Takdir (1/3)

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Ketika Mu'awiyah ibn Abi Sufyan  menggantikan  Khalifah  IV,
Ali ibn Abi Thalib (W. 620 H), ia menulis surat kepada salah
seorang sahabat Nabi, Al-Mughirah  ibn  Syu'bah  menanyakan,
"Apakah  doa  yang  dibaca  Nabi  setiap selesai shalat?" Ia
memperoleh jawaban bahwa doa beliau adalah,
 
"Tiada Tuhan selain  Allah,  tiada  sekutu  bagi-Nya.  Wahai
Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri,
tidak juga ada yang mampu memberi apa yang  Engkau  halangi,
tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber
dari-Mu (HR Bukhari).
 
Doa ini dipopulerkannya untuk  memberi  kesan  bahwa  segala
sesuatu  telah  ditentukan  Allah,  dan  tiada usaha manusia
sedikit pun. Kebijakan mempopulerkan doa ini,  dinilai  oleh
banyak  pakar sebagai "bertujuan politis," karena dengan doa
itu para penguasa Dinasti Umayah  melegitimasi  kesewenangan
pemerintahan  mereka,  sebagai  kehendak Allah. Begitu tulis
Abdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar Mesir dalam
Al-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (hlm- 203).
 
Tentu   saja,   pandangan   tersebut   tidak  diterima  oleh
kebanyakan ulama.  Ada  yang  demikian  menggebu  menolaknya
sehingga secara sadar atau tidak -mengumandangkan pernyataan
la qadar (tidak ada takdir).  Manusia  bebas  melakukan  apa
saja,  bukankah  Allah  telah menganugerahkan kepada manusia
kebebasan memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukum
kalau  dia  tidak  memiliki  kebebasan  itu?  Bukankah Allah
sendiri menegaskan,
 
"Siapa yang  hendak  beriman  silakan  beriman,  siapa  yang
hendak kufur silakan juga kufur" (QS Al-Kahf [18]: 29).
 
Masing-masing    bertanggung    jawab    pada   perbuatannya
sendiri-sendiri.  Namun   demikian,   pandangan   ini   juga
disanggah.  Ini  mengurangi  kebesaran  dan kekuasaan Allah.
Bukankah Allah Mahakuasa? Bukankah
 
"Allah menciptakan kamu  dan  apa  yang  kamu  lakukan"  (QS
Al-Shaffat [37]: 96).
 
Tidakkah  ayat  ini berarti bahwa Tuhan menciptakan apa yang
kita lakukan? Demikian  mereka  berargumentasi.  Selanjutnya
bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,
 
"Apa  yang  kamu  kehendaki, (tidak dapatterlaksana) kecuali
dengan kehendak Allah jua" (QS Al-Insan [76]: 30).
 
Demikian sedikit dari banyak  perdebatan  yang  tak  kunjung
habis   di  antara  para  teolog.  Masing-masing  menjadikan
Al-Quran sebagai  pegangannya,  seperti  banyak  orang  yang
mencintai si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka.
 
Kemudian  didukung  oleh  penguasa yang ingin mempertahankan
kedudukannya, dan dipersubur oleh keterbelakangan umat dalam
berbagai  bidang, meluaslah paham takdir dalam arti kedua di
atas, atau paling tidak, paham yang mirip dengannya
 
Yang jelas, Nabi dan  sahabat-sahabat  utama  beliau,  tidak
pernah  mempersoalkan takdir sebagaimana dilakukan oleh para
teolog itu. Mereka sepenuhnya  yakin  tentang  takdir  Allah
yang   menyentuh  semua  makhluk  termasuk  manusia,  tetapi
sedikit  pun  keyakinan   ini   tidak   menghalangi   mereka
menyingsingkan   lengan  baju,  berjuang,  dan  kalau  kalah
sedikit pun mereka tidak menimpakan kesalahan kepada  Allah.
Sikap  Nabi  dan  para sahabat tersebut lahir, karena mereka
tidak memahami ayat-ayat Al-Quran secara parsial: ayat  demi
ayat,   atau  sepotong-sepotong  terlepas  dari  konteksnya,
tetapi memahaminya secara utuh, sebagaimana  diajarkan  oleh
Rasulullah Saw.
 
                                         (bersambung ke 2/3)


WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team