Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

POLITIK                                                  (2/2)

Ayat  Sesungguhnya  Aku  akan  mengangkat khalifah di bumi (QS
Al-Baqarah  12]:   31)   menginformasikan   juga   unsur-unsur
kekhalifahan  sekaligus  kewajiban  sang khalifah. Unsur-unsur
tersebut adalah (1) bumi  atau  wilayah,  (2)  khalifah  (yang
diberi  kekuasaan politik atau mandataris), serta (3) hubungan
antara  pemilik  kekuasaan  dengan  wilayah,  dan  hubungannya
dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt.).

Kekhalifahan  itu  baru  dinilai  baik  apabila  sang khalifah
memperhatikan hubungan-hubungan tersebut.

b. Isti'mar

Kata isti'mar dalam bahasa Arab modern  diartikan  penjajahan;
ista'mara  adalah  menjajah.  Makna  ini  tidak  dikenal dalam
bahasa Al-Quran, dan memang ia merupakan penamaan  yang  tidak
sejalan dengan kaidah bahasa Arab dan akar katanya.

Dalam surat Hud (11): 61 Allah berfirman:

     Dia Allah yang menciptakan kamu dari bumi dan
     menugaskan kamu memakmurkannya.

Kata isti'mara pada ayat di atas terdiri dari  huruf  sin  dan
ta'  yang dapat berarti meminta seperti dalam kata istighfara,
yang berarti meminta maghfirah  (ampunan).  Dapat  juga  kedua
huruf  tersebut  berarti  "menjadikan" seperti pada kata hajar
yang berarti "batu"  bila  digandengkan  dengan  sin  dan  ta'
sehingga terbaca istahjara yang maknanya adalah menjadi batu.

Kata  'amara  dapat  diartikan  dengan dua makna sesuai dengan
objek dan konteks uraian ayat. Surat Al-Tawbah (9): 17 dan  18
yang  menggunakan  kata  kerja  masa kini ya'muru, dan ya'muru
dalam konteks  uraian  tentang  masjid  diartikan  memakmurkan
masjid    dengan   jalan   membangun,   memelihara,   memugar,
membersihkan, shalat,  atau  i'tikaf  di  dalamnya.  Sedangkan
surat  Al-Rum (30): 9 yang mengulangi dua kali kata kerja masa
lampau  'amaru  berbicara  tentang  bumi,  diartikan   sebagai
membangun   bangunan,   serta  mengelolanya  untuk  memperoleh
manfaatnya.

Jika demikian, kata  ista'marakum  dapat  berarti  "menjadikan
kamu"   atau  "meminta/menugaskan  kamu"  mengolah  bumi  guna
memperoleh manfaatnya.  Dari  satu  sisi,  penugasan  tersebut
dapat  merupakan  pelimpahan  kekuasaan  politik; di sisi lain
karena yang menjadikan dan yang menugaskan  itu  adalah  Allah
Swt.,  maka  para  petugas  dalam  menjalankan  tugasnya harus
memperhatikan kehendak yang menugaskannya.

PRINSIP-PRINSIP KEKUASAAN POLITIK

Seperti terlihat di atas, kekuasaan politik dianugerahkan oleh
Allah   Swt.  kepada  manusia.  Penganugerahan  ini  dilakukan
melalui satu ikatan perjanjian.  Ikatan  ini  terjalin  antara
sang  penguasa  dengan  Allah  Swt.  di  satu pihak dan dengan
masyarakatnya di pihak lain. Perjanjian dengan  Allah  dinamai
oleh-Nya dalam Al-Quran dengan 'ahd.

Dalam  surat  Al-Baqarah  (2):  124  Nabi  Ibrahim  a.s.  yang
diangkat Tuhan menjadi imam bermohon  kepada-Nya  agar  imamah
(kepemimpinan)  itu diperoleh pula oleh anak cucunya. Kemudian
Allah menjawab:

     Perjanjianku tidak akan diperoleh oleh orang-orang
     zalim.

Adapun perjanjian dengan anggota masyarakat, maka  ia  dinamai
bai'at.  Hal  ini  telah penulis isyaratkan sebelum ini ketika
menjelaskan sebab penggunaan kata Kami dalam pengangkatan Nabi
Daud   a.s.  sebagai  khalifah,  dan  diisyaratkan  juga  oleh
Al-Quran terhadap Nabi Muhammad Saw. yang kepada beliau datang
wanita-wanita untuk berbaiat.

     Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan
     beriman untuk mengadakan bai'at (janji setia) bahwa
     mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan
     Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak
     akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta
     yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka
     (mengadakan pengakuan palsu tentang hubungan seksual
     dan akibat-akibatnya), dan tidak akan mendurhakaimu
     dalam urusan ma'ruf, maka terimalah bai'at mereka dan
     mohonkanlah ampun kepada Allah untuk mereka.
     Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
     (QS Al-Mumtahanah (60): 12).

Perjanjian ini --baik antara sang penguasa  dengan  masyarakat
maupun  antara  dia  dengan  Yang Mahakuasa-- merupakan amanat
yang harus ditunaikan. Dari sini, tidak  heran  jika  perintah
taat  kepada  penguasa  (ulil  amr)  didahului  oleh  perintah
menunaikan amanah. Perhatikan firman Allah berikut:

     Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan
     amanat kepada yang berhak menenrimanya dan
     (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya
     menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
     pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu.
     Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
     Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah,
     taatilah Rasul, dan ulil amr di antara kamu. Kemudian
     jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan
     kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah) jika kamu
     benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
     Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih
     baik akibatnya (QS Al-Nisa' [4]: 58-59).

Kedua  ayat  di  atas  dinilai   oleh   para   ulama   sebagai
prinsip-prinsip  pokok  yang  menghimpun  ajaran Islam tentang
kekuasaan atau  pemerintahan.  Bahkan  Rasyid  Ridha,  seorang
pakar  tafsir,  berpendapat  bahwa, "Seandainya tidak ada ayat
lain yang berbicara tentang hal permerintahan, maka  ayat  itu
telah amat memadai."

Amanat  dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di
antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan  yang  dituntut  ini
bukan  hanya  terhadap  kelompok,  golongan,  atau kaum Muslim
saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh  makhluk.
Ayat-ayat  Al-Quran yang menyangkut hal ini amat banyak, salah
satu di antaranya berupa teguran kepada Nabi Saw. yang  hampir
saja   menyalahkan  seorang  Yahudi  karena  terpengaruh  oleh
pembelaan keluarga seorang pencuri. Dalam konteks inilah turun
firman Allah:

     Dan janganlah kamu menjadi penentang orang-orang yang
     tidak bersalah karena (membela) orang-orang yang
     khianat (QS Al-Nisa' [4]: 105).

Nabi Saw. dalam  sekian  banyak  hadisnya  memperingatkan  hal
tersebut, antara 1ain sabdanya,

     (Berhati-hatilah) Doa orang yang teraniaya diterima
     Allah, walaupun ia durhaka, (karena) kedurhakaannya
     dipertanggunjawabkan oleh dirinya sendiri (HR Ahmad
     dan Al-Bazzar melalui Abu Hurairah).

Berdampingan  dengan  amanat  yang  dibebankan   kepada   para
penguasa,   ditekankan   kewajiban  taat  masyarakat  terhadap
mereka.

Perlu diperhatikan bahwa redaksi ayat di  atas  menggandengkan
kata "taat" kepada Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu
pada ulil amr.

     Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan ulil
     amr antara kamu (QS Al-Nisa' [4]: 59).

Tidak disebutkannya kata taat  pada  ulil  amr  untuk  memberi
isyarat  bahwa  ketaatan  kepada  mereka tidak berdiri sendiri
tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan  kepada  Allah
dan  Rasul,  dalam  arti  bila perintahnya bertentangan dengan
nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak  dibenarkan
untuk  taat  kepada  mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah yang
sangat populer yaitu,

     Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang
     makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah).

Tetapi  di  sisi  lain,  apabila  perintah   ulu   amr   tidak
mengakibatkan  kemaksiatan,  maka  ia  wajib ditaati, walaupun
perintah tersebut tidak disetujui oleh yang diperintah.

     Seorang Muslim wajib memperkenankan dan taut
     menyangkut apa saja (yang diperintahkan ulul amr),
     suka atau tidak suka, kecuali bila ia diperintahkan
     berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh
     memperkenankan, tidak juga taat (Diriwayathan oleh
     Bukhari Muslim, dan lain-lain melalui Ibnu Umar).

Taat dalam bahasa Al-Quran berarti  "tunduk"  menerima  secara
tulus  dan  menemani.  Ini  berarti  ketaatan  dimaksud  bukan
sekadar melaksanakan apa yang diperintahkan tetapi harus  ikut
berpartisipasi   dalam  upaya-upaya  yang  dilakukan  penguasa
politik guna mendukung usaha-usahanya.

Dalam konteks ini, Nabi Saw. bersabda:

     Agama adalah nasihat.

Dan ketika para sahabat bertanya,  "Untuk  siapa?"  Nabi  Saw.
menjawab antara lain,

Untuk  para pemimpin kaum Muslim dan khalayak ramai mereka (HR
Muslim  melalui  sahabat  Nabi  Abu  Ruqayyah  Tamim  bin  Aus
Addari).

"Nasihat"  yang  dimaksud Nabi di sini adalah dukungan positif
kepada  mereka  termasuk   kontrol   sosial   demi   suksesnya
tugas-tugas yang mereka emban.

Ayat  Al-Nisa'  yang  dikutip  di  atas  menurut  pakar tafsir
Al-Maraghi. menjelaskan  prinsip-prinsip  ajaran  agama  dalam
bidang pemerintahan serta sumber-sumbernya, yaitu:

 1. Al-Quran Al-Karim yang ditunjuk oleh perintah agar
     taat kepada Allah.
     
 2. Sunnah Rasul Saw. yang ditunjuk oleh kewajiban
     taat kepada Rasul.
     
 3. Konsensus ulul amr, yakni mereka yang diberi
     kepercayaan oleh umat seperti para ulama, cerdik
     cendekia, pemimpin militer, penguasa, petani,
     industriawan, buruh, wartawan, dan sebagainya. Mereka
     itulah ulul amr.
     
 4. Mengembalikan persoalan yang diperselisihkan
     kepada kaidah-kaidah umum yang terdapat dalam
     Al-Quran dan Sunnah.

TUGAS-TUGAS PARA PENGUASA

Mereka  yang  mendapat  anugerah  "menguasai  wilayah"  diberi
berbagai  tugas, yang antara lain diuraikan oleh surat Al-Hajj
(22): 41:

     Orang-orang yang jika Kami kukuhkan kedudukan mereka
     di muka bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan
     zakat, memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah
     yang munkar, dan kepada Allah kesudahan segala urusan
     (QS Al-Hajj [22]: 41).

"Mendirikan shalat" adalah lambang hubungan baik dengan Allah,
sedang   "menunaikan  zakat"  adalah  lambang  perhatian  yang
ditujukan  kepada  masyarakat  lemah.  "Amr  ma'ruf"  mencakup
segala macam kebajikan, adat istiadat, dan budaya yang sejalan
dengan nilai-nilai agama, sedang  nahi  'an  al-munkar  adalah
lawan dari amr ma'ruf

Dalam   rangka   melaksanakan  tugas-tugasnya,  para  penguasa
dituntut untuk selalu melakukan  musyawarah,  yakni  "bertukar
pikiran  dengan  siapa  yang dianggap tepat guna mencapai yang
terbaik untuk semua."

Mereka juga dituntut untuk  memanfaatkan  semua  potensi  yang
dapat   dimanfaatkan   guna   mencapai   hasil  maksimal  yang
diharapkan. Dalam konteks ini,  terjadi  diskusi  di  kalangan
ulama,   berkaitan   dengan   keterlibatan   non-Muslim  dalam
pemerintahan. Diskusi ini muncul baik ketika menafsirkan  kata
minkum  (dari  golongan  kamu  orang-orang  Mukmin) pada surat
Al-Nisa (4): 58 yang berbicara tentang ulil amr  maupun  dalam
ayat-ayat   lain  yang  secara  tekstual  melarang  mengangkat
orang-orang Yahudi dan Nasrani  sebagai  auliya'  (yang  biasa
diterjemahkan pemimpin-pemimpin). Misalnya firman Allah:

