasa dan kebangsaan? Tadi telah
dikemukakan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir
berkaitan dengan Salman, Bilal, dan Suhaib. Pada hakikatnya,
bahasa memang bukan digunakan sekadar untuk menyampaikan
tujuan pembicaraan dan yang diucapkan oleh lidah. Bukankah
sering seseorang berbicara dengan dirinya sendiri? Bukankah
ada pula yang berpikir dengan suara keras. Kalimat-kalimat
yang dipikirkan dan didendangkan itu merupakan upaya
menyatakan pikiran dan perasaan seseorang? Di sini bahasa
merupakan jembatan penyalur perasaan dan pikiran.
Karena itu pula kesatuan bahasa mendukung kesatuan pikiran.
Masyarakat yang memelihara bahasanya dapat memeliara
identitasnya, sekaligus menjadi bukti keberadaannya. Itulah
sebabnya mengapa para penjajah sering berusaha menghapus
bahasa anak negeri yang dijajahnya dengan bahasa sang
penjajah.
Al-Quran menuntut setiap pembicara agar hanya mengucapkan hal
yang diyakini, dirasakan, serta sesuai dengan kenyataan.
Karena itu, tidak jarang Kitab Suci ini menggunakan kata qala
atau yaqulu (dia berkata, dalam arti meyakini), seperti
misalnya dalam surat Al-Baqarah (2): 116:
Mereka berkata, "Allah mengambil anak". Mahasuci
Allah, dengan arti mereka meyakini bahwa Allah
mempunyai anak.
Salah satu sifat Ibadur Rahman (hamba-hamba Allah yang baik)
yang dijelaskan dalam surat Al-Furqan (25): 65 adalah:
Mereka yang berkata, "Jauhkanlah siksa jahanam dari
kami". Sesungguhnya azab-Nya adalah kebinasaan yang
kekal
Ucapan ini bukan sekadar dengan lidah atau permohonan,
melainkan peringatan sikap, keyakinan dan perasaan mereka,
karena kalau sekadar permohonan, apalah keistimewaannya?
Bukankah semua orang dapat bermohon seperti itu? Karena itu
tidak menyimpang jika dinyatakan bahwa bahasa pada hakikatnya
berfungsi menyatakan perasaan pikiran, keyakinan, dan sikap
pengucapnya.
Dalam konteks paham kebangsaan, bahasa pikiran, dan perasaan,
jauh lebih penting ketimbang bahasa lisan, sekalipun bukan
berarti mengabaikan bahasa lisan, karena sekali lagi
ditekankan bahwa bahasa lisan adalah jembatan perasaan.
Orang-orang Yahudi yang bahasanya satu, yaitu bahasa Ibrani,
dikecam oleh Al-Quran dalam surat Al-Hasyr ayat 14, dengan
menyatakan:
Engkau menduga mereka bersatu, padahal hati mereka
berkeping-keping.
Atas dasar semua itu, terlihat bahwa bahasa, saat dijadikan
sebagai perekat dan unsur kesatuan umat, dapat diakui oleh
Al-Quran, bahkan inklusif dalam ajarannya. Bahasa dan
keragamannya merupakan salah satu bukti keesaan dan kebesaran
Allah. Hanya saja harus diperhatikan bahwa dari bahasa harus
lahir kesatuan pikiran dan perasaan, bukan sekadar alat
menyampaikan informasi.
4. Adat Istiadat
Pikiran dan perasaan satu kelompok/umat tercermin antara lain
dalam adat istiadatnya.
Dalam konteks ini, kita dapat merujuk perintah Al-Quran antara
lain:
Hendaklah ada sekelompok di antara kamu yang mengajak
kepada kebaikan, memerintahkan yang ma'ruf dan
mencegah yang mungkar (QS Ali 'Imran [3]: 104)
Jadilah engkau pemaaf; titahkanlah yang 'urf (adat
kebiasaan yang baik), dan berpalinglah dari orang yang
jahil (QS Al-A'raf [7]: 199).
Kata 'urf dan ma'ruf pada ayat-ayat itu mengacu kepada
kebiasaan dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan
al-khair, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam.
Rincian dan penjabaran kebaikan dapat beragam sesuai dengan
kondisi dan situasi masyarakat. Sehingga, sangat mungkin suatu
masyarakat berbeda pandangan dengan masyarakat lain. Apabila
rincian maupun penjabaran itu tidak bertentangan dengan
prinsip ajaran agama, maka itulah yang dinamai 'urf/ma'ruf.
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa suatu ketika Aisyah
mengawinkan seorang gadis yatim kerabatnya kepada seorang
pemuda dari kelompok Anshar (penduduk kota Madinah). Nabi yang
tidak mendengar nyanyian pada acara itu, berkata kepada
Aisyah, "Apakah tidak ada permainan/nyanyian? Karena
orang-orang Anshar senang mendengarkan nyanyian ..." Demikian,
Nabi Saw. menghargai adat-kebiasaan masyarakat Anshar.
Pakar-pakar hukum menetapkan bahwa adat kebiasaan dalam suatu
masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran
Islam, dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hukum
(al-adat muhakkimah). Demikian ketentuan yang mereka tetapkan
setelah menghimpun sekian banyak rincian argumentasi
keagamaan.
5. Sejarah
Agaknya, persamaan sejarah muncul sebagai unsur kebangsaan
karena unsur ini merupakan salah satu yang terpenting demi
menyatukan perasaan, pikiran, dan langkah-langkah masyarakat.
Sejarah menjadi penting, karena umat, bangsa, dan kelompok
dapat melihat dampak positif atau negatif pengalaman masa
lalu, kemudian mengambil pelajaran dari sejarah, untuk
melangkah ke masa depan. Sejarah yang gemilang dari suatu
kelompok akan dibanggakan anggota kelompok serta keturunannya,
demikian pula sebaliknya.
Al-Quran sangat menonjol dalam menguraikan peristiwa sejarah.
Bahkan tujuan utama dari uraian sejarahnya adalah guna
mengambil i'tibar (pelajaran), guna menentukan langkah
berikutnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa unsur
kesejarahan sejalan dengan ajaran Al-Quran. Sehingga kalau
unsur ini dijadikan salah satu faktor lahirnya paham
kebangsaan, hal ini inklusif di dalam ajaran Al-Quran, selama
uraian kesejarahan itu diarahkan untuk mencapai kebaikan dan
kemaslahatan
6. Cinta Tanah Air
Rasa kebangsaan tidak dapat dinyatakan adanya, tanpa
dibuktikan oleh patriotisme dan cinta tanah air.
Cinta tanah air tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
agama, bahkan inklusif di dalam ajaran Al-Quran dan praktek
Nabi Muhammad Saw.
Hal ini bukan sekadar dibuktikan melalui ungkapan populer yang
dinilai oleh sebagian orang sebagai hadis Nabi Saw., Hubbul
wathan minal iman (Cinta tanah air adalah bagian dari iman),
melainkan justru dibuktikan dalam praktek Nabi Muhammad Saw.,
baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat.
Ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, beliau shalat
menghadap ke Bait Al-Maqdis. Tetapi, setelah enam belas bulan,
rupanya beliau rindu kepada Makkah dan Ka'bah, karena
merupakan kiblat leluhurnya dan kebanggaan orang-orang Arab.
Begitu tulis Al-Qasimi dalam tafsirnya. Wajah beliau
berbolak-balik menengadah ke langit, bermohon agar kiblat
diarahkan ke Makkah, maka Allah merestui keinginan ini dengan
menurunkan firman-Nya:
Sungguh Kami (senang) melihat wajahmu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjid Al-Haram... (QS Al-Baqarah [2]: 144).
Cinta beliau kepada tanah tumpah darahnya tampak pula ketika
meninggalkan kota Makkah dan berhijrah ke Madinah. Sambil
menengok ke kota Makkah beliau berucap:
Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang
paling aku cintai, seandainya bukan yang bertempat
tinggal di sini mengusirku, niscaya aku tidak akan
meninggalkannya.
Sahabat-sahabat Nabi Saw. pun demikian, sampai-sampai Nabi
Saw. bermohon kepada Allah:
Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami,
sebagaimana engkau mencintakan kota Makkah kepada
kami, bahkan lebih (HR Bukhari, Malik dan Ahmad).
Memang, cinta kepada tanah tumpah darah merupakan naluri
manusia, dan karena itu pula Nabi Saw. menjadikan salah satu
tolok ukur kebahagiaan adalah "diperolehnya rezeki dari tanah
tumpah darah". Sungguh benar ungkapan, "hujan emas di negeri
orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih senang di negeri
sendiri."
Bahkan Rasulullah Saw. mengatakan bahwa orang yang gugur
karena membela keluarga, mempertahankan harta, dan negeri
sendiri dinilai sebagai syahid sebagaimana yang gugur membela
ajaran agama. Bahkan Al-Quran menggandengkan pembelaan agama
dan pembelaan negara dalam firman-Nya:
Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi
sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang
tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak pula
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangi kamu karena agama, mengusir
kamu dari negerimu, dan membantu orang lain mengusirmu
(QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9).
***
Dari uraian di atas terlihat bahwa paham kebangsaan sama
sekali tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah.
Bahkan semua unsur yang melahirkan paham tersebut, inklusif
dalam ajaran Al-Quran, sehingga seorang Muslim yang baik
pastilah seorang anggota suatu bangsa yang baik. Kalau anggota
suatu bangsa terdiri dari beragam agama, atau anggota
masyarakat terdiri dari berbagai bangsa, hendaknya mereka
dapat menghayati firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 148:
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblat (arah yang
ditujunya), dia menghadap ke arah itu. Maka
berlomba-lombalah kamu (melakukan) kebaikan. Di mana
saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu
sekalian. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu.[]
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |