Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PAKAIAN                                                  (4/4)
 
Riwayat berikut juga dijadikan alasan,
 
     Pemuda, Al-Fadhl bin Abbas, ketika haji Wada'
     menunggang unta bersama Nabi Saw., dan ketika itu ada
     seorang wanita cantik, yang ditatap terus-menerus oleh
     Al-Fadhl. Maka Nabi Saw. memegang dagu Al-Fadhl dan
     mengalihkan wajahnya agar ia tidak melihat wanita
     tersebut secara terus-menerus.
 
Demikian  diriwayatkan  oleh  Bukhari  dari  saudara  Al-Fadhl
sendiri, yaitu Ibnu Abbas.
 
Bahkan penganut pendapat ini merujuk kepada ayat A1-Quran,
 
     Dan apabila kamu meminta sesuatu dan mereka, maka
     mintalah dari belakang tabir (QS Al-Ahzab 133]: 53).
 
Ayat  ini  walaupun  berkaitan  dengan permintaan sesuatu dari
istri Nabi, namun dijadikan oleh ulama penganut kedua pendapat
di atas, sebagai dalil pendapat mereka.
 
Ketġga,  memahami  "kecuali  apa  yang tampak" dalam arti yang
yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya  sehingga  harus
tampak."  Kebutuhan  disini  dalam  arti menimbulkan kesulitan
bila bagian badan tersebut ditutup. Mayoritas  ulama  memahami
penggalan  ayat  tersebut  dalam arti ketiga ini. Cukup banyak
hadis yang mendukung pendapat ini. Misalnya:
 
     Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya
     kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua
     tangannya, kecuali sampai di sini (Nabi kemudran
     memegang setengah tangan belġau) (HR Ath-Thabari).
 
     Apabila wanita telah haid, tidak wajar terlihat darinya
     kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan (HR
     Abu Daud).
 
Pakar tafsir Al-Qurthubi, dalam tafsirnya  mengemukakan  bahwa
ulama  besar  Said  bin Jubair, Atha dan Al-Auzaiy berpendapat
bahwa yang boleh dilihat hanya  wajah  wanita,  kedua  telapak
tangan  dan  busana  yang dipakainya. Sedang sahabat Nabi Ibnu
Abbas, Qatadah, dan Miswar bin  Makhzamah,  berpendapat  bahwa
yang  boleh  termasuk  juga  celak mata, gelang, setengah dari
tangan  yang  dalam  kebiasaan  wanita  Arab  dihiasi/diwarnai
dengan  pacar  (yaitu  semacam zat klorofil yang terdapat pada
tumbuhan  yang  hijau),  anting,   cincin,   dan   semacamnya.
Al-Qurthubi juga mengemukakan hadis yang menguraikan kewajiban
menutup setengah tangan.
 
Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Guru Besar  Universitas  Al-Azhar
Mesir,  mengemukakan  dalam  tafsirnya-yang menjadi buku wajib
pada Fakultas Syariah Al-Azhar bahwa Abu  Hanifah  berpendapat
kedua  kaki,  juga  bukan aurat. Abu Hanifah mengajukan alasan
bahwa ini lebih menyulitkan dibanding dengan tangan, khususnya
bagi  wanita-wanita  miskin  di  pedesaan  yang  (ketika  itu)
seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan
mereka.  Pakar  hukum Abu Yusuf bahkan berpendapat bahwa kedua
tangan wanita bukan aurat, karena dia menilai bahwa mewajibkan
untuk menutupnya menyulitkan wanita.
 
Dalam  ajaran  Al-Quran memang kesulitan merupakan faktor yang
menghasilkan kemudahan. Secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa
Allah tidak berkehendak menjadikan bagi kamu sedikit kesulitan
pun (QS Al-Ma-idah [5]: 6) dan bahwa  Allah  menghendaki  buat
kamu kemudahan bukan kesulitan (QS Al-Baqarah [2): 185).
 
Pakar tafsir Ibnu Athiyah sebagaimana dikutip oleh Al-Qurthubi
berpendapat:
 
     Menurut hemat saya, berdasarkan redaksi ayat, wanita
     diperintahkan untuk tidak menampakkan dan berusaha
     menutup segala sesuatu yang berupa hiasan.
     Pengecualian, menurut hemat saya, berdasarkan keharusan
     gerak menyangkut (hal-hal) yang mesti, atau untuk
     perbaikan sesuatu dan semacamnya.
 
Kalau  rumusan  Ibnu  Athiyah  diterima,  maka  tentunya  yang
dikecualikan  itu  dapat  berkembang  sesuai  dengan kebutuhan
mendesak yang dialami seseorang.
 
Al-Qurthubi berkomentar:
 
     Pendapat (Ibnu Athiyah) ini baik. Hanya saja karena
     wajah dan kedua telapak tangan seringkali (biasa)
     tampak --baik sehari-hari maupun dalam ibadah seperti
     ketika shalat dan haji-- maka sebaiknya redaksi
     pengecualian "kecuali yang tampak darinya" dipahami
     sebagai kecuali wajah dan kedua telapak tangan yang
     biasa tampak itu.
 
Demikian terlihat pakar hukum ini  mengembalikan  pengecualian
tersebut  kepada  kebiasaan  yang  berlaku.  Dari  sini, dalam
Al-Quran  dari  Terjemah-nya  susunan  Tim  Departemen  Agama,
pengecualian  itu  diterjemahkan  sebagai kecuali yang (biasa)
tampak darinya.
 
Nah, Anda boleh bertanya,  apakah  "kebiasaan"  yang  dimaksud
berkaitan dengan kebiasaan wanita pada masa turunnya ayat ini,
atau kebiasaan wanita di setiap masyarakat Muslim  dalam  masa
yang  berbeda-beda?  Ulama  tafsir memahami kebiasaan dimaksud
adalah kebiasaan pada masa  turunnya  Al-Quran,  seperti  yang
dikemukakan Al-Qurthubi di atas.
 
Sebelum  menengok  kepada pendapat beberapa ulama kontemporer,
ada baiknya kita melanjutkan sedikit lagi uraian ayat di atas,
menyangkut kerudung.
 
     Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke atas
     juyubi-hinna (dada mereka).
 
Juyub  adalah  jamak jaib yaitu lubang yang terletak di bagian
atas pakaian yang biasanya menampakkan (sebagian) dada.
 
Kandungan ayat ini berpesan agar dada ditutup dengan  kerudung
(penutup  kepala).  Apakah  ini  berarti bahwa kepala (rambut)
juga harus ditutup? Jawabannya, "ya". Demikian  pendapat  yang
logis,    apalagi   jika   disadari   bahwa   "rambut   adalah
hiasan/mahkota wanita". bahwa ayat ini tidak  menyebut  secara
tegas  perlunya  rambut  ditutup,  hal ini agaknya tidak perlu
disebut. Bukankah mereka telah memakai kudung  yang  tujuannya
adalah menutup rambut?
 
PENDAPAT BEBERAPA ULAMA KONTEMPORER TENTANG JILBAB
 
Di  atas  --semoga  telah  tergambar--  tafsir serta pandangan
ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan  jilbab
dan  batas  aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat
tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun  amanah
ilmiah  mengundang  penulis  untuk  mengemukakan pendapat yang
berbeda  --dan  yang  boleh   jadi   dapat   dijadikan   bahan
pertimbangan  dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh
mayoritas wanita Muslim dewasa ini.
 
Muhammad Thahir bin Asyur seorang ulama besar dari Tunis, yang
diakui juga otoritasnya dalam bidang ilmu agama, menulis dalam
Maqashid Al-Syari'ah sebagal berikut:
 
     Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh
     --dalam kedudukannya sebagai adat-- untuk dipaksakan
     terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat
     dipaksakan pula terhadap kaum itu.
 
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa  contoh  dari  Al-Quran
dan  Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah
surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar
mengulurkan jilbabnya. Tulisnya:
 
     Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakan
     kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
     wanita-wanita Mukmin; hendak1ah mereka mengulurkan
     jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu
     supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak
     diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat
     orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang
     tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian
     (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.
 
     Dalam kitab tafsirnya ia menulis bahwa:
 
     Cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan
     perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi tujuan
     perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni "agar
     mereka dapat dikenal (sebagai wanita Muslim yang baik)
     sehingga tidak digangu" (Tafsir At-Tahrir, jilid XXII,
     hlm. lO).
 
Tetapi   bagaimana  dengan  ayat-ayat  ini,  yang  menggunakan
redaksi perintah?
 
Jawabannya --yang sering  terdengar  dalam  diskusi--  adalah:
Bukankah  tidak  semua  perintah yang tercantum dalam Al-Quran
merupakan  perintah  wajib?  Pernyataan  itu,  memang   benar.
Perintah  menulis  hutang-piutang  (QS  Al-Baqarah  [2]:  282)
adalah salah satu contohnya.
 
Tetapi bagaimana  dengan  hadis-hadis  yang  demikian  banyak?
Jawabannya  pun  sama.  Bukankah seperti yang dikemukakan oleh
Bin Asyur di atas bahwa ada hadis-hadis  Nabi  yang  merupakan
perintah,   tetapi   perintah  dalam  arti  "sebaiknya"  bukan
seharusnya. (Lihat  kembali  uraian  tentang  memakai  pakaian
sutera, cincin, emas pada buku ini).
 
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya
kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi  teks
ayat  itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama
kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai
kerudung,   atau  yang  menampakkan  tangannya,  bahwa  mereka
"secara  pasti  telah  melanggar  petunjuk  agama".   Bukankah
Al-Quran  tidak  menyebut  batas  aurat? Para ulama pun ketika
membahasnya berbeda pendapat.
 
Namun demikian, kehati-hatian amat dibutuhkan, karena  pakaian
lahir  dapat  menyiksa  pemakainya  sendiri  apabila  ia tidak
sesuai dengan bentuk badan si pemakai.  Demikian  pun  pakaian
batin.  Apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia, sebagai
hamba Allah, yang paling mengetahui ukuran dan patron  terbaik
buat manusia.
 
***
 
Sebagai  akhir  dari  uraian  tentang wawasan Islam menyangkut
pakaian, ada baiknya digarisbawahi dua hal.
 
Pertama: Al-Quran dan  Sunnah  secara  pasti  melarang  segala
aktivitas  --pasif  atau aktif-- yang dilakukan seseorang bila
diduga  dapat  menimbulkan  rangsangan  berahi  kepada   1awan
jenisnya. Di sini tidak ada tawar-menawar.
 
Kedua,  Tuntunan  Al-Quran menyangkut berpakaian --sebagaimana
terlihat dalam surat Al-Ahzab dan  Al-Nur--  yang  dikutip  di
atas,  ditutup dengan ajakan bertobat (QS Al-Nur [24]: 31) dan
pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang pada
surat Al-Ahzab (33): 59.
 
Ajakan  bertobat  agaknya  merupakan isyarat bahwa pelanggaran
kecil atau besar terhadap tuntunan memelihara pandangan kepada
lawan jenis, tidak mudah dihindari oleh seseorang. Maka setiap
orang  dituntut  untuk  berusaha  sebaik-baiknya  dan   sesuai
kemampuannya.  Sedangkan kekurangannya, hendaknya dia mohonkan
ampun  dari  Allah,  karena  Dia  Maha  Pengampun  lagi   Maha
Penyayang.
 
Pernyataan  bahwa  Allah  Maha  Pengampun  lagi Maha Penyayang
--semoga-- mengandung arti bahwa  Allah  mengampuni  kesalahan
mereka  yang  lalu  dalam  hal  berpakaian.  Karena  Dia  Maha
Penyayang dan mengampuni pula  mereka  yang  tidak  sepenuhnya
melaksanakan tuntunan-Nya dan tuntunan Nabi-Nya, selama mereka
sadar akan kesalahan dan kekurangannya  serta  berusaha  untuk
menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjuk-Nya.
 
Wa Allahu A'lam.[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team