Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

MUSYAWARAH                                               (2/2)
 
LAPANGAN MUSYAWARAH
 
Apakah  Al-Quran  memberikan  kebebasan  melakukan  musyawarah
untuk segala persoalan? Jawabannya secara tegas: Tidak.
 
Ayat  Ali  'Imran  di  atas, yang menyuruh Nabi Saw. melakukan
musyawarah,  menggunakan  kata  al-amr:  ketika  memerintahkan
bermusyawarah  (syawirhum  fil amr) yang diterjemahkan penulis
dengan "persoalan/urusan tertentu".  Sedangkan  ayat  Al-Syura
menggunakan  kata  amruhun  yang  terjemahannya adalah "urusan
mereka".
 
Kata amr dalam Al-Quran ada yang dinisbahkan kepada Tuhan  dan
sekaligus menjadi urusan-Nya semata, sehingga tidak ada campur
tangan manusia pada urusan tersebut, seperti misalnya:
 
     Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah "Ruh
     adalah urusan Tuhan-Ku" (QS Al-Isra' [17]: 85).
 
Ada juga amr yang dinisbahkan kepada manusia, misalnya  bentuk
yang  ditujukan  kepada  orang  kedua seperti dalam QS Al-Kahf
[18]: 16.
 
     Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu,
     dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam
     urusan kamu (QS Al-Kahf [18]: 16).
 
Atau ada juga yang dinisbahkan  kepada  orang  ketiga  seperti
dalam  surat  Al-Syura  yang  sedang  dibicarakan  ini (urusan
mereka).
 
Sebagaimana ada juga kata "amr"  yang  tidak  dinisbahkan  itu
yang   berbentuk   indefinitif,  sehingga  secara  umum  dapat
dikatakan mencakup segala sesuatu, seperti dalam QS Al-Baqarah
(2): 117.
 
     Apabila Dia (Allah) menetapkan sesuatu, Dia hanya
     berkata: "Jadilah", maka jadilah ia (QS Al-Baqarah [2]:
     117).
 
Sedangkan yang berbentuk definitif, maka  pengertiannya  dapat
mencakup  semua hal ataupun hal-hal tertentu saja. Sebagaimana
surat Al-Isra' ayat 85  yang  mengkhususkan  hal-hal  tertentu
sebagai  urusan  Allah.  Bahkan Al-Quran surat Ali 'Imran ayat
128 secara tegas menafikan pula  urusan-urusan  tertentu  dari
wewenang Nabi Saw.,
 
     Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka
     (itu), apakah Allah memaafkan mereka atau menyiksa
     mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang
     yang berlaku aniaya (QS Ali 'Imran [3]: l28).
 
Ayat ini turun berkaitan dengan ucapan Nabi Saw. ketika beliau
dilukai oleh kaum musyrikin pada perang Uhud. "Bagaimana Allah
akan mengampuni mereka, sedangkan mereka telah mengotori wajah
Nabi  Saw. dengan darah"? Dari riwayat lain dikemukakan, bahwa
ayat ini turun untuk menegur Nabi Saw. yang mengharapkan  agar
Tuhan  menyiksa orang-orang tertentu dan memaafkan orang-orang
1ain.
 
Betapapun,  dari  ayat-ayat  Al-Quran,  tampak  jelas   adanya
hal-hal  yang  merupakan  urusan Allah semata sehingga manusia
tidak diperkenankan untuk mencampurinya, dan ada  juga  urusan
yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia.
 
Dalam   konteks  ketetapan  Allah  dan  ketetapan  Rasul  yang
bersumber dari wahyu, Al-Quran menyatakan secara tegas:
 
     Tidaklah wajar bagi seorang mukmin atau mukminah,
     apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
     hukum, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
     urusan mereka (QS Al-Ahzab [33]: 36).
 
As-Sunnah juga  menginformasikan  bahwa  sahabat-sahabat  Nabi
Saw.  menyadari  benar  hal  tersebut,  sehingga  mereka tidak
mengajukan saran terhadap hal-hal yang  telah  mereka  ketahui
bersumber  dari  petunjuk  wahyu.  Umpamanya, ketika Nabi Saw.
memilih   suatu   lokasi   untuk   pasukan   Islam   menjelang
berkecamuknya  perang  Badar,  sahabat  beliau  Al-Khubbab bin
Al-Munzir yang memiliki  pandangan  berbeda  tidak  mengajukan
usulnya kecuali setelah bertanya:
 
   + "Apakah ini tempat yang ditujukan untuk engkau pilih,
     ataukah ini berdasarkan nalarmu, strategi perang, dan
     tipu muslihat?" tanya Al-Khubbab.
     
   - "Tempat ini adalah pilihan berdasar nalar, strategi
     perang, dan tipu muslihat," jawab Nabi Saw.
 
Mendengar jawaban  itu,  barulah  Al-Khubbab  mengajukan  usul
untuk  memilih  lokasi  lain di dekat sumber air, dan kemudian
disetujui oleh Nabi Saw. Demikian diriwayatkan oleh Al-Hakim.
 
Ketika terjadi perundingan Hudaibiyah, sebagian besar  sahabat
Nabi  Saw.  terutama  Umar  bin  Khaththab,  amat  berat  hati
menerima  rinciannya,  namun  semuanya  terdiam  ketika   Nabi
bersabda. "Aku adalah Rasulullah Saw."
 
Sebagian  pakar tafsir membatasi masalah permusyawarahan hanya
untuk yang berkaitan  dengan  urusan  dunia,  bukan  persoalan
agama.  Pakar  yang  lain memperluas hingga membenarkan adanya
musyawarah di samping untuk urusan dunia, juga untuk  sebagian
masalah  keagamaan.  Alasannya, karena dengan adanya perubahan
sosial,   sebagian   masalah   keagamaan   belum    ditentukan
penyelesaiannya di dalam Al-Quran maupun sunnah Nabi Saw.
 
Dari sini disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada
petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas,  baik  langsung
maupun  melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti
misalnya tata cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan  pada
hal-hal    yang    belum    ditentukan    petunjuknya,   serta
persoalan-persoalan kehidupan duniawi, baik  yang  petunjuknya
bersifat  global  maupun  tanpa  petunjuk  dan  yang mengalami
perkembangan dan perubahan.
 
Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan  urusan
masyarakat  dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi, dan
sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi  bahwa  beliau
pun  bermusyawarah  (meminta  saran  dan  pendapat)  di  dalam
beberapa persoalan pribadi atau  keluarga.  Salah  satu  kasus
keluarga   yang   beliau  musyawarahkan  adalah  kasus  fitnah
terhadap  istri  beliau  Aisyah  r.a.  yang  digosipkan  telah
menodai   kehormatan   rumah  tangga.  Ketika  gosip  tersebut
menyebar,  Rasulullah  Saw.  bertanya  kepada   sekian   orang
sahabat/keluarganya.
 
Walhasil,  kita  dapat  menyimpulkan  bahwa  musyawarah  dapat
dilakukan untuk segala masalah yang  belum  terdapat  petunjuk
agama  secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan
kehidupan duniawi.
 
Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan
ibadah,   tidak   dapat   dimusyawarahkan.   Bagaimana   dapat
dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia  tidak
dan belum sampai ke sana?
 
BERMUSYAWARAH DENGAN SIAPA?
 
Persoalan  yang  dimusyawarahkan  barangkali  merupakan urusan
pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum.  Dalam  ayat
pertama  tentang  musyawarah  di atas, Nabi Saw. diperintahkan
bermusyawarah dengan "mereka". Mereka siapa? Tentu saja mereka
yang  dipimpin  oleh  Nabi  Saw., yakni yang disebut umat atau
anggota masyarakat.
 
Sedangkan ayat yang lain menyatakan,
 
     Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka (QS Syura
     [42]: 38).
 
Ini berarti yang dimusyawarahkan adalah persoalan yang  khusus
berkaitan   dengan   masyarakat  sebagai  satu  unit.  Tetapi,
sebagaimana  yang  dipraktekkan  oleh  Nabi  Saw.   dan   para
sahabatnya,  tidak  tertutup  kemungkinan memperluas jangkauan
pengertiannya sehingga  mencakup  persoalan  individu  sebagai
anggota masyarakat.
 
Ayat-ayat  musyawarah  yang  dikutip  di atas tidak menetapkan
sifat-sifat  mereka  yang  diajak  bermusyawarah,  tidak  juga
jumlahnya. Namun demikian, dari As-Sunnah dan pandangan ulama,
diperoleh informasi tentang sifat-sifat  umum  yang  hendaknya
dimiliki  oleh  yang  diajak  bermusyawarah.  Satu dari sekian
riwayat menyatakan bahwa Rasul  Saw.  pernah  berpesan  kepada
Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:
 
     Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena
     dia mempersempit jalan keluar. Jangan juga dengan yang
     kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu. Juga
     tidak dengan yang berambisi, karena dia akan
     memperindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai
     Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi, merupakan bawaan
     yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka buruk
     terhadap Allah.
 
Imam Ja'far Ash-Shadiq pun berpesan,
 
     Bermuyawarahlah dalam persoalan-persoalanmu dengan
     seseorang yang memiliki lima hal: akal, lapang dada,
     pengalaman, perhatian, dan takwa.
 
Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan  masyarakat,
praktek  yang  dilakukan  Nabi  Saw.  cukup beragam. Terkadang
beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang
yang  dimusyawarahkan, terkadang juga melibatkan pemuka-pemuka
masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua  yang  terlibat  di
dalam masalah yang dihadapi.
 
Sebagian  pakar tafsir membicarakan musyawarah dan orang-orang
yang terlibat di dalamnya  ketika  mereka  menafsirkan  firman
Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa'(4): 59:
 
     Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
     taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amr di antara kamu.
     Kemudian jika kamu berbeda pendapat mengenai suatu hal,
     kembalikanlah kepada (jiwa ajaran) Allah (Al-Quran) dan
     (jiwa ajaran) Rasul (sunnahnya). Yang demikian itu
     lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS
     Al-Nisa [4]: 59).
 
Dalam ayat itu terdapat kalimat u1u1 amr,  yang  diperintahkan
untuk ditaati. Kata amr di sini berkaitan dengan kata amr yang
disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Syura  ayat  38  (persoalan
atau  urusan mereka, merekalah yang memusyawarahkan). Tentunya
tidak  mudah  melibatkan  seluruh  anggota  masyarakat   dalam
musyawarah  itu,  tetapi  keterlibatan mereka dapat diwujudkan
melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka,  yang  oleh
para  pakar  diberi  nama  berbeda-beda  sekali  Ahl Al-Hal wa
Al-'Aqd, dikali lain  Ahl  Al-Ijtihad,  dan  kali  ketiga  Ahl
Al-Syura.
 
Dapat  disimpulkan  bahwa Ahl Al-Syura merupakan istilah umum,
yang kepada mereka para penguasa  dapat  meminta  pertimbangan
dan  saran. Jika demikian, tidak perlu ditetapkan secara rinci
dan ketat sifat-sifat mereka, tergantung  pada  persoalan  apa
yang sedang dimusyawarahkan.
 
Sebagian  pakar  kontemporer  memahami  istilah  Ahl Al-Hal wa
Al-'Aqd sebagai orang-orang yang mempunyai pengaruh di  tengah
masyarakat, sehingga kecenderungan mereka kepada satu pendapat
atau keputusan mereka dapat mengantarkan masyarakat  pada  hal
yang sama.
 
Muhammad  Abduh  memahami  Ahl Al-Hal wa Al-'Aqd sebagai orang
yang  menjadi   rujukan   masyarakat   untuk   kebutuhan   dan
kepentingan  umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun
non-formal, sipil maupun militer.
 
Adapun Ahl Al-Ijtihad adalah kelompok ahli dan para  teknokrat
dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu.
 
SYURA DAN DEMOKRASI
 
Al-Quran   dan   Sunnah   menetapkan  beberapa  prinsip  pokok
berkaitan  dengan   kehidupan   politik,   seperti   al-syura,
keadilan,   tanggung   jawab,  kepastian  hukum,  jaminan  haq
al-'ibad (hak-hak manusia),  dan  lain-lain,  yang  kesemuanya
memiliki kaitan dengan syura atau demokrasi.
 
Apabila  kita  bermaksud membandingkan syura dengan demokrasi,
tentunya perlu juga dijelaskan  apa  yang  disebut  demokrasi.
Namun,  untuk tidak memasuki perincian tentang makna demokrasi
yang beraneka ragam, dapat dikatakan  bahwa  manusia  mengenal
tiga cara menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat, yaitu:
 
  1. Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.
     
  2. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan
     minoritas.
     
  3. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan
     mayoritas, dan ini biasanya menjadi ciri umum
     demokrasi.
 
Syura yang  diwajibkan  oleh  Islam  tidak  dapat  dibayangkan
berwujud   seperti  bentuk  pertama,  karena  hal  itu  justru
menjadikan syura lumpuh. Bentuk kedua pun tidak sesuai  dengan
makna syura, sebab apakah keistimewaan pendapat minoritas yang
mengalahkan pandangan mayoritas?
 
Memang ada  sebagian  pakar  Islam  kontemporer  yang  menolak
kewenangan mayoritas berdasar firman Allah:
 
     Tidak sama yang buruk dengan yang baik, walaupun
     banyaknya yang buruk itu menyenangkan kamu (QS
     Al-Ma-idah [51: 100).
 
Dan firman Allah:
 
     Kebanyakan kamu tidak menyenangi kebenaran (QS
     Al-Zukhruf [43]: 78).
 
Tetapi pandangan mereka sulit diterima, karena  ayat-ayat  itu
bukan  berbicara  dalam  konteks  musyawarah  melainkan  dalam
konteks petunjuk Ilahi yang diberikan  kepada  para  Nabi  dan
ditolak  oleh sebagian besar anggota masyarakatnya ketika itu.
Ayat-ayat tersebut berbicara tentang sikap  masyarakat  Makkah
ketika itu, serta umat manusia dalam kenyataannya dewasa ini.
 
Namun  demikian,  walaupun  syura  di  dalam Islam membenarkan
keputusan pendapat mayoritas, tetapi menurut  sementara  pakar
ia  tidaklah  mutlak.  Demikian  Dr. Ahmad Kamal Abu Al-Majad,
seorang pakar Muslim Mesir kontemporer dalam bukunya Hiwar  la
Muwayahah (Dialog Bukanlah Konfrontasi). Agaknya yang dimaksud
adalah bahwa keputusan  janganlah  langsung  diambil  berdasar
pandangan   mayoritas   setelah   melakukan  sekali  dua  kali
musyawarah, tetapi  hendaknya  berulang-ulang  hingga  dicapai
kesepakatan.
 
Ini  karena  syura  dilaksanakan oleh orang-orang pilihan yang
memiliki sifat-sifat terpuji serta tidak memiliki  kepentingan
pribadi   atau  golongan,  dan  dilaksanakan  sewajarnya  agar
disepakati bersama. Sekalipun ada di antara mereka yang  tidak
menerima   keputusan,   itu   dapat  menjadi  indikasi  adanya
sisi-sisi yang kurang berkenan di hati dan pikiran orang-orang
pilihan   walaupun  mereka  minoritas,  sehingga  masih  perlu
dibicarakan  lebih  lanjut  agar   mencapai   mufakat   (untuk
menemukan "madu" atau yang terbaik).
 
Ini merupakan salah satu perbedaan antara syura di dalam Islam
dengan demokrasi secara umum.
 
Memang, apabila pembicaraan berlarut tanpa menemukan  mufakat,
dan  tidak ada jalan lain kecuali memilih pandangan mayoritas,
saat itu dapat dikatakan bahwa kedua  pandangan  masing-masing
baik,  tetapi yang satu jauh lebih baik. Di dalam kaidah agama
diajarkan apabila terdapat dua pilihan  yang  sama-sama  baik,
pilihlah  yang  lebih  banyak  sisi baiknya, dan jika keduanya
buruk, pilihlah yang paling sedikit keburukannya.
 
Dari  segi  implikasi  pengangkatan  pimpinan,  terdapat  juga
perbedaan.   Walaupun   keduanya   --syura   dan   demokrasi--
menetapkan bahwa pimpinan  diangkat  melalui  kontrak  sosial,
namun  syura  di  dalam Islam mengaitkannya dengan "Perjanjian
Ilahi". Ini diisyaratkan oleh Al-Quran dalam firman-Nya ketika
mengaangkat Nabi Ibrahim a.s. sebagai imam
 
     Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
     Imam (pemimpin) bagi manusia." Ibrahim berkata, "Saya
     bermohon agar pengangkatan ini dianugerahkan juga
     kepada sebagian keturunanku." Dia (Allah) berfirman,
     "Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim"
     (QS Al-Baqarah [2]: 124)
 
Dari sini lahir perbedaan ketiga, yaitu bahwa dalam  demokrasi
sekular persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Tetapi
dalam syura  yang  diajarkan  Islam,  tidak  dibenarkan  untuk
memusyawarahkan  segala  sesuatu  yang  telah ada ketetapannya
dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak  pula  dibenarkan
menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran
Ilahi.
 
                              ***
 
Demikian  sekilas  mengenai  wawasan   musyawarah   di   dalam
Al-Quran.   Agaknya   dapat   disimpulkan,   bahwa  musyawarah
diperintahkan oleh Al-Quran, serta dinilai sebagai salah  satu
prinsip hukum dan politik untuk umat manusia.
 
Namun  demikian,  Al-Quran  tidak merinci atau meletakkan pola
dan bentuk  musyawarah  tertentu.  Paling  tidak,  yang  dapat
disimpulkan  dari  teks-teks  Al-Quran  hanyalah  bahwa  Islam
menuntut adanya keterlibatan masyarakat di dalam  urusan  yang
berkaitan  dengan  mereka.  Perincian  keterlibatan, pola, dan
caranya diserahkan  kepada  masing-masing  masyarakat,  karena
satu  masyarakat  dapat berbeda dengan masyarakat lain. Bahkan
masyarakat tertentu dapat  mempunyai  pandangan  berbeda  dari
suatu masa ke masa yang lain.
 
Sikap Al-Quran seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap
masyarakat  untuk   menyesuaikan   sistem   syura-nya   dengan
kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya.
 
Mengikat  diri  atau  masyarakat  kita  dengan fatwa ulama dan
pakar-pakar masa lampau, bahkan  pendapat  para  sahabat  Nabi
Saw.  dalam  persoalan  syura,  atau  pandangan dan pengalaman
masyarakat lain,  serta  membatasi  diri  dengan  istilah  dan
pengertian   tertentu,   bukanlah  sesuatu  yang  tepat,  baik
ditinjau dari segi logika maupun pandangan agama.
 
Memang setiap masyarakat di setiap masa  memiliki  budaya  dan
kondisi yang khas, sehingga wajar jika masing-masing mempunyai
pandangan dan jalan yang  berbeda-beda.  Hakikat  ini  agaknya
merupakan salah satu kandungan makna firman Allah.
 
     Setiap umat (masyarakat) di antara kamu, Kami berikan
     aturan dan jalan yang terang (QS Al-Maidah [5]: 48).
 
Mahabenar Allah Yang Mahaagung dalam segala firman-Nya.[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team