| |
|
SENI (1/2) Seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apa pun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia, atau fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Di sisi lain, Al-Quran memperkenalkan agama yang lurus sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Maka, tetapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Alah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Al-Rum [30]: 30) Adalah merupakan satu hal yang mustahil, bila Allah yang menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya. Bukankah Islam adalah agama fitrah? Segala yang bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan yang mendukung kesuciannya ditopangnya. Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia dengan makhluk lain. Jika demikian. Islam yasti mendukung kesenian selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia yang suci itu, dan karena itu pula Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia, sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa manusia di dalam Islam. Tetapi mengapa selama ini ada kesan bahwa Islam menghambat perkembangan seni dan memusuhinya? Jawabannya boleh jadi tersirat dari informasi berikut. Diriwayatkan bahwa Umar Ibnul Khaththab --khalifah kedua-- pernah berkata, Umat Islam meninggalkan dua pertiga dari transaksi ekonomi karena khawatir terjerumus ke dalam haram (riba). Ucapan ini benar adanya, dan agaknya ia juga dapat menjadi benar jika kalimat transaksi ekonomi diganti dengan kesenian. Boleh jadi problem yang paling menonjol dalam hubungan dengan seni budaya dan Islam, sekaligus kendala utama kemauannya adalah kekhawatiran tersebut. Bahasan berikut akan berusaha memaparkan wawasan Al-Quran tentang seni. KEINDAHAN DALAM KONSEP AL-QURAN Tidak keliru jika dikatakan bahwa inti dari segala uraian Al-Quran adalah memperkenalkan keesaan Allah Swt. Ini terlihat sejak wahyu pertama Al-Quran, ketika wahyu tersebut memerintahkan untuk membaca dengan nama Tuhan yang diperkenalkannya sebagai Maha Pencipta, Maha Pemurah serta Pengajar. Dalam rangka memperkenalkan diri-Nya itulah Allah menciptakan alam raya, seperti bunyi satu ungkapan yang dinilai oleh sementara ulama sebagai hadis qudsi, Aku tadinya sesuatu yang tidak dikenal. Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku. Untuk tujuan memperkenalkan-Nya --disamping tujuan yang lain-- kitab suci Al-Quran mengajak manusia memandang ke seluruh jagat raya, antara lain dari sisi keserasian dan keindahanya. Tidakkah mereka melihat ke langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasi, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? (QS Qaf [50]: 6) Setelah Al-Quran berbicara tentang aneka tumbuh-tumbuhan dinyatakannya, Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman (QS Al-Anam [61: 99) Allah Swt. tidak hanya menciptakan 1angit, melainkan juga memeliharanya. Bukan hanya hifzhan, tetapi juga zinatan (hiasan yang indah). Begitu pernyataan Allam dalam surat Ash-Shaffat (37): 6-7 dan Fushshilat (41): 12. Laut pun diciptakan antara lain agar dapat diperoleh darinya bukan sekadar daging segar, tetapi juga hiasan yang memperindah penampilan seseorang. Dan Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan darinya (laut itu) daging yang segar (ikan), dan kamu dapat mengeluarkan darinya (lautan itu) perhiasan yang kamu pakai, serta kamu dapat melihat bahtera yang berlayar padanya ... (QS Al-Nah1 [16]: 14) . Gunung-gunung dengan ketegarannya, bintang ketika terbenam, matahari saat naik sepenggalan, malam ketika hening dan masih banyak yang lain, semua diungkapkan oleh A1-Quran. Bahkan pemandangan ternak dinyatakannya: Kamu memperoleh pandangan yang indah ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan (QS Al-Nah1 [16]: 6). Ayat terakhir ini melepaskan kendali kepada manusia yang memandangnya untuk menikmati dan melukiskan keindahan itu, sesuai dengan subjektivitas perasaannya. Begitu kurang lebih uraian para mufasir ketika menganalisis redaksi ayat itu. Ini berarti bahwa seni dapat dicetuskan oleh perorangan sesuai dengan kecenderungannya, atau, oleh kelompok masyarakat sesuai dengan budayanya, tanpa diberi batasan ketat kecuali yang digariskan-Nya pada awal uraian surat Al-Nahl itu, yakni Mahasuci Allah dari segala kekurangan dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan. Menang, kehidupan dunia tidak akan berakhir kecuali apabila dunia ini telah sempurna keindahannya, dan manusia telah mengenakan semua hiasannya. Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia ini adalah seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanaman-tanaman di bumi di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, serta pemilik-pemiliknya merasa yakin berkuasa atasnya, ketika itu serta merta datang siksa Kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan tanaman-tanamannya laksana tanaman yang telah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada orang-orang yang berpikir (QS Yunus [10]: 24). Bumi berhias sedemikian itu sebagai buah keberhasilan manusia memperindahnya. Tentu saja hal tersebut merupakan hasil dorongan naluri manusia yang selalu mendambakan keindahan. Kembali kepada keindahan alam raya dan peranannya dalam pembuktian keesaan dan kekuasaan Allah, kita dapat berkata bahwa mengabaikan sisi-sisi keindahan yang terdapat di alam raya ini, berarti mengabaikan salah satu dari bukti keesaan Allah Swt., dan mengekspresikannya dapat merupakan upaya membuktikan kebesaran-Nya, tidak kalah --kalau enggan berkata lebih kuat-- dari upaya membuktikannya dengan akal pikiran. Bukankah seperti tulis Immannuel Kant, dan dikuatkan juga oleh mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar Syaikh Abdul-Halim Mahmud, bahwa Bukti terkuat tentang wujud Tuhan terdapat dalam rasa manusia, bukan akalnya. Kita tidak perlu bertepuk tangan kepada logika yang membuktikan wujud Tuhan, karena dengan logika juga orang membuktikan sebaliknya. Karena itu pula Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin. bahwa: Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati. Seorang Muslim dituntut untuk berakhlak dengan akhlak Ilahi sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dalam konteks ini, Nabi Saw. bersabda, Berakhlaklah dengan akhlak Allah. Dalam sabda yang lain beliau menyatakan bahwa Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyenangi keindahan. Bahkan ada hadis Nabi yang memberi kesan bolehnya memperhatikan keindahan diri sampai pada batas bersaing untuk menjadi yang terindah. Seorang sahabat Nabi bernama Malik bin Mararah Ar-Rahawi, pernah bertanya kepada Nabi Saw., Sahabat Rasul Malik bin Mararah Ar-Rahawi bertanya kepada Nabi Saw., Wahai Rasul, Allah telah menganugerahkan kepadaku keindahan seperti yang engkau lihat. Aku tidak senang ada seseorang yang melebihiku walau dengan sepasang alas kaki atau melebihinya, apakah demikian merupakan keangkuhan? Nabi menjawab, Tidak! Keangkuhan adalah meremehkan hak dan merendahkan orang lain. (HR Ahmad dan Abu Dawud). Rasulullah Saw. sendiri memakai pakaian yang indah, bahkan suatu ketika beliau memperoleh hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas, lalu naik ke mimbar, namun beliau tidak berkhutbah dan kemudian turun. Sahabat-sahabatnya demikian kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya, Nabi Saw. bersabda. Apakah kalian mengagumi baju ini? Mereka berkata, Kami sama sekali belum pernah melihat pakaian lebih indah dari ini. Nabi bersabda: Sesungguhnya saputangan Sad bin Muadz di surga jauh lebih indah dari yang kalian lihat. Demikian beliau memakai baju yang indah, tetapi beliau tetap menyadari sepenuhnya tentang keindahan surgawi. APAKAH YANG DISEBUT SENI? Kalau memang seperti itu pandangan Islam tentang kesenian, maka mengapa warna kesenian Islami tidak tampak dengan jelas pada masa Nabi Saw. dan para sahabatnya. Bahkan mengapa terasa atau terdengar adanya semacam pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembangan kesenian? Boleh jadi sebabnya menurut Sayyid Quthb yang berbicara tentang masa Nabi dan para sahabatnya adalah karena seniman, baru berhasil dalam karyanya jika ia dapat berinteraksi dengan gagasan, menghayatinya secara sempurna sampai menyatu dengan jiwanya, lalu kemudian mencetuskannya daLam bentuk karya seni. Nah, pada masa Nabi dan sahabat beliau, proses penghayatan nilai-nilai Islami baru dimulai, bahkan sebagian mereka baru dalam tahap upaya membersihkan gagasan-gagasan Jahiliah yang telah meresap selama ini dalam benak dan jiwa masyarakat, sehingga kehati-hatian amat diperlukan baik dari Nabi sendiri sebagai pembimbing maupun dari kaum Muslim lainnya. Atas dasar inilah kita harus memahami larangan-larangan yang ada, kalau kita menerima adanya larangan penampilan karya seni terlentu. Apalagi seperti dikemukakan di atas bahwa apresiasi Al-Quran terhadap seni sedemikian besar. Mari kita coba melihat dua macam seni yang seringkali dinyatakan terlarang, dalam Islam, a. Seni Lukis, Pahat, atau Patung Al-Quran secara tegas dan dengan bahasa yang sangat jelas berbicara tentang patung pada tiga surat Al-Quran. 1. Dalam surat Al-Anbiya (21): 51-58 diuraikan tentang patung-patung yang disembah oleh ayah Nabi Ibrahim dan kaumnya. Sikap Al-Quran terhadap patung-patung itu, bukan sekadar menolaknya, tetapi merestui penghancurannya. Maka Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya (QS Al-Anbiya [21]: 58). Ada satu catatan kecil yang dapat memberikan arti dari sikap Nabi Ibrahim di atas, yaitu bahwa beliau menghancurkan semua berhala kecuali satu yang terbesar. Membiarkan satu di antaranya dibenarkan, karena ketika itu berhala tersebut diharapkan dapat berperan sesuai dengan ajaran tauhid. Melalui berhala itulah Nabi Ibrahim membuktikan kepada mereka bahwa berhala --betapapun besar dan indahhya-- tidak wajar untuk disembah. Sebenarnya patung yany besar inilah yang melakukannya (penghancuran berhala-berhala itu). Maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara. Maka mereka kembali kepada kesadaran diri mereka, lalu mereka berkata, Sesungguhnya kami sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri) (QS Al-Anbiya [21]: 63-64) Sekali lagi Nabi Ibrahim a.s. tidak menghancurkan berhala yang terbesar pada saat berhala itu difungsikan untuk satu tujuan ycang benar. Jika demikian, yang dipersoalkan bukan berhalanya, tetapi sikap terhadap berhala, serta peranan yang diharapkan darinya. 2. Dalam surat Saba (34): 12-13 diuraikan tentang nikmat yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Sulaiman, yang antara lain adalah, (Para jin) membuat untuknya (Sulaiman) apa yang dikehendakinya seperti gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung ... (QS Saba [34]: 13). Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa patung-patung itu terbuat dari kaca, marmer, dan tembaga, dan konon menampilkan para ulama dan nabi-nabi terdahulu. (Baca Tafsirnya menyangkut ayat tersebut). Di sini, patung-patung tersebut --karena tidak disembah atau diduga akan disembah-- maka keterampilan membuatnya serta pemilikannya dinilai sebagai bagian dari anugerah Ilahi. 3. Dalam Al-Quran surat Ali Imran (3): 48-49 dan Al-Maidah (5): 110 diuraikan mukjizat Nabi Isa a.s. antara lain adalah menciptakan patung berbentuk burung dari tanah liat dan setelah ditiupnya, kreasinya itu menjadi burung yang sebenarnya atas izin Allah. Aku membuat untuk kamu dari tanah (sesuatu) berbentuk seperti burung kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung seizin Allah (QS Ali Imran [3): 49). Di sini, karena kekhawatiran kepada penyembahan berhala atau karena faktor syirik tidak ditemukan, maka Allah SWt membenarkan pembuatan patung burung oleh Nabi Isa as. Dengan demikian, penolakan Al-Quran bukan disebabkan oleh patungnya, melainkan karena kemusyrikan dan penyembahannya. Kaum Nabi Shaleh terkenal dengan keahlian mereka memahat, sehingga Allah berfirman, Ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengyanti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum Ad, dan memberikan tempat bagimu di bumi, Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanah yang datar, dan kamu pahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu merajalela di bumi membuat kerusakan (QS Al-Araf [7]: 74). Kaum Tsamud amat gandrung melukis dan memahat, serta amat ahli dalam bidang ini sampai-sampai relief-relief yang mereka buat demikian indah bagaikan sesuatu yang hidup, menghiasi gunung-gunung tempat tinggal mereka. Kaum ini enggan beriman, maka kepada mereka disodorkan mukjizat yang sesuai dengan keahliannya itu, yakni keluarnya seekor unta yang benar-benar hidup dari sebuah batu karang. Mereka melihat unta itu makan dan minum (QS Al-Araf [7]: 73 dan QS Al-Syuara [26]: 155-156), bahkan mereka meminum susunya. Ketika itu relief-relief yang mereka lukis tidak berarti sama sekali dibanding dengan unta yang menjadi mukjizat itu. Sayang mereka begitu keras kepala dan kesal sampai mereka tidak mendapat jalan lain kecuali menyembelih unta itu, sehingga Tuhan pun menjatuhkan palu godam terhadap mereka (Baca QS Al-Syams [91]: 13-15) . Yang digarisbawahi di sini adalah bahwa pahat-memahat yang mereka tekuni itu merupakan nikmat Allah Swt. yang harus disyukuri, dan harus mengantar kepada pengakuan dan kesadaran akan kebesaran dan keesaan Allah Swt. Allah sendiri yang menantang kaum Tsamud dalam bidang keahlian mereka itu, pada hakikatnya merupakan Seniman Agung kalau istilah ini dapat diterima. Kembali kepada persoalan sikap Islam tentang seni pahat atau patung, maka agaknya dapat dipahami antara lain melalui penjelasan berikut. Syaikh Muhammad Ath-Thahir bin Asyur ketika menafsirkan ayat-ayat yang berbicara tentang patung-patung Nabi Sulaiman menegaskan, bahwa Islam mengharamkan patung karena agama ini sangat tegas dalam memberantas segala bentuk kemusyrikan yang demikian mendarah daging dalam jiwa orang-orang Arab serta orang-orang selain mereka ketika itu. Sebagian besar berhala adalah patung-patung, maka Islam mengharamkannya karena alasan tersebut; bukan karena dalam patung terdapat keburukan, tetapi karena patung itu dijadikan sarana bagi kemusyrikan. ---------------- (bersambung 2/2) WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |