|
|
|
|
|
MUSYAWARAH (2/2)
LAPANGAN MUSYAWARAH
Apakah Al-Quran memberikan kebebasan melakukan musyawarah
untuk segala persoalan? Jawabannya secara tegas: Tidak.
Ayat Ali 'Imran di atas, yang menyuruh Nabi Saw. melakukan
musyawarah, menggunakan kata al-amr: ketika memerintahkan
bermusyawarah (syawirhum fil amr) yang diterjemahkan penulis
dengan "persoalan/urusan tertentu". Sedangkan ayat Al-Syura
menggunakan kata amruhun yang terjemahannya adalah "urusan
mereka".
Kata amr dalam Al-Quran ada yang dinisbahkan kepada Tuhan dan
sekaligus menjadi urusan-Nya semata, sehingga tidak ada campur
tangan manusia pada urusan tersebut, seperti misalnya:
Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah "Ruh
adalah urusan Tuhan-Ku" (QS Al-Isra' [17]: 85).
Ada juga amr yang dinisbahkan kepada manusia, misalnya bentuk
yang ditujukan kepada orang kedua seperti dalam QS Al-Kahf
[18]: 16.
Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu,
dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam
urusan kamu (QS Al-Kahf [18]: 16).
Atau ada juga yang dinisbahkan kepada orang ketiga seperti
dalam surat Al-Syura yang sedang dibicarakan ini (urusan
mereka).
Sebagaimana ada juga kata "amr" yang tidak dinisbahkan itu
yang berbentuk indefinitif, sehingga secara umum dapat
dikatakan mencakup segala sesuatu, seperti dalam QS Al-Baqarah
(2): 117.
Apabila Dia (Allah) menetapkan sesuatu, Dia hanya
berkata: "Jadilah", maka jadilah ia (QS Al-Baqarah [2]:
117).
Sedangkan yang berbentuk definitif, maka pengertiannya dapat
mencakup semua hal ataupun hal-hal tertentu saja. Sebagaimana
surat Al-Isra' ayat 85 yang mengkhususkan hal-hal tertentu
sebagai urusan Allah. Bahkan Al-Quran surat Ali 'Imran ayat
128 secara tegas menafikan pula urusan-urusan tertentu dari
wewenang Nabi Saw.,
Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka
(itu), apakah Allah memaafkan mereka atau menyiksa
mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang berlaku aniaya (QS Ali 'Imran [3]: l28).
Ayat ini turun berkaitan dengan ucapan Nabi Saw. ketika beliau
dilukai oleh kaum musyrikin pada perang Uhud. "Bagaimana Allah
akan mengampuni mereka, sedangkan mereka telah mengotori wajah
Nabi Saw. dengan darah"? Dari riwayat lain dikemukakan, bahwa
ayat ini turun untuk menegur Nabi Saw. yang mengharapkan agar
Tuhan menyiksa orang-orang tertentu dan memaafkan orang-orang
1ain.
Betapapun, dari ayat-ayat Al-Quran, tampak jelas adanya
hal-hal yang merupakan urusan Allah semata sehingga manusia
tidak diperkenankan untuk mencampurinya, dan ada juga urusan
yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia.
Dalam konteks ketetapan Allah dan ketetapan Rasul yang
bersumber dari wahyu, Al-Quran menyatakan secara tegas:
Tidaklah wajar bagi seorang mukmin atau mukminah,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
hukum, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka (QS Al-Ahzab [33]: 36).
As-Sunnah juga menginformasikan bahwa sahabat-sahabat Nabi
Saw. menyadari benar hal tersebut, sehingga mereka tidak
mengajukan saran terhadap hal-hal yang telah mereka ketahui
bersumber dari petunjuk wahyu. Umpamanya, ketika Nabi Saw.
memilih suatu lokasi untuk pasukan Islam menjelang
berkecamuknya perang Badar, sahabat beliau Al-Khubbab bin
Al-Munzir yang memiliki pandangan berbeda tidak mengajukan
usulnya kecuali setelah bertanya:
+ "Apakah ini tempat yang ditujukan untuk engkau pilih,
ataukah ini berdasarkan nalarmu, strategi perang, dan
tipu muslihat?" tanya Al-Khubbab.
- "Tempat ini adalah pilihan berdasar nalar, strategi
perang, dan tipu muslihat," jawab Nabi Saw.
Mendengar jawaban itu, barulah Al-Khubbab mengajukan usul
untuk memilih lokasi lain di dekat sumber air, dan kemudian
disetujui oleh Nabi Saw. Demikian diriwayatkan oleh Al-Hakim.
Ketika terjadi perundingan Hudaibiyah, sebagian besar sahabat
Nabi Saw. terutama Umar bin Khaththab, amat berat hati
menerima rinciannya, namun semuanya terdiam ketika Nabi
bersabda. "Aku adalah Rasulullah Saw."
Sebagian pakar tafsir membatasi masalah permusyawarahan hanya
untuk yang berkaitan dengan urusan dunia, bukan persoalan
agama. Pakar yang lain memperluas hingga membenarkan adanya
musyawarah di samping untuk urusan dunia, juga untuk sebagian
masalah keagamaan. Alasannya, karena dengan adanya perubahan
sosial, sebagian masalah keagamaan belum ditentukan
penyelesaiannya di dalam Al-Quran maupun sunnah Nabi Saw.
Dari sini disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada
petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik langsung
maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti
misalnya tata cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada
hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta
persoalan-persoalan kehidupan duniawi, baik yang petunjuknya
bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami
perkembangan dan perubahan.
Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan
masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi, dan
sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau
pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat) di dalam
beberapa persoalan pribadi atau keluarga. Salah satu kasus
keluarga yang beliau musyawarahkan adalah kasus fitnah
terhadap istri beliau Aisyah r.a. yang digosipkan telah
menodai kehormatan rumah tangga. Ketika gosip tersebut
menyebar, Rasulullah Saw. bertanya kepada sekian orang
sahabat/keluarganya.
Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat
dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk
agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan
kehidupan duniawi.
Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan
ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat
dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia tidak
dan belum sampai ke sana?
BERMUSYAWARAH DENGAN SIAPA?
Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan
pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam ayat
pertama tentang musyawarah di atas, Nabi Saw. diperintahkan
bermusyawarah dengan "mereka". Mereka siapa? Tentu saja mereka
yang dipimpin oleh Nabi Saw., yakni yang disebut umat atau
anggota masyarakat.
Sedangkan ayat yang lain menyatakan,
Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka (QS Syura
[42]: 38).
Ini berarti yang dimusyawarahkan adalah persoalan yang khusus
berkaitan dengan masyarakat sebagai satu unit. Tetapi,
sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Saw. dan para
sahabatnya, tidak tertutup kemungkinan memperluas jangkauan
pengertiannya sehingga mencakup persoalan individu sebagai
anggota masyarakat.
Ayat-ayat musyawarah yang dikutip di atas tidak menetapkan
sifat-sifat mereka yang diajak bermusyawarah, tidak juga
jumlahnya. Namun demikian, dari As-Sunnah dan pandangan ulama,
diperoleh informasi tentang sifat-sifat umum yang hendaknya
dimiliki oleh yang diajak bermusyawarah. Satu dari sekian
riwayat menyatakan bahwa Rasul Saw. pernah berpesan kepada
Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:
Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena
dia mempersempit jalan keluar. Jangan juga dengan yang
kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu. Juga
tidak dengan yang berambisi, karena dia akan
memperindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai
Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi, merupakan bawaan
yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka buruk
terhadap Allah.
Imam Ja'far Ash-Shadiq pun berpesan,
Bermuyawarahlah dalam persoalan-persoalanmu dengan
seseorang yang memiliki lima hal: akal, lapang dada,
pengalaman, perhatian, dan takwa.
Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat,
praktek yang dilakukan Nabi Saw. cukup beragam. Terkadang
beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang
yang dimusyawarahkan, terkadang juga melibatkan pemuka-pemuka
masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua yang terlibat di
dalam masalah yang dihadapi.
Sebagian pakar tafsir membicarakan musyawarah dan orang-orang
yang terlibat di dalamnya ketika mereka menafsirkan firman
Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa'(4): 59:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amr di antara kamu.
Kemudian jika kamu berbeda pendapat mengenai suatu hal,
kembalikanlah kepada (jiwa ajaran) Allah (Al-Quran) dan
(jiwa ajaran) Rasul (sunnahnya). Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS
Al-Nisa [4]: 59).
Dalam ayat itu terdapat kalimat u1u1 amr, yang diperintahkan
untuk ditaati. Kata amr di sini berkaitan dengan kata amr yang
disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Syura ayat 38 (persoalan
atau urusan mereka, merekalah yang memusyawarahkan). Tentunya
tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat dalam
musyawarah itu, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan
melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka, yang oleh
para pakar diberi nama berbeda-beda sekali Ahl Al-Hal wa
Al-'Aqd, dikali lain Ahl Al-Ijtihad, dan kali ketiga Ahl
Al-Syura.
Dapat disimpulkan bahwa Ahl Al-Syura merupakan istilah umum,
yang kepada mereka para penguasa dapat meminta pertimbangan
dan saran. Jika demikian, tidak perlu ditetapkan secara rinci
dan ketat sifat-sifat mereka, tergantung pada persoalan apa
yang sedang dimusyawarahkan.
Sebagian pakar kontemporer memahami istilah Ahl Al-Hal wa
Al-'Aqd sebagai orang-orang yang mempunyai pengaruh di tengah
masyarakat, sehingga kecenderungan mereka kepada satu pendapat
atau keputusan mereka dapat mengantarkan masyarakat pada hal
yang sama.
Muhammad Abduh memahami Ahl Al-Hal wa Al-'Aqd sebagai orang
yang menjadi rujukan masyarakat untuk kebutuhan dan
kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun
non-formal, sipil maupun militer.
Adapun Ahl Al-Ijtihad adalah kelompok ahli dan para teknokrat
dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu.
SYURA DAN DEMOKRASI
Al-Quran dan Sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok
berkaitan dengan kehidupan politik, seperti al-syura,
keadilan, tanggung jawab, kepastian hukum, jaminan haq
al-'ibad (hak-hak manusia), dan lain-lain, yang kesemuanya
memiliki kaitan dengan syura atau demokrasi.
Apabila kita bermaksud membandingkan syura dengan demokrasi,
tentunya perlu juga dijelaskan apa yang disebut demokrasi.
Namun, untuk tidak memasuki perincian tentang makna demokrasi
yang beraneka ragam, dapat dikatakan bahwa manusia mengenal
tiga cara menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat, yaitu:
1. Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.
2. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan
minoritas.
3. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan
mayoritas, dan ini biasanya menjadi ciri umum
demokrasi.
Syura yang diwajibkan oleh Islam tidak dapat dibayangkan
berwujud seperti bentuk pertama, karena hal itu justru
menjadikan syura lumpuh. Bentuk kedua pun tidak sesuai dengan
makna syura, sebab apakah keistimewaan pendapat minoritas yang
mengalahkan pandangan mayoritas?
Memang ada sebagian pakar Islam kontemporer yang menolak
kewenangan mayoritas berdasar firman Allah:
Tidak sama yang buruk dengan yang baik, walaupun
banyaknya yang buruk itu menyenangkan kamu (QS
Al-Ma-idah [51: 100).
Dan firman Allah:
Kebanyakan kamu tidak menyenangi kebenaran (QS
Al-Zukhruf [43]: 78).
Tetapi pandangan mereka sulit diterima, karena ayat-ayat itu
bukan berbicara dalam konteks musyawarah melainkan dalam
konteks petunjuk Ilahi yang diberikan kepada para Nabi dan
ditolak oleh sebagian besar anggota masyarakatnya ketika itu.
Ayat-ayat tersebut berbicara tentang sikap masyarakat Makkah
ketika itu, serta umat manusia dalam kenyataannya dewasa ini.
Namun demikian, walaupun syura di dalam Islam membenarkan
keputusan pendapat mayoritas, tetapi menurut sementara pakar
ia tidaklah mutlak. Demikian Dr. Ahmad Kamal Abu Al-Majad,
seorang pakar Muslim Mesir kontemporer dalam bukunya Hiwar la
Muwayahah (Dialog Bukanlah Konfrontasi). Agaknya yang dimaksud
adalah bahwa keputusan janganlah langsung diambil berdasar
pandangan mayoritas setelah melakukan sekali dua kali
musyawarah, tetapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapai
kesepakatan.
Ini karena syura dilaksanakan oleh orang-orang pilihan yang
memiliki sifat-sifat terpuji serta tidak memiliki kepentingan
pribadi atau golongan, dan dilaksanakan sewajarnya agar
disepakati bersama. Sekalipun ada di antara mereka yang tidak
menerima keputusan, itu dapat menjadi indikasi adanya
sisi-sisi yang kurang berkenan di hati dan pikiran orang-orang
pilihan walaupun mereka minoritas, sehingga masih perlu
dibicarakan lebih lanjut agar mencapai mufakat (untuk
menemukan "madu" atau yang terbaik).
Ini merupakan salah satu perbedaan antara syura di dalam Islam
dengan demokrasi secara umum.
Memang, apabila pembicaraan berlarut tanpa menemukan mufakat,
dan tidak ada jalan lain kecuali memilih pandangan mayoritas,
saat itu dapat dikatakan bahwa kedua pandangan masing-masing
baik, tetapi yang satu jauh lebih baik. Di dalam kaidah agama
diajarkan apabila terdapat dua pilihan yang sama-sama baik,
pilihlah yang lebih banyak sisi baiknya, dan jika keduanya
buruk, pilihlah yang paling sedikit keburukannya.
Dari segi implikasi pengangkatan pimpinan, terdapat juga
perbedaan. Walaupun keduanya --syura dan demokrasi--
menetapkan bahwa pimpinan diangkat melalui kontrak sosial,
namun syura di dalam Islam mengaitkannya dengan "Perjanjian
Ilahi". Ini diisyaratkan oleh Al-Quran dalam firman-Nya ketika
mengaangkat Nabi Ibrahim a.s. sebagai imam
Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
Imam (pemimpin) bagi manusia." Ibrahim berkata, "Saya
bermohon agar pengangkatan ini dianugerahkan juga
kepada sebagian keturunanku." Dia (Allah) berfirman,
"Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim"
(QS Al-Baqarah [2]: 124)
Dari sini lahir perbedaan ketiga, yaitu bahwa dalam demokrasi
sekular persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Tetapi
dalam syura yang diajarkan Islam, tidak dibenarkan untuk
memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya
dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan
menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran
Ilahi.
***
Demikian sekilas mengenai wawasan musyawarah di dalam
Al-Quran. Agaknya dapat disimpulkan, bahwa musyawarah
diperintahkan oleh Al-Quran, serta dinilai sebagai salah satu
prinsip hukum dan politik untuk umat manusia.
Namun demikian, Al-Quran tidak merinci atau meletakkan pola
dan bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat
disimpulkan dari teks-teks Al-Quran hanyalah bahwa Islam
menuntut adanya keterlibatan masyarakat di dalam urusan yang
berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan, pola, dan
caranya diserahkan kepada masing-masing masyarakat, karena
satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lain. Bahkan
masyarakat tertentu dapat mempunyai pandangan berbeda dari
suatu masa ke masa yang lain.
Sikap Al-Quran seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap
masyarakat untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan
kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya.
Mengikat diri atau masyarakat kita dengan fatwa ulama dan
pakar-pakar masa lampau, bahkan pendapat para sahabat Nabi
Saw. dalam persoalan syura, atau pandangan dan pengalaman
masyarakat lain, serta membatasi diri dengan istilah dan
pengertian tertentu, bukanlah sesuatu yang tepat, baik
ditinjau dari segi logika maupun pandangan agama.
Memang setiap masyarakat di setiap masa memiliki budaya dan
kondisi yang khas, sehingga wajar jika masing-masing mempunyai
pandangan dan jalan yang berbeda-beda. Hakikat ini agaknya
merupakan salah satu kandungan makna firman Allah.
Setiap umat (masyarakat) di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang (QS Al-Maidah [5]: 48).
Mahabenar Allah Yang Mahaagung dalam segala firman-Nya.[]
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |