| |
|
Kalau kita menengok ke belakang, mempelajari kepercayaan umat manusia, maka yang ditemukan adalah hampir semua umat manusia mempercayai adanyaTuhan yang mengatur alam raya ini. Orang-orang Yunani Kuno menganut paham politeisme (keyakinan banyak tuhan): bintang adalah tuhan (dewa), Venus adalah (tuhan) Dewa Kecantikan, Mars adalah Dewa Peperangan, Minerva adalah Dewa Kekayaan, sedangkan Tuhan tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari. Orang-orang Hindu -masa lampau juga mempunyai banyak dewa, yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan itu tercermin antara lain dalam Hikayat Mahabarata. Masyarakat Mesir, tidak terkecuali. Mereka meyakini adanya Dewa Iziz, Dewi Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra'. Masyarakat Persia pun demikian, mereka percaya bahwa ada Tuhan Gelap dan Tuhan Terang. Begitulah seterusnya. Pengaruh keyakinan tersebut merambah ke masyarakat Arab, walaupun jika mereka ditanya tentang Penguasa dan Pencipta langit dan bumi mereka menjawab, "Allah." Tetapi dalam saat yang sama mereka menyembah juga berhala-berhala Al-Lata, Al- Uzza, dan Manata, tiga berhala terbesar mereka, di samping ratusan berhala lainnya. Al-Quran datang untuk meluruskan keyakinan itu, dengan membawa ajaran tauhid. Tulisan ini berusaha untuk memaparkan wawasan Al-Quran tentang hal tersebut, meskipun harus diakui bahwa tulisan ini tidak mungkin dapat menjangkau keseluruhannya. Dapat dibayangkan betapa luas pembahasan tentang Tuhan Yang Maha Esa bila akan dirujuk keseluruhan kata yang menunjuk-Nya. Kata "Allah" saja dalam Al-Quran terulang sebanyak 2697 kali. Belum lagi kata-kata semacam Wahid, Ahad, Ar-Rab, Al-Ilah, atau kalimat yang menafikan adanya sekutu bagi-Nya baik dalam perbuatan atau wewenang menetapkan hukum, atau kewajaran beribadah kepada selain-Nya serta penegasian lain yang semuanya mengarah kepada penjelasan tentang tauhid. FITRAH MANUSIA: KEYAKINAN TENTANG KEESAAN ALLAH Kalau kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran, hampir tidak ditemukan ayat yang membicarakan wujud Tuhan. Bahkan Syaikh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Al-Islam wa Al-'Aql menegaskan bahwa, "Jangankan Al-Quran, Kitab Taurat, dan Injil dalam bentuknya yang sekarang pun (Perjanjian Lama dan Baru) tidak menguraikan tentang wujud Tuhan." Ini disebabkan karena wujud-Nya sedemikian jelas, dan "terasa" sehingga tidak perlu dijelaskan. Al-Quran mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya. Demikian dipahami dari firman-Nya dalam surat Al-Rum (30): 30. "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." Dalam ayat lain dikemukakan, bahwa: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menyaksikan'" (QS Al-A'raf [7]: 172). Apabila Anda duduk termenung seorang diri, pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi, terdengarlah suara nurani, yang mengajak Anda untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha mutlak. Suara itu mengantar Anda untuk menyadari betapa lemahnya manusia dihadapan-Nya. dan betapa kuasa dan perkasa Dia Yang Mahaagung itu. Suara yang Anda dengarkan itu, adalah suara fitrah manusia. Setiap orang memiliki fitrah itu, dan terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walau seringkali -karena kesibukan dan dosa-dosa- ia terabaikan, dan suaranya begitu lemah sehingga tidak terdengar lagi. Tetapi bila diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar tertancap di dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain kecuali kepada Allah semata, tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi kecuali kepada-Nya. La haula wa la quwwata illa billahi-'Aliyyil-'Azhim (Tiada daya untuk memperoleh manfaat, tiada pula kuasa untuk menolak mudarat, kecuali bersumber dari Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung). Dan dengan demikian tidak ada lagi rasa takut yang menghantui atau mencengkeram, tiada pula rasa sedih yang akan mencekam. Sesungguhnya orang-orang yang berkata (berprinsip) bahwa Tuhan Pemelihara kami adalah Allah, serta istiqamah dengan prinsip itu, akan turun kepada mereka malaikat (untuk menenangkan mereka sambil berkata) "Jangan takut, jangan bersedih, berbahagialah kalian dengan surga yang dijanjikan" (QS Fushshilat [41]: 30) "Orang-orang yang beriman dan jiwa mereka menjadi tenteram karena mengingat Allah. Memang hanya dengan mengingat Allahlah jiwa menjadi tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28). Memang boleh jadi ada saat-saat dalam hidup ini -singkat atau panjang- dimana manusia mengalami keraguan tentang wujud-Nya, bahkan boleh jadi keraguan tersebut mengantarnya untuk menolak kehadiran Tuhan dan menanggalkan kepercayaannya, tetapi ketika itu keraguannya akan beralih menjadi kegelisahan, khususnya pada saat-saat ia merenung. Di atas telah penulis katakan bahwa hampir tidak ditemukan ayat yang membicarakan tentang wujud Tuhan. Ini, karena harus diakui bahwa ada beberapa ayat Al-Quran yang dapat dipahami sebagai berbicara tentang wujud Tuhan, dan ada pula beberapa ayat yang mengisyaratkan adanya segelintir manusia yang ateis. Misalnya, "Dan mereka berkata, 'Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.'" (QS Al-Jatsiyah [45]: 24) Namun seperti bunyi lanjutan ayat di atas, "Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, dan mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." Bahkan boleh jadi kita dapat berkata bahwa mereka yang tidak mempercayai wujud Tuhan adalah orang-orang yang kehabisan akal dan keras kepala ketika berhadapan dengan satu kenyataan yang tidak sesuai dengan "nafsu kotornya" itu. Yang demikian dapat dipahami dari ayat yang menguraikan diskusi yang terjadi antara Nabi Ibrahim a.s. dan penguasa masanya (Namrud) (QS Al-Baqarah [2]: 258), atau Fir'aun ketika berhadapan dengan Musa a.s. yang bertanya, "Siapa Tuhan semesta alam itu?" (QS Al-Syu'ara, 126]: 23). Salah satu bukti bahwa pernyataan ini lahir dari sikap keras kepala adalah pengakuan Fir'aun sendiri ketika ruhnya akan meninggalkan jasadnya. Dalam konteks ini Al-Quran, menjelaskan sikap Fir'aun yang ketika itu kembali kepada fitrah, namun sayang dia telah terlambat. "... hingga saat Fir'aun telah hampir tenggelam, berkatalah dia. 'Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).' Apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan?" (QS Yunus [10]: 90-91). Ayat ini sekaligus membuktikan bahwa kehadiran Tuhan merupakan fitrah manusia yang merupakan kebutuhan hidupnya. Kalaupun ada yang mengingkari wujud tersebut, maka pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti bahwa pada akhirnya -sebelum jiwanya berpisah dengan jasadnya- ia akan mengakui-Nya. Memang, kebutuhan manusia bertingkat-tingkat, ada yang harus dipenuhi segera seperti kebutuhan udara, ada yang dapat ditangguhkan untuk beberapa saat, seperti kebutuhan minum. Kebutuhan untuk makan, dapat ditangguhkan lebih lama daripada kebutuhan minuman, tetapi kebutuhan pemenuhan seksual bisa lebih lama ditangguhkan daripada kebutuhan pada makan dan minum; demikian seterusnya. Kebutuhan yang paling lama dapat ditangguhkan adalah kebutuhan tentang keyakinan akan adanya Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa. TAUHID ADALAH PRINSIP DASAR AGAMA SAMAWI Merujuk kepada Al-Quran, dapat kita temukan bahwa para Nabi dan Rasul selalu membawa ajaran tauhid. "Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku" (QS Al-Anbiya' [21]: 25). "Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Demikian ucapan Nabi Nuh, Hud, Shaleh dan Syu'aib yang diabadikan Al-Quran masing-masing secara berurut dalam surat Al-A'raf (7): 59, 65, 73, dan 85. Demikian juga ajaran yang diterima Musa a.s. langsung dari Allah: "Aku yang memilihmu, maka dengarkan dengan tekun, apa yang diwahyukan (padamu): 'Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku'" (QS Thaha [20] 13-14) Nabi Isa a.s. juga mengajarkan prinsip ini kepada umatnya: "Isa berkata (kepada Bani Israil), 'Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.' Sesunguhnya siapa yang mempersekutukan-Nya maka Allah mengharamkan baginya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tiada penolong bagi orang-orarg yang aniaya." (QS Al-Maidah [5]: 72) Namun, walaupun semua nabi membawa ajaran tauhid, terlihat melalui ayat-ayat Al-Quran bahwa ada perbedaan dalam pemaparan mereka tentang prinsip tauhid. Jelas sekali bahwa Nabi Muhammad Saw., melalui Al-Quran diperkaya oleh Allah dengan aneka penjelasan dan bukti, serta jawaban yang membungkam siapa pun yang mempersekutukan Tuhan Allah Swt. menyesuaikan tuntunan yang dianugerahkan kepada para Nabi-Nya sesuai dengan tingkat kedewasaan berpikir umat mereka. Karena itu hampir tidak ada bukti-bukti logis yang dikemukakan oleh Nabi Nuh kepada umatnya, dan pada akhirnya setelah mereka tetap membangkang, jatuhlah sanksi yang memusnahkan mereka: "Maka topan membinasakan mereka, dan mereka adalah orang-orang aniaya" (QS Al-'Ankabut [29]: 14). Ketika tiba masa Nabi Hud a.s. -yang masanya belum terlalu jauh dari Nuh- pemaparan beliau hampir tidak berbeda, tetapi di sana sini telah jelas bahwa masyarakat yang diajaknya berdialog, memiliki kemampuan berpikir sedikit di atas umat Nuh. Karena itu, pemaparan tentang tauhid yang dikemukakan oleh Hud a.s. disertai dengan peringatan tentang nikmat-nikmat Allah yang mereka dapatkan. Dalam rangkaian ayat-ayat yang mengingatkan mereka akan keesaan Allah, Hud mengingatkan: "Ingatlah (nikmat Allah) oleh kamu sekalian ketika Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh; dan Tuhan melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh), maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS Al-A'raf [7]: 69, dan juga dalam QS Al-Syu'ara' [26]: 123-140) Nabi Shaleh yang datang sesudah Nabi Hud a.s. lebih luas dan rinci penjelasannya, karena wawasan umatnya lebih luas pula. Mereka misalnya diingatkan tentang asal kejadian mereka dari tanah atau tugas mereka memakmurkan bumi (QS Hud [11]: 61). Akal yang mampu mencerna dapat memahami bahwa asal kejadian manusia berasal dari tanah -dalam arti bahwa sperma yang dituangkan ke rahim istri berasal dari makanan yang dihasilkan oleh bumi. Manusia yang memiliki akal yang dapat mencerna ini atau walau hanya memahaminya secara umum, pastilah lebih mampu dari mereka yang sekadar dipaparkan kepadanya nikmat-nikmat Ilahi, sebagaimana halnya kaum Hud dan Nuh- Di samping itu ada bukti lain yang dikemukakan Nabi Shaleh: "Dan kepada Tsamud (Kami mengutus) saudara mereka Shaleh. Dia berkata, 'Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang sangat nyata kepadamu; unta betina Allah ini sebagai bukti untuk kamu ...'" (QS Al-A'raf [7]: 73). Ketika tiba masa Syu'aib, ajakan dakwahnya lebih luas lagi, melampaui batas yang disinggung oleh ketiga Nabi sebelumnya. Kali ini ajaran tauhid tidak saja dikaitkan dengan bukti-bukti, tetapi juga dirangkaikan dengan hukum-hukum syariat. "Dan kepada penduduk Madyan (Kami mengutus) saudara mereka Syu'aib. Ia berkata, 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dan Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.'" (QS Al-A'raf [7]: 85). Ayat ini bahkan menggugah jiwa dan menuntut mereka untuk membangun satu masyarakat yang penuh dengan kemakmuran dan keadilan. Setelah itu, datang ajakan Nabi Ibrahim, yang merupakan periode baru dari tuntunan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai "Bapak Para Nabi," "Bapak Monoteisme," serta "Proklamator Keadilan Ilahi" karena agama-agama samawi terbesar dewasa ini merujuk kepada agama beliau. Ibrahim a.s. menemukan dan membina keyakinannya melalui pencarian dan pengalaman-pengalaman keruhanian yang dilaluinya dan hal ini -secara Qurani- terbukti bukan saja dalam penemuannya tentang keesaan Tuhan seru sekalian alam, sebagaimana diuraikan dalam surat Al-An'am ayat 75, tetapi juga dalam keyakinan tentang hari kebangkitan. Menarik untuk diketahui bahwa beliaulah satu-satunya Nabi yang disebut Al-Quran bermohon kepada Allah untuk diperlihatkan bagaimana cara-Nya menghidupkan yang mati, dan permintaan beliau itu dikabulkan Allah (QS Al-Baqarah [2]: 260) Para ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan manusia yang mempengaruhi atau bahkan mengubah jalannya sejarah kemanusiaan. Tetapi, seperti ditulis Abbas Al-'Aqqad dalam Abu Al-Anbiyya': "Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim a.s. merupakan penemuan manusia yang terbesar, dan yang tidak dapat diabaikan oleh para ilmuwan atau sejarawan. Ia tidak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom -betapapun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut- yang semua itu dikuasai oleh manusia. Penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk kepada alam menjadi mampu menguasai alam, serta menilai baik buruknya. Penemuan manusia dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tetapi kesewenangan-wenangan ini tidak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim a.s. tetap menghiasi jiwanya. Penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tidak-diketahuinya berkaitan kedudukannya sebagai makhluk, dan hubungan makhluk ini dengan Tuhan, alam raya, dan makhluk-makhluk sesamanya." (bersambung 2/4) |
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |