Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PUASA                                                    (2/2)
 
d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu
   miskin (Dan wajib bagi orang yang berat
   menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi
   makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).
 
Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak  ulama
tafsir.  Ada  yang  berpendapat  bahwa pada mulanya Allah Swt.
memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa
atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat
bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit,
yakni  bagi  kedua  kelompok  ini  terdapat  dua  kemungkinan:
musafir dan orang  yang  merasa  berat  untuk  berpuasa,  maka
ketika  itu  dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka,
yang pada hakikatnya  mampu  berpuasa,  tetapi  enggan  karena
kurang  sehat  dan  atau  dalam  perjalanan,  maka bagi mereka
diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.
 
Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan  mayoritas
ulama.  Mayoritas  memahami  penggalan  ini  berbicara tentang
orang-orang tua  atau  orang  yang  mempunyai  pekerjaan  yang
sangat  berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia
tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka
dalam  kondisi  semacam  ini. mereka diperbolehkan untuk tidak
berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian  juga  halnya
terhadap  orang  yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan
diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam
pesan  penggalan  ayat  di atas adalah wanita-wanita hamil dan
atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:
 
Wanita yang hamil  dan  menyusui  wajib  membayar  fidyah  dan
mengganti  puasanya  di  hari  lain,  seandainya  yang  mereka
khawatirkan adalah janin atau anaknya  yang  sedang  menyusui.
Tetapi  bila  yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka
berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus
membayar fidyah.
 
Fidyah  dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari
selama  ia  tidak  berpuasa.  Ada  yang  berpendapat  sebanyak
setengah  sha'  (gantang)  atau kurang lebih 3,125 gram gandum
atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu  mud
yakni   sekitar   lima   perenam  liter,  dan  ada  lagi  yang
mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang  berlaku
pada setiap masyarakat.
 
e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila
   nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan
   bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]:
   187)
 
Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam  hari
bulan  Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan,
hubungan seks  tidak  dibenarkan.  Termasuk  dalam  pengertian
hubungan  seks  adalah  "mengeluarkan  sperma" dengan cara apa
pun. Karena itu walaupun ayat ini tak  melarang  ciuman,  atau
pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa
hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak  dapat
menahan  diri,  karena  dapat  mengakibatkan keluarnya sperma.
Menurut istri Nabi, Aisyah  r.a.,  Nabi  Saw.  pernah  mencium
istrinya  saat  berpuasa.  Nah, bagi yang mencium atau apa pun
selain  berhubungan  seks,  kemudian  ternyata  "basah",  maka
puasanya  batal;  ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi
mayoritas ulama tidak mewajibkan  yang  bersangkutan  membayar
kaffarat,  kecuali  jika  ia melakukan hubungan seks (di siang
hari), dan kaffaratnya dalam hal ini  berdasarkan  hadis  Nabi
adalah  berpuasa  dua  bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,
maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga,  maka
ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.
 
Bagi  yang  melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus
mandi sebelum terbitnya fajar.  Ia  hanya  berkewajiban  mandi
sebelum  terbitnya  matahari  --paling tidak dalam batas waktu
yang memungkinkan ia shalat  subuh  dalam  keadaan  suci  pada
waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
 
f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith
   al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan
   dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan
   benang hitam, yaitu fajar).
 
Ayat ini membolehkan seseorang untuk  makan  dan  minum  (juga
melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.
 
Pada   zaman   Nabi,   beberapa   saat  sebelum  fajar,  Bilal
mengumandangkan azan, namun beliau  mengingatkan  bahwa  bukan
itu  yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di
atas.  Imsak  yang  diadakan  hanya  sebagai  peringatan   dan
persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang.
Namun  bila  dilakukan,  maka  dari  segi  hukum  masih  dapat
dipertanggungjawabkan  selama fajar (waktu subuh belum masuk).
Perlu  dingatkan,  bahwa   hendaknya   kita   jangan   terlalu
mengandalkan  azan,  karena  boleh jadi muazin mengumandangkan
azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena
itu  sangat  beralasan  untuk  menghentikan aktivitas tersebut
saat imsak.
 
g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian
   sempurnakanlah puasa itu sampai malam).
 
Penggalan ayat ini datang setelah ada  izin  untuk  makan  dan
minum sampai dengan datangnya fajar.
 
Puasa  dimulai  dengan  terbitnya  fajar,  dan berakhir dengan
datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para
ulama  adalah  pengertian  malam. Ada yang memahami kata malam
dengan tenggelamnya matahari walaupun masih  ada  mega  merah,
dan  ada  juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah
dan menyebarnya  kegelapan.  Pendapat  pertama  didukung  oleh
banyak  hadis  Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh
pengertian kebahasaan dari lail  yang  diterjemahkan  "malam".
Kata  lail  berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang
berwarna hitam pun dinamai lail.
 
Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi  Saw.  untuk
mempercepat  berbuka  puasa,  dan  memperlambat sahur pendapat
kedua sejalan dengan  sikap  kehatian-hatian  karena  khawatir
magrib sebenarnya belum masuk.
 
Demikian  sedikit  dari  banyak  aspek hukum yang dicakup oleh
ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.
 
TUJUAN BERPUASA
 
Secara jelas  Al-Quran  menyatakan  bahwa  tujuan  puasa  yang
hendaknya  diperjuangkan  adalah untuk mencapai ketakwaan atau
la'allakum tattaqun. Dalam  rangka  memahami  tujuan  tersebut
agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw.
misalnya,  "Banyak  di  antara  orang  yang   berpuasa   tidak
memperoleh   sesuatu  daripuasanya,  kecuali  rasa  lapar  dan
dahaga."
 
Ini berarti bahwa menahan diri dari  lapar  dan  dahaga  bukan
tujuan  utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya
bahwa  "Allah   menghendaki   untuk   kamu   kemudahan   bukan
kesulitan."
 
Di  sisi  lain,  dalam  sebuah  hadis  qudsi, Allah berfirman,
"Semua amal putra-putri Adam  untuk  dirinya,  kecuali  puasa.
Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."
 
Ini  berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik.
Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat  dikemukakan,
misalnya  bahwa  puasa  merupakan  rahasia  antara  Allah  dan
pelakunya  sendiri.  Bukankah  manusia  yang  berpuasa   dapat
bersembunyi  untuk  minum  dan  makan? Bukankah sebagai insan,
siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk  makan  atau
minum  pada  saat-saat  tertentu  dari  siang hari puasa? Nah,
kalau demikian, apa motivasinya  menahan  diri  dan  keinginan
itu?  Tentu  bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab
jika demikian,  dia  dapat  saja  bersembunyi  dari  pandangan
mereka.   Di  sini  disimpulkan  bahwa  orang  yang  berpuasa,
melakukannya demi  karena  Allah  Swt.  Demikian  antara  lain
penjelasan  sementara  ulama  tentang keunikan puasa dan makna
hadis qudsi di atas.
 
Sementara pakar ada  yang  menegaskan  bahwa  puasa  dilakukan
manusia   dengan   berbagai  motif,  misalnya,  protes,  turut
belasungkawa,  penyucian  diri,  kesehatan,  dan  sebagai-nya.
Tetapi  seorang  yang  berpuasa  Ramadhan dengan benar, sesuai
dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan
melakukannya karena Allah semata.
 
Di  sini  Anda  boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian
dapat mengantarkan manusia kepada  takwa?"  Untuk  menjawabnya
terlebih  dahulu  harus  diketahui  apa  yang  dimaksud dengan
takwa.
 
PUASA DAN TAKWA
 
Takwa  terambil  dari  akar  kata  yang  bermakna  menghindar,
menjauhi,  atau  menjaga  diri.  Kalimat  perintah  ittaqullah
secara harfiah berarti, "Hindarilah,  jauhilah,  atau  jagalah
dirimu dari Allah"
 
Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk.
Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari  Allah  atau
menjauhi-Nya,  sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun
kamu berada." Karena itu perlu disisipkan  kata  atau  kalimat
untuk  meluruskan  maknanya.  Misalnya  kata  siksa  atau yang
semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung  arti
perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.
 
Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.
 
  a. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap
     hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam
     raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat
     menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri
     dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas,
     dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat
     lainnya.
     
  b. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap
     hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri,
     melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat
     mengakibatkan siksa neraka.
 
Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman
Allah,  diperoleh  dengan jalan menghindarkan diri dari segala
yang dilarangnya serta mengikuti apa  yang  diperintahkan-Nya.
Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau
takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa  takut  ini,  pada
mulanya  timbul  karena  adanya  siksaan, tetapi seharusnya ia
timbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa)."
 
Dengan demikian yang  bertakwa  adalah  orang  yang  merasakan
kehadiran  Allah  Swt. setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau
kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak,
menyadari  bahwa  Allah  melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah
hadis.
 
Tentu banyak cara yang  dapat  dilakukan  untuk  mencapai  hal
tersebut,  antara  1ain  dengan  jalan berpuasa. Puasa seperti
yang  dikemukakan  di  atas  adalah  satu  ibadah  yang  unik.
Keunikannya  antara  lain  karena  ia  merupakan upaya manusia
meneladani Allah Swt.
 
PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH
 
Beragama  menurut  sementara  pakar   adalah   upaya   manusia
meneladani  sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia
sebagai  makhluk.  Nabi  Saw.  memerintahkan,  "Takhallaqu  bi
akhlaq Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).
 
Di  sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan
yang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu  makan,  minum,
dan  hubungan  seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antara
lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri:
 
     Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak
     memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101)
 
     Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia
     tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin
     [72]: 3).
 
Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan,
 
     Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang
     menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan
     dan tidak diberi makan...? (QS Al-An'am [6]: 14).
 
Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal
mencontohi  sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum,
bahkan memberi makan orang lain (ketika  berbuka  puasa),  dan
tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.
 
Tentu  saja  sifat-sifat  Allah tidak terbatas pada ketiga hal
itu, tetapi mencakup  paling  tidak  sembilan  puluh  sembilan
sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai
dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk  ilahi.
Misalnya  Maha  Pengasih  dan  Penyayang, Mahadamai, Mahakuat,
Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya  peneladanan  ini  dapat
mengantarkan  manusia  menghadirkan  Tuhan dalam kesadarannya,
dan  bila  hal  itu  berhasil  dilakukan,  maka  takwa   dalam
pengertian di atas dapat pula dicapai.
 
Karena  itu,  nilai  puasa  ditentukan  oleh  kadar pencapaian
kesadaran  tersebut  --bukan  pada  sisi  lapar  dan  dahaga--
sehingga   dari   sini  dapat  dimengerti  mengapa  Nabi  Saw.
menyatakan bahwa, "Banyak orang yang  berpuasa,  tetapi  tidak
memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga."
 
PUASA UMAT TERDAHULU
 
Puasa  telah  dilakukan  oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba
'alal  ladzina  min  qablikum  (Sebagaimana  diwajibkan   atas
(umat-umat)  yang  sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para
ulama  menyatakan  bahwa  semua  agama  samawi,   sama   dalam
prinsip-prinsip  pokok  akidah,  syariat, serta akhlaknya. Ini
berarti bahwa semua agama samawi  mengajarkan  keesaan  Allah,
kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat,
dan berkunjung ke tempat tertentu  sebagai  pendekatan  kepada
Allah   adalah  prinsip-prinsip  syariat  yang  dikenal  dalam
agama-agama samawi.  Tentu  saja  cara  dan  kaifiatnya  dapat
berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.
 
Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi
umat islam dan umat-umat terdahulu?
 
Manusia  memiliki  kebebasan  bertindak  memilih  dan  memilah
aktivitasnya,  termasuk  dalam  hal  ini,  makan,  minum,  dan
berhubungan  seks.  Binatang   --khususnya   binatang-binatang
tertentu--  tidak  demikian.  Nalurinya  telah mengatur ketiga
kebutuhan pokok itu,  sehingga  --misalnya--  ada  waktu  atau
musim  berhubungan  seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi
memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan,  dan
atau menghindarkannya dari kebinasaan.
 
Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya
bila tidak terkendalikan dapat menghambat  pelaksanaan  fungsi
dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa
orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang
diperlukan,  bukan  saja  menjadikannya  tidak  lagi menikmati
makanan  atau  minuman  itu,  tetapi  juga  menyita  aktivitas
lainnya  kalau  enggan  berkata  menjadikannya  lesu sepanjang
hari.
 
Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi  semakin  haus
bagaikan  penyakit  eksim  semakin  digaruk semakin nyaman dan
menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.
 
Potensi dan daya  manusia  --betapa  pun  besarnya--  memiliki
keterbatasan,  sehingga  apabila  aktivitasnya telah digunakan
secara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan  kebutuhan
faali  misalnya--  maka  arah  yang lain, --mental spiritual--
akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian.
 
Sebagaimana disinggung di atas, esensi  puasa  adalah  menahan
atau  mengendalikan  diri.  Pengendalian  ini  diperlukan oleh
manusia, baik secara individu  maupun  kelompok.  Latihan  dan
pengendalian diri itulah esensi puasa.
 
Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau
miskin, pandai atau  bodoh,  untuk  kepentingan  pribadi  atau
masyarakat.   Tidak   heran  jika  puasa  telah  dikenal  oleh
umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan  oleh
Al-Quran.
 
Dari  penjelasan  ini,  kita  dapat  melangkah untuk menemukan
salah satu jawaban tentang rahasia  pemilihan  bentuk  redaksi
pasif  dalam  menetapkan  kewajiban  puasa. Kutiba 'alaikumush
shiyama (diwajibkan atas kamu  puasa),  tidak  menyebut  siapa
yang mewajibkannya?
 
Bisa  saja  dikatakan  bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut
disebabkan karena yang mewajibkannya  sedemikian  jelas  dalam
hal  ini  adalah  Allah  Swt.  Tetapi  boleh  jadi  juga untuk
mengisyaratkan  bahwa  seandainya   pun   bukan   Allah   yang
mewajibkan  puasa,  maka manusia yang menyadari manfaat puasa,
dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi
berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini
dilakukan manusia,  bukan  semata-mata  atas  dorongan  ajaran
agama.  Misalnya  demi  kesehatan,  atau kecantikan tubuh, dan
bukankah pula  kepentingan  pengendalian  diri  disadari  oleh
setiap makhluk yang berakal?
 
Di  sisi  lain bukankah Nabi Saw. bersabda, "Seandainya umatku
mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh  Ramadhan,
niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan."
 
KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN
 
Dalam  rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah
menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan
pada  ayat  lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam
Qadar,
 
     Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada
     Lailat Al-Qadr.
 
Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar  itu,
yang  menurut  Al-Quran  lebih  baik  dari  seribu bulan. Para
malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun  seizin  Tuhan,
dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.
 
Di sisi lain --sebagaimana disinggung pada awal uraian-- bahwa
dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang
mengandung   pesan   tentang   kedekatan   Allah  Swt.  kepada
hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa  --siapa
pun yang dengan tulus berdoa.
 
Dari   hadis-hadis  Nabi  diperoleh  pula  penjelasan  tentang
keistimewaan  bulan  suci  ini.  Namun  seandainya  tidak  ada
keistimewaan  bagi  Ramadhan  kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal
itu pada hakikatnya telah cukup untuk  membahagiakan  manusia.
[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team