Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

MAKANAN                                                  (3/3)
 
"Mengharamkan yang baik dan halal" mengandung arti  mengurangi
kebutuhan,  sedang  "melampaui  batas"  berarti meebihkan dari
yang wajar. Demikian terlihat Al-Quran dalam uraiannya tentang
makan  menekankan  perlunya  "sikap  proporsional"  itu. Makna
terakhir ini sejalan dengan ayat yang  lain  yang  petunjuknya
lebih jelas, yaitu:
 
    Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan.
    Sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang yang
    berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).
 
Rasul menjelaskan bahwa:
 
    Termasuk berlebih-lebihan (bila) Anda makan apa yang
    Anda tidak ingini.
 
Dalam hadis lain Rasul Saw. mengingatkan:
 
    Tidak ada yang dipenuhkan manusia lebih buruk dari
    perut, cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang
    dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus (memenuhkan
    perut), maka hendaklah sepertiga untuk makanan,
    sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernafasan
    (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dan At-Tirmidzi melalui
    sahabat Nabi Miqdam bin Ma'di Karib).
 
c.  Aman.  Tuntunan  perlunya  makanan  yang aman, antara lain
dipahami dari firman Allah dalam surat Al-Ma-idah (5): 88 yang
menyatakan,
 
    Dan makanlah dan apa yang direzekikan Allah kepada
    kamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu percaya
    terhadap-Nya.
 
Dirangkaikannya   perintah   makan  di  sini  dengan  perintah
bertakwa,  menuntun   dan   menuntut   agar   manusia   selalu
memperhatikan   sisi   takwa   yang  intinya  adalah  berusaha
menghindar  dari   segala   yang   mengakibatkan   siksa   dan
terganggunya rasa aman.
 
Takwa   dari   segi   bahasa  berarti  "keterhindaran",  yakni
keterhindaran dari  siksa  Tuhan,  baik  di  dunia  maupun  di
akhirat.  Siksa  Tuhan  di  dunia  adalah  akibat  pelanggaran
terhadap hukum-hukum (Tuhan yang berlaku di) alam ini,  sedang
siksa-Nya   di  akhirat  adalah  akibat  pelanggaran  terhadap
hukum-hukum syariat.  Hukum  Tuhan  di  dunia  yang  berkaitan
dengan makanan misalnya adalah: siapa yang makan makanan kotor
atau  berkuman,  maka  dia  akan  menderita  sakit.   Penyakit
--akibat  pelanggaran  ini-- adalah siksa Allah di dunia. Jika
demikian, maka perintah  bertakwa  pada  sisi  duniawinya  dan
dalam  konteks  makanan,  menuntut  agar  setiap  makanan yang
dicerna tidak mengakibatkan penyakit  atau  dengan  kata  lain
memberi  keamanan  bagi pemakannya. Ini tentu di samping harus
memberinya keamanan bagi kehidupan ukhrawinya.
 
Penggalan surat Al-Nisa' (4): 4 mengingatkan:
 
    Makanlah ia dengan sedap lagi baik akibatnya (QS
    Al-Nisa' [4]: 4)
 
Ayat ini walaupun tidak turun dalam konteks  petunjuk  tentang
makanan,  tetapi  penggunaan  kata  akala yang pada prinsipnya
berarti "makan" dapat dijadikan petunjuk bahwa memakan sesuatu
hendaknya yang sedap serta berakibat baik.
 
Pada  akhirnya  kita  dapat  menyimpulkan  pesan Allah tentang
makan dan makanan dengan firman-Nya dalam surat Al-An'am  (6):
142 setelah menyebut berbagai jenis makanan nabati dan hewani:
 
    Makanlah apa yang direzekikan Allah dan jangan ikuti
    langkah-langkah setan, sesungguhnya dia adalah musuh
    kamu yang sangat nyata.
 
PENGARUH MAKANAN
 
Tidak  dapat  disangkal  bahwa makanan mempunyai pengaruh yang
sangat  besar  terhadap  pertumbuhan  dan  kesehatan   jasmani
manusia.  Persoalan  yang  akan  diketengahkan  di sini adalah
pengaruhnya terhadap jiwa manusia.
 
Al-Harali seorang ulama besar (w. 1232  M)  berpendapat  bahwa
jenis   makanan   dan  minuman  dapat  mempengaruhi  jiwa  dan
sifat-sifat  mental   pemakannya.   Ulama   ini   menyimpulkan
pendapatnya   tersebut  dengan  menganalisis  kata  rijs  yang
disebutkan Al-puran sebagai alasan untuk mengharamkan  makanan
tertentu,  seperti keharaman minuman keras (QS Al-Ma-idah [5]:
90) bangkai, darah, dan daging babi (QS Al-An'am [6]: 145).
 
Kata rijs menurutnya mengandung arti "keburukan  budi  pekerti
serta  kebobrokan  moral".  Sehingga,  apabila  Allah menyebut
jenis makanan tertentu dan menilainya sebagai rijs,  maka  ini
berarti  bahwa  makanan  tersebut  dapat menimbulkan keburukan
budi pekerti.
 
Memang   kata    ini    juga    digunakan    Al-Quran    untuk
perbuatan-perbuatan buruk yang menggambarkan kebejatan mental,
seperti judi dan penyembahan berhala (QS Al-Maidah  [5]:  90).
Dengan  demikian,  pendapat Al-Harali di atas, cukup beralasan
ditinjau dari segi bahasa dan penggunaan Al-Quran.
 
Sejalan  dengan  pendapat  di  atas   adalah   pendapat   yang
dikemukakan   oleh  seorang  ulama  kontemporer,  Syaikh  Taqi
Falsafi, dalam bukunya Child between Heredity  and  Education.
Dalam  buku  ini,  dia  menguatkan pendapatnya dengan mengutip
Alexis  Carrel,  pemenang  hadiah  Nobel  Kedokteran.   Carrel
menulis  dalam  bukunya  Man  the Unknown lebih kurang sebagai
berikut:
 
    Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung
    oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran
    manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum
    lagi diadakan eksperimen secara memadai. Namun tidak
    dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh
    kualitas dan kuantitas makanan.
 
Nah jika demikian, terlihat bahwa  makanan  memiliki  pengaruh
yang  besar  bukan  saja  terhadap jasmani manusia tetapi juga
jiwa dan perasaannya. Beberapa  penelitian  menunjukkan  bahwa
minuman   keras  merupakan  langkah  awal  yang  mengakibatkan
langkah-langkah  berikut  dari   para   penjahat.   Hal   ini,
disebabkan  antara  lain  oleh pengaruh minuman tersebut dalam
jiwa dan pikirannya.
 
Dalam konteks agama, tidak  dapat  diragukan  adanya  pengaruh
makanan  terhadap  selain  jasmani. Rasulullah Saw. mengaitkan
antara terkabulnya doa dengan makanan halal.  Beliau  bersabda
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim:
 
    Wahai seluruh manusia. Sesungguhnya Allah Mahabaik. Dia
    tidak menerima (sesuatu) kecuali yang baik. Dia
    memerintahkan kaum mukmin sebagaimana memerintahkan
    para Rasul dengan firman-Nya, "Wahai Rasul, makanlah
    rezeki yang baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu".
    (Kata perawi) Rasul kemudian menjelaskan seorang
    pejalan kaki, kumal, dan kotor, menengadahkan kedua
    tangannya ke langit berdoa, "Wahai Tuhan, Wahai Tuhan
    ... (tetapi) makanannya haram, minumannya haram,
    pakaiannya haram, makan dari barang haram, maka
    bagaimana mungkin ia dikabulkan?"
 
Demikian, sebagian dari dampak makanan terhadap manusia.
 
MENGAPA BINATANG ATAU MAKANAN TERTENTU DIHARAMKAN?
 
Banyak   analisis   yang   dikemukakan   para   pakar  tentang
sebab-sebab  diharamkannya  binatang  atau  makanan  tertentu.
Babi, misalnya, dinilai mengidap sekian banyak jenis kuman dan
cacing  yang  sangat  berbahaya  terhadap  kesehatan  manusia.
Tenasolium  adalah salah satu nama cacing yang berkembang biak
dalam pencernaan yang panjangnya dapat mencapai delapan meter.
Pada 1968 ditemukan sejenis kuman yang merupakan penyebab dari
kematian sekian banyak pasien di  Belanda  dan  Denmark.  Pada
1918,  flu Babi pernah menyerang banyak bagian dari dunia kita
dan menelan korban jutaan orang. Flu ini kembali  muncul  pada
1977,  dan  di  Amerika Serikat ketika itu dilakukan imunisasi
yang menelan biaya 135 juta  dolar.  Demikian  sekelumit  dari
bahaya  babi, sebagaimana dikemukakan oleh Faruq Musahil dalam
bukunya Tahrim Al-Khinzir fi Al-Islam.
 
Lemak   babi   mengandung   complicated   fats   antara   lain
triglycerides,  dan dagingnya mengandung kolestrol yang sangat
tinggi, mencapai lima  belas  kali  lipat  lebih  banyak  dari
daging    sapi.   Dalam   Encydopedia   Americana   dijelaskan
perbandingan antara  kadar  lemak  yang  terdapat  pada  babi,
domba,   dan   kerbau.  Dalam  kadar  berat  yang  sama,  babi
mengandung 50% lemak, domba 17%, dan kerbau tidak  lebih  dari
5%.  Demikian keterangan Ahmad Syauqi Al-Fanjari dalam bukunya
Ath-Thib Al-Wiqaiy fi Al-Islam.
 
Banyak lagi analisis dan  jawaban  yang  diberikan  menyangkut
sebab-sebab diharamkannya sekian banyak makanan. Bukan di sini
tempatnya, bahkan bukan penulis yang memiliki  otoritas  untuk
menjelaskannya.
 
Memang  kita  boleh  saja  bertanya,  dan atau mencari jawaban
tentang mengapa  Allah  Swt.  mengharamkan  makanan  tertentu.
Boleh  jadi  kita  puas  atau  tidak  puas dengan jawaban yang
diberikan, tetapi adalah  amat  bijaksana  jika  jawaban  yang
ditemukan  itu  --walau  sangat  memuaskan--  tidak  dijadikan
sebagai satu-satunya jawaban.
 
Imam  Al-Ghazali  memberikan   ilustrasi   menyangkut   'illat
(katakanlah  "sebab"  atau  "hikmah")  dari  larangan-larangan
Ilahi. "Seorang ayah memiliki anak  yang  tinggal  bersama  di
satu   rumah.   Sebelum   kematian   menjemputnya,  sang  ayah
mewasiatkan kepada anaknya: 'Jika engkau ingin  memugar  rumah
ini  silakan,  tetapi  tumbuhan yang terdapat di serambi rumah
jangan ditebang.' Beberapa tahun kemudian sang ayah meninggal,
dan  anak pun memperoleh rezeki yang memadai. Rumah dipugarnya
dan ketika sampai di tumbuhan terlarang, ia berpikir,  'Apakah
gerangan  sebabnya  ayah  melarang  menebangnya?'  Pikirannya,
kemudian sampai kepada kesimpulan bahwa aroma pohon itu harum.
Dan di sisi lain, ia mengetahui bahwa telah ditemukan tumbuhan
lain yang memiliki aroma lebih harum. Maka ia  pun  memutuskan
menebang tumbuhan itu dan menggantikannya dengan tumbuhan yang
lebih sedap. Tetapi apa  yang  terjadi?  Tidak  lama  kemudian
muncul  seekor  ular, yang hampir saja menerkamnya, dan ketika
itu ia sadar  bahwa  rupanya  aroma  tumbuhan  itu,  merupakan
penangkal  kehadiran  ular.  Ia hanya mengetahui sebagian dari
'illat larangan ayahnya' bukan  semuanya,  bahkan  bukan  yang
terpenting  darinya."  Demikian  lebih  kurang  ilustrasi Imam
Al-Ghazali.
 
Demikian  sedikit  dari  banyak  petunjuk   Al-Quran   tentang
makanan.  Kita  dapat  menyimpulkan bahwa Al-Quran merintahkan
kepada kita untuk makan yang halal  dan  thayyib,  serta  yang
lezat tetapi baik akibatnya.[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team