Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

SENI                                                     (2/2)

Atas  dasar  inilah,  hendaknya  dipahami   hadis-hadis   yang
melarang  menggambar  atau melukis dan memahat makhluk-makhluk
hidup.

Apabila seni membawa manfaat bagi manusia,  memperindah  hidup
dan  hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai
luhur dan menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus
rasa keindahan dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung,
tidak menentangnya. Karena ketika itu ia telah  menjadi  salah
satu  nikmat  Allah  yang dilimpahkan kepada manusia. Demikian
Muhammad Imarah dalam bukunya Maalim Al-Manhaj Al-Islami  yang
penerbitannya  disponsori  oleh  Dewan Tertinggi Datwah Islam,
Al-Azhar  bekerjasama  dengan  Al-Mahad  Al-Alami   lil   Fikr
Al-Islami (International Institute for Islamic Thought).

b. Seni Suara

Ada tiga ayat yang dijadikan alasan oleh sementara ulama untuk
melarang --paling sedikit dalam arti  memakruhkan--  nyanyian,
yaitu: surat Al-Isra (17): 64, Al-Najm (53): 59-61, dan Luqman
(31): 6.

Surat Al-Isra dimaksud adalah perintah Allah kepada setan:

     Hasunglah siapa yang kamu sanggup (hasung) diantara
     mereka (manusia) dengan suaramu, dan kerahkanlah
     terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang
     beralas kaki dan berserikatlah dengan mereka pada
     harta dan anak-anak, dan beri janjilah mereka. Tidak
     ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka kecuali
     tipuan belaka.

Kata suaramu dalam ayat di atas menurut sementara ulama adalah
nyanyian.  Tetapi  benarkah  demikian?  Membatasi  arti  suara
dengan nyanyian merupakan pembatasan yang tidak berdasar,  dan
kalaupun  itu  diartikan nyanylan, maka nyanyian yang dimaksud
adalah yang didendangkan oleh setan,  sebagaimana  bunyi  ayat
ini.  Dan  suatu ketika ada nyanyian yang dilagukan oleh bukan
setan, maka belum tentu termasuk yang dikecam oleh ayat ini.

Surat Al-Najm yang dimaksud adalah:

     Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini
     (adanya Kiamat)? Kamu menertawakan dan tidak
     menangis? Sedang kamu samidun (QS Al-Najm [53]:
     59-61).

Kata samidun diartikan oleh yang melarang  seni  suara  dengan
arti  dalam keadaan menyanyi-nyanyi. Arti ini tidak disepakati
oleh ulama, karena kata tersebut walaupun digunakan oleh  suku
Himyar  (salah  satu  suku  bangsa  Arab) dalam arti demikian.
Tetapi  dalam  kamus-kamus  bahasa  seperti  --Mujam   Maqayis
Al-Lughah--  dijelaskan  bahwa akar kata samidun adalah samada
yang maknanya berkisar pada berjalan bersungguh-sungguh  tanpa
menoleh  ke  kiri  dan  ke  kanan,  atau  secara  majazi dapat
diartikan serius  atau  tidak  mengindahkan  selain  apa  yang
dihadapinya.

Dengan  demikian,  kata  samidun  dalam  ayat  tersebut  dapat
diartikan lengah karena seorang yang  lengah  biasanya  serius
dalam menghadapi sesuatu dan tidak mengindahkan yang lain

Dalam  Al-Quran  dan  Terjemahnya  Departemen  Agama  RI  kata
samidun diartikan seperti keterangan di  atas,  yakni  lengah.
Kalaupun  kata  di  atas  dibatasi  dalam  arti  nyanyian maka
nyanyian yang dikecam  di  sini  adalah  yang  dilakukan  oleh
orang-orang   menertawakan   adanya   hari  kiamat,  dan  atau
me1engahkan mereka (1ari peristiwa yang  seharusnya  memilukan
mereka.

Ayat ketiga yang dijadikan argumentasi keharaman menyanyi atau
mendengarkannya adalah surat Luqman ayat 6

     Di antara manusia ada yang mempergunakan lahwa
     al-hadits (kata-kata yang tidak berguna) untuk
     menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa
     pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah itu
     olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh siksa yang
     menghinakan.

Mereka  mengartikan  kata-kata  yang  tidak   berguna   (lahwa
al-hadits) sebagai nyanyian.

Pendapat  ini  jelas tidak beralasan untuk menolak seni-suara,
bukan saja karena  lahwa  al-hadits  tidak  berarti  nyanyian,
tetapi  juga  karena  seandainya  kalimat  tersebut  diartikan
nyanyian, yang dikecam di  sini  adalah  bila  kata-kata  yang
tidak berguna itu menjadi alat untuk menyesatkan manusia. Jadi
masalahnya bukan terletak  pada  nyanyiannya,  melainkan  pada
dampak yang diakibatkanya.

Sejarah  kehidupan  Rasulullah  Saw.  membuktikan bahwa beliau
tidak  melarang   nyanyian   yang   tidak   mengantar   kepada
kemaksiatan.  Bukankah  sangat populer di kalangan umat Islam,
lagu-lagu yang dinyanylkan oleh kaum Anshar di  Madinah  dalam
menyambut Rasulullah Saw.?

     Thalaa al-badru alaina. Min tsaniyat al-wadai
     Wajabasy syukru alaina. Ma daa lillahi dai
     Ayyuha al-mabutsu fina. Jita bil amril muthai

Memang benar, apabila nyanyian mengandung kata-kata yang tidak
sejalan dengan ajaran Islam, maka ia harus ditolak. Imam Ahmad
meriwayatkan bahwa dua orang wanita  mendendangkan  lagu  yang
isinya   mengenang   para  pahlawan  yang  telah  gugur  dalam
peperangan Badr sambil menabuh gendang. Di antaranya  syairnya
adalah:

     Dan kami mempunyai Nabi yang mengetahui apa yang akan
     terjadi besok

Mendengar ini Nabi Saw. menegur mereka sambil bersabda:

     Adapun yang demikian, maka jangan kalian ucapkan.
     Tidak ada yang mengetahui (secara pasti) apa yang
     terjadi esok kecuali Allah (Diriwayatkan oleh Ahmad).

Al-Quran sendiri memperhatikan nada dan langgam ketika memilih
kata-kata    yang   digunakannya   setelah   terlebih   dahulu
memperhatikan kaitan antara  kandungan  kata  dan  pesan  yang
ingin disampaikannya.

Sebelum  seseorang terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan
kandungan Al-Quran, terlebih  dahulu  ia  akan  terpukau  oleh
beberapa  hal  yang  berkaitan  dengan  susunan  kata-kata dan
kalimatnya, antara lain menyangkut nada dan langgamnya.

Walaupun ayat-ayat Al-Quran ditegaskan oleh Allah bukan syair,
atau  puisi,  namun ia terasa dan terdengar mempunyai keunikan
dalam irama dan ritmenya. Ini  disebabkan  karena  huruf  dari
kata-kata  yang  dipilihnya  melahirkan  keserasian bunyi, dan
kemudian kumpulan kata-kata  itu  melahirkan  pula  keserasian
irama dalam rangkaian kalimat ayatayatnya.

Bacalah misalnya surat Asy-Syams, atau Adh-Dhuha atau Al-Lahab
dan surat-surat lainnya. Atau baca  misalnya  surat  An-Naziat
ayat 15-26.

Yang  ingin  digarisbawahi  di sini adalah nada dan irama yang
unik itu. Ini berarti bahwa  Allah  sendiri  berfirman  dengan
menyampaikan  kalimat-kalimat  yang  memiliki  irama dan nada.
Nada  dan  irama  itu  tidak  lain  dari  apa  yang   kemudian
diistilahkan  oleh  sementara  ilmuwan  Al-Quran dengan Musiqa
Al-Quran (musik Al-Quran). Ini belum lagi jika  ditinjau  dari
segi  ilmu  tajwid yang mengatur antara lain panjang pendeknya
nada  bacaan,   bahkan   belum   lagi   dan   lagu-lagu   yang
diperkenalkan oleh ulama-ulama Al-Quran. Imam Bukhari, dan Abu
Daud meriwayatkan sabda Nabi Saw.:

     Perindahlah Al-Quran dengan suara kamu.

Bukankah semua  ini  menunjukkan  bahwa  menyanyikan  Al-Quran
tidak terlarang, dan karena itu menyanyi secara umum pun tidak
terlarang kecuali kalau nyanyian tersebut tidak sejalan dengan
tuntunan Islam.

SENI ISLAM

Apakah  seni suara (nyanyian) harus dalam bahasa Arab? ataukah
harus berbicara tentang ajaran Islam? Dengan tegas  jawabannva
adalah: Tidak. Dalam konteks ini, Muhammad Quthb menulis.

     Kesenian Islam tidak harus berbicara tentang Islam.
     Ia tidak harus berupa nasihat langsung, atau anjuran
     berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak
     tentang akidah. 'Seni yang Islami adalah seni yang
     dapat menggambarkar wujud ini, dengan bahasa yang
     indah serta sesuai dengan cetusan fitrah. Seni Islam
     adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi
     pandangan Islam tentang alam, hidup, dan manusia yang
     mengantar menuju pertemuan sempurna antara kebenaran
     dan keindahan. Boleh jadi seseorang menggambarkan
     Muhammad Saw. dengan sangat indah sebagai tokoh
     genius yang memiliki berbagai keistimewaan.
     Penggambaran semacam ini belum menjadikan karya seni
     yang ditampilkannya adalah seni yang Islami, karena
     ketika itu ia baru menampilkan beliau sebagai
     manusia, tanpa menggambarkan hubungan beliau dengan
     hakikat mutlak yaitu Allah Swt. Penggambaran itu
     tidak sejalan dengan pandangan Islam menyangkut
     manusia. (Baca selengkapnya Manhaj Al-Tarbiyah
     Al-Islamiyah. hlm. 119).

Anda boleh memilih objek dan cara menampilkan seni. Anda boleh
menggambarkan  kenyataan  yang  hidup dalam masyarakat di mana
Anda berada. Anda boleh memadukannya dengan  apa  saja,  boleh
berimajinasi  karena  lapangan seni Islami adalah semua wujud,
tetapi sedikit catatan, yaitu jangan  sampai  seni  yang  Anda
tampilkan  bertentangan  dengan  fitrah  atau  pandangan Islam
tentang wujud itu sendiri. Jangan sampai,  misalnya  pemaparan
tentang  manusia  hanya  terbatas  pada jasmaninya semata atau
yang ditonjolkan hanya  manusia  dalam  aspek  debu  tanahnya,
tidak  disertai  dengan  unsur  roh  Ilahi  yang menjadikannya
sebagai manusia.

Jika catatan ini diindahkan, maka pada  saat  itu  pula,  seni
telah  mengayunkan  langkah  untuk  berfungsi  sebagai  sarana
dakwah Islamiyah.

Islam, melalui sumber  utamanya  Al-Quran,  bahkan  melukiskan
dengan  sangat  indah,  kelemahan-kelemahan  manusia;  gejolak
nafsu berahi pun ditampilkannya, Dan dirayunya pemuda yang ada
di  rumahnya?  ditutupnya  semua  pintu  amat  rapat.  Ssambil
berkata Inilah daku. Sesunguhnya dia telah bermaksud melakukan
itu  dan  pemuda  itu  pun bermaksud ... Begitu sekelumit dari
sisi kelemahan manusia yang  diabadikan  oleh  Al-Quran  dalam
kisah  Yusuf (QS 12: 23-24). Tetapi Al-Quran tidak larut dalam
melukiskannya --karena ini dapat  menghanyutkan,  tetapi  juga
dia  tidak berhenti sampai di sana. Karena itu baru aspek debu
tanah  manusia,  kisahnya  dilanjutkan  dengan   menggambarkan
kesadaran  para  pelaku,  sehingga  pada akhirnya bertemu debu
tanah dan ruh Ilahi itu pada sosok kedua hamba Allah itu.

Allah  Swt.  meyakinkan  manusia  tentang   ajarannya   dengan
menyentuh  seluruh  totalitas manusia, termasuk menyentuh hati
mereka melalui seni yang  ditampilkan  Al-Quran,  antara  lain
melalui  kisah-kisah  nyata  atau  simbolik  yang  dipadu oleh
imajinasi:  melalui  gambaran-gambaran  konkret  dari  gagasan
abstrak  yang  dipaparkan  dalam  bahasa  seni  yang  mencapai
puncaknya. Dapat dipastikan bahwa  Al-Quran  menggunakan  seni
untuk dakwah, dan dapat pula dipastikan bahwa selama ini, kita
belum memanfaatkan secara maksimal apalagi  mengembangkan  apa
yang dicontohkan Al-Quran itu.

Kalau  Al-Quran  menggambarkan  dalam  bahasa  lisan sikap dan
gejolak hati manusia, maka tentu tidak ada salahnya jika sikap
dan gejolak hati itu digambarkan dalam bentuk bahasa gerak dan
mimik, bersama dengan bahasa lisan. Itulah salah  satu  contoh
pengembangan,  karena  menjadikan  Al-Quran  sebagai  petunjuk
bukan berarti kita harus menirunya dalam  segala  hal,  tetapi
dalam   bidang  seni  misalnya,  ia  berarti  menghayati  jiwa
bimbingan  dan  nafas  penampilannya,  kemudian  setelah   itu
mempersilakan  setiap  seniman  untuk  menerjemahkan  jiwa dan
nafas tersebut dalam kreasi seninya.

Al-Quran misalnya menjadikan kisah sebagai salah  satu  sarana
pendidikan  yang  sejalan  dengan  pandangannya  tentang alam,
manusia, dan kehidupan. Maka pada saat  seseorang  menggunakan
kisah sebagai sarana pendidikan seni dan hiburan dengan tujuan
memperhalus budi,  mengingatkan  tentang  jati  diri  manusia,
menggambarkan akibat baik atau buruk dan satu pengamalan, maka
pada saat itu,  seni  yang  ditampilkannya  adalah  seni  yang
bernafaskan Islam, walaupun di celah-celah kisahnya dilukiskan
kelemahan  manusia  dalam  batas  dan  penampilan  yang  tidak
mendorong kejatuhannya.

Al-Quran  dan  sunnah  misalnya  melukiskan alam dengan begitu
indah, berdialog, dan bersambung rasa dengan manusia. Dan pada
saat  kita  menikmati suatu lukisan yang hidup, maka kisah itu
telah memerankan pandangan  Islam  tentang  alam,  tidak  jauh
berbeda  dengan  ungkapan Rasulullah Saw. ketika melukiskannya
dengan bahasa lisan

     Gunung ini (Uhud) mencintai kita dan kita pun
     mencintainya

Memang Al-Quran, demikian juga  sunnah,  sangat  memperhatikan
sisi  hidup  pada  penggambaran  yang diberikannya. Perhatikan
bagaimana Al-Quran melukiskan tanah yang gersang sebagai tanah
yang  mati,  dan tanah vang subur sebagai tanah yang hidup (QS
Al-Baqarah [2]:  164).  Bahkan  dengarkan  bagaimana  Al-Quran
melukiskan  alam  raya  ini bagai sesuatu yang hidup dan mampu
berdialog.

     Kemudian Allah menuju kepada penciptaan langit, dan
     langit (ketika itu) masih merupakan asap, lalu Dia
     berkata kepadanya dan kepada bumi, Datanglah kamu
     berdua menurut perintah-Ku suka atau tidak suka!
     Keduanya menjawab, Kami datang dengan suka hati (QS
     Al-Fushshilat [41]: 11).

Bahkan segala sesuatu hidup bertasbih kepada Allah:

     Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
     dalamnya bertasbih kepada-Nya (Allah). Tiada sesuatu
     pun melainkan bertasbih. dengan memuji-Nya, tetapi
     kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
     Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun. Lagi Maha
     Pengampun (QS Al-Isra[17]: 44).

Tentu penggambaran alam raya ini sebagai sesuatu  yang  hidup,
bukan sekadar bertujuan seni, tetapi untuk mengingatkan kepada
manusia bahwa alam raya adalah sesuatu yang hidup dan memiliki
kepribadian.   Sehingga   manusia   perlu   menjalin  hubungan
persahabatan dengannya, atau  paling  tidak  alam  raya  perlu
dipelihara,    dijaga   kesinambungannya   serta   dilimpahkan
kepadanya rahmat dan kasih sayang.

SENI DAN BUDAYA ASING

Islam dapat menerima semua hasil karya manusia selama  sejalan
dengan  pandangan  Islam menyangkut wujud alam raya ini. Namun
demikian wajar dipertanyakan bagaimana sikap  satu  masyarakat
dengan  kreasi  seninya  yang  tidak  sejalan  dengsan  budaya
masyarakatnya?

Dalam  konteks  ini,  perlu   digarisbawahi   bahwa   Al-Quran
memerintahkan   kaum   Muslim   untuk   menegakkan  kebajikan,
memerintahkan perbuatan makruf dan mencegah perbuatan munkar.

Makruf merupakan budaya masyarakat sejalan dengan  nilai-nilai
agama,  sedangkan  munkar  adalah perbuatan yang tidak sejalan
dengan budaya masyarakat.

Dari sini,  setiap  Muslim  hendaknya  memelihara  nilai-nilai
budaya  yang  makruf  dan sejalan dengan ajaran agama, dan ini
akan mengantarkan mereka untuk memelihara  hasil  seni  budaya
setiap   masyarakat.   Seandainya   pengaruh   --apalagi  yang
negatif-- dapat merusak adat-istiadat serta kreasi  seni  dari
satu  masyarakat,  maka kaum Muslim di daerah itu harus tampil
mempertahankan makruf yang diakui  oleh  masyarakatnya,  serta
membendung setiap usaha --dari mana pun datangnya-- yang dapat
merongrong makruf tersebut.  Bukankah  Al-Quran  memerintahkan
untuk menegakkan makruf?!

Demikian,  sekelumit yang dapat dikemukakan tentang seni dalam
wawasan  Al-Quran.  Agaknya  kita  dapat  menyimpulkan   bahwa
Al-Quran  sangat  menghargai  segala  kreasi manusia, termasuk
kreasi  manusia  yang  lahir  dari  penghayatan  rasa  manusia
terhadap  seluruh  wujud  ini,  selama kreasi tersebut sejalan
dengan fitrah kesucian jiwa manusia.[]
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team