Ayat   ini  diterjemahkan  oleh  Tim  Departemen  Agama  dalam
Al-Quran dan Terjemahnya sebagai berikut:

     Hai orang-orang Mukmin, janganlah kamu mengangkat
     orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
     pemimpin-pemimpin, sebagian mereka adalah pemimpin
     bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
     yang mengambil mereka sebagai pemimpin, maka
     sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
     Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
     orang-orang yang zalim (QS Al-Ma-idah [5]: 51).

Pakar tafsir kenamaan Muhammad Rasyid Ridha,  sambil  menunjuk
kepada   kenyataan   sejarah   masa  khalifah  Umar  r.a.  dan
dinasti-dinasti Umawiyah dan Abbasiah, memahami ayat  ini  dan
ayat-ayat  semacamnya  secara  kontekstual.  Pakar ini merujuk
kepada firman Allah  dalam  surat  Ali  'Imran  ayat  118  dan
menjadikannya  sebagai  sebab larangan tersebut. Ayat dimaksud
adalah:

     Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil
     menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar
     golonganmu (non-Muslim, karena) mereka selalu
     menimbulkan kesulitan bagi kamu, mereka menginginkan
     yang menyusahkan kamu. Telah nampak dan ucapan mereka
     kebencian, sedang apa yang disembunyikan oleh dada
     mereka lebih besar. Sungguh Kami telah jelaskan
     kepada kamu tanda-tanda (teman dan lawan), jika kamu
     memahaminya (QS Ali 'Imran [3]: 1l8).

Ayat di atas? tulis  Rasyid  Ridha,  mengandung  larangan  dan
penyebabnya, jadi larangan tersebut adalah larangan bersyarat,
sehingga yang dilarang untuk diangkat menjadi  pemimpin,  atau
teman  kepercayaan  adalah: mereka yang selalu menyusahkan dan
menginginkan kesulitan bagi  kaum  Muslim,  serta  yang  telah
nampak dari ucapan mereka kebencian.

Allah  Swt.  --tulis  Rasyid Ridha-- yang menurunkan ayat-ayat
ini mengetahui perubahan-perubahan sikap pro atau kontra  yang
dapat  terjadi  bagi  bangsa-bangsa  dan pemeluk-pemeluk agama
seperti yang terlihat kemudian dari  orang-orang  Yahudi  yang
pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang Mukmin, namun
berbalik  membantu  kaum  Muslim  dalam  beberapa   peperangan
seperti  di  Andalusia  atau  seperti halnya orang-orang Mesir
yang membantu kaum Muslim melawan Romawi.

Dari sini terlihat bahwa Al-Quran tidak  menjadikan  perbedaan
agama  sebagaġ  alasan untuk tidak menjalin kerja sama apalagi
mengambil sikap tidak bersahabat. Al-Quran memerintahkan  agar
setiap  umat  berpacu  dalam kebajikan seperti yang ditegaskan
dalam surat Al-Baqarah (2): 148:

     Tiap-tiap umat ada kiblat (arah)-nya masing-masing,
     maka berpaculah dalam kebajikan-kebajikan. Di mana
     pun kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu
     sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
     Mahakuasa atas segala sesuatu.

Bahkan Al-Quran sama sekali tidak melarang kaum  Muslim  untuk
berbuat  baik  dan  memberi sebagian harta mereka kepada siapa
pun, selama mereka tidak memerangi dengan motif keagamaan atau
mengusir   kaum   Muslim   dan   kampung  halaman  mereka  (QS
Al-Mumtahanah [60]: 8).

     Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku
     adil/memberi sebagian hartamu, kepada orang-orang
     yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula
     mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
     menyukai orang-orang yqng berlaku adil (QS
     Al-Mumtahanah [60]: 8).

Demikian  sekilas  tentang   prinsip-prinsip   dasar   wawasan
Al-Quran  tentang  politik.  Rincian  dan setiap kebijaksanaan
politik tidak boleh bertentangan dengan prġnsip di atas.[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team