Perempuan (3/4)

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

HAK DAN KEWAJIBAN BELAJAR
 
Amat banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara
tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan
kepada lelaki maupun perempuan, di antaranya,
 
"Menuntut  ilmu  adalah   kewajiban   setiap   Muslim   (dan
Muslimah)" (HR Al-Thabarani melalui Ibnu Mas'ud)
 
Para  perempuan di zaman Nabi Saw. menyadari benar kewajiban
ini,  sehingga  mereka  memohon  kepada  Nabi  agar   beliau
bersedia  menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka
agar dapat menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan  ini  tentu
saja dikabulkan oleh Nabi Muhammad Saw.
 
Al-Quran  memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir
dan memikirkan kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran
menyangkut  hal  tersebut  mengantarkan  manusia  mengetahui
rahasia-rahasia alam raya. Mereka yang  dinamai  ulul  albab
tidak  terbatas  pada  kaum lelaki saja, melainkan juga kaum
perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat di atas, yang
menguraikan   tentang   sifat-sifat   ulul  albab,  Al-Quran
menegaskan bahwa:
 
"Maka Tuhan  mereka  mengabulkan  permohonan  mereka  dengan
berfirman,  "Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki  maupun
perempuan." (QS Ali 'Imran [3]: 195) .
 
Ini   berarti   bahwa   kaum   perempuan   dapat   berpikir,
mempelajari, dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati
setelah  berzikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui
dari alam raya ini.
 
Pengetahuan tentang  alam  raya  tentunya  berkaitan  dengan
berbagai   disiplin  ilmu,  sehingga  dari  ayat  ini  dapat
dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari  apa  saja,
sesuai  dengan  keinginan  dan  kecenderungan masing-masing.
Sejarah membuktikan bahwa banyak wanita yang sangat menonjol
pengetahuannya   dalam  berbagai  bidang  ilmu  pengetahuan,
sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki.
 
Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah salah seorang yang mempunyai
pengetahuan  sangat  dalam  serta  termasyhur  pula  sebagai
seorang kritikus, sampai-sampai ada ungkapan  terkenal  yang
dinisbahkan  oleh  sementara  ulama  sebagai pernyataan Nabi
Muhammad Saw.:
 
Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari  Al-Humaira,
(yakni Aisyah).
 
Demikian  juga  As-Sayyidah  Sakinah putri Al-Husain bin Ali
bin Abi Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang  bergelar
"Fakhr Al-Nisa', (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang
guru Imam Syafi'i, tokoh mazhab yang  pandangan-pandangannya
menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia. Dan masih
banyak lagi yang lainnya.
 
Beberapa wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang  sangat
terhormat, misalnya Al-Khansa' dan Rabi'ah Al-Adawiyah.
 
Rasulullah  Saw.  tidak  membatasi  kewajiban  belajar hanya
kepada perempuan-perempuan  merdeka  (yang  memiliki  status
sosial  tinggi),  tetapi  juga  para budak belian dan mereka
yang bersatus sosial rendah.  Karena  itu  sejarah  mencatat
sekian  banyak  perempuan yang tadinya budak belian kemudian
mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
 
Al-Muqari dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana  dikutip
oleh   Dr.   Abdul   Wahid  Wafi,  memberitakan  bahwa  Ibnu
Al-Mutharraf, seorang  pakar  bahasa  pada  masanya,  pernah
mengajarkan   seorang   perempuan   liku-liku  bahasa  Arab.
Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki  kemampuan  yang
melebihi  gurunya  sendiri,  khususnya  dalam  bidang puisi,
sampai  ia  dikenal   dengan   nama   Al-'Arudhiyat   karena
keahliannya dalam bidang ini.
 
Harus  diakui  hahwa  pembidangan  ilmu pada masa awal Islam
belum sebanyak dan seluas sekarang ini.  Namun  Islam  tidak
membedakan  satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya,
sehingga seandainya mereka  yang  disebut  namanya  di  atas
hidup  pada masa kini, tidak mustahil mereka akan tekun pula
mempelajari disiplin-disiplin ilmu  yang  berkembang  dewasa
ini.
 
Dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh menulis:
 
Kalaulah  kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum akidah
kelihatannya amat terbatas,  sesungguhnya  kewajiban  mereka
untuk   mempelajari  hal-hal  yang  berkaitan  dengan  rumah
tcelgga,  pendidikan   anak,   dan   sebagainya,   merupakan
persoalan-persoalan  duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan
perbedaan waktu, tempat,  dan  kondisi)  jauh  lebih  banyak
daripada soal-soal akidah atau keagamaan.
 
Demikianlah  sekilas  menyangkut hak dan kewajiban perempuan
dalam bidang  pendidikan.  Kalau  demikian  halnya,  mengapa
timbul pandangan yang membatasi wanita untuk belajar? Sekali
lagi,  salah  satu  penyebabnya  adalah  ayat   waqarna   fi
buyutikunna yang dikemukakan di atas.
 
PERANAN ISTRI DALAM RUMAH TANGGA
 
Berbicara mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu  qawammuna  'alan
nisa'  biasanya dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena
ayat  tersebut  berbicara  tentang  pembagian  kerja  antara
suami-istri.  Memahami pesan ayat ini, mengundang kita untuk
menggarisbawahi  terlebih  dahulu  dua  butir  prinsip  yang
melandasi hak dan kewajiban suami-istri:
 
1. Terdapat perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya
   pada bentuk fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis.
   Bahkan menurut Dr. Alexis Carrel salah seorang dokter yang
   pernah meraih dua kali hadiah Nobel -perbedaan tersebut
   berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masing-masing
   kelamin.
 
   Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama
   terhadap kedua jenis manusia itu didasarkan oleh
   perbedaan-perbedaan itu.
 
2. Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak
   menjadikan salah satu pihak bebas dan tuntutan - minimal
   dari segi moral - untuk membantu pasangannya.
 
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan,
 
 
"Bagi lelaki (suami)  terhadap  mereka  (wanita/istri)  satu
derajat (lebih tinggi)."
 
Derajat  lebih  tinggi  yang  dimaksud  dalam  ayat  di atas
dijelaskan oleh surat  An-Nisa'  ayat  34,  yang  menyatakan
bahwa  "lelaki  (suami)  adalah  pemimpin terhadap perempuan
(istri)."
 
Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan  hal  yang  mutlak,
lebih-lebih  bagi  setiap  keluarga,  karena  mereka  selalu
bersama,  serta  merasa  memiliki  pasangan  dan   keluarga,
Persoalan  yang dihadapi suami-istri, muncul dari sikap jiwa
manusia  yang  tercermin  dari  keceriaan  atau  cemberutnya
wajah.  Sehingga  persesuaian  dan perselisihan dapat muncul
seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan  dimana  pun.
Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin yang
melebihi kebutuhan suatu perusahaan  yang  sekadar  bergelut
dengan  angka,  dan  bukannya  dengan perasaaan serta diikat
oleh perjanjian yang bisa diselesaikan melalui pengadilan.
 
Hak kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip  dari
ayat  di  atas,  dibebankan  kepada  suami.  Pembebanan  itu
disebabkan oleh dua hal, yaitu:
 
a. Adanva sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih
   dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika
   dibandingkan dengan istri.
   
b. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota
   keluarganya.
 
Ibnu Hazm - seorang ahli hukum  Islam  -  berpendapat  bahwa
wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam
hal menyediakan makanan, menjahit,  dan  sebagainya.  Justru
sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan
makanan yang siap dimakan untuk istri dan anak-anaknya.
 
Walaupun diakui dalam kenyataan  terdapat  istri-istri  yang
memiliki  kemampuan  berpikir  dan materi melebihi kemampuan
suami, tetapi semua itu merupakan  kasus  yang  tidak  dapat
dijadikan  dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat
umum
 
Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa  pembagian  kerja  ini
tidak membebaskan masing-masing pasangan - paling tidak dari
segi kewajiban moral - untuk membantu pasangannya dalam  hal
yang berkaitan dengan kewajiban masing-masing. Dalam hal ini
Abu Tsaur, seorang  pakar  hukum  Islam,  berpendapat  bahwa
seorang  istri hendaknya membantu suaminya dalam segala hal.
Salah satu alasan yang  dikemukakannya  adalah  bahwa  Asma,
putri  Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya ia dibantu
oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga
membantu   suaminya   antara   lain  dalam  memelihara  kuda
suaminya, menyabit  rumput,  menanam  benih  di  kebun,  dan
sebagainya.
 
Tentu  saja  di  balik  kewajiban suami tersebut, suami juga
mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh  istrinya.  Suami
wajib  ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama
dan hak pribadi sang  istri.  Sedemikian  penting  kewajiban
ini, sampai-sampai Rasulullah Saw. bersabda, "Seandainya aku
memerintahkan  seseorang  untuk  sujud   kepada   seseorang,
niscaya  akan  kuperintahkan  para  istri untuk sujud kepada
suaminya." Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa
sunnah  tanpa  seizin  suaminya.  Hal  ini disebabkan karena
seorang  suami   mempunyai   hak   untuk   memenuhi   naluri
seksualnya.
 
Dapat  ditambahkan  bahwa  Rasulullah  Saw. menegaskan bahwa
seorang istri memimpin rumah tangga  dan  bertanggung  Jawab
atas keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat
dalam tugas-tugas yang  harus  dipenuhi,  serta  peran  yang
diembannya  saat  memelihara  rumah  tangga,  baik dari segi
kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan menu  makanan,
maupun  pada  keseimbangan  anggaran.  Bahkan pun istri ikut
bertanggung  jawab  -  bersama  suami  -  untuk  menciptakan
ketenangan  bagi  seluruh  anggota keluarga, misalnya, untuk
tidak menerima tamu pria atau wanita  yang  tidak  disenangi
oleh  sang  suami.  Pada  tugas-tugas  rumah  tangga  inilah
Rasulullah Saw. membenarkan seorang istri  melayani  bersama
suaminya tamu pria yang mengunjungi rumahnya.
 
Pada  konteks  inilah  perintah Al-Quran harus dipahami agar
para istri berada di rumah.
 
Firman Allah waqarna fi buyutikunna  (Dan  tetaplah  tinggal
berdiam  di  rumah  kalian)  dalam  surat  Al-Ahzab ayat 33,
menurut kalimatnya ditujukan untuk istri-istri Nabi  kendati
dapat  dipahami  sebagai  acuan  kepada  semua wanita. Namun
tidak berarti bahwa wanita  harus  terus-menerus  berada  di
rumah    dan    tidak    diperkenalkan   keluar,   melainkan
mengisyaratkan bahwa tugas pokok  yang  harus  diemban  oleh
seorang istri adalah memelihara rumah tangganya.
 
                                            (bersambung 4/4)


WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team