| |
|
KESEHATAN (1/2) Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan. Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk menunjuk tentang pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam. 1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat; 2. Afiat. Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesra, kata "afiat" dipersamakan dengan "sehat". Afiat diartikan sehat dan kuat, sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan baik segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit). Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian dalam tinjauan ilmu kesehatan, yang memperkenalkan istilah-istilah kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kesehatan masyarakat. Walaupun Islam mengenal hal-hal tersebut, namun sejak dini perlu digarisbawahi satu hal pokok berkaitan dengan kesehatan, yaitu melalui pengertian yang dikandung oleh kata afiat. Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda, kendati diakui tidak jarang hanya disebut salah satunya (secara berdiri sendiri), karena masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh kata yang tidak disebut. Pakar bahasa Al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat wal-afiat bahwa kata sehat berbeda dengan kata afiat, karena wa yang berarti "dan" adalah kata penghubung yang sekaligus menunjukkan adanya perbedaan antara yang disebut pertama (sehat) dan yang disebut kedua (afiat). Nah, atas dasar itu, dipahami adanya perbedaan makna di antara keduanya. Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw. ditemukan sekian banyak doa, yang mengandung permohonan afiat, di samping permohonan memperoleh sehat. Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai perlindungan Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya. Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya. Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat maupun membaca tanpa menggunakan kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yang dapat melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata. KESEHATAN FISIK Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal berbagai jenis kesehatan, yang diakui pula oleh pakar-pakar Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai "ketahanan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan (tuntunan-Nya), dan memelihara serta mengembangkannya." Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga jenis kesehatan itu. Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi Muhammad Saw.: Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu. Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya terganggu. Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik, dimulai dengan meletakkan prinsip: Pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan sekian banyak petunjuk Kitab Suci dan Sunah Nabi Saw. yang pada dasarnya mengarah pada upaya pencegahan. Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah adalah orang yang menjaga kebersihan. Kebersihan digandengkan dengan taubat dalam surat Al-Baqarah (2): 222: Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat, dan senang kepada orang yang membersihkan diri. Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan kesehatan fisik. Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah: Dan bersihkan pakaianmu dan tinggalkan segala macam kekotoran (QS Al-Muddatstsir [74]: 4-5). Perintah tersebut berbarengan dengan perintah menyampaikan ajaran agama dan membesarkan nama Allah Swt. Terdapat hadis yang amat populer tentang kebersihan yang berbunyi: Kebersihan adalah bagian dari iman. Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha'if. Kendati begitu, terdapat sekian banyak hadis lain yang mendukung makna tersebut, seperti sabda Nabi Saw.: Iman, terdiri dan tujuh puluh sekian cabang, puncaknya adalah keyakinan bahwa "Tiada Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dan jalan" (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi, larangan bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang tidak mengalir atau di bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam dalam konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum dunia mengenal karantina, Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan dalam salah satu sabdanya, Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah mengunjungi daerah itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya. Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama penyakit: Al-ma'idat bait adda'. Dan karena itu, ditemukan banyak sekali tuntutan --baik dari Al-Quran maupun hadis Nabi Saw.-- yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya. Al-Quran juga mengingatkan, Makan dan minum dan jangan berlebih-lebihan. Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31). Penjabaran peringatan itu dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya, Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, seperti lagi untuk minumannya, dan sepertiga sisanya untuk pernafasannya (Diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi). Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan maupun ilmuwan, berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental manusia. Al-Harali (wafat 1232 M) menyimpulkan hal tersebut setelah membaca firman Allah yang mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena makanan dan minuman tersebut rijs. Kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor (QS Al-An'am [6]: 145). Kata rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau kebobrokan mental. Pendapat serupa dikemukakan antara lain oleh seorang ulama kontemporer Syaikh Taqi Falsaf1 dalam bukunya Child between Heredity and Education, yang mengutip pendapat Alexis Carrel dalam bukunya Man the Unknown. Carrel, peraih hadiah Nobe1 bidang kedokteren ini, menulis bahwa pengaruh campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum diadakan eksperimen dalam waktu yang memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan. ---------------- (bersambung 2/2) WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |