| |
|
KEMISKINAN Tulisan ini tidak dapat menyajikan petunjuk-petunjuk praktis operasional tentang pengentasan kemiskinan. Karena pada dasarnya Al-Quran --yang menjadi rujukan-- adalah kitab petunjuk yang bersifat global. Sehingga jangankan persoalan kemasyarakatan, masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah mahdhah (murni) sekalipun, hampir tidak ditemukan rincian operasionalnya kecuali dalam As-Sunnah, seperti misalnya rincian shalat dan haji. Sementara rincian petunjuk menyangkut segi kehidupan bermasyarakat, kalaupun ditemukan dari Sunnah Nabi, maka hal tersebut lebih banyak berkaitan dengan kondisi masyarakat yang beliau temui, sehingga masyarakat sesudahnya perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan kondisinya masing-masing, tanpa mengabaikan nilai-nilai Ilahi itu. Kemiskinan dan pengentasannya termasuk persoalan kemasyarakatan, yang faktor penyebab dan tolok ukur kadarnya, dapat berbeda akibat perbedaan lokasi dan situasi. Karena itu Al-Quran tidak menetapkan kadarnya, dan tidak memberikan petunjuk operasional yang rinci untuk pengentasannya. SIAPA YANG DISEBUT MISKIN? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "miskin" diartikan sebagai tidak berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Sedangkan fakir diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin. Dari bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedang faqir dari kata faqr yang pada mulanya berarti tulang punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga "mematahkan" tulang punggungnya. Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-Quran untuk kedua istilah tersebut, para pakar Islam berbeda pendapat dalam menetapkan tolok ukur kemiskinan dan kefakiran. Sebagian mereka berpendapat bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedang miskin adalah yang berpenghasilan di atas itu, namun tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Ada juga yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si fakir relatif lebih baik dari si miskin. Al-Quran dan hadis tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah. Namun yang pasti, Al-Quran menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin yang harus dibantu. Yusuf Qardhawi, seorang ulama kontemporer, menulis: Menurut pandangan Islam, tidak dapat dibenarkan seseorang yang hidup di tengah masyarakat Islam, sekalipun Ahl Al-Dzimmah (warga negara non-Muslim), menderita lapar, tidak berpakaian, menggelandang (tidak bertempat tinggal) dan membujang. Di tempat lain, Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa biaya pengobatan dan pendidikan pun termasuk kebutuhan primer yang harus dipenuhi. FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN Memperhatikan akar kata "miskin" yang disebut di atas sebagai berarti diam atau tidak bergerak diperoleh kesan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak dan berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedang ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh penganiyaan manusia 1ain. Ketidakmampuan berusaha yang disebabkan oleh orang lain diistilahkan pula dengan kemiskinan struktural. Kesan ini lebih jelas lagi bila diperhatikan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan, ditujukan kepada makhluk yang dinamainya dabbah, yang arti harfiahnya adalah yang bergerak. Tidak ada satu dabbah pun di bumi kecuali Allah yang menjamin rezekinya (QS Hud [11]: 6). Ayat ini "menjamin" siapa yang aktif bergerak mencari rezeki, bukan yang diam menanti. Lebih tegas lagi dinyatakannya bahwa, Allah telah menganugerahkan kepada kamu segala apa yang kamu minta (butuhkan dan inginkan). Jika kamu mengitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak mampu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia sangat aniaya lagi sangat kufur (95 Ibrahim [14]: 34). Pernyataan Al-Quran di atas dikemukakannya setelah menyebutkan aneka nikmat-Nya, seperti langit, bumi, hujan, laut, bulan, matahari, dan sebagainya. Sumber daya alam yang disiapkan Allah untuk umat manusia tidak terhingga dan tidak terbatas. Seandainya sesuatu telah habis, maka ada alternatif lain yang disediakan Allah selama manusia berusaha. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk berkata bahwa sumber daya alam terbatas, tetapi sikap manusia terhadap pihak lain, dan sikapnya terhadap dirinya itulah yang menjadikan sebagian manusia tidak memperoleh sumber daya alam tersebut. Kemiskinan terjadi akibat adanya ketidakseimbangan dalam perolehan atau penggunaan sumber daya alam itu, yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan sikap aniaya, atau karena keengganan manusia menggali sumber daya alam itu untuk mengangkatoya ke permukaan, atau untuk menemukan alternatif pengganti. Dan kedua hal terakhir inilah yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan sikap kufur. PANDANGAN ISLAM TENTANG KEMISKINAN Salah satu bentuk penganiayaan manusia terhadap dirinya yang melahirkan kemiskinan adalah pandangannya yang keliru tentang kemiskinan. Karena itu langkah pertama yang dilaksanakan Al-Quran adalah meluruskan persepsi yang keliru itu. Seperti kita ketahui, sementara orang berpandangan bahwa kemiskinan adalah sarana penyucian diri, pandangan ini bahkan masih dianut oleh sebagian masyarakat hingga kini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia antara lain ditemukan penjelasan tentang arti kata "fakir" sebagai orang pang sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin. Dalam konteks penjelasan pandangan Al-Quran tentang kemiskinan ditemukan sekian banyak ayat-ayat Al-Quran yang memuji kecukupan, bahkan Al-Quran menganjurkan untuk memperoleh kelebihan. Apabila telah selesai shalat (Jumat) maka bertebaran1ah di bumi dan carilah fadhl (kelebihan) dan Allah (QS Al-Jum'ah [62]: 10) Sejak dini pula Kitab Suci ini mengingatkan Nabi Muhammad Saw. tentang betapa besar anugerah Allah kepada beliau, yang antara lain menjadikannya berkecukupan (kaya) setelah sebelumnya papa. Bukankah Allah telah mendapatimu miskin kemudian Dia menganugerahkan kepadamu kecukupan? (QS Al-Dhuha [93]: 8) Seandainya kecukupan atau kekayaan tidak terpuji, niscaya ia tidak dikemukakan oleh ayat di atas dalam konteks pemaparan anugerah llahi. Berupaya untuk memperoleh kelebihan, bahkan dibenarkan oleh Allah walau pada musim ibadah haji sekalipun. Tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari fadhl (kelebihan) dari Allah (di musim haji) (QS Al-Baqarah [2]: 198). Di sisi lain, Al-Quran mengecam mereka yang mengharamkan hiasan duniawi yang diciptakan Allah bagi umat manusia (QS Al-A'raf [7]: 32), dan menyatakan bahwa Allah menjanjikan ampunan dan anugerah yang berlebih, sedang setan menjanjikan kefakiran (QS Al-Baqarah [2]: 268). Tak mengherankan jika dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan, Hampir saja kekafiran itu menjadi kekufuran karena Nabi Saw. sering berdoa, Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefakiran (HR Abu Dawd). Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekurangan dan kehinaan, dan Aku berlindung pu1a dari menganiaya dan dianinya (HR Ibnu Majah dan Al-Hakim). Meskipun demikian, Islam tidak menjadikan banyaknya harta sebagai tolok ukur kekayaan, karena kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati dan kepuasannya. Sebuah lingkaran betapa pun kecilnya adalah sama dengan 360 derajat, tetapi betapapun besarnya, bila tidak bulat, maka ia pasti kurang dari angka tersebut. Karena itu, Islam mengajarkan apa yang dinamai qann'ah, namun itu bukan berarti nrimo (menerima apa adanya), karena seseorang tidak dapat menyandang sipat qana'ah kecuali setelah melalui lima tahap: a. Menginginkan kepemilikan sesuatu. b. Berusaha sehingga memiliki sesuatu itu, dan mampu menggunakan apa yang diinginkannya itu. c. Mengabaikan yang telah dimiliki dan diinginkan itu secara suka rela dan senang hati d. Menyerahkannya kepada orang lain, dan merasa puas dengan apa yang dimiliki sebelumnya. BAGAIMANA CARA MENGENTASKAN KEMISKINAN? Dalam rangka mengentaskan kemiskinan, Al-Quran menganjurkan banyak cara yang harus ditempuh, yang secara garis besar dapat dibagi pada tiga hal pokok. 1. Kewajiban setiap individu. 2. Kewajiban orang lain/masyarakat. 3. Kewajiban pemerintah. 1. Kewajiban terhadap setiap individu tercermin dalam kewajiban bekerja dan berusaha. Kerja dan usaha merupakan cara pertama dan utama yang ditekankan oleh Kitab Suci Al-Quran, karena hal inilah yang sejalan dengan naluri manusia, sekaligus juga merupakan kehormatan dan harga dirinya. Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kesenangan kepada syahwat, berupa wanita (lawan seks), harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup duniawi. dan di sisi Allah tempat kecuali yany baik (QS Ali 'Imran: 14). Ayat ini secara tegas menggarisbawahi dua naluri manusia, yaitu naluri seksual yang dilukiskan sebagai "kesenangan kepada syahwat wanita" (lawan seks), dan naluri kepemilikan yang dipahami dari ungkapan (kesenangan kepada) "harta yang banyak". Sementara pakar menyatakan bahwa seakan-akan Al-Quran menjadikan kedua naluri itu sebagai naluri pokok manusia. Bukankah teks ayat tersebut membatasi (hashr) kesenangan hidup duniawi pada hasil penggunaan kedua naluri itu?. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, menjelaskan bagaimana naluri kepemilikan itu kemudian mendorong manusia bekerja dan berusaha. Hasil kerja tersebut apabila mencukupi kebutuhannya --dalam istilah agama-- disebut rizki (rezeki), dan bila melebihinya disebut kasb (hasil usaha). Kalau demikian kerja dan usaha merupakan dasar utama dalam memperoleh kecukupan dan kelebihan. Sedang mengharapkan usaha orang lain untuk keperluan itu, lahir dari adat kebiasaan dan di luar naluri manusia. Memang, lanjut Ibnu Khaldun, kebiasaan dapat membawa manusia jauh dari hakikat kemanusiaannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa jalan pertama dan utama yang diajarkan Al-Quran untuk pengentasan kemiskinan adalah kerja dan usaha yang diwajibkannya atas setiap individu yang mampu. Puluhan ayat yang memerintahkan dan mengisyaratkan kemuliaan bekerja. Segala pekerjaan dan usaha halal dipujinya, sedangkan segala bentuk pengangguran dikecam dan dicelanya. Apabila engkau telah menyelesaikan satu pekerjaan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (pekerjaan yang lain, agar jangan menganggu), dan hanya kepada Tuhanmu sajalah hendaknya kamu mengharap (QS Alam Nasyrah [94]: 7-8). Rasulullah Saw. juga pernah bersabda: Salah seorang di antara kamu mengambil tali, kemudian membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya lalu dijualnya, sehingga ditutup Allah air mukanya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang, baik ia diberi maupun ditolak (HR Bukhari). Kalau di tempat seseorang berdomisili, tidak ditemukan lapangan pekerjaan. Al-Quran menganjurkan kepada orang tersebut untuk berhijrah mencari tempat lain, dan ketika itu pasti dia bertemu di bumi ini, tempat perlindungan yang banyak dan keluasan, Barangsiapa berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapat di muka bumi tempat yang luas lagi rezeki yang banyak (QS Al-Nisa' [4]: 100). 2. Kewajiban orang lain tercermin pada jaminan satu rumpun keluarga, dan jaminan sosial dalam bentuk zakat dan sedekah wajib. Sebelum menguraikan cara kedua ini, perlu terlebih dahulu digarisbawahi bahwa menggantungkan penanggulangan problem kemiskinan semata-mata kepada sumbangan sukarela dan keinsafan pribadi, tidak dapat diandalkan. Teori ini telah dipraktekkan berabad-abad lamanya, namun hasilnya tidak pernah memuaskan. Sementara orang sering kali tidak merasa bahwa mereka mempunyai tanggung jawab sosial, walaupun ia telah memiliki kelebihan harta kekayaan. Karena itu diperlukan adanya penetapan hak dan kewajiban agar tanggung jawab keadilan sosial dapat terlaksana dengan baik. Dalam hal ini, Al-Quran walaupun menganjurkan sumbangan sukarela dan menekankan keinsafan pribadi, namun dalam beberapa hal Kitab Suci ini menekankan hak dan kewajiban, baik melalui kewajiban zakat, yang merupakan hak delapan kelompok yang ditetapkan (QS Al-Tawbah [9]: 60) maupun melalui sedekah wajib yang merupakan hak bagi yang meminta atau yang tidak, namun membutuhkan bantuan: Dalam harta mereka ada hak untuk (orang miskin yang meminta) dan yang tidak berkecukupan (walaupun tidak meminta) (QS Al-Dzariyat [51]: 19). Hak dan kewajiban tersebut mempunyai kekuatan tersendiri, karena keduanya dapat melahirkan "paksaan" kepada yang berkewajiban untuk melaksanakannya. Bukan hanya paksaan dan lubuk hatinya, tetapi juga atas dasar bahwa pemerintah dapat tampil memaksakan pelaksanaan kewajiban tersebut untuk diserahkan kepada pemilik haknya. Dalam konteks inilah Al-Quran menetapkan kewajiban membantu keluarga oleh rumpun keluarganya, dan kewajiban setiap individu untuk membantu anggota masyarakatnya. a. Jaminan satu rumpun keluarga Boleh jadi karena satu dan lain hal seseorang tidak mampu memperoleh kecukupan untuk kebutuhan pokoknya, maka dalam hal ini Al-Quran datang dengan konsep kewajiban memberi nafkah kepada keluarga, atau dengan istilah lain jaminan antar satu rumpun keluarga sehingga setiap keluarga harus saling menjamin dan mencukupi. Orang-orang yang berhubungan kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) (QS Al-Anfal [8]: 75). Dan berikanlah kepada keluarga dekat haknya, juga kepada orang miskin, dan orang yang berada dalam perjalanan...(QS Al-Isra' [17]: 26). Ayat ini menggarisbawahi adanya hak bagi keluarga yang tidak mampu terhadap yang mampu. Dalam mazhab Abu Hanifah memberi nafkah kepada anak dan cucu, atau ayah dan datuk merupakan. Kewajiban walaupun mereka bukan muslim. Para ahli hukum menetapkan bahwa yang dimaksud dengan nafkah mencakup sandang, pangan, papan dan perabotnya, pelayan (bagi yang memerlukannya), mengawinkan anak bila tiba saatnya, serta belanja untuk istri dan siapa saja yang menjadi tanggungannya. Hendaklah orang-orang yang mempunyai kelapangan, memberi nafkah sesuai dengan kelapangannya, dan barang siapa sempit rezekinya maka hendaklah ia memberi nafkah sesuai apa yang diberi Allah kepadanya (QS Al-Thalaq [65]: 7). b. Zakat Dari sekumpulan ayat-ayat Al-Quran dapat disimpulkan bahwa kewajiban zakat dan kewajiban-kewajiban keuangan lainnya, ditetapkan Allah berdasarkan pemilikan-Nya yang mutlak atas segala sesuatu, dan juga berdasarkan istikhlaf (penugasan manusia sebagai khalifah) dan persaudaraan semasyarakat, sebangsa, dan sekemanusiaan. Apa yang berada dalam genggaman tangan seseorang atau sekelompok orang, pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia diwajibkan menyerahkan kadar tertentu dari kekayaannya untuk kepentingan saudara-saudara mereka. Bukankah hasil-hasil produksi, apa pun bentuknya, pada hakikatnya merupakan pemanfaatan materi-materi yang telah diciptakan dan dimiliki Tuhan? Bukankah manusia dalam berproduksi hanya mengadakan perubahan, penyesuaian, atau perakitan satu bahan dengan bahan lain yang sebelumnya telah diciptakan Allah? Seorang petani berhasil dalam pertaniannya karena adanya irigasi, alat-alat (walaupun sederhana), makanan, pakaian, stabilitas keamanan, yang kesemuanya tidak mungkin dapat diwujudkan kecuali oleh kebersamaan pribadi-pribadi tersebut, dengan kata lain "masyarakat". Pedagang demikian pula halnya. Siapa yang menjual dan siapa pula yang membeli kalau bukan orang lain? Jelas sudah bahwa keberhasilan orang kaya adalah atas keterlibatan banyak pihak, termasuk para fakir miskin: "Kalian mendapat kemenangan dan kecukupan berkat orang-orang lemah di antara kalian." Demikian Nabi Saw. bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud melalui Abu Ad-Darda'. Kalau demikian, wajar jika Allah Swt. sebagai pemilik segala sesuatu, mewajibkan kepada yang berkelebihan agar menyisihkan sebagian harta mereka untuk orang yang memerlukan. Apabila kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan kepada kamu ganjaran, dan Dia tidak meminta harta bendamu (seluruhnya). Jika Tuhan meminta harta bendamu (sebagai zakat dan sumbangan wajib) dan Dia mendesakmu (agar engkau memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir, (karenanya Dia hanya meminta sebagian dan ketika itu bila kamu tetap kikir maka) Dia akan menampakkan kedengkian (kecemburuan sosial) antara kamu (QS Muhammad [47]: 36-37). Bukan di sini tempatnya menguraikan macam-macam zakat dan rinciannya, namun yang perlu digarisbawahi bahwa dalam pandangan hukum Islam, zakat harta yang diberikan kepada fakir miskin hendaknya dapat memenuhi kebutuhannya selama setahun, bahkan seumur hidup. Menutupi kebutuhan tersebut dapat berupa modal kerja sesuai dengan keahlian dan keterampilan masing-masing, yang ditopang oleh peningkatan kualitasnya. Hal lain yang perlu juga dicatat adalah bahwa pakar-pakar hukum Islam menetapkan kebutuhan pokok dimaksud mencakup kebutuhan sandang, pangan, papan, seks, pendidikan, dan kesehatan. 3. Kewajiban Pemerintah Pemerintah juga berkewajiban mencukupi setiap kebutuhan warga negara, melalui sumber-sumber dana yang sah. Yang terpenting di antaranya adalah pajak, baik dalam bentuk pajak perorangan, tanah, atau perdagangan, maupun pajak tambahan lainnya yang ditetapkan pemerintah bila sumber-sumber tersebut di atas belum mencukupi. ***** Al-Quran mewajibkan kepada setiap Muslim untuk berpartisipasi menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kemampuannya. Bagi yang tidak memiliki kemampuan material, maka paling sedikit partisipasinya diharapkan dalam bentuk merasakan, memikirkan, dan mendorong pihak lain untuk berpartisipasi aktif. Secara tegas Al-Quran mencap mereka yang enggan berpartisipasi (walau dalam bentuk minimal) sebagai orang yang telah mendustakan agama dan hari kemudian. Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (QS Al-Ma'un [107]: 1-3). Semoga kita terhindar dari segala macam bencana demikian itu.[] ---------------- WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |