| |
|
Beliau adalah manusia seperti manusia yang lain dalam naluri, fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan dalam sifat-sifat dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan Tuhan dan kedudukan istimewa di sisi-Nya, sedang yang lain tidak demikian. Seperti halnya permata adalah jenis batu yang sama jenisnya dengan batu yang di jalan, tetapi ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu-batu lain. Dalam bahasa tafsir Al-Quran, "Yang sama dengan manusia lain adalah basyariyah bukan pada insaniyah." Perhatikan bunyi firman tadi: basyarun mitslukum bukan insan mitslukum. Atas dasar sifat-sifat yang agung dan menyeluruh itu, Allah Swt. menjadikan beliau sebagai teladan yang baik sekaligus sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan) "Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian." (QS Al-Ahzab [33]: 2l). Keteladanan tersebut dapat dilakukan oleh setiap manusia, karena beliau telah memiliki segala sifat terpuji yang dapat dimiliki oleh manusia Dalam konteks ini, Abbas Al-Aqqad, seorang pakar Muslim kontemporer menguraikan bahwa manusia dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe: seniman, pemikir, pekerta, dan yang tekun beribadah. Sejarah hidup Nabi Muhammad Saw. membuktikan bahwa beliau menghimpun dan mencapai puncak keempat macam manusia tersebut. Karya-karyanya, ibadahnya, seni bahasa yang dikuasainya, serta pemikiran-pemikirannya sungguh mengagumkan setiap orang yang bersikap objektif. Karena itu pula seorang Muslim akan kagum berganda kepada beliau, sekali pada saat memandangnya melalui kacamata ilmu dan kemanusiaan, dan kedua kali pada saat memandangnya dengan kacamata iman dan agama. Banyak fungsi yang ditetapkan Allah bagi Nabi Muhammad Saw., antara lain sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan) (QS Al-Fath [48]: 8), yang pada akhirnya bermuara pada penyebarluasan rahmat bagi alam semesta. Di sini fungsi beliau sebagai syahid/syahid akan dijelaskan agak mendalam. Demikian itulah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi terhadap manusia, dan agar Rasul (Muhammad Saw.) menjadi saksi terhadap kamu ... (QS Al-Baqarah [2]: 143) Kata syahid/syahid antara lain berarti "menyaksikan," baik dengan pandangan mata maupun dengan pandangan hati (pengetahuan). Ayat itu menjelaskan keberadaan umat Islam pada posisi tengah, agar mereka tidak hanyut pada pengaruh kebendaan, tidak pula mengantarkannya membubung tinggi ke alam ruhani sehingga tidak berpijak lagi di bumi. Mereka berada di antara keduanya (posisi tengah), sehingga mereka dapat menjadi saksi dalam arti patron/teladan dan skala kebenaran bagi umat-umat yang lain, sedangkan Rasulullah Saw. yang juga berkedudukan sebagai syahid (saksi) adalah patron dan teladan bagi umat Islam. Kendati ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. akan menjadi saksi di hari kemudian terhadap umatnya dan umat-umat terdahulu, seperti bunyi firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa' (4): 41: Maka bagaimanakah halnya orang-orang kafir nanti apabila Kami menghadirkan seorang saksi dari tiap-tiap umat dan Kami hadirkan pula engkau (hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka (QS Al-Nisa, [4]: 41). Tingkat syahadat (persaksian) hanya diraih oleh mereka yang menelusuri jalan lurus (shirath al-mustaqim), sehingga mereka mampu menyaksikan yang tersirat di balik yang tersurat. Mereka yang menurut Ibnu Sina disebut "orang yang arif," mampu memandang rahasia Tuhan yang terbentang melalu qudrat-Nya. Tokoh dari segala saksi adalah Rasulullah Muhammad Saw. yang secara tegas di dalam ayat ini dinyatakan "diutus untuk menjadi syahid (saksi)." Sikap Allah Swt. terhadap Nabi Muhammad Saw. Dari penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. telah diseru oleh Allah dengan nama-nama mereka; Ya Adam..., Ya Musa..., Ya Isa..., dan sebagainya. Tetapi terhadap Nabi Muhammad Saw., Allah Swt. sering memanggilnya dengan panggilan kemuliaan, seperti Ya ayyuhan Nabi..., Ya ayyuhar Rasul..., atau memanggilnya dengan panggilan-panggilan mesra, seperti Ya ayyuhal muddatstsir, atau ya ayyuhal muzzammil (wahai orang yang berselimut). Kalau pun ada ayat yang menyebut namanya, nama tersebut dibarengi dengan gelar kehormatan. Perhatikan firman-Nya dalam surat Ali-'Imran (3): 144, Al-Ahzab (33): 40, Al-Fat-h (48): 29, dan Al-Shaff (61): 6. Dalam konteks ini dapat dimengerti mengapa Al-Quran berpesan kepada kaum mukmin. "Janganlah kamu menjadikan panggilan kepada Rasul di antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain... (QS Al-Nur [24]: 63). Sikap Allah kepada Rasul Saw. dapat juga dilihat dengan membandingkan sikap-Nya terhadap Musa a.s. Nabi Musa a.s. bermohon agar Allah menganugerahkan kepadanya kelapangan dada, serta memohon agar Allah memudahkan segala persoalannya. "Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku (QS Thaha [20]: 25-26). Sedangkan Nabi Muhammad Saw. memperoleh anugerah kelapangan dada tanpa mengajukan permohonan. Perhatikan firman Allah dalam surat Alam Nasyrah, Bukankah Kami telah melapangkan dadamu? (QS Alam Nasyrah [94]: 1). Dapat diambil kesimpulan bahwa yang diberi tanpa bermohon tentunya lebih dicintai daripada yang bermohon, baik permohonannya dikabulkan, lebih-lebih yang tidak. Permohonan Nabi Musa a.s. adalah agar urusannya dipermudah, sedangkan Nabi Muhammad Saw. bukan sekadar urusan yang dimudahkan Tuhan, melainkan beliau sendiri yang dianugerahi kemudahan. Sehingga betapapun sulitnya persoalan yang dihadapi -dengan pertolongan Allah-beliau akan mampu menyelesaikannya. Mengapa demikian? Karena Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad dalam surat Al-A'la (87): 8: "Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah." Mungkin saja urusan telah mudah, namun seseorang, karena satu dan lain sebab-tidak mampu menghadapinya. Tetapi jika yang bersangkutan telah memperoleh kemudahan, walaupun sulit urusan tetap akan terselesaikan. Keistimewaan yang dimiliki beliau tidak berhenti di sana saja. Juga dengan keistimewaan kedua, yaitu "jalan yang beliau tempuh selalu dimudahkan Tuhan" sebagaimana tersurat dalam firman Allah, "Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah." (QS Al-A'la [87]: 8). Dari sini jelas bahwa apa yang diperoleh oleh Nabi Muhammad Saw. melebihi apa yang diperoleh oleh Nabi Musa a.s., karena beliau tanpa bermohon pun memperoleh kemudahan berganda, sedangkan Nabi Musa a.s. baru memperoleh anugerah "kemudahan urusan" setelah mengajukan permohonannya. Itu bukan berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. dimanjakan oleh Allah, sehingga beliau tidak akan ditegur apabila melakukan sesuatu yang kurang wajar sebagai manusia pilihan. Dari Al-Quran ditemukan sekian banyak teguran-teguran Allah kepada beliau, dari yang sangat tegas hingga yang lemah lembut Perhatikan teguran firman Allah ketika beliau memberi izin kepada beberapa orang munafik untuk tidak ikut berperang. "Allah telah memaafkan kamu. Mengapa engkau mengizinkan mereka? (Seharusnya izin itu engkau berikan) setelah terbukti bagimu siapa yang berbohong dalam alasannya, dan siapa pula yang berkata benar (QS Al-Tawbah [9]: 43) Dalam ayat tersebut Allah mendahulukan penegasan bahwa beliau telah dimaafkan, baru kemudian disebutkan "kekeliruannya." Teguran keras baru akan diberikan kepada beliau terhadap ucapan yang mengesankan bahwa beliau mengetahui secara pasti orang yang diampuni Allah, dan yang akan disiksa-Nya, maupun ketika beliau merasa dapat menetapkan siapa yang berhak disiksa. "Engkau tidak mempunyai sedikit urusan pun. (Apakah) Allah menerima tobat mereka atau menyiksa mereka (QS Ali 'Imran [3]: 128). Perhatikan teguran Allah dalam surat 'Abasa ayat 1-2 kepada Nabi Muhammad Saw., yang tidak mau melayani orang buta yang datang meminta untuk belajar pada saat Nabi Saw. sedang melakukan pembicaraan dengan tokoh-tokoh kaum musyrik di Makkah "Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya..." Teguran ini dikemukakan dengan rangkaian sepuluh ayat, dan diakhiri dengan: "Sekali-kali jangan (demikian). Sesungguhnya ajaran-ajaran Allah adalah suatu peringatan" (QS 'Abasa [80]: 11). Nabi berpaling dan sekadar bermuka masam ketika seseorang mengganggu konsentrasi dan pembicaraan serius pada saat rapat; hakikatnya dapat dinilai sudah sangat baik bila dikerjakan oleh manusia biasa. Namun karena Muhammad Saw. adalah manusia pilihan, sikap dernikian itu dinilai kurang tepat, yang dalam istilah Al-Quran disebut zanb (dosa). Dalam hal ini ulama memperkenalkan kaidah: Hasanat al-abrar, sayyiat al-muqarrabin, yang berarti "kebajikan-kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang baik, (dapat dinilai sebagai) dosa (bila diperbuat oleh) orang-orang yang dekat kepada Tuhan." --oo0oo-- Disadari sepenuhnya bahwa uraian tentang Nabi Muhammad Saw. amat panjang, yang dapat diperoleh secara tersirat maupun tersurat dalam Al-Quran, maupun dari sunnah, riwayat, dan pandangan para pakar. Tidak mungkin seseorang dapat menjangkau dan menguraikan seluruhnya, karena itu sungguh tepat kesimpulan yang diberikan oleh penyair Al-Bushiri, "Batas pengetahuan tentang beliau, hanya bahwa beliau adalah seorang manusia, dan bahwa beliau adalah sebaik-baik makhluk Allah seluruhnya." Allahumma shalli wa sallim 'alaih. [] |
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |