| |
|
POLITIK (2/2) Ayat Sesungguhnya Aku akan mengangkat khalifah di bumi (QS Al-Baqarah 12]: 31) menginformasikan juga unsur-unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah (1) bumi atau wilayah, (2) khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris), serta (3) hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt.). Kekhalifahan itu baru dinilai baik apabila sang khalifah memperhatikan hubungan-hubungan tersebut. b. Isti'mar Kata isti'mar dalam bahasa Arab modern diartikan penjajahan; ista'mara adalah menjajah. Makna ini tidak dikenal dalam bahasa Al-Quran, dan memang ia merupakan penamaan yang tidak sejalan dengan kaidah bahasa Arab dan akar katanya. Dalam surat Hud (11): 61 Allah berfirman: Dia Allah yang menciptakan kamu dari bumi dan menugaskan kamu memakmurkannya. Kata isti'mara pada ayat di atas terdiri dari huruf sin dan ta' yang dapat berarti meminta seperti dalam kata istighfara, yang berarti meminta maghfirah (ampunan). Dapat juga kedua huruf tersebut berarti "menjadikan" seperti pada kata hajar yang berarti "batu" bila digandengkan dengan sin dan ta' sehingga terbaca istahjara yang maknanya adalah menjadi batu. Kata 'amara dapat diartikan dengan dua makna sesuai dengan objek dan konteks uraian ayat. Surat Al-Tawbah (9): 17 dan 18 yang menggunakan kata kerja masa kini ya'muru, dan ya'muru dalam konteks uraian tentang masjid diartikan memakmurkan masjid dengan jalan membangun, memelihara, memugar, membersihkan, shalat, atau i'tikaf di dalamnya. Sedangkan surat Al-Rum (30): 9 yang mengulangi dua kali kata kerja masa lampau 'amaru berbicara tentang bumi, diartikan sebagai membangun bangunan, serta mengelolanya untuk memperoleh manfaatnya. Jika demikian, kata ista'marakum dapat berarti "menjadikan kamu" atau "meminta/menugaskan kamu" mengolah bumi guna memperoleh manfaatnya. Dari satu sisi, penugasan tersebut dapat merupakan pelimpahan kekuasaan politik; di sisi lain karena yang menjadikan dan yang menugaskan itu adalah Allah Swt., maka para petugas dalam menjalankan tugasnya harus memperhatikan kehendak yang menugaskannya. PRINSIP-PRINSIP KEKUASAAN POLITIK Seperti terlihat di atas, kekuasaan politik dianugerahkan oleh Allah Swt. kepada manusia. Penganugerahan ini dilakukan melalui satu ikatan perjanjian. Ikatan ini terjalin antara sang penguasa dengan Allah Swt. di satu pihak dan dengan masyarakatnya di pihak lain. Perjanjian dengan Allah dinamai oleh-Nya dalam Al-Quran dengan 'ahd. Dalam surat Al-Baqarah (2): 124 Nabi Ibrahim a.s. yang diangkat Tuhan menjadi imam bermohon kepada-Nya agar imamah (kepemimpinan) itu diperoleh pula oleh anak cucunya. Kemudian Allah menjawab: Perjanjianku tidak akan diperoleh oleh orang-orang zalim. Adapun perjanjian dengan anggota masyarakat, maka ia dinamai bai'at. Hal ini telah penulis isyaratkan sebelum ini ketika menjelaskan sebab penggunaan kata Kami dalam pengangkatan Nabi Daud a.s. sebagai khalifah, dan diisyaratkan juga oleh Al-Quran terhadap Nabi Muhammad Saw. yang kepada beliau datang wanita-wanita untuk berbaiat. Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan beriman untuk mengadakan bai'at (janji setia) bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka (mengadakan pengakuan palsu tentang hubungan seksual dan akibat-akibatnya), dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan ma'ruf, maka terimalah bai'at mereka dan mohonkanlah ampun kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Mumtahanah (60): 12). Perjanjian ini --baik antara sang penguasa dengan masyarakat maupun antara dia dengan Yang Mahakuasa-- merupakan amanat yang harus ditunaikan. Dari sini, tidak heran jika perintah taat kepada penguasa (ulil amr) didahului oleh perintah menunaikan amanah. Perhatikan firman Allah berikut: Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menenrimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amr di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa' [4]: 58-59). Kedua ayat di atas dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan atau pemerintahan. Bahkan Rasyid Ridha, seorang pakar tafsir, berpendapat bahwa, "Seandainya tidak ada ayat lain yang berbicara tentang hal permerintahan, maka ayat itu telah amat memadai." Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum Muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. Ayat-ayat Al-Quran yang menyangkut hal ini amat banyak, salah satu di antaranya berupa teguran kepada Nabi Saw. yang hampir saja menyalahkan seorang Yahudi karena terpengaruh oleh pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam konteks inilah turun firman Allah: Dan janganlah kamu menjadi penentang orang-orang yang tidak bersalah karena (membela) orang-orang yang khianat (QS Al-Nisa' [4]: 105). Nabi Saw. dalam sekian banyak hadisnya memperingatkan hal tersebut, antara 1ain sabdanya, (Berhati-hatilah) Doa orang yang teraniaya diterima Allah, walaupun ia durhaka, (karena) kedurhakaannya dipertanggunjawabkan oleh dirinya sendiri (HR Ahmad dan Al-Bazzar melalui Abu Hurairah). Berdampingan dengan amanat yang dibebankan kepada para penguasa, ditekankan kewajiban taat masyarakat terhadap mereka. Perlu diperhatikan bahwa redaksi ayat di atas menggandengkan kata "taat" kepada Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu pada ulil amr. Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan ulil amr antara kamu (QS Al-Nisa' [4]: 59). Tidak disebutkannya kata taat pada ulil amr untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah yang sangat populer yaitu, Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah). Tetapi di sisi lain, apabila perintah ulu amr tidak mengakibatkan kemaksiatan, maka ia wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh yang diperintah. Seorang Muslim wajib memperkenankan dan taut menyangkut apa saja (yang diperintahkan ulul amr), suka atau tidak suka, kecuali bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat (Diriwayathan oleh Bukhari Muslim, dan lain-lain melalui Ibnu Umar). Taat dalam bahasa Al-Quran berarti "tunduk" menerima secara tulus dan menemani. Ini berarti ketaatan dimaksud bukan sekadar melaksanakan apa yang diperintahkan tetapi harus ikut berpartisipasi dalam upaya-upaya yang dilakukan penguasa politik guna mendukung usaha-usahanya. Dalam konteks ini, Nabi Saw. bersabda: Agama adalah nasihat. Dan ketika para sahabat bertanya, "Untuk siapa?" Nabi Saw. menjawab antara lain, Untuk para pemimpin kaum Muslim dan khalayak ramai mereka (HR Muslim melalui sahabat Nabi Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Addari). "Nasihat" yang dimaksud Nabi di sini adalah dukungan positif kepada mereka termasuk kontrol sosial demi suksesnya tugas-tugas yang mereka emban. Ayat Al-Nisa' yang dikutip di atas menurut pakar tafsir Al-Maraghi. menjelaskan prinsip-prinsip ajaran agama dalam bidang pemerintahan serta sumber-sumbernya, yaitu: 1. Al-Quran Al-Karim yang ditunjuk oleh perintah agar taat kepada Allah. 2. Sunnah Rasul Saw. yang ditunjuk oleh kewajiban taat kepada Rasul. 3. Konsensus ulul amr, yakni mereka yang diberi kepercayaan oleh umat seperti para ulama, cerdik cendekia, pemimpin militer, penguasa, petani, industriawan, buruh, wartawan, dan sebagainya. Mereka itulah ulul amr. 4. Mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada kaidah-kaidah umum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah. TUGAS-TUGAS PARA PENGUASA Mereka yang mendapat anugerah "menguasai wilayah" diberi berbagai tugas, yang antara lain diuraikan oleh surat Al-Hajj (22): 41: Orang-orang yang jika Kami kukuhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah yang munkar, dan kepada Allah kesudahan segala urusan (QS Al-Hajj [22]: 41). "Mendirikan shalat" adalah lambang hubungan baik dengan Allah, sedang "menunaikan zakat" adalah lambang perhatian yang ditujukan kepada masyarakat lemah. "Amr ma'ruf" mencakup segala macam kebajikan, adat istiadat, dan budaya yang sejalan dengan nilai-nilai agama, sedang nahi 'an al-munkar adalah lawan dari amr ma'ruf Dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya, para penguasa dituntut untuk selalu melakukan musyawarah, yakni "bertukar pikiran dengan siapa yang dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk semua." Mereka juga dituntut untuk memanfaatkan semua potensi yang dapat dimanfaatkan guna mencapai hasil maksimal yang diharapkan. Dalam konteks ini, terjadi diskusi di kalangan ulama, berkaitan dengan keterlibatan non-Muslim dalam pemerintahan. Diskusi ini muncul baik ketika menafsirkan kata minkum (dari golongan kamu orang-orang Mukmin) pada surat Al-Nisa (4): 58 yang berbicara tentang ulil amr maupun dalam ayat-ayat lain yang secara tekstual melarang mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya' (yang biasa diterjemahkan pemimpin-pemimpin). Misalnya firman Allah: Ayat ini diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama dalam Al-Quran dan Terjemahnya sebagai berikut: Hai orang-orang Mukmin, janganlah kamu mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS Al-Ma-idah [5]: 51). Pakar tafsir kenamaan Muhammad Rasyid Ridha, sambil menunjuk kepada kenyataan sejarah masa khalifah Umar r.a. dan dinasti-dinasti Umawiyah dan Abbasiah, memahami ayat ini dan ayat-ayat semacamnya secara kontekstual. Pakar ini merujuk kepada firman Allah dalam surat Ali 'Imran ayat 118 dan menjadikannya sebagai sebab larangan tersebut. Ayat dimaksud adalah: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar golonganmu (non-Muslim, karena) mereka selalu menimbulkan kesulitan bagi kamu, mereka menginginkan yang menyusahkan kamu. Telah nampak dan ucapan mereka kebencian, sedang apa yang disembunyikan oleh dada mereka lebih besar. Sungguh Kami telah jelaskan kepada kamu tanda-tanda (teman dan lawan), jika kamu memahaminya (QS Ali 'Imran [3]: 1l8). Ayat di atas? tulis Rasyid Ridha, mengandung larangan dan penyebabnya, jadi larangan tersebut adalah larangan bersyarat, sehingga yang dilarang untuk diangkat menjadi pemimpin, atau teman kepercayaan adalah: mereka yang selalu menyusahkan dan menginginkan kesulitan bagi kaum Muslim, serta yang telah nampak dari ucapan mereka kebencian. Allah Swt. --tulis Rasyid Ridha-- yang menurunkan ayat-ayat ini mengetahui perubahan-perubahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi bagi bangsa-bangsa dan pemeluk-pemeluk agama seperti yang terlihat kemudian dari orang-orang Yahudi yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang Mukmin, namun berbalik membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan seperti di Andalusia atau seperti halnya orang-orang Mesir yang membantu kaum Muslim melawan Romawi. Dari sini terlihat bahwa Al-Quran tidak menjadikan perbedaan agama sebagaġ alasan untuk tidak menjalin kerja sama apalagi mengambil sikap tidak bersahabat. Al-Quran memerintahkan agar setiap umat berpacu dalam kebajikan seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Baqarah (2): 148: Tiap-tiap umat ada kiblat (arah)-nya masing-masing, maka berpaculah dalam kebajikan-kebajikan. Di mana pun kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Bahkan Al-Quran sama sekali tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik dan memberi sebagian harta mereka kepada siapa pun, selama mereka tidak memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir kaum Muslim dan kampung halaman mereka (QS Al-Mumtahanah [60]: 8). Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil/memberi sebagian hartamu, kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yqng berlaku adil (QS Al-Mumtahanah [60]: 8). Demikian sekilas tentang prinsip-prinsip dasar wawasan Al-Quran tentang politik. Rincian dan setiap kebijaksanaan politik tidak boleh bertentangan dengan prġnsip di atas.[] ---------------- WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